MUSTANIR ONLINE
3.18K subscribers
865 photos
163 videos
56 files
900 links
Sharing audio, tulisan karya Dr Adian Husaini, Dr Hamid Fahmy Zarkasyi serta pemikir muslim kontemporer lainnya.
Download Telegram
Taqwa adalah suatu kondisi pikiran dan jiwa orang mukmin yang merasakan kehadiran Allah SWT di mana saja dia berada. Dia ridho dengan segala kondisi yang merupakan anugerah Allah. Dia takut untuk bermaksiat kepada Allah. Tapi sekaligus dia juga cinta dan penuh harap – tidak putus asa – dari rahmat Allah. Takwa itu indah. Taqwa itu nikmat. Dan taqwa itu suatu kebahagiaan. Karena itulah, kita diperintahkan untuk berjuang keras mencapai derajat yang mulia tersebut.
-Dr. Adian Husaini-
Orang-orang kaya akan merasa bahagia jika kekayaannya diraih dengan halal dan hartanya diserahkan untuk perjuangan menegakkan kebenaran. Sebab, dia sangat yakin dengan kehidupan akhirat. Dia bahagia saat menjalankan ibadah. Dia tenang, karena siap bertemu dengan Allah – Sang Khaliq – dan mempertanggungjawabkan seluruh harta yang dimilikinya: dari mana dia peroleh dan untuk apa digunakan!
-Dr. Adian Husaini-
KORUPSI ILMU
Oleh: Dr. Adian Husaini

Nama lengkapnya adalah Haji Abdul Malik Karim Amrullah, disingkat menjadi HAMKA. Dia adalah seorang tokoh dan ulama yang sangat dihormati di berbagai dunia Islam. Lahir tanggal 17 Februari 1908, di desa kampung Molek, Meninjau, Sumatera Barat. Ayahnya adalah Syekh Abdul Karim bin Amrullah, yang dikenal sebagai Haji Rasul, yang merupakan pelopor Gerakan Islah (tajdid) di Minangkabau. Semasa kecil, Hamka belajar agama pada ulama-ulama terkenal, seperti Syeikh Ibrahim Musa, Syeikh Ahmad Rasyid, AR Sutan Mansur, dan tentu saja, ayahnya sendiri.

Dari para gurunya itulah, Hamka mampu menimba, mengamalkan, dan bahkan mengembangkan ilmunya. Ia menulis buku dalam berbagai bidang: aqidah, filsafat, sastra, sejarah, politik, dan sebagainya. Pada tahun 1953, Hamka terpilih sebagai penasihat pimpinan Pusat Muhammadiah. Pada 1977, Hamka memenuhi permintaan untuk memimpin Majelis Ulama Indonesia. Hamka juga aktif dalam kegiatan politik melalui Masyumi. Hamka pernah menjadi anggota Konstituante Masyumi dan menjadi jurkam dalam Pemilu 1955. Tapi, pada tahun 1981 ia meletakkan jabatan sebagai Ketua Umum MUI karena masalah fatwa Natal.

Kiprah Hamka dalam kelimuan juga cukup banyak. Tahun 1920-an, HAMKA menjadi wartawan beberapa surat kabar seperti Pelita Andalas, Seruan Islam, Bintang Islam dan Seruan Muhammadiyah. Pada tahun 1928, Hamka menjadi editor majalah Kemajuan Masyarakat. Pada tahun 1932, menjadi editor dan menerbitkan majalah Al-Mahdi di Makasar. Terakhir, majalah yang sangat monumental yang dipimpinnya Panji Masyarakat. Berbagai penghargaan telah diterimanya, seperti anugerah kehormatan Doctor Honoris Causa, Universitas al-Azhar, 1958 dan Doktor Honoris Causa, Universitas Kebangsaan Malaysia, 1974.

Alkisah, Hamka, adalah seorang tokoh yang sangat gigih dalam mengembangkan ilmu dan perjuangan dakwah Islam. Ratusan karya telah dihasilkannya. Tetapi, sebagaimana tradisi yang berkembang dalam keilmuan Islam selama ratusan tahun, tulisan-tulisan Hamka bukan hanya berisi data-data sejarah tanpa makna, melainkan sarat dengan ruh keimanan dan perjuangan serta memompakan semangat tinggi untuk mempertahankan keyakinan Islam dan memperjuangkan Islam.

Karena kegigihannya pula, HAMKA pernah dipenjara rejim Orde Lama. Tapi, di penjara, justru ia menghasilkan Tafsir Al-Azhar. Mohammad Natsir menghasilkan Capita Selecta dan berbagai buku lainnya. Sama dengan HAMKA, di penjara, Sayyid Quthb menghasilkan Fii Zhilalil Quran. Ibnu Taimiyah menghasilkan Majmuul Fatawa. Dan Ibnu Haistam menghasilkan teori optik. Mereka, adalah tipe ilmuwan, sekaligus ulama pejuang.
Dalam ajaran Islam, ulama menempati posisi sentral. Kata Rasul saw: Ulama adalah pewaris para nabi. Para Nabi tidak mewariskan dinar dan tidak juga dirham, melainkan mereka hanya mewariskan ilmu. (HR Abu Dawud, at-Tirmidzi, Ibn Majah).

Nabi juga memposisikan para ulama laksana bintang yang menjadi tempat umat mendapat bimbingan dan petunjuk. Melalui para ulama itulah, kini kita mewarisi risalah Nabi. Kita sekarang memahami Al-Quran dan tafsirnya, hadits Rasulullah saw, juga ilmu-ilmu keagamaan lainnya, melalui jasa para ulama. Melalui Imam Syafii, misalnya, kita memahami ilmu ushul fiqih, tentang bagaimana cara menetapkan hukum dalam Islam.

Maka, dalam sejarah Islam, ulama memegang peran yang sangat vital. Ketika Abu Bakar ash-Shiddiq menjadi umara, maka Umar bin Khathab, Ali r.a., dan sebagainya menjalankan peran ulama yang aktif menasehati dan mengontrol penguasa.

Begitu juga ketika Umar r.a. menjadi penguasa, para sahabat lain menjalankan fungsi kontrol dengan sangat efektif. Sebagai pewaris Nabi, para ulama bertanggung jawab untuk menjaga dan melanjutkan Risalah Nabi. Para ulama itulah yang pertama kali harus mempertahankan dan menegakkan ajaran Tauhid. Dalam nasehatnya kepada Sultan Muhammad bin Malik Syah, Imam al-Ghazali menyatakan, Ketahuilah wahai Sultan, engkau adalah makhluk. Engkau diciptakan oleh Maha Pencipta yang menciptakan alam dan seluruh isinya. Dia Maha Esa dan tidak ada sekutu bagi-Nya. (Dikutip dari k
arya al-Ghazali, At-Tibr al-Masbuk fi Nashaih al-Muluk, Terj. Arif B. Iskandar).

Selain mewarisi keilmuan dan risalah kenabian, para ulama di masa lalu juga sering menghadapi ujian kehidupan yang berat, sebagaimana dialami oleh para Nabi. Imam Malik pernah disiksa, karena pendapatnya bertentangan dengan gubernur Madinah ketika itu. Imam Abu Hanifah harus masuk penjara dan menjalani hukum cambuk 10 kali setiap hari, karena menolak berbagai tawaran jabatan tinggi dalam pemerintahan Abu Jafar al-Manshur.

Gara-gara menolak mengikuti pendapat Mutazilah tentang kemakhlukan Al-Quran, Imam Ahmad bin Hanbal akhirnya dijebloskan ke dalam penjara selama 28 bulan oleh Khalifah al-Makmun. Dua kakinya diikat dengan rantai besi, sehingga beliau harus shalat dalam keadaan kaki dirantai. Setiap hari beliau diinterogasi dan dipaksa meninggalkan pendapatnya yang bertentangan dengan paham Muktazilah. Tetapi, beliau terus menolak dan bertahan dengan pendapatnya yang shahih, meskipun terus mendapat cambukan. Imam Ahmad akhirnya meninggal dalam usia 77 tahun pada 241 Hijriah. Sekitar 600 ribu orang menghadiri pemakamannya.

Keteguhan dan ketinggian ilmu para ulama itulah yang berjasa besar dalam menjaga kemurnian agama Islam yang kita warisi dewasa ini. Karena itu, betapa risaunya Rasulullah saw terhadap ulama-ulama yang jahat (al-ulama al-su). Kata Nabi saw: Seburuk-buruk manusia adalah ulama yang buruk.
Kerusakan ulama adalah kerusakan Islam. Ulama jahat adalah ulama yang bodoh tetapi berani memberi fatwa atau ulama yang menjual agamanya untuk kepentingan dunia. Imam al-Ghazali dalam Kitabnya, Ihya Ulumuddin, memberikan penjelasan panjang lebar seputar bahaya ulama-ulama jahat, yang disebutnya sebagai ulama dunia.

Rasulullah saw bersabda: Di akhir zaman akan ada para ahli ibadah yang bodoh dan para ulama yang jahat. (HR at-Tirmidzi). Ulama adalah orang yang faqih fid-din, dan sekaligus orang yang bertaqwa kepada Allah. Tetapi, ulama yang jahil, ia lebih berbahaya bagi umat manusia.

Sejatinya, kejahilan bisa dilihat dalam dua fenomena: kejahilan yang ringan dan kejahilan yang berat. Kedua kejahilan itulah yang sesungguhnya menjadi sumber penyebab kesalahan, penyimpangan, kesesatan dan juga kejahatan manusia di muka bumi ini.

Kejahilan ringan adalah kurangnya ilmu tentang sesuatu yang seharusnya diketahui (ignorance). Mereka belum memperoleh informasi tentang kebenaran (al-Haq) sehingga mereka tidak memiliki pilihan lain kecuali melakukan apa yang mereka ketahui sebagai suatu kebenaran. Rasulullah membiarkan seorang Badui (Arab Gunung) yang kencing di dalam masjid. Meski Umar begitu marah besar, Rasulullah SAW mencegah dan hanya meminta para sahabat untuk menyiram menggunakan ember.

Tapi ada kejahilan berat, yaitu kekacauann ilmu (confusion of knowedge). Kejahilan jenis ini terjadi bukan karena kekurangan ilmu, tetapi karena ilmu yang salah, ilmu yang kacau. Ilmu yang benar adalah yang seharusnya mengantarkan kepada keyakinan dan kebenaran yang hakiki. Tetapi, ilmu yang rusak, justru mengantarkan kepada keraguan. Para pemilik ilmun yang salah ini akan menolak kebenaran, meskipun telah sampai padanya informasi tentang kebenaran (al-Haq) dengan hujjah yang meyakinkan dan dari sumber-sumber yang terpercaya. Kepada mereka juga telah datang para Nabi utusan Allah serta para penyeru ke jalan Allah yang lurus, tetapi mereka berpaling. Kasus penolakan Walid bin Mughirah dan para pembesar Qurays tentang kebenaran Muhammad serta Al-Quran adalah contohnya.

Walid bin Mughirah adalah seorang cendikiawan Qurays yang sangat disegani. Ia memutar balikkan kebenaran yang telah nyata tentang ajaran Muhammad dan mengatakan Al-Quran sebagai kata-kata Muhammad. Kejahilan yang dilakukan oleh para cendikiawan dan orang-orang cerdik-pandai seperti ini adalah bentuk kejahilan yang tidak dapat ditolelir. Sebab, mereka bukan orang-orang awam yang bodoh, bahkan sesungguhnya mereka orang-orang yang cerdas dan mampu memahami yang benar dari yang salah.

Kini, di Indonesia pada umumnya, terdapat fenomena ignorance pada kampus-kampus umum. B
anyak sarjana ilmu-ilmu umum yang tidak memahami ilmu-ilmu keislaman dengan baik. Mereka buta terhadap Ilmu-ilmu al-Quran, hadits, bahasa Arab, ilmu fiqih, dan sebagainya. Sementara di lingkungan Perguruan Tinggi Islam telah banyak terjadi confusion of knowledge dalam ilmu-ilmu keagamaan. Ilmu perbandingan agama, misalnya, dirusak dengan cara menyebarkan paham relativisme kebenaran dan relativisme iman. Ulumul Quran dirusak dengan masuknya studi kritis terhadap al-Quran yang berujung kepada keraguan terhadap al-Quran.

Fenomena kerusakan ilmu ini, menurut Prof. Naquib al-Attas, disebut juga sebagai corruption of knowledge alias korupsi ilmu. Korupsi ilmu jauh lebih dahsyat akibatnya dibandingkan dengan korupsi harta.

Rasulullah saw bersabda,Bahwasanya Allah SWT tidak akan mencabut ilmu dengan sekaligus dari manusia. Tetapi Allah menghilangkan ilmu agama dengan mematikan para ulama. Apabila sudah ditiadakan para ulama, orang banyak akan memilih orang-orang bodoh sebagai pemimpinnya. Apabila pemimpin yang bodoh itu ditanya, mereka akan berfatwa tanpa ilmu pengetahuan. Mereka sesat dan menyesatkan. [HR Muslim].

Rasulullah sendiri berkata seburuk-buruk makhluk adalah ulama jahat. Yang paling dikhawatirkan beliaua dalah munculnya orang-orang munafik yang canggih dalam berargumentasi (aliimil lisan). Banyak hadits Nabi saw yang menjelaskan bahwa pada Hari Kiamat nanti, siksaan bagi orang alim yang jahat akan jauh lebih berat dibandingkan orang bodoh yang salah. Karena itu, jika kita hendak mengukur bagaimana kondisi umat Islam, lihatlah kualitas ulamanya! Jika orang-orang yang berposisi atau memposisikan diri -- sebagai ulama tidak memiliki kualifikasi yang ideal, baik dalam ilmu maupun amal, maka itu indikator yang paling absah untuk menyatakan bahwa umat Islam dalam kondisi yang memprihatinkan. (***)
Worldview Pancasila
Oleh: Dr. Hamid Fahmy Zarkasyi

Pancasila sebenarnya bukan hanya sekedar dasar Negara atau bernegara, tapi filosofi dasar dari Negara dan bernegara. Soekarno menyebut Pancasila sebagai philosophische grondslag” (filosofi dasar). Filosofi dasar sebenarnya tidak lain dari “Weltanschauung” (pandangan hidup) atau bahasa Inggeris-nya Worldview.

Worldview atau Weltanschauung adalah kepercayaan, perasaan dan apa-apa yang terdapat dalam pikiran orang yang berfungsi sebagai motor bagi keberlangsungan dan perubahan sosial dan moral (Ninian Smart). Secara praktis worldview berarti asas setiap perilaku manusia, sebab setiap aktifitas manusia mencerminkan pandangan hidupnya. (Alparslan Acikgence). Worldview dapat pula disejajarkan dengan paradigm yaitu seperangkat keyakinan mendasar yang memandu tindakan kita, baik tindakan keseharian maupun dalam penyelidikan Ilmiyah (Thomas Kuhn).

Jika Pancasila adalah sebuah worldview bangsa Indonesia, maka ia harus berfungsi menjadi motor bagi keberlangsungan dan perubahan sosial dan moral. Pancasila harus menjadi asas setiap perilaku bangsa Indonesia. Jika menjadi paradigma maka Pancasila harus memandu tindakan keseharian bangsa Indonesia.

Namun perlu diingat bahwa sebagai worldview Pancasila perlu meminjam penjelasan kepada agama-agama. Sila pertama yaitu Ketuhanan Yang Maha Esa, misalnya, maksudnya adalah Tuhan dalam konsepsi agama-agama. Bukan sembarang Tuhan, bukan tuhan para penganut diest, atau theist, Tuhan orang-orang komunis atau tuhan aliran-aliran spiritual apapun. Jika tidak meminjam kepada agama-agama, Pancasila sendiri akan menjadi agama. Ini bertentangan dengan konsep awalnya.

Bagi Muslim sila kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa berarti tauhid. Seorang Muslim yang beriman kepada Tuhan Allah adalah seorang mukmin. Dalam teori worldview, keimanan kepada Tuhan berimplikasi kepada seluruh kehidupan seseorang. Maka dari itu, menjadi Mukmin dapat menjamin seseorang menjadi seorang Pancasilais sejati. Sebab iman dalam Islam adalah induk kebaikan. Implikasi dan implementasi serta bukti dari keimanan dalam Islam adalah berbuat baik kepada sesama manusia.

Nabi Muhammad saw menyatakan bahwa keimanan dibuktikan dengan 77 cabang jenis amal-amal ritual dan sosial. Seorang mukmin, misalnya, harus menghormati tetangga dan tamunya, berbuat baik pada siapapun, menyantuni fakir miskin, menghindarkan mara bahaya bagi orang lain, menyambung hubungan persaudaraan dan persahabatan; berkata yang baik-baik pada orang lain atau diam dan masih banyak lagi yang lainnya.

Jika semua cabang iman yang berjumlah 77 itu diperinci, maka keempat sila, selain yang pertama, hanyalah cabang-cabang dari keimanan seorang Muslim. Seorang yang telah mencapai tingkat mukmin pasti tidak akan melakukan tindak kekerasan, penganiayaan apalagi pembunuhan yang tanpa sebab. Al-Qur’an mengajarkan bahwa membunuh seorang manusia tanpa sebab maka seakan-akan ia telah membunuh seluruh umat manusia. Sebaliknya memelihara seorang manusia sama darajatnya dengan memelihara kehidupan manusia semuanya (al-Maidah 32). Maka tidak sejalan dengan teori worldview jika seorang Mukmin dituduh teroris, dan orang-orang atheis mengklaim Pancasilais.

Seorang Mukmin itu pasti berilmu dan berakhlaq. Ia mempunyai ilmu tentang mana yang benar (haqq) dan mana yang salah (batil). Ilmu seorang mukmin selalu disertai amal baik yang berbasis akhlaq. Maka dengan ilmunya itu seorang mukmin akan bersikap adil dan beradab dalam segala tindakannya menghadapi masalah politik, ekonomi social dan budaya. Disini sila kemanusiaan yang adil dan beradab sudah pasti menjadi amalan seorang mukmin.

Seorang mukmin adalah orang yang menghargai orang lain, menyambung hubungan silaturrahmi dengan sesama, menolong orang yang dalam kesusahan dan sebagainya. Oleh karena itu seorang mukmin tidak perlu diragukan lagi rasa persatuan, kesatuan dan persaudaraannya. Sejarah telah membuktikan bahwa persatuan nusantara tidak lepas dari peran para ulama.

Untuk sila keempat yang sangat tipikal mendasari sistim kenegaraan Indonesia adalah asas kerakyatan dan per
musyawaratan serta perwakilan. Musyawarah adalah ajaran Islam untuk menyelesaikan masalah. (QS Ali Imran 159; al-Syura 38). Tafsir dari ajaran ini meliputi sikap-sikap menghargai pendapat lain, komitmen melaksanakan hasil musyawarah, bersikap lembah lembut dalam bermusyawarah dan lain sebagainya.

Para founding father negeri ini dikenal dengan tradisi bermusyawarah untuk mencapai kompromi. Susunan sila-sila Pancasila sekalipun merupakan hasil musyawarah mereka. Bahkan negeri ini berdiri tegak merdeka hasil dari musyawarah.

Sila terakhir, keadilan social pun telah tercakup dalam rukun Islam. Rukun Islam yang ritualistik itu sebenarnya berdimensi sosial yang tinggi. Shalat bertujuan untuk mengelakkan perbuatan munkar; puasa untuk menekan nafsu syahwat hewani, zakat untuk memberi solusi problem sosial dari 8 jenis masyarakat. Ritual haji yang mabrur menghasilkan manusia tanpa cacat dosa pada Tuhan maupun dosa pada manusia.

Disini dapat dikatakan bahwa di dalam Pancasila terkandung worldview Islam. Bahkan tidak tidak berlebihan jika dikatakan bahwa bahasa kehidupan bangsa Indonesia adalah bahasa Islam atau bahasa Arab. Istilah kunci (technical term) di dalam Pancasila seperti “adil”, “adab”, “rakyat”, “musyawarah” dan “wakil” adalah bahasa Islam dan secara konseptual harus dilacak dari bahasa Islam.

Maka bukti apakah seseorang itu Pancasilais atau tidak, dapat dilacak terutamanya dari sila pertama. Seorang yang melakukan kejahatan seperti korupsi, membunuh, berzina, menipu dan lain-lain adalah orang yang melecehkan sila pertama Pancasila. Jadi orang yang tidak mengamalkan sila pertama itu tidak religius sekaligus tidak Pancasilais. Sebab orang yang sanggup meninggalkan sila pertama akan dengan mudah meninggalkan sila-sila yang lain.

Sebaliknya barangsiapa yang percaya pada Tuhan Yang Maha Esa, pasti akan menjalankan kepercayaannya itu dengan konsekuen. Orang yang mengaku dirinya Pancasilais mestinya religius. Dalam Islam orang yang percaya pada Tuhan Yang Maha Esa disebut orang yang beriman (Mukmin). Seorang yang telah mencapai derajat Mukmin ia pasti mengamalkan sila-sila kehidupan ini dengan sangat baik, apalagi sila-sila dalam Pancasila. Maka seorang Mukmin adalah seorang Pancasilais sejati. Wallahu a’lam.
PEMIMPIN AMANAH
Oleh: Dr. Hamid Fahmy Zarkasyi, M. Phil
Pendiri dan Pembina INSISTS

Konon dulu pemimpin atau raja-raja pada abad Pertengahan di Barat adalah seorang bishop. Pemimpin politik adalah agamawan. Mereka dipilih setelah diketahui umum bahwa mereka berasal dari tujuh turunan keluarga yang tidak cacat moral. Namun, hingga abad 19 kreteria pemimpin seperti itu mulai pudar sehingga sulit diperoleh. Tidak ada lagi pemimpin bermoral bishop dan tidak ada bishop berkualitas politisi. Agama dan politik pun bercerai.

Sejalan dengan denigrasi agama di abad sekuler dan boleh jadi dipicu oleh pikiran Niccolò Machiavelli (1469–1527) abad 19 dianggap awal pencarian kriteria pemimpin ideal tanpa faktor agama. Thomas Carlyle, misalnya, menulis buku Heroes and Hero Worship (1841) untuk mengidentifikas bakat, skill dan ciri-ciri fisik orang yang menjadi penguasa. Francis Galton dalam bukunya Hereditary Genius (1869) menguji kualitas pemimpin pada keluarga-keluarga orang berpengaruh. Ia menemukan bahwa keluarga pemimpin berbakat pemimpin. Artinya pemimpin itu dilahirkan. Namun, ini dibantah oleh teori Cecil Rhodes (1853-1902) yang masih percaya bahwa karakter dan instink peimimpin itu bisa dididik.

Tapi sekalipun karakteristik pemimpin ditemukan (tahun 1940-an) namun suatu kriteria tidak bisa berlaku untuk semua jenis masyarakat. Untuk itu para pakar menggunakan teori yang telah dirintis oleh McGrath (1962) teori Functional Leadership Model. Pemimpin ini dipilih sesuai dengan yang dikehendaki rakyat atau organisasi yaitu untuk melayani.

Pada abad yang sama Bernard Bass (1978) mengembangkan teori yang disebut Transactional dan transformational leadership. Yang pertama adalah pemimpin yang diberi kekuasaan oleh kelompok atau rakyat untuk mengerjakan suatu tugas tertentu. kedua adalah pemimpin yang visioner yang bertugas menstimulasi dan menanamkan visi kepada rakyat. Bagaimanapun teori tentang kepemiminan hingga abad 21 ini masih gagal menemukan rumusan sifat-sifat ideal seorang pemimpin.

Kini sering terjadi tiba-tiba seorang pemimpin muncul atau terpilih diluar kriteria pemimpin. Politik dan politisi kini menjadi pemilik criteria, bukan pakar. Intelektualitas, nilai-nilai, kecakapan sosial, kepakaran dan kecakapan dalam problem solving dan mungkin juga kenegarawanan seiringkali absen dari diri pemimpin terpilih. Kepentingan politik pun berada didepan sebagai penentu.

Maka mungkin putus asa dengan criteria ideal pemimpin, Oxford School Leadership menemukan teori baru kepemimpinan yang disebut Neo-emergent theory. Dalam teori dianggap paling mutakhir ini pemimpin itu dipromosikan oleh informasi yang diciptakan oleh stakeholdernya melalui media masa atau media social. Namun yang dipromosikan bukan karakter sesungguhnya dari pemimpin yang diinginkan, tapi untuk mengangkat popularitas dan elektabilitas. Teori ini digambarkan sebagai berikut:

“the press, blogs and other sources report their own views of leaders, which may be based on reality, but may also be based on a political command, a payment, or an inherent interest of the author, media, or leader. Therefore, one can argue that the perception of all leaders is created and in fact does not reflect their true leadership qualities at all.”

Teori Neo-emergent itu mungkin bisa disebut teori pencitraan atau pemimpin ala media masa atau social (sosmed). Demokrasi bisa berubah menjadi mediakrasi (kuasa media). Media pun sudah dibawah petunjuk kekuatan politik, pemodal, konglomerat dan sebangsanya.

Logika postmodern memang tidak lagi memakai sillogisme, tapi bahasa dan makna penentu segalanya. Maka tidak heran Akbar S Ahmed menyimpulkan bahwa ide-ide postmodernisme dipicu oleh media. Media bisa bermain-main dengan makna. Koruptor bisa tiba-tiba menjadi pelopor. Culas bisa menjadi lugas dan tegas. Tukang maki menjadi pemimpin bernyali. Pakar barter menjadi berkarakter dan sebagainya.

Logika bahasa Postmodern dalam media diracik dengan faham humanisme menghasilkan pemimpin yang unik. Pemimpin yang keras meledak-ledak, aneh-aneh dan dianggap gila itu pemimpin berkarakter. Berkarakte
r dianggap bermoral dan berakhlaq.

Kata character sendiri bermasalah sebab ia sifat yang dimainkan seorang aktor dalam sebuah sandiwara, drama atau lakonan. Berkarakter bisa diartikan ber “peran” dan bukan suatu sifat yang melekat erat dalam diri. Sifat inilah yang diletakkan oleh media kepada seseorang yang akan didaulat sebagai pemimpin.

Bahkan bermoral pun bermasalah pula. Dalam Oxford English Dictionary moral adalah perilaku baik-buruk. Standar baik buruk itu bersumber dari kesepakatan manusia (human convention). Bahkan apa yang disebut “hukum moral” atau dharma dalam agama Hindu juga berasal dari kebiasaan sosial. Maknanya moral dan etika menjadi longgar. Jadi ber-moral artinya berperilaku sesuai dengan aturan masyarakat, dan tidak selalu religius.

Kata akhlaq serumpun dengan khalaqa (menciptakan). Artinya adalah sifat jiwa yang melekat (malakah) dalam diri seseorang sesuai dengan asal mula diciptakannya (ahsanu taqwim). Jiwa manusia itu diciptakan Allah dengan fitrah-Nya (fitratallah alliti fatarannas alaiha). Maka ber-akhlaq adalah berfikir, berkehendak dan berplerilaku sesuai dengan fitrah (nurani) nya. Fitrah seseorang itu adalah bertuhan, beragama dan tentu berislam.

Seorang yang tidak percaya kepada Tuhan mustahil bisa berbuat adil. Sebab kekafiran sendiri sudah merupakan kezaliman pada diri sendiri. Jika seorang kafir merasa lebih baik dari penganut agama hanya karena tidak korupsi, akan orang baik tapi penipu, pemeras, pezina, pembunuh dan bahkan penentang Tuhan.

Pemimpin yang tegas, keras menindak pelanggaran, berani dengan siapapun yang dianggap salah, berani mengambil resiko dan sebagainya boleh saja dianggap berkarakter. Tapi ketika ia membolehkan perjudian, pelacuran, menuman keras sebagai sumber APBD, dan berani mencemooh ulama yang tidak setuju dengannya ia sudah tidak ber-akhlaq, meskipun tetap berkarakter.

Matrik pemimpin berakhlaq bukan lagi manusia, tapi Tuhan melalui agama. Puncak berakhlaq adalah bersikap adil terhadap Tuhan dan terhadap manusia. Artinya meletakkan dirinya sebagai hambaNya, beribadah, berbuat baik karena dan atas petunjuk Tuhan. Adil terhadap manusia adalah membimbing, memperlakukan dan mengatur manusia agar terjaga hartanya, jiwanya, akalnya, keluarganya dan terakhir agamanya.

Jadi untuk menyelesaikan persoalan bangsa secara komprehensif tidak ada jalan lain kecuali kita letakkan agama untuk menjaga kemaslahatan manusia dan kita sujudkan maslahat manusia untuk Tuhan. Maka dari itu perbuatan, perkataan dan pikiran pemimpin, kata Umar bin Khattab, harus sama. Itulah amanah. Jika tidak maka dia khianat dan pengkhianatan paling keji, manurut Ali bin Abi Thalib adalah pengkhianatan pemimpin.
Tersedia buku-buku bermutu diperuntukkan khusus untuk para remaja muslim. Ditulis oleh para novelis, dokter, ustadz yang sudah tidak asing lagi.

1. Gaul Bebas Kenapa Enggak?
Rp 50.000,-
2. Tuhan, Izinkan Aku Pacaran Edisi Revital
Rp 39.000,-
3. Jomblo's Diary
Rp 43.000,-
4. Lupakan Mantanmu!
Rp 44.000,-
5. Lo Gue Butuh Tau LGBT
Rp 39.000,-
6. Jangan Berdakwah Nanti Masuk Surga
Rp 65.000,-
7. Islam Gak Liberal
Rp 45.000,-
8. Sosmed Addict: Kecanduan yang Tak Perlu
Rp 45.000,-
9. Healty Lifestyle
Rp 45.000,-
10. Kemenangan Mimpi
Rp 39.000,-

Pemesanan silahkan hubungi via sms/whatsapp ke 087878147997.

Syukran....
RADIKALISME ATAU EKSTRIMISME ?
Oleh: DR. ADIAN HUSAINI

Menyusul terjadinya kasus pengeboman hotel JW Marriot dan Ritz Carlton beberapa waktu lalu, akhir-akhir ini banyak digelar diskusi dan seminar tentang terorisme dan radikalisme. Opini yang ingin dibentuk : aksi-aksi terorisme bersumber dari pemahaman agama yang radikal. Padahal, banyak yang berkata, terorisme tidak ada hubungannya dengan agama tertentu. Tapi, ada yang berkesimpulan, untuk membendung terorisme, maka pemahaman agama yang radikal harus dicegah atau diberantas.

Sedikit banyak muncul suasana antagonis antara pemerintah dengan sebagian umat Islam. Setidaknya, muncul situasi saling curiga antar komunitas bangsa, bahkan sesama umat Islam pun tercipta kondisi semacam itu. Mungkin tanpa sadar, ada yang terseret pada situasi adu-domba satu sama lain. Saling tuding, saling cerca, dan saling benci, terjadi hanya karena perbedaan pandangan tentang Islam, terorisme, demokrasi, dan sebagainya. Yang satu dituduh radikal, yang lain dituduh antek Barat. Yang satu pro-thaghut, yang lain dicap antek-teroris.

Situasi seperti inikah yang dikehendaki oleh umat Islam dan pemerintah Indonesia? Tentu tidak! Kita mendambakan negeri ini sebagai negeri yang aman, adil dan makmur; negeri yang besar, yang disegani oleh bangsa-bangsa lain, sehingga tidak mudah harta kekayaan alam kita dicuri oleh bangsa lain; tidak mudah didekte oleh bangsa lain, sehingga hakekat kemerdekaan yang dicita-citakan pendiri bangsa bisa diwujudkan.

Di tengah situasi seperti ini, muncul pemikiran bahwa radikalisme keagamaan harus diberantas? Pertanyaannya, secara akademis, perlu dirumuskan, apa definisi radikalisme dan siapa saja yang disebut kaum radikal tersebut? Kita perlu berfikir jernih tentang masalah ini, lepas dari tekanan politik atau gelombang besar opini global yang menempatkan kaum radikal atau militan sebagai pihak yang jahat dan bertanggungjawab atas segala kekacauan di muka bumi. Menyusul berakhirnya Perang Dingin, 1990, dimunculkan wacana bahwa musuh dunia yang utama adalah kaum fundamentalis Islam. Keluarlah buku-buku yang mendefinisikan apa itu fundamentalis Islam dan siapa saja mereka.

Apa yang terjadi? Perang melawan fundamentalis akhirnya tidak banyak membawa hasil. Definisi fundamentalis seringkali kabur dan dilebarkan kemana-mana. Dunia tidak semakin damai. Harapan dunia yang aman setelah komunis runtuh, tidak terwujud. Upaya menemukan musuh baru bagi dunia Barat setelah komunis runtuh terus dilakukan oleh kalangan tertentu di Barat. Samuel P. Huntington, dalam bukunya, The Clash of Civilizations and the Remaking of World Order, secara terang-terangan menulis: “It is human to hate. For self definition and motivation people need enemies: competitors in business, rivals in achievement, opponents in politics.” Jadi, kata Huntington, adalah manusiawi untuk membenci. Demi tujuan menentukan jati diri dan membangkitkan motivasi, masyarakat memang perlu adanya musuh.

Tiga tahun setelah peristiwa 11 September 2001, Huntington kembali menegaskan perlunya musuh baru bagi Amerika Serikat dan Barat. Dan katanya, musuh itu sudah ketemu, yaitu kaum Islam militan. Dalam bukunya, Who Are We? (2004), Huntington menempatkan satu sub-bab berjudul “Militant Islam vs. America”, yang menekankan, bahwa saat ini, Islam militan telah menggantikan posisi Uni Soviet sebagai musuh utama AS. “The rhetoric of America’s ideological war with militant communism has been transferred to its religious and cultural war with militant Islam…This new war between militant Islam and America has many similarities to the Cold War. Muslim hostility encourages Americans to define their identity in religious and cultural terms, just as the Cold War promoted political and creedal definitions of that identity.”

Setelah itu, entah ada hubungan dengan pemikiran Huntington atau tidak, terjadilah “perburuan Islam militan” atau “Islam radikal”. Tetapi, lagi-lagi, sebagaimana dalam kebijakan perang melawan fundamentalisme, definisi ”radikalisme” itu sendiri tidak diselesaikan secara akademis. Siapakah kaum radika
l yang harus diperangi? Mengapa mereka disebut radikal? Sejumlah kajian di Indonesia sudah secara terbuka menyebut beberapa kelompok Islam berpaham radikal. Pemetaan-pemetaan telah banyak dilakukan, sebagian umat Islam dicap radikal, sebagian lain dicap moderat, dan sebagainya. Mirip dengan situasi di zaman penjajahan.

Tapi, di masa penjajahan Belanda, kata ‘radikal’ bermakna positif bagi pejuang kemerdekaan RI. Bahkan, tahun 1918, di Indonesia terbentuk apa yang disebut sebagai “Radicale Concentratie”, yang terdiri atas Budi Utomo, Sarekat Islam, Insulinde, dan Indische Sociaal Democratische Vereniging. Tujuannya untuk membentuk parlemen yang terdiri atas wakil-wakil yang dipilih dari kalangan rakyat. ‘Radikalisme’ berasal dari bahasa Latin “radix, radicis”, artinya akar ; (radicula, radiculae: akar kecil). Berbagai makna radikalisme, kemudian mengacu pada akar kata “akar” ini. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (1990), radikal diartikan sebagai “secara menyeluruh”, “habis-habisan”, “amat keras menuntut perubahan”, dan “maju dalam berpikir atau bertindak”. Sedangkan “radikalisme”, diartikan sebagai: “paham atau aliran yang radikal dalam politik”, “paham atau aliran yang menginginkan perubahan atau pembaruan sosial dan politik dengan cara yang keras atau drastis”, “sikap ekstrim di suatu aliran politik”.

Namun, dalam aplikasinya untuk kelompok-kelompok Islam, kata radikal mendapatkan makna khusus. Tahun 2004, Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat Universitas Islam Negeri (UIN) Jakarta menerbitkan buku berjudul “Gerakan Salafi Radikal di Indonesia” Ada empat kelompok yang mendapat cap “salafi radikal” dalam buku ini, yaitu Front Pembela Islam (FPI), Laskar Jihad, Majelis Mujahidin Indonesia (MMI), dan Hizbuttahrir.

Menurut buku ini, kriteria ‘Islam radikal’ adalah : (1) mempunyai keyakinan ideologis tinggi dan fanatik yang mereka perjuangkan untuk menggantikan tatanan nilai dan sistem yang sedang berlangsung; (2) dalam kegiatannya mereka seringkali menggunakan aksi-aksi yang keras, bahkan tidak menutup kemungkinan kasar terhadap kegiatan kelompok lain yang dinilai bertentangan dengan keyakinan mereka, (3) secara sosio-kultural dan sosio-religius, kelompok radikal mempunyai ikatan kelompok yang kuat dan menampilkan ciri-ciri penampilan diri dan ritual yang khas. (4) Kelompok ‘Islam radikal’ seringkali bergerak secara bergerilya, walaupun banyak juga yang bergerak secara terang-terangan.

Tentang ideologi ‘Islam radikal’, buku ini mengutip pendapat John L. Esposito (dari bukunya, Islam: The Straight Path), yang lebih suka menggunakan istilah ‘Islam revivalis’. Pertama, mereka berpendapat bahwa Islam adalah sebuah pandangan hidup yang komprehensif dan bersifat total, sehingga Islam tidak dipisahkan dari politik, hukum, dan masyarakat. Kedua, mereka seringkali menganggap bahwa ideologi masyarakat Barat yang sekular dan cenderung materislistis harus ditolak. Ketiga, mereka cenderung mengajak pengikutnya untuk ‘kembali kepada Islam’ sebagai sebuah usaha untuk perubahan sosial. Keempat, karena idelogi masyarakat Barat harus ditolak, maka secara otomatis peraturan-peraturan sosial yang lahir dari tradisi Barat, juga harus ditolak. Kelima, mereka tidak menolak modernisasi sejauh tidak bertentangan dengan standar ortodoksi keagamaan yang telah mereka anggap mapan, dan tidak merusak sesuatu yang mereka anggap sebagai kebenaran yang sudah final. Keenam, mereka berkeyakinan, bahwa upaya-upaya Islamisasi pada masyarakat Muslim tidak akan berhasil tanpa menekankan aspek pengorganisasian ataupun pembentukan sebuah kelompok yang kuat.

Kita bertanya, apakah salah jika seorang Muslim meyakini agamanya sebagai satu kebenaran dan tata aturan sistem kehidupan yang sempurna? Bukankah menjamurnya lembaga-lembaga ekonomi syariah juga dijiwai dengan pemikiran dan semangat yang sama? Jika kita membaca pemikiran dan kiprah para pejuang Islam yang juga pendiri bangsa ini, seperti KH Wahid Hasjim, M. Natsir, Haji Agus Salim, Ki Bagus Hadikusumo, Kasman Singodimedjo, dan sebagainya, dapat disimak bagaimana kuatnya keyakinan mereka pa
da agamanya dan gigihnya mereka dalam memperjuangkan cita-cita Islam di Indonesia. Namun, mereka tetap berupaya memperjuangkannya secara konstitusional.

Karena itu, sebenarnya, penggunaan istilah “radikalisme” dan “Islam radikal” untuk menunjuk kepada jenis pemahaman Islam tertentu, akan sangat problematis. Istilah ini lebih banyak bernuansa politis, ketimbang akademis. Apalagi, jika istilah ini digunakan hanya untuk melakukan stigmatisasi terhadap kelompok-kelompok Islam tertentu. Sebab, istilah ”radikalisme” tidak memiliki padanan dalam konsep pemikiran Islam. Lebih tepat sebenarnya digunakan istilah ”ekstrimisme” dalam Islam. Istilah ini ada padanan katanya dalam kosa kata pemikiran Islam, yaitu ”tatharruf” atau ”ghuluw.” Yakni, sikap berlebih-lebihan dalam agama, yang memang dilarang oleh Nabi Muhammad saw.

Penggunaan istilah yang tepat diperlukan untuk menghindarkan pandangan kaum Muslim bahwa upaya untuk memerangi kaum ”Islam radikal” adalah pesanan AS dan sekutu-sekutunya. Dalam rangka perang melawan Islam militan atau Islam radikal, mantan Menhan AS, Paul Wolfowits menyatakan: “Untuk memenangkan perjuangan yang lebih dahsyat ini, adalah sebuah kesalahan kalau menganggap bahwa kita yang memimpin. Tapi kita harus semaksimal mungkin mendorong suara-suara Muslim moderat.” (Dikutip dari buku Siapakah Muslim Moderat? (ed). Suaidi Asy’ari, Ph.D. (2008).

Pada akhirnya, kita percaya, umat Islam Indonesia dan Presiden Haji Susilo Bambang Yudhoyono, tidak mau diadu domba. Sebab, kita bersaudara! (***) (Artikel ini, dengan sedikit editing telah dimuat di Harian Republika, Selasa 8/9/2009).
BIOGRAFI RASULULLAH
Penulis: Dr. Mahdi Rizqullah Ahmad

Karya kontemporer terlengkap tentang perjalanan hidup Nabi Muhammad s.a.w. sejak beliau dilahirkan hingga wafat dengan pemaparan secara terperinci setiap episode kehidupan yang beliau jalani beserta perjuangan beliau dalam rangka menyebarkan ajaran Islam. Dilengkapi dengan penjelasan kondisi sosial-keagamaan Jazirah Arab dan sekitarnya pada masa sebelum Islam hingga beliau diutus menjadi Rasul. Sejarah hidup Rasulullah s.a.w. merupakan medan kajian yang sangat kaya akan materi keilmuan, wawasan keagamaan, hikmah, dan pendidikan. Munculnya sekian banyak buku tentang sejarah hidup Rasulullah, baik yang ditulis oleh para ulama klasik maupun modern merupakan bukti dari kekayaan tersebut.

Karya Dr. Mahdi Rizqullah Ahmad ini merupakan salah satu buku biografi karya seorang ulama modern yang tak layak dipandang sebelah mata. Ada banyak keunggulan dan hal baru ditawarkan oleh buku ini. Salah satunya adalah bahwa buku ini hanya memuat materi-materi sejarah dari sumber-sumber yang otentik dan terpercaya.

Fakta-fakta sejarah yang terjadi pun tidak hanya dipaparkan begitu saja, melainkan juga dicermati dan dianalisa sedemikian rupa. Sehingga, pembaca tidak hanya menyaksikan rentetan peristiwa demi peristiwa, tetapi juga akan menemukan banyak pengetahuan tentang nilai-nilai moral, pendidikan, dan hukum-hukum syariat dari berbagai macam peristiwa tersebut.

Perpaduan antara buku sejarah dan keilmuan inilah yang mengantarkan buku ini sebagai buku sirah Nabi s.a.w. di beberapa lembaga pendidikan dan perguruan tinggi di Timur Tengah.
--------------------
Judul buku: Biografi Rasulullah
Sebuah Studi Analitis Berdasarkan Sumber-sumber yang Otentik
Penulis: Dr. Mahdi Rizqullah Ahmad
ISBN: 979-3715-56-1
Ukuran: 15,5 x 24 cm
Sampul: Hard Cover
Jenis Kertas: HVS
Jumlah Hlm: xxiv + 1020 = 1044 Hlm
Berat: 1.5 Kg
Harga: Rp. 215.000,-
Pemesanan silahkan sms/whatsapp ke 087878147997.
-admin-
Karena terkena sihir, di masa Nabi Musa a.s. banyak orang yang tidak bida membedakan antara “tongkat” dengan “ular”.

Karena terkena sihir, banyak yang tidak bisa membedakan, mana ilmuwan sejati dan mana ilmuwan yang tidak sejati: Imam Syafii dicaci maki, Nurcholish Madjid dipuja-puji.
https://m.facebook.com/story.php?story_fbid=1100588440042235&id=212684542165967
JEBAKAN ROMAN
Oleh: Adian Husaini

Dalam Novel yang saya tulis: ”Kemi: Cinta Kebebasan yang Tersesat”, ada sosok penting yang menjadi salah satu pemegang kendali cerita, yaitu Roman. Manusia satu ini menyamar sebagai mahasiswa di sebuah Institut Studi Lintas Agama, tempat Kemi – santri liberal yang mengkhianati petuah gurunya. Roman, seorang residivis, pemimpin satu kelompok penjahat kerah putih yang berulangkali berhasil membobol mesin ATM sejumlah bank.

Selain tampan, gagah dan perlente, Roman juga berotak encer. Ia berngalaman dalam dunia bisnis dan politik internasional. Ia tahu ada dana yang luar biasa besar untuk proyek-proyek liberalisasi di dunia Muslim. Dana itu hanya bisa dicairkan dengan merekrut santri-santri dan intelektual Muslim yang cerdas, yang digunakan sebagai ujung tombak proyek-proyek liberalisasi. Di sinilah otak bisnis Roman berjalan. Ia membangun jaringan yang luas di kalangan yayasan-yayasan asing, pemerintah, dan LSM-LSM lokal.

Sejumlah alumni pesantren direkrutnya. Mereka diberi tugas membuat proposal, memberikan pelatihan, dan membuat laporan kepada LSM-LSM yang dikendalikan Roman. Kemi adalah salah satu santri yang menjadi korban skenario Roman. Ia terjebak dalam aktivitas liberalisasi dengan mendapatkan imbalan beasiswa kuliah gratis dan biaya hidup bulanan. Pikiran Kemi sudah terlanjur liberal. Ia terjerat oleh pikirannya sendiri. Ia terjerat oleh jerat-jerat liberal yang dipasang Roman.
Berikut ini petikan dialog dan cerita tentang Roman dan Kemi, saat Kemi dianggap gagal merekrut Rahmat, santri cerdas yang dikirim Kyai-nya untuk menyadarkan Kemi dan membongkar jaringan liberalisme. Saat itu, di sebuah tempat, Kemi diadili oleh Roman dan tiga anggota sindikatnya. Roman membentak Kemi:

”Kemi, sekarang masalahnya sudah jelas. Kamu harus tanggung jawab. Kyai Dulpikir, salah satu andalan kita tewas gara-gara Rahmat. Ini harus ada perhitungan. Rahmat sudah membahayakan posisi kita..

”Ya Kemi, cara kamu menjebak Rahmat sudah terbukti gagal. Kamu terlalu lembek sama dia,” kata seorang lagi, sambil berdiri berkacak pinggang.

Kemi belum mengenal tiga orang yang malam itu di bawa Roman. Undangan rapat dari Roman diterimanya mendadak. Dia pikir, itu rapat kelompok diskusi seperti biasa. Ternyata, teman-teman sekelompok, hanya dia yang datang. Roman justru membawa tiga orang lain yang penampilannya jauh dari citra sosok intelektual.
”Beri saya sedikit waktu lagi. Prosesnya kan sedang berjalan. Ini belum final,” tutur Kemi, agak memelas.

”Sekarang masalahnya sudah terlalu jauh. Semua menjadi kocar-kacir. Proyek-proyek kita terganggu, gara-gara kasus ini. Citra kelompok kita tercoreng, gara-gara Ustad kampungan teman kamu itu. Tidak ada pilihan lain, Rahmat harus kita bereskan!” kata Roman.

”Apa kamu bilang?” teriak Kemi tidak percaya. Dibereskan bagaimana?”

”Kamu diam saja Kemi! Kamu sudah gagal. Kamu nggak perlu tahu. Ini urusan kami.
Tugas kamu buat proposal, memberikan pelatihan, dan buat laporan!”

”Tapi, saya minta jangan sampai ada apa-apa dengan Rahmat. Bagaimana pun dia teman saya!” Kemi menatap Roman.

”Kamu sudah gagal. Sekarang, Rahmat menjadi urusan kami. Kamu tidak usah turut campur lagi! Kefir, ambil HP Kemi, kasih HP lain!” perintah Roman pada salah satu yang dia panggil Kefir….

Kemi merasa tak berkutik. Ia ingin berontak. Tapi, lidahnya kelu. Tiga orang lain yang dihadapinya juga wajah-wajah baru yang berbadan kekar. Tampang mereka ”sangar”. Seorang menampakkan tatto babi di lengan kirinya. Seorang lagi menampilkan tatto ular di lehernya.

”Roman, kita kan mahasiswa, bagaimana bisa seperti ini? Yang kita lakukan selama ini kan gerakan intelektual?” Kemi masih mencoba melobi Roman.

”Aku memang mahasiswa, tapi beda sama kamu. Apa kamu tidak sadar dari mana uang yang kamu terima selama ini, setiap bulan? Memang itu gratisan, Kemi? Memang itu uang dari Mbah kamu? Di sini, tidak ada duit gratisan Kemi!… ”Kemi, biar kamu sekarang tahu! Kami ini orang-orang profesional. Kami tidak begitu saja percaya kepada orang-orang model kalian!” ujar Roman.

Kemi makin kebingungan dengan sikap d
an ucapan Roman. Sepengetahuannya, aktivitas kuliah dan kegiatan-kegiatan pelatihan yang dilakukannya didanai oleh sejumlah Yayasan semacam She-cooler Foundation. Setahu dia, kegiatan yang dia jalankan juga biasa-biasa saja. Tidak ada paksaan pada peserta untuk mengikuti jalan pikiran. Bahkan, seringkali suasana juga sangat kondusif, karena secara rasional paham-paham yang diseberkannya juga bersifat rasional.

Roman duduk tenang-tenang saja menyaksikan Kemi dalam kebingungan dan ketakutan.

”Kami sebenarnya kasihan dengan orang-orang seperti kalian, santri-santri kampung. Tapi, kami berterimakasih juga sama kalian, sudah membantu kami. Tanpa peran kalian, kami tidak dapat mencairkan dana-dana asing itu,” kata Roman.

”Apa maksud kamu, Roman?” Kemi makin kebingungan.

”Itulah Kemi, kamu ini pinter tapi juga bodho. Kami ini orang-orang profesional!” sahut Roman lagi.

”Okelah, Roman, tolong jelaskan dulu semuanya. Biar semuanya jelas. Kalau dari awal saya tahu semua akan seperti ini, saya pasti tidak mahu bergabung dengan kalian!”

”Ha-ha-ha… enak saja kamu. Tidak segampang itu Kemi… Masuk, keluar, lalu masuk lagi … Memang kelompok ini suatu super market, bisa keluar masuk seenaknya!”

Kemi mulai menangkap gelagat yang tidak baik. Ia memutar otak untuk bisa lolos dari kelompok ini. Ia tidak tahu persis siapa saja yang ada di rumah ini. Setahu dia, hanya Roman dan beberapa pembantu rumah serta penjaga kebon yang tinggal di situ. Selama ini dia tidak berpikir apa-apa tentang Roman, karena ia pun berstatus mahasiswa seperti dirinya. Memang ada yang agak aneh pada Roman. Meskipun mahasiswa, ia jarang sekali aktif di ruang kuliah dan mengikuti ujian. Yang pasti, penampilannya sangat mewah. Kepalanya botak, badannya kekar, dandanannya perlente. Jam, cincin, kalung emas, nyaris tak pernah lepas dari tubuhnya. Kemi tidak curiga, karena kampus Damai-Sejahtera juga banyak menerima mahasiswa dari berbagai latar belakang ekonomi, agama, dan status sosial.

”Baiklah, Kemi, daripada kamu penasaran, saya ceritakan saja apa sebenarnya! Ini sebagai ucapan terimakasih saya, karena bagaimana pun, kamu dan Siti sudah banyak jasanya bagi kami. Tanpa orang-orang seperti kalian, kami tidak banyak mendapat uang yang melimpah.”

Kemi belum paham benar maksud Roman. ”Apa maksud kamu selalu menyebut, ”orang-orang seperti kalian?”

”Ya, orang-orang seperti kamu, Siti, Farsan, Rahmat… santri-santri cerdas.”
”Untuk apa?”
”Ya untuk mencairkan dana-dana asing itu! Kamu ini ngerti atau pura-pura?”
Kemi benar-benar tidak paham masalah ini.

”Baik, dengarkan baik-baik… supaya kamu tidak penasaran! Kamu pasti tahu, sejak Perang Dingin berakhir, negara-negara Barat sudah mengubah politiknya. Mereka tidak lagi mengarahkan politiknya ke komunis. Tapi, berganti mengarah ke Islam. Di situ banyak dana yang tersedia untuk proyek-proyek menjinakkan Islam; sebagaimana dulu mereka lakukan pada komunis.”
”Hubungannya dengan saya?”

”Untuk proyek-proyek ”penjinakan Islam”, agar orang Islam tidak anti-Barat, maka mereka memerlukan santri-santri cerdas, intelektual-intelektual bidang studi Islam, tokoh-tokoh Islam, agar proyek-proyek itu mudah diterima oleh umat Islam. Tidak mungkin orang-orang bule itu sendiri yang turun ke masyarakat atau orang seperti saya datang ke pondok-pondok pesantren.”

”Jadi, dana-dana itu ada motif politiknya?”

”Ya iyalah Kemi…. kamu ini seperti tolol saja! Uang-uang itu mereka kumpulkan dari pajak rakyat mereka, dan harus mereka pertanggung jawabkan. Ini proyek besar. Di sana, banyak juga makelar-makelar proyek. Saya sudah menyelami peluang bisnis ini puluhan tahun…di berbagai negara. Ha-ha-ha, Kemi, ini bisnis besar.”

”Apa kamu bilang, ini bisnis? Bukankah yang kita perjuangkan selama ini adalah ide-ide yang mulia,yang sangat dibutuhkan untuk kemajuan dan perdamaian umat manusia. Apa benar yang kamu katakan ini? Kalau begitu proyek-proyek HAM, kesetaraan gender, pluralisme, multikulturalisme, semua itu ditujukan untuk bisnis?”
”Ada juga yang tulus memperjuangkan itu semua. Ada yang yakin, itu semua akan membawa perdamaian. Tapi, lihat saja