MUSTANIR ONLINE
3.18K subscribers
865 photos
164 videos
56 files
901 links
Sharing audio, tulisan karya Dr Adian Husaini, Dr Hamid Fahmy Zarkasyi serta pemikir muslim kontemporer lainnya.
Download Telegram
ANTARA SHALAHUDDIN DAN AL GHAZALI
Dr. Adian Husaini

Film Kingdom of Heaven arahan Ridley Scott cukup berhasil menampilkan sosok pahlawan Islam Shalahuddin al-Ayyubi secara lebih obyektif. Wajar, jika film yang menampilkan sisi-sisi hitam sejarah Kristen itu memeranjatkan banyak orang di Barat. Sebab, selama ini sosok Shalahuddin memang dipersepsikan sebagai “momok”, yang dibenci. Jenderal Geraud, saat berhasil menaklukkan Damaskus, pada abad ke-20, menginjakkan kakinya di makam Shalahuddin, sambil berteriak: “Saladin, wake up. We are back!”

Karen Armstrong, dalam bukunya, Holy War: The Crusades and Their Impact on Today’s World, menguraikan dampak Perang Salib dalam membentuk persepsi masyarakat Barat terhadap Muslim. Film Kingdom of Heaven mengungkap fakta yang sangat kontras antara sikap pasukan Kristen dan pasukan Islam saat merebut Jerusalem. Tahun 1099, saat menduduki Jerusalem, pasukan Salib membantai hampir semua kaum Muslim dan Yahudi. Sekitar 30 ribu orang dibantai di Jerusalem, sehingga di Masjid al- Aqsha terjadi genangan darah setinggi mata kaki. Tapi, saat Shalahuddin merebut kembali Jerusalem, ia membebaskan kaum Kristen untuk meninggalkan Jerusalem dengan aman.

Sosok Shalahuddin, telah berabad-abad melegenda dalam tradisi masyarakat Barat. Jo Ann Hoeppner Moran Cruz, dalam tulisanya “Popular Attitudes towards Islam in Medieval Europe” (Lihat, David R. Blanks and Michael Frassetto (ed), Western Views of Islam in Medieval and Early Modern Europe, 1999), memaparkan cerita-cerita menarik seputar legenda-legenda yang hidup di kalangan masyarakat Barat pada Zaman Pertengahan terhadap Islam.

Misal, legenda tentang Eleanor of Aquitaine yang diisukan memiliki affair dengan Shalahuddin al-Ayyubi, saat ia menemani suaminya, Louis VII, dalam Perang Salib II. Ada pula legenda tentang Shalahuddin yang dikabarkan merupakan keturunan dari anak perempuan Count of Ponthieu di Utara Perancis. Juga, legenda bahwa Shalahuddin telah dibaptis pada akhir hayatnya.

Apa pun persepsi Barat tentang Shalahuddin, bagi kaum Muslim, Shalahuddin al- Ayyubi dipandang sebagai pahlawan. Hingga kini, banyak orang Muslim bangga memberi nama anaknya “Shalahuddin”. Kisah-kisah kepahlawanan Shalahuddin, Muhammad al-Fatih, dan penguasa-penguasa (umara) Muslim lainnya, telah memberikan inspirasi kepada banyak generasi Muslim, bahwa jalan kebangkitan umat Islam adalah dengan menunggu dan berusaha menghadirkan seorang pemimpin politik kenegaraan. Bahkan, terkadang, harapan itu begitu besar, saat Negara dan masyarakat dalam kondisi terpuruk, banyak yang berharap hadirnya pemimpin baru akan memberikan perubahan besar dalam kehidupan mereka. Harapan itu sering kali berakhir sia-sia. Pemimpin baru yang tampil tak mampu berbuat banyak, atau bahkan seringkali menunjukkan kualitas jauh lebih rendah dari pada citra yang dimunculkan saat kampanye pemilihan kepemimpinan negara.

Peran Ulama

Kisah kebangkitan umat Islam dalam Perang Salib – setelah terpuruk dan dibantai Pasukan Salib dari Eropa – bisa menjadi pelajaran penting bagi umat Islam saat ini. Kebangkitan umat Islam ketika itu terjadi bukan melalui hadirnya seorang pemimpin hebat seperti Shalahuddin al-Ayyubi, tetapi justru terjadi melalui kerja keras para ulama – melalui madrasah-madrasah – yang berhasil melahirkan satu generasi yang hebat, yaitu “Generasi Shalahuddin” (Jiilu Shalahuddin). Kisah kebangkitan itu dipotret dan dianalisis dengan baik oleh Dr. Majid Irsan al-Kilani dalam bukunya, Hakadza Dhahara Jiilu Shalahuddin wa-Hakadza ‘Aadat al-Quds. Buku ini memaparkan peran ulama- ulama seperti Imam al-Ghazali, Syekh Abdul Qadir al-Jilani, dan sebagainya, dalam mendidik dan melahirkan generasi Shalahuddin tersebut.

Peran Imam al-Ghazali dalam kebangkitan umat Islam saat itu juga digambarkan dalam Kitab al-Jihad yang ditulis ‘Ali b. Thahir al-Sulami an-Nahwi (1039-1106), seorang imam bermazhab Shafi‘i dari Damaskus. Ia adalah seorang yang aktif menggalang jihad melawan pasukan Salib melalui pertemuan-pertemuan umum pada 1105 (498 H), enam tahun setelah penaklukan
Jerusalem oleh pasukan Salib. Adalah sangat mungkin al-Sulami bertemu dengan al-Ghazali di Masjid Ummayad, sebab Ali al- Sulami adalah imam di Masjid tersebut dan al-Ghazali juga sempat tinggal di tempat yang sama pada awal-awal periode Perang Salib.

Dalam Kitabnya itu, Ali al-Sulami mencatat, bahwa satu-satunya solusi yang dapat menyelamatkan wilayah-wilayah Muslim, adalah menyeru kaum Muslim kepada jihad. Ada dua kondisi yang harus disiapkan sebelumnya. Pertama, “reformasi moral” untuk mengakhiri “degradasi spiritual” kaum Muslim ketika itu. Invasi pasukan Salib harus dilihat sebagai hukuman Allah, sebagai peringatan agar kaum Muslim bersatu. Kekalahan Muslim, menurut al-Sulami, adalah sebagai hukuman Allah atas kealpaan menjalankan kewajiban agama, dan di atas semua itu, adalah kealpaan menjalankan jihad. Tahap kedua, penggalangan kekuatan Islam untuk mengakhiri kelemahan kaum Muslim yang telah memungkinkan pasukan Salib menguasai negeri-negeri Islam. Dalam kitabnya, al-Sulami menyebutkan dengan jelas tentang situasi saat itu dan stretagi untuk mengalahkan pasukan Salib.

Konsep al-Sulami dalam melawan pasukan Salib berupa “reformasi moral” dari al-Ghazali’s memainkan peran penting. Sebab, menurut al-Sulami, melakukan jihad melawan pasukan Salib akan hampa jika tidak didahului dengan the greater jihad (al- jihad al-akbar). Ia juga mengimbau agar pemimpin-pemimpin Muslim memimpin jalan ini. Dengan demikian, perjuangan melawan hawa nafsu, adalah prasyarat mutlak sebelum melakukan perang melawan pasukan Salib (Franks).

Peran al-Ghazali dalam membangun moral kaum Muslim disebutkan oleh Elisseef. Bahwa, kelemahan spiritual di kalangan Muslim pada awal Perang Salib ditekankan oleh al-Ghazali, yang ketika itu mengajar di Damascus. Al-Ghazali menekankan jihad melawan hawa nafsu, melawan kejahatan, di atas jihad melawan musuh. Tujuannya adalah untuk membantu kaum Muslim mereformasi jiwa mereka.

(The spiritual laxness existing in Islam on the eve of the Crusades was underlined by al- Ghazali, in 1096. The illustrious philosopher who, at the time, was teaching in Damascus, emphasized the priority of jihad of the soul, the jihad al-akbar (the major jihad) – struggle against evil – over the jihad al-aÎghar (the minor jihad), i.e. the struggle against infidel. His aim was to help the Muslim rediscover his soul. At this time, it was necessary to effect the reform of morals and beliefs and to create ways of combating the various heterodoxies existing in the very bosom of Islam).

Faktanya, sekitar 50 tahun kemudian, di masa Nur ad-Din Zengi, kaum Muslim mampu melaksanakan jihad efektif. Elisseef mencatat: “The person who would realize the ideal of the jihad which as-Sulami, Ghazali, and the ‘ulama of Damascus had advocated, was Nur ad-Din.”

Titik balik Perang Salib terjadi dengan kejatuhan Edessa di tangan Muslim pada 539/1144, di bawah komandan Imam al-Din Zengi, ayah Nur al-Din. Dua tahun sesudah itu, Zengi wafat, tahun 1146. Ia telah meratakan jalan buat anaknya, Nur al-Din, untuk memimpin perjuangan melawan Pasukan Salib. Pada 544/1149, Nur al-Din meraih kemenangan melawan pasukan Salib dan pada 549/1154 ia sukses menyatukan Syria di bawah kekuasaan Muslim. Nur al-Din digambarkan sebagai sosok yang sangat religius, pahlawan jihad, dan model penguasa sunni. Setelah meninggalnya Nur al-Din pada 569/1174, Shalahuddin al-Ayyubi, keponakan Nur al-Din, memegang kendali kepemimpinan Muslim dalam melawan pasukan Salib. Ia kemudian dikenal sebagai pahlawan Islam yang berhasil membebaskan Jerusalem pada tahun 1187. 6

Istilah jihad, secara yuridis Islam, kemudian berkembang menjadi makna khusus, dan telah dipahami oleh para sarjana Muslim dalam pengertian “perang” (qital). Dalam makna khusus dalam bidang fiqih inilah, istilah jihad memiliki makna syariat. Semisal, ada ketentuan-ketentuan hukum dimana orang yang matin dalam jihad – dengan makna qital – diperlakukan jezanahnya sebagai syahid. Namun, memang terdapat berbagai hadith Nabi saw yang menunjukkan berbagai jenis jihad dalam makna yang umum, seperti
jihad dengan mengeluarkan kata-kata yang benar di depan penguasa yang zalim. Begitu juga dengan jihad melawan hawa nafsu, dengan lisan, dan harta.

Secara ringkas dapat dipahami, bahwa di masa Perang Salib, kaum Muslim berhasil menggabungkan konsep jihad al-nafs dan jihad melawan musuh dengan baik.

Karya-karya al-Ghazali dalam soal jihad menekankan pentingnya mensimultankan berbagai jenis potensi dalam perjuangan umat, baik potensi jiwa, harta, dan juga keilmuan. Adalah menarik, bagaimana dalam situasi perang seperti itu, Imam Ghazali mampu melihat masalah umat secara komprehensif; secara mendasar. Dan melalui Ihya Ulumuddin, al-Ghazali juga menakankan pentingnya masalah ilmu. Ia membuka kitabnya itu dengan “Kitabul Ilmi”. Aktivitas al-Ghazali yang aktif dalam memberikan kritik-kritik keras terhadap berbagai pemikiran yang dinilainya menyesatkan umat, juga menunjukkan kepeduliannya yang tinggi terhadap masalah ilmu dan ulama. Al-Ghazali seperti berpesan kepada umat, ketika itu, bahwa problema umat Islam saat itu tidak begitu saja bisa diselesaikan dari faktor-faktor permukaan saja, seperti masalah politik atau ekonomi. Tetapi, masalah umat perlu diselesaikan dari masalahnya yang sangat mendasar, yang dikatakan oleh Ali al-Sulami sebagai tahap “reformasi moral”. Tentu, tahap kebangkitan dan reformasi jiwa ini tidak dapat dilakukan tanpa melalui pemahaman keilmuan yang benar. Ilmu adalah asas dari pemahaman dan keimanan. Ilmu yang benar akan menuntun kepada keimanan yang benar dan juga amal yang benar. Ilmu yang salah akan menuntun pada pehamaman yang salah. Jika pemahaman sudah salah, bagaimana mungkin amal akan benar?

Jadi, dalam perjuangan umat, diperlukan pemahaman secara komprehansif terhadap problematika yang dihadapi oleh umat Islam. Ketika itu, umat Islam menghadapi berbagai masalah: politik, keilmuan, moral, sosial, dan sebagainya. Problema itu perlu dianalisis dan didudukkan secara proporsional dan adil. Yang penting ditempatkan pada posisinya, begitu juga yang kurang penting. Di situlah, al-Ghazali menulis kitab Ihya Ulumuddin, dengan makna “Menghidupkan kembali ilmu-ilmu agama”. Ketika itu, dia seperti melihat, seolah-olah ilmu-ilmu agama sudah mati, sehingga perlu dihidupkan. Dalam Kitabnya, ia sangat menekankan pada aspek niat dan pembagian keilmuan serta penempatannya sesuai dengan proporsinya.

Problema politik umat ketika itu merupakan masalah yang sangat serius. Tetapi, problematika keilmuan dan akhlak merupakan masalah yang lebih mendasar, sehingga solusi dalam bidang politik, tidak dapat dicapai jika kerusakan dalam bidang yang lebih mendasar itu tidak diselesaikan terlebih dahulu. Al-Ghazali dan para ulama ketika itu berusaha keras membenahi cara berpikir ulama dan umat Islam serta menekankan pada pentingnya aspek amal dari ilmu, sehingga jangan menjadi ulama-ulama yang jahat. Sebab, ilmu yang rusak, dan ulama yang jahat, adalah sumber kerusakan bagi Islam dan umatnya. Nabi Muhammad saw memberi amanah kepada para ulama untuk menjaga agama ini. Tentu saja, itu harus mereka lakukan dengan cara menjaga keilmuan Islam dengan baik. Bahkan, Rasulullah saw mengingatkan akan datangnya satu zaman yang penuh dengan fitnah dan banyaknya orang-orang jahil yang memberi fatwa. Sabda Rasulullah saw: Bahwasanya Allah SWT tidak akan mencabut ilmu dengan sekaligus dari manusia. Tetapi Allah menghilangkan ilmu agama dengan mematikan para ulama. Apabila sudah ditiadakan para ulama, orang banyak akan memilih orang-orang bodoh sebagai pemimpinnya. Apabila pemimpin yang bodoh itu ditanya, mereka akan berfatwa tanpa ilmu pengetahuan. Mereka sesat dan menyesatkan. (HR Muslim). Sepanjang sejarah Islam, para ulama sejati sangat aktif dalam mempertahankan konsep-konsep dasar Islam, mengembangkan ilmu-ilmu Islam, dan menjaganya dari perusakan yang dilakukan oleh ulama-ulama su’, atau ulama jahat. Penyimpangan dalam bidang keilmuan tidak ditolerir sama sekali, dan senantiasa mendapatkan perlawanan yang kuat, secara ilmiah.

Banyak kaum Muslimin yang berpikir bahwa jika aspek politik direb
ut oleh gerakan Islam tertentu, maka akan selesailah masalah umat. Pendapat ini sebagian benar. Tapi kurang sempurna. Kekuasaan politik adalah bagian dari masalah penting umat Islam. Sebab, ad-daulah adalah penyokong penting perkembangan agama. Bukan hanya Islam. Tetapi, juga agama-agama lain. Agama Kristen berkembang pesat di Eropa atas jasa besar Kaisar Konstantin yang mengeluarkan Dekrit ‘Edict of Milan’ (tahun 313) dan Kaisar Theodosius yang menjadikan Kristen sebagai agama resmi negara Romawi (Edict of Theodosius, tahun 392). Perkembangan agama Budha juga tidak lepas dari peran Raja Asoka. Begitu juga eksistensi dan perkembangan agama-agama lain, sulit dipisahkan dari kekuatan politik. Sama halnya, dengan ideologi-ideologi modern yang berkembang saat ini. Eksistensi dan perkembangan mereka juga sangat ditopang oleh kekuasaan politik. Komunisme menjadi kehilangan pamornya setelah Uni Soviet runtuh. Sulit membayangkan Kapitalisme akan diminati oleh umat manusia jika suatu ketika nanti Amerika Serikat mengalami kebangkrutan sebagaimana Uni Soviet.

Tetapi, perlu dicatat, bahwa kekuasaan politik bukanlah segala-galanya. Banyak peristiwa membuktikan, bahwa pemikiran, keyakinan, dan sikap masyarakat, tidak selalu sejalan dengan penguasa. Di masa Khalifah al-Makmun, yang Muktazily, umat Islam lebih mengikuti para ulama Ahlu Sunnah, ketimbang paham Muktazilah. Di masa penjajahan Belanda, umat Islam tidak mengikuti agama penjajah, dan lebih mengikuti kepemimpinan ulama. Banyak lagi contoh lain.

Karena itu, ulama dan umara memang dua tiang penyangga umat yang penting. Kedua aspek itu harus mendapatkan perhatian yang penting. Para aktivis politik umat harus memiliki pemahaman yang benar tentang Islam. Jika tidak, para pemimpin politik justru bisa menjadi perusak Islam yang signifikan. Karena ketidaktahuannya, bisa saja melakukan tindakan yang keliru. Sebagai contoh, mereka mati-matian merebut kursi kepemimpinan di daerah atau departemen tertentu, sedangkan kemunkaran di bidang aqidah Islamiyah dianggap sepele. Ribuan orang dikerahkan untuk berdemonstrasi karena faktor kursi kekuasaan, tetapi tidak demonstrasi apa-apa ketika ada penyimpangan dalam aqidah Islam, semisal kasus Ahmadiyah, penyebaran paham Pluralisme Agama, atau kezaliman yang sangat mencolok, semisal pembangunan patung yang memakan dana rakyat milyaran rupiah, disaat rakyat sedang dililit kesulitan hidup dan berbagai penyakit yang mematikan.

Jadi, tidaklah benar jika dalam perjuangan mengabaikan salah satu aspek kehidupan. Tetapi, semuanya harus ditempatkan dalam proporsi dan tempatnya. Itulah yang namanya adil. Nabi Muhammad saw memulai dakwah Islam dengan aspek ilmu, memberikan pemahaman yang benar kepada masyarakat tentang konsep-konsep dasar dalam Islam, seperti konsep tentang Tuhan, Nabi, wahyu, adil, agama, dan sebagainya. Pondasi pemikiran (afkar), pemahaman (mafahim), standar-standar nilai (maqayis), dan ketundukan (qana’at), yang Islamiy ditanamkan secara kokoh oleh Nabi Muhammad saw kepada para sahabat ketika itu. Mereka tampil sebagai sosok-sosok ulama dan cendekiawan serta pejuang yang tangguh dalam berbagai bidang kehidupan. Bisa dilihat, bagaimana hebatnya argumentasi Ja’far bin Abi Thalib ketika berdebat dengan Raja Najasyi dan orang-orang kafir Quraisy Mekkah di Habsyah. Ja’far dan kaum Muslimin yang sedang dalam kondisi terjepit meminta perlindungan kepadsa Najasyi, mampu memberikan argumen-argumen yang canggih seputar masalah Isa a.s. yang menjadi titik sentral kontroversi Islam dengan Kristen.

Ringkasnya, perjuangan Islam dalam menghadapi problematika yang dihadapi umat ini, perlu memadukan dan mensinergikan berbagai aspek, yakni aspek keilmuan, kejiwaan, harta benda, dan sebagainya. Jihad melawan hawa nafsu atau berjuang dalam bidang keilmuan, tidak perlu dipertentangkan dengan jihad melawan musuh. Semua perlu dipadukan, sebagaimana telah dilakukan di zaman Rasulullah saw, Perang Salib, dan sebagainya, sehingga kaum Muslim berhasil mengukir kemenangan yang gemilang dalam berbagai arena perjuangan.

Rasul
ullah saw bersabda: “Jahid al-mushrikina bi amwalikum wa anfusikum wa alsinatikum”. (Berjihadlah melawan orang-orang musyrik dengan hartamu, jiwamu, dan lisan-lisanmu). Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Dawud, al-Nasa’i, Ahmad, al-Darimi, dengan sanad yang sangat kuat. Ibn Hibban, al-Hakim, and an-Nawawiy menyatakan, bahwa hadits ini sahih.

Melalui hadits tersebut, Rasulullah saw menekankan pentingnya kaum Muslimin melakukan jihad secara komprehensif, dengan menggunakan berbagai potensi yang dimiliki, baik harta, jiwa, maupun lisan. Dalam arena perjuangan, atau arena jihad, sebenarnya tiga aspek: harta, jiwa, dan lisan, saling terkait satu dengan yang lain. Peperangan fisik adalah salah satu bagian dari sebuah perjuangan yang luas dan panjang antara al-haq dan al-bathil.

Bahkan, dalam hadits lainnya, Rasulullah saw juga menekankan pentingnya jihad melawan hawa nafsu. Rasulullah saw bersabda: “Al-Mujahid man jahada nafsahu fi- Allah ‘Azza wa-Jalla”. (Mujahid adalah seseorang yang melakukan jihad melawan hawa nafsunya di jalan Allah). Al-Iraqiy menyatakan, bahwa hadits ini sahih, dan diriwayatkan oleh Imam Tirmidzi.

Jadi, dalam arena perjuangan atau arena jihad, kaum Muslim sebenarnya diminta untuk menggabungkan seluruh kemampuan atau potensi – baik potensi jiwa, harta, maupun lisan (intelektual) dan menempatkan masing-masing pada proporsi yang sebenarnya. Kapan kekuatan fisik digunakan, kapan kemampuan intelektual, dan kapan potensi harta benda diperlukan. Semua itu harus dilandasi dengan niat yang ikhlas karena Allah SWT. Semua potensi jihad itu tidak bisa digunakan jika manusia dikuasai oleh hawa nafsunya. Maka, perang melawan hawa nafsu secara otomatis menjadi faktor penting dalam bentuk-bentuk perjuangan lainnya. Jika kaum Muslim mampu menggabungkan semua potensi tersebut, maka dalam sejarahnya, kaum Muslim mampu tampil sebagai umat yang hebat, gemilang dan terbilang. Jika potensi itu terpecah belah dan tidak teratur dengan baik, maka kekalahan menimpa kaum Muslimin.

Peran ilmu dan ulama

Sepeninggal Rasulullah saw, umat Islam ditinggali dua perkara, yang jika keduanya dipegang teguh, maka umat Islam tidak akan tersesat selamanya. Keduanya, yakni, al-Quran dan Sunnah Rasululullah. Tapi, disamping itu, Rasulullah saw juga mewariskan para ulama kepada umat Islam. Ulama adalah pewaris nabi. Ulama-ulamalah yang diamanahkan untuk menjabarkan, mengaktualkan, membimbing, menerangi, dan memimpin umat dalam bidang kehidupan. Banyak ulama yang mensyaratkan ‘kemampuan berijtihad’ bagi kepala negara (khalifah).

Adalah ideal jika ulama dan umara sama-sama baik. Dalam sejarahnya, Islam akan cepat berkembang jika ulama dan umaranya baik. Tapi, ada fase-fase dalam sejarah, dimana salah satu dari dua pilar umat itu bobrok atau rusak. Ketika itu, keberadaan ulama yang baik lebih diperlukan. Ketika Khalifah al-Makmun memaksakan paham Muktazilah, para ulama Ahlu Sunnah melakukan perlawanan yang gigih. Umat selamat, dan lebih mengikuti ulama ketimbang umara. Di zaman penjajahan Belanda, umaranya jelas rusak. Tetapi, ulama-ulama Islam ketika itu gigih mempertahankan ad-Dinul Islam. Alhamdulillah, meskipun Belanda berusaha sekuat tenaga menghancurkan Islam, umat Islam lebih mengikuti ulamanya.

Maka, yang perlu diperhatikan dan dicermati, -- disamping kerusakan umara –adalah kerusakan ulama. Lahirnya ulama-ulama yang jahil, yang tidak kapabel keilmuannya, yang korupsi ilmu agama, yang berfatwa tanpa ilmu yang memadai, yang akhlaknya rusak, yang cinta dunia, dan sebagainya, adalah bencana terbesar yang dihadapi oleh umat Islam. Jika kondisi seperti ini sudah terjadi, maka umat Islam harus bersiap-siap mengalami kebangkrutan. Lebih rusak lagi jika para ulama sudah mencintai dunia, menjual agama dengan harta benda dunia, dan yang merusak ilmu-ilmu agama dengan dalih menyesuaikan Islam dengan tuntutan zaman.

Adalah musibah dan fitnah besar, misalnya, jika dari Perguruan Tinggi Islam justru lahir orang-orang yang berpaham atheis atau yang gila
dunia. Jika ilmu agama sudah dirusak, maka akan lahir ulama yang rusak (ulama as-su’); yakni ulama, yang harusnya menjadi penjaga agama, justru menjadi penghancur agama. Ketika ilmu-ilmu Islam dirusak, maka tidak ada jalan kembali bagi peradaban Islam untuk bangkit lagi. Karena itu sangat diprihatinkan, jika umat Islam membiarkan terjadinya serangan pemikiran yang akan merusak ilmu-ilmu agama.

Abu Harits al-Hasbi al-Atsari dalam kata pengantarnya untuk tulisan Ibnul Qayyim al-Jauziyah yang berjudul Al-Ilmu menjelaskan, bahwa Allah telah menurunkan “Kitab” dan “Besi” sebagai sarana untuk tegaknya agama Allah. “Sesungguhnya Kami telah mengutus Rasul-rasul Kami dengan membawa bukti-bukti yang nyata dan telah Kami turunkan bersama mereka Al-Kitab dan neraca (Keadilan) supaya manusia dapat melaksanakan keadilan. Dan Kami ciptakan besi yang padanya terdapat kekuatan yang hebat dan berbagai manfaat bagi manusia (supaya mereka mempergukan besi) dan supaya Allah mengetahui siapa yang menolong (agama)-Nya dan rasul-rasul-Nya padahal Allah tidak dilihatnya. Sesungguhnya Allah Mahakuat lagi Mahaperkasa.” (QS al-Hadid: 25).

Penutup

Sekelumit kisah kebangkitan umat Islam di era Perang Salib tersebut bisa menjadi pelajaran berharga bagi kita, betapa pentingnya peran ulama dalam proses kebangkitan umat Islam. Ulama adalah pewaris Nabi. Maknanya, Nabi mewariskan perjuangannya pada kepemimpinan ulama. Jatuh bangunnya umat terletak pada baik atau tidaknya kualitas ulamanya. Jika ulamanya jahat atau jahil maka bencana besar menimpa umat.

Jadi, sepanjang zaman, ulama harus senantiasa ada dalam jumlah yang memadai.

Sebab, perjuangan Nabi tidak boleh berhenti. Ulama tidak dilahirkan dan tidak turun dari langit. Tapi, ulama lahir dari proses pendidikan. Ironis, jika di masa penjajahan, lembaga pendidikan Islam bisa melahirkan ulama-ulama hebat, tapi di masa kemerdekaan, justru tidak mampu melahirkan ulama-ulama hebat pewaris Nabi. Semoga musibah itu tidak menimpa lembaga pendidikan kita. Amin.
Ketika Al-Quran Diinjak Lagi
Oleh: Dr. Adian Husaini

Umat Islam Indonesia kembali digemparkan dengan kejadian pelecehan terhadap Kitab Suci al-Quran. Kali ini peristiwa itu terjadi di Universitas Muhammadiyah Sumatera Barat (UMSB) Padang. Dosen berinisial Mk, itu akhirnya diberhentikan pihak kampus.

Pada 9 April 2015, dosen yang bersangkutan sudah menandatangani surat perjanjian dengan pihak kampus. Ia berjanji: (1) menyesali perbuatan menginjak al-Quran di depan mahasiswa yang dilakukannya pada 1 April 2015, dan (2) tidak akan mengulangi lagi perbuatan tersebut dan sejenisnya, kapan pun dan di mana pun.

Pada titik ini kita bersyukur, si dosen yang lahir tahun 1985 itu menyesali perbuatannya dan berjanji tidak akan mengulanginya lagi. Tetapi, pada sisi lain, kita perlu menelaah masalah ini dengan cermat, sebab peristiwa seperti ini – yakni pelecehan al-Quran bahkan kejadian menginjak Kitab Suci al-Quran – bukan yang pertama kali terjadi.

Dosen UMSB itu sebenarnya hanyalah salah satu korban dari pemikirannya sendiri, bahwa Mushaf al-Quran yang tercetak itu bukanlah sesuatu yang suci. Al-Quran yang suci itu ada di Lauh al-Mahfud. Sekedar menyegarkan ingatan kita kembali, ada baiknya kita telusuri penyebaran gagasan “desakralisasi al-Quran” selama 15 tahun terakhir ini.

Tahun 2009 lalu, saya pernah menulis satu catatan tentang penistaan al-Quran yang dilakukan oleh sejumlah akademisi di Perguruan Tinggi Islam. Dalam satu acara seminar di Mataram NTB, November 2009, seorang tokoh menceritakan, bahwa ia sempat berdiskusi dengan seorang mahasiswa yang bertanya kepadanya: ”Apakah Al-Quran itu benar-benar suci atau dianggap suci?” Mendengar pertanyaan itu saya menjawab dengan agak bercanda, ”Tanyakan pada si mahasiswa, apakah dia benar-benar manusia atau dianggap manusia?”

Kita paham, bahwa salah satu program sekularisasi adalah upaya desakralisasi, termasuk dalam upaya deskralisasi al-Quran. Kaum Liberal ini menyatakan, bahwa al-Quran bukan kitab suci. Majalah GATRA edisi 1-7 Juni 2006 memberitakan, bahwa pada tanggal 5 Mei 2006, seorang dosen mata kuliah Sejarah Peradaban Islam, di hadapan 20 mahasiswa Fakultas Dakwah IAIN Surabaya, menerangkan posisi Al-Quran sebagai hasil budaya manusia. “Sebagai budaya, posisi Al-Quran tidak berbeda dengan rumput,” ujarnya. Ia lalu menuliskan lafaz Allah pada secarik kertas sebesar telapak tangan dan menginjaknya dengan sepatu. “Al-Quran dipandang sakral secara substansi, tapi tulisannya tidak sakral,” katanya setengah berteriak.

Tahun 2004, ada satu tesis master di Universitas Islam Negeri Yogyakarta (Dulu: IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta), yang secara terang-terangan juga menghujat Kitab Suci al-Quran. Tesis itu sudah diterbitkan dalam sebuah buku berjudul: “Menggugat Otentisitas Wahyu Tuhan”, dan diberi kata pengantar dua orang doktor dalam bidang studi Islam, dosen di pasca sarjana UIN Yogyakarta. Di dalam buku ini, misalnya, kita bisa menikmati hujatan terhadap al-Quran seperti kata-kata berikut ini:
“Setelah kita kembalikan wacana Islam Arab ke dalam dunianya dan melepaskan diri kita dari hegemoni budaya Arab, kini saatnya, kita melakukan upaya pencarian pesan Tuhan yang terperangkap dalam Mushaf Utsmani, dengan suatu metode dan pendekatan baru yang lebih kreatif dan produktif. Tanpa menegasikan besarnya peran yang dimainkan Mushaf Utsmani dalam mentransformasikan pesan Tuhan, kita terlebih dulu menempatkan Mushaf Utsmani itu setara dengan teks-teks lain.

Dengan kata lain, Mushaf itu tidak sakral dan absolut, melainkan profan dan fleksibel. Yang sakral dan absolut hanyalah pesan Tuhan yang terdapat di dalamnya, yang masih dalam proses pencarian. Karena itu, kini kita diperkekenankan bermain-main dengan Mushaf tersebut, tanpa ada beban sedikitpun, beban sakralitas yang melingkupi perasaan dan pikiran kita.” (Lihat buku Menggugat Otentisitas Wahyu Tuhan” (Yogyakarta: Safiria Insania Press, 2004), hal. 123).

Dalam sebuah artikel berjudul “Merenungkan Sejarah Alquran” yang dimuat dalam buku Ijtihad Islam Liberal, (Jakarta: Jaringan Islam Liberal, 2005), disebutkan:
“Sebagia
n besar kaum Muslim meyakini bahwa AlQuran dari halaman pertama hingga terakhir merupakan kata-kata Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad secara verbatim, baik kata-katanya (lafdhan) maupun maknanya (ma’nan). Kaum Muslim juga meyakini bahwa Alquran yang mereka lihat dan baca hari ini adalah persis sama seperti yang ada pada masa Nabi lebih dari seribu empat ratus tahun silam. Keyakinan semacam itu sesungguhnya lebih merupakan formulasi dan angan-angan teologis (al-khayal al-dini) yang dibuat oleh para ulama sebagai bagian dari formalisasi doktrin-doktrin Islam. Hakikat dan sejarah penulisan AlQuran sendiri sesungguhnya penuh dengan berbagai nuansa yang delicate (rumit), dan tidak sunyi dari perdebatan, pertentangan, intrik (tipu daya), dan rekayasa.”

Jadi, di berbagai penerbitan mereka, kalangan liberal dan sejenisnya memang sangat aktif dalam menyerang al-Quran, secara terang-terangan. Mereka sedang tidak sekedar berwacana, tetapi aktif menyebarkan pemikiran yang destruktif terhadap al-Quran. Itu bisa dilihat dalam buku-buku, artikel, dan jurnal yang mereka terbitkan. Sebagai contoh, Jurnal Justisia Fakultas Syariah, Edisi 23 Th XI, 2003, memuat tulisan yang secara terang-terangan menyerang al-Quran dan sahabat Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wassallam:
“Dalam studi kritik Qur’an, pertama kali yang perlu dilakukan adalah kritik historisitas Qur’an. Bahwa Qur’an kini sudah berupa teks yang ketika hadir bukan bebas nilai dan tanpa konteks.

Justru konteks Arab 14 abad silam telah mengkonstruk Qur’an. Adalah Muhammad saw, seorang figur yang saleh dan berhasil mentransformasikan nalar kritisnya dalam berdialektika dengan realitas Arab. Namun, setelah Muhammad wafat, generasi pasca Muhammad terlihat tidak kreatif. Jangankan meniru kritisisme dan kreativitas Muhammad dalam memperjuangkan perubahan realitas zamannya, generasi pasca-Muhammad tampak kerdil dan hanya mem-bebek pada apa saja yang asalkan itu dikonstruk Muhammad. Dari sekian banyak daftar ketidakkreatifan generasi pasca-Muhammad, yang paling mencelakakan adalah pembukuan Qur’an dengan dialek Quraisy, oleh Khalifah Usman Ibn Affan yang diikuti dengan klaim otoritas mushafnya sebagai mushaf terabsah dan membakar (menghilangkan pengaruh) mushaf-mushaf milik sahabat lain.

Imbas dari sikap Usman yang tidak kreatif ini adalah terjadinya militerisme nalar Islam untuk tunduk/mensakralkan Qur’an produk Quraisy. Karenanya, wajar jika muncul asumsi bahwa pembukuan Qur’an hanya siasat bangsa Quraisy, melalui Usman, untuk mempertahankan hegemoninya atas masyarakat Arab [dan Islam]. Hegemoni itu tampak jelas terpusat pada ranah kekuasaan, agama dan budaya. Dan hanya orang yang mensakralkan Qur’anlah yang berhasil terperangkap siasat bangsa Quraisy tersebut.”

Dalam Jurnal Justisia, Edisi 23 Th XI/2003 ini bisa dibaca berbagai artikel dengan judul-judul yang melecehkan al-Quran dan menghina para sahabat Nabi Muhammad saw, seperti “Qur’an ‘Perangkap’ Bangsa Quraisy”, “Pembukuan Qur’an oleh Usman: Sebuah Fakta Kecelakaan Sejarah”, “Kritik Ortodoksisme: Mempertanyakan Ketidakkreativan Generasi Pasca Muhammad”, dan sebagainya.

Belum lama ini juga sudah beredar satu buku berjudul Arah Baru Studi Ulum Al-Quran: Memburu Pesan Tuhan di Balik Fenomena Budaya karya seorang dosen STAIN di Jawa Timur, yang juga doktor lulusan UIN Yogyakarta. Penulisnya adalah juga penulis buku Menggugat Otentisitas Wahyu Tuhan.

Tentang Mushaf Usmani, buku ini menulis: ”Sejarah menunjukkan kepada kita bahwa proses pembukuan Al-Quran diwarnai campur tangan Utsman dalam posisinya sebagai khalifah, yang oleh Abu Zayd disebut sebagai ”dekrit” khalifah.” (hal. 169)… ”Maka tidak bisa disalahkan kiranya jika diasumsikan bahwa di balik keputusan khalifah Utsman tersebut mengandung adanya unsur ideologis, terutama ideologi pemilik bahasa yang dipilih menjadi bahasa Mushaf Usmani.” (hal. 170)…”Lebih-lebih, Khalifah Utsman telah menghilangkan dan menyensor bahkan memusnahkan korpus kitab-kitab individu, seperti milik Ibnu Mas’ud dan Siti Hafsah. Ini jelas berimplikasi pada pemusatan pembacaan hanya pa
da Mushaf Usmani. Jika boleh memberi istilah, Mushaf Usmani ini telah menjadi ”penjara” bagi pesan rahasia Tuhan. Penjara yang dimaksud di sini adalah ideologi Quraisy yang melingkupinya, dan bahkan antara Quraisy dan al-Qur’an (Mushaf Usmani) merupakan dua anak kembar yang saling bersanding dan dua cabang yang berakar sama, yang dengannya mereka mencoba menancapkan hegemoninya.” (hal. 172).

Tentu saja tuduhan-tuduhan keji terhadap Sayyidina Utsman bin Affan sangat tidak mendasar. Fakta sejarah menunjukkan, bahwa dalam kodifikasi Mushaf Utsmani sudah mendapat pesertujuan dari semua sahabat, termasuk Abdullah bin Mas’ud dan Ali bin Abi Thalib. Tidak ada seorang sahabat Nabi pun yang menentang tindakan Utsman r.a., karena memang kodifikasi Al-Quran itu bukan dilakukan untuk kepentingan politik atau kesukuan. Karena itulah, sepanjang sejarah Islam, meskipun terjadi berbagai konflik politik, tidak pernah terpikir suatu rezim untuk membuat Al-Quran baru. Betapa pun kerasnya konflik antara Ali dan Mu’awiyah, keduanya tetap menjadikan Mushaf Utsmani sebagai pedoman. Setelah Abbasiyah berkuasa, mereka juga tidak mengganti Mushaf Utsmani dengan Mushaf baru. Maka, tuduhan-tuduhan keji terhadap Sayyidina Utsman r.a. dan Mushaf Utsmani sebenarnya sangat tidak ilmiah dan hanya berlandaskan kebodohan dan kebencian.

Tetapi, para orientalis memang tidak pernah berhenti untuk menyerang Al-Quran dengan berbagai cara. Ironisnya, cara-cara orientalis semacam ini sekarang dilakukan oleh beberapa akademisi dari kalangan Perguruan Tinggi Islam sendiri. Bahkan, tuduhan-tuduhan tidak beradab terhadap Khalifah Utsman bin Affan r.a. itu juga kemudian dialamatkan kepada Imam al-Syafii rahimahullah. Dengan menjiplak begitu saja pendapat pemikir liberal asal Mesir, Nasr Hamid Abu Zayd, tanpa sikap kritis sedikit pun, penulis buku itu menuduh Imam Syafii:”Al-Quran versi bahasa Quraisy inilah yang diperjuangkan oleh Imam Syafi’i sebagai wahyu Tuhan yang layak dihormati hingga pada teks tulisannya, sebagai konsekuensi logis di mana dan dalam suku apa ia dilahirkan.” (hal. 170).

Tentu sangatlah tidak beradab memberikan tuduhan-tuduhan yang tidak berdasar kepada seorang ulama besar seperti Imam Syafii, yang begitu besar jasanya kepada umat Islam. Apalagi memberikan tuduhan dan prasangka negatif kepada sahabat-sahabat Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wassallam . Umat Islam sangat mencintai Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wassallam dan tentu, umat Islam juga sangat mencintai para sahabatnya dan juga pelanjut risalahnya, yaitu para ulama yang alim dan shalih.

Berbagai kasus pelecehan bahkan penginjakan al-Quran yang terjadi di sejumlah Perguruan Tinggi Islam itu menunjukkan semakin mendesaknya mahasiswa Muslim diberikan mata kuliah yang benar tentang “Filsafat Ilmu” atau “Konsep Ilmu dalam Islam”. Dosen UMSB itu yang menginjak al-Quran itu juga dosen mata kuliah “Filsafat Ilmu”. Dosen itu pun tampak menjadi korban dari pelajaran Filsafat Ilmu yang dipelajari dan diajarkan kepada mahasiswanya, sehingga terjebak pada pikirannya yang keliru.
Beberapa waktu lalu, saya dan sejumlah dosen di Universitas Ibn Khaldun Bogor sudah menerbitkan buku “Filsafat Ilmu: Perspektif Islam dan Barat” yang menjelaskan perbedaan konsep yang mendasar antara Islam dan Barat tentang ilmu. Buku ini diakhiri pembahasan tentang adab ilmu. Adab keilmuan inilah yang seharusnya dijaga dalam dunia ilmiah di lingkungan Perguruan Tinggi Islam. Tindakan menghujat dan melecehkan Al-Quran, sahabat, dan ulama, tidak patut dilakukan oleh seorang Muslim, meskipun dengan mengatasnamakan kebebasan ilmiah dan sikap kiritis.

Huruf hijaiyyah yang digunakan untuk menulis Kalamullah dalam al-Quran telah menjadi suci, karena menulis Kalam Yang Maha Suci. Kain merah putih yang disusun sebagai bendera Indonesia berbeda sifatnya dengan kain merah putih biasa. Gambar burung garuda yang dijadikan simbol Negara Indonesia telah “disakralkan” dalam kadar tertentu, dan tidak boleh diganti dengan burung emprit. Si dosen itu pun tidak akan berani menginjak-injak tulisan nama ayahnya, di depan ayahnya, de
ngan mengatakan, bahwa tulisan itu tidak sama dengan ayahnya. Tulisan itu tidak suci dan hanya simbol!

Memang, huruf itu simbol. Tapi, janganlah kita bermain-main, apalagi melecehkan simbol-simbol kesucian. Syukurlah, kasus pelecehan al-Quran di UMSB itu segera ditangani dengan cepat dan pelakunya mengakui kesalahannya. Semoga Allah tidak sampai menurunkan musibah “lumpur abadi” dan sejenisnya di Sumatra Barat. Innallaaha ghafurun rahiimun. Allah Maha Pengampun, Allah Maha Penyayang.*/Bogor, 24 April 2015
HIKAYAT 1001 MALAM

Sebuah karya sastra epik Abad Pertengahan yang fenomenal sepanjang sejarah. Hikayat 1001 malam tak pernah berhenti dituturkan dari masa ke masa. Ia pun seolah sudah menjadi bagian utama dari jagad susastra klasik.

Hikayat ini berupa kumpulan cerita berbingkai yang sambung-menyambung dengan tokoh yang berbeda-beda dan kekuatan alur cerita yang menggugah rasa penasaran. Di dalamnya dikisahkan berbagai legenda, dongeng, fabel, dan roman dengan beragam latar belakang.

Karya ini sudah banyak menarik perhatian para sastrawan, pujangga, dan kaum cendekiawan dari Timur dan Barat. Terjemahannya ke dalam pelbagai bahasa dunia menjadi bukti bahwa ia tak lekang dimakan waktu. Kenyataan ini sekaligus menunjukkan bahwa pesan-pesan yang disampaikannya bersifat universal dan melintasi sekat-sekat budaya dan geografis. Kandungan hikmahnya pun seakan tak pernah kering untuk digali.

--------
Detail buku:
Hikayat 1001 Malam jilid 4
ISBN: 978-979-1303-23-1
Ukuran: 15,5 x 24 cm
Jenis: Hard Cover
Jumlah Hlm: xxviii + 740 = 768 Hlm
Berat: 1.2 Kg
Harga: Rp. 170.000,-
--------
Detail buku:
Hikayat 1001 Malam jilid 3
ISBN: 978-979-1303-22-4
Ukuran: 15,5 x 24 cm
Jenis Buku: Hard Cover
Jenis Kertas: HVS
Jumlah Hlm: xxiv + 732 = 756 Hlm
Berat: 1.2 Kg
Harga: Rp. 165.000,-

--------
Detail buku:
Hikayat 1001 Malam jilid 2
ISBN: 978-979-1303-15-8
Ukuran: 15,5 x 24 cm
Jenis Buku: Hard Cover
Jenis Kertas: HVS
Jumlah Hlm: xviii + 686 = 704 Hlm
Berat: 1.1 Kg
Harga: Rp. 155.000,-
--------
Detail buku:
Hikayat 1001 Malam jilid 1
ISBN: 978-979-1303-11-8
Ukuran: 15,5 x 24 cm
Jenis Buku: Hard Cover
Jenis Kertas: HVS
Jumlah Hlm: xxii + 586 = 608 Hlm
Berat: 1 Kg
Harga: Rp. 135.000,-

Pemesanan silahkan sms/whatsapp ke 087878147997.
Syukran....
-admin-
RADIKALISME ATAU EKSTRIMISME ?
Oleh: DR. ADIAN HUSAINI

Menyusul terjadinya kasus pengeboman hotel JW Marriot dan Ritz Carlton beberapa waktu lalu, akhir-akhir ini banyak digelar diskusi dan seminar tentang terorisme dan radikalisme. Opini yang ingin dibentuk : aksi-aksi terorisme bersumber dari pemahaman agama yang radikal. Padahal, banyak yang berkata, terorisme tidak ada hubungannya dengan agama tertentu. Tapi, ada yang berkesimpulan, untuk membendung terorisme, maka pemahaman agama yang radikal harus dicegah atau diberantas.

Sedikit banyak muncul suasana antagonis antara pemerintah dengan sebagian umat Islam. Setidaknya, muncul situasi saling curiga antar komunitas bangsa, bahkan sesama umat Islam pun tercipta kondisi semacam itu. Mungkin tanpa sadar, ada yang terseret pada situasi adu-domba satu sama lain. Saling tuding, saling cerca, dan saling benci, terjadi hanya karena perbedaan pandangan tentang Islam, terorisme, demokrasi, dan sebagainya. Yang satu dituduh radikal, yang lain dituduh antek Barat. Yang satu pro-thaghut, yang lain dicap antek-teroris.

Situasi seperti inikah yang dikehendaki oleh umat Islam dan pemerintah Indonesia? Tentu tidak! Kita mendambakan negeri ini sebagai negeri yang aman, adil dan makmur; negeri yang besar, yang disegani oleh bangsa-bangsa lain, sehingga tidak mudah harta kekayaan alam kita dicuri oleh bangsa lain; tidak mudah didekte oleh bangsa lain, sehingga hakekat kemerdekaan yang dicita-citakan pendiri bangsa bisa diwujudkan.

Di tengah situasi seperti ini, muncul pemikiran bahwa radikalisme keagamaan harus diberantas? Pertanyaannya, secara akademis, perlu dirumuskan, apa definisi radikalisme dan siapa saja yang disebut kaum radikal tersebut? Kita perlu berfikir jernih tentang masalah ini, lepas dari tekanan politik atau gelombang besar opini global yang menempatkan kaum radikal atau militan sebagai pihak yang jahat dan bertanggungjawab atas segala kekacauan di muka bumi. Menyusul berakhirnya Perang Dingin, 1990, dimunculkan wacana bahwa musuh dunia yang utama adalah kaum fundamentalis Islam. Keluarlah buku-buku yang mendefinisikan apa itu fundamentalis Islam dan siapa saja mereka.

Apa yang terjadi? Perang melawan fundamentalis akhirnya tidak banyak membawa hasil. Definisi fundamentalis seringkali kabur dan dilebarkan kemana-mana. Dunia tidak semakin damai. Harapan dunia yang aman setelah komunis runtuh, tidak terwujud. Upaya menemukan musuh baru bagi dunia Barat setelah komunis runtuh terus dilakukan oleh kalangan tertentu di Barat. Samuel P. Huntington, dalam bukunya, The Clash of Civilizations and the Remaking of World Order, secara terang-terangan menulis: “It is human to hate. For self definition and motivation people need enemies: competitors in business, rivals in achievement, opponents in politics.” Jadi, kata Huntington, adalah manusiawi untuk membenci. Demi tujuan menentukan jati diri dan membangkitkan motivasi, masyarakat memang perlu adanya musuh.

Tiga tahun setelah peristiwa 11 September 2001, Huntington kembali menegaskan perlunya musuh baru bagi Amerika Serikat dan Barat. Dan katanya, musuh itu sudah ketemu, yaitu kaum Islam militan. Dalam bukunya, Who Are We? (2004), Huntington menempatkan satu sub-bab berjudul “Militant Islam vs. America”, yang menekankan, bahwa saat ini, Islam militan telah menggantikan posisi Uni Soviet sebagai musuh utama AS. “The rhetoric of America’s ideological war with militant communism has been transferred to its religious and cultural war with militant Islam…This new war between militant Islam and America has many similarities to the Cold War. Muslim hostility encourages Americans to define their identity in religious and cultural terms, just as the Cold War promoted political and creedal definitions of that identity.”

Setelah itu, entah ada hubungan dengan pemikiran Huntington atau tidak, terjadilah “perburuan Islam militan” atau “Islam radikal”. Tetapi, lagi-lagi, sebagaimana dalam kebijakan perang melawan fundamentalisme, definisi ”radikalisme” itu sendiri tidak diselesaikan secara akademis. Siapakah kaum radika
l yang harus diperangi? Mengapa mereka disebut radikal? Sejumlah kajian di Indonesia sudah secara terbuka menyebut beberapa kelompok Islam berpaham radikal. Pemetaan-pemetaan telah banyak dilakukan, sebagian umat Islam dicap radikal, sebagian lain dicap moderat, dan sebagainya. Mirip dengan situasi di zaman penjajahan.

Tapi, di masa penjajahan Belanda, kata ‘radikal’ bermakna positif bagi pejuang kemerdekaan RI. Bahkan, tahun 1918, di Indonesia terbentuk apa yang disebut sebagai “Radicale Concentratie”, yang terdiri atas Budi Utomo, Sarekat Islam, Insulinde, dan Indische Sociaal Democratische Vereniging. Tujuannya untuk membentuk parlemen yang terdiri atas wakil-wakil yang dipilih dari kalangan rakyat. ‘Radikalisme’ berasal dari bahasa Latin “radix, radicis”, artinya akar ; (radicula, radiculae: akar kecil). Berbagai makna radikalisme, kemudian mengacu pada akar kata “akar” ini. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (1990), radikal diartikan sebagai “secara menyeluruh”, “habis-habisan”, “amat keras menuntut perubahan”, dan “maju dalam berpikir atau bertindak”. Sedangkan “radikalisme”, diartikan sebagai: “paham atau aliran yang radikal dalam politik”, “paham atau aliran yang menginginkan perubahan atau pembaruan sosial dan politik dengan cara yang keras atau drastis”, “sikap ekstrim di suatu aliran politik”.

Namun, dalam aplikasinya untuk kelompok-kelompok Islam, kata radikal mendapatkan makna khusus. Tahun 2004, Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat Universitas Islam Negeri (UIN) Jakarta menerbitkan buku berjudul “Gerakan Salafi Radikal di Indonesia” Ada empat kelompok yang mendapat cap “salafi radikal” dalam buku ini, yaitu Front Pembela Islam (FPI), Laskar Jihad, Majelis Mujahidin Indonesia (MMI), dan Hizbuttahrir.

Menurut buku ini, kriteria ‘Islam radikal’ adalah : (1) mempunyai keyakinan ideologis tinggi dan fanatik yang mereka perjuangkan untuk menggantikan tatanan nilai dan sistem yang sedang berlangsung; (2) dalam kegiatannya mereka seringkali menggunakan aksi-aksi yang keras, bahkan tidak menutup kemungkinan kasar terhadap kegiatan kelompok lain yang dinilai bertentangan dengan keyakinan mereka, (3) secara sosio-kultural dan sosio-religius, kelompok radikal mempunyai ikatan kelompok yang kuat dan menampilkan ciri-ciri penampilan diri dan ritual yang khas. (4) Kelompok ‘Islam radikal’ seringkali bergerak secara bergerilya, walaupun banyak juga yang bergerak secara terang-terangan.

Tentang ideologi ‘Islam radikal’, buku ini mengutip pendapat John L. Esposito (dari bukunya, Islam: The Straight Path), yang lebih suka menggunakan istilah ‘Islam revivalis’. Pertama, mereka berpendapat bahwa Islam adalah sebuah pandangan hidup yang komprehensif dan bersifat total, sehingga Islam tidak dipisahkan dari politik, hukum, dan masyarakat. Kedua, mereka seringkali menganggap bahwa ideologi masyarakat Barat yang sekular dan cenderung materislistis harus ditolak. Ketiga, mereka cenderung mengajak pengikutnya untuk ‘kembali kepada Islam’ sebagai sebuah usaha untuk perubahan sosial. Keempat, karena idelogi masyarakat Barat harus ditolak, maka secara otomatis peraturan-peraturan sosial yang lahir dari tradisi Barat, juga harus ditolak. Kelima, mereka tidak menolak modernisasi sejauh tidak bertentangan dengan standar ortodoksi keagamaan yang telah mereka anggap mapan, dan tidak merusak sesuatu yang mereka anggap sebagai kebenaran yang sudah final. Keenam, mereka berkeyakinan, bahwa upaya-upaya Islamisasi pada masyarakat Muslim tidak akan berhasil tanpa menekankan aspek pengorganisasian ataupun pembentukan sebuah kelompok yang kuat.

Kita bertanya, apakah salah jika seorang Muslim meyakini agamanya sebagai satu kebenaran dan tata aturan sistem kehidupan yang sempurna? Bukankah menjamurnya lembaga-lembaga ekonomi syariah juga dijiwai dengan pemikiran dan semangat yang sama? Jika kita membaca pemikiran dan kiprah para pejuang Islam yang juga pendiri bangsa ini, seperti KH Wahid Hasjim, M. Natsir, Haji Agus Salim, Ki Bagus Hadikusumo, Kasman Singodimedjo, dan sebagainya, dapat disimak bagaimana kuatnya keyakinan mereka pa
da agamanya dan gigihnya mereka dalam memperjuangkan cita-cita Islam di Indonesia. Namun, mereka tetap berupaya memperjuangkannya secara konstitusional.

Karena itu, sebenarnya, penggunaan istilah “radikalisme” dan “Islam radikal” untuk menunjuk kepada jenis pemahaman Islam tertentu, akan sangat problematis. Istilah ini lebih banyak bernuansa politis, ketimbang akademis. Apalagi, jika istilah ini digunakan hanya untuk melakukan stigmatisasi terhadap kelompok-kelompok Islam tertentu. Sebab, istilah ”radikalisme” tidak memiliki padanan dalam konsep pemikiran Islam. Lebih tepat sebenarnya digunakan istilah ”ekstrimisme” dalam Islam. Istilah ini ada padanan katanya dalam kosa kata pemikiran Islam, yaitu ”tatharruf” atau ”ghuluw.” Yakni, sikap berlebih-lebihan dalam agama, yang memang dilarang oleh Nabi Muhammad saw.

Penggunaan istilah yang tepat diperlukan untuk menghindarkan pandangan kaum Muslim bahwa upaya untuk memerangi kaum ”Islam radikal” adalah pesanan AS dan sekutu-sekutunya. Dalam rangka perang melawan Islam militan atau Islam radikal, mantan Menhan AS, Paul Wolfowits menyatakan: “Untuk memenangkan perjuangan yang lebih dahsyat ini, adalah sebuah kesalahan kalau menganggap bahwa kita yang memimpin. Tapi kita harus semaksimal mungkin mendorong suara-suara Muslim moderat.” (Dikutip dari buku Siapakah Muslim Moderat? (ed). Suaidi Asy’ari, Ph.D. (2008).

Pada akhirnya, kita percaya, umat Islam Indonesia dan Presiden Haji Susilo Bambang Yudhoyono, tidak mau diadu domba. Sebab, kita bersaudara! (***) (Artikel ini, dengan sedikit editing telah dimuat di Harian Republika, Selasa 8/9/2009).
MENJERNIHKAN TAFSIR PANCASILA
Dr. Adian Husaini

HARIAN Republika, Rabu (11/5) menurunkan berita berjudul: “Kembalikan Pancasila dalam Kurikulum”. Berita itu mengungkap pernyataan Ketua Umum Partai Golkar Aburizal Bakrie yang mempertanyakan mengapa Pendidikan Pancasila hilang di kurikulum pendidikan. Kata Aburizal, Pancasila tidak boleh dikerdilkan dengan hanya menjadi bagian dari pendidikan kewarganegaraan.

“Sikap Partai Golkar jelas, kembalikan materi pendidikan Pancasila menjadi bagian dari kurikulum pendidikan secara khusus, karena materinya harus diajarkan secara tersendiri,” kata Aburizal Bakrie.

Menurut Aburizal Bakrie, penghapusan pendidikan Pancasila adalah sebuah upaya memotong anak bangsa ini dari akar budayanya sendiri. Pancasila adalah pintu gerbang masuk pelajaran tentang semangat nasionalisme, gotong royong, budi pekerti, nilai-nilai kemanusiaan, kerukunan, dan toleransi beragama.

Demikian seruan Partai Golkar tentang Pancasila sebagaimana disampaikan oleh Ketua Umumnya. Akhir-akhir ini kita sering mendengar seruan berbagai pihak tentang Pancasila. Tentu saja, ini bukan hal baru. Berbagai seminar, diskusi, dan konferensi telah digelar untuk mengangkat kembali “nasib Pancasila” yang terpuruk, bersama dengan berakhirnya rezim Orde Baru, yang sangat rajin mengucapkan Pancasila.

Partai Golkar atau siapa pun yang menginginkan diterapkannya di Pancasila, seyogyanya bersedia belajar dari sejarah; bagaimana Pancasila dijadikan sebagai slogan di masa Orde Lama dan Orde Baru, dan kemudian berakhir dengan tragis. Sejak tahun 1945, Pancasila telah diletakkan dalam perspektif sekular, yang lepas dari perspektif pandangan alam Islam (Islamic worldview). Padahal, sejak kelahirannya, Pancasila – yang merupakan bagian dari Pembukaan UUD 1945 – sangat kental dengan nuansa Islamic worldview.

Contoh terkenal dari tafsir sekular Pancasila, misalnya, dilakukan oleh konsep Ali Moertopo, ketua kehormatan CSIS yang sempat berpengaruh besar dalam penataan kebijakan politik dan ideologi di masa-masa awal Orde Baru. Mayjen TNI (Purn) Ali Moertopo yang pernah menjadi asisten khusus Presiden Soeharto merumuskan Pancasila sebagai “Ideologi Negara Kesatuan Republik Indonesia”. Tentang Sila Ketuhanan Yang Maha Esa, misalnya, Ali Moertopo merumuskan, bahwa diantara makna sila pertama Pancasila adalah hak untuk pindah agama. “Bagi para warganegara hak untuk memilih, memeluk atau pindah agama adalah hak yang paling asasi, dan hak ini tidak diberikan oleh negara, maka dari itu negara RI tidak mewajibkan atau memaksakan atau melarang siapa saja untuk memilih, memeluk atau pindah agama apa saja.”

Tokoh Katolik di era Orde Lama dan Orde Baru, Pater Beek S.J., juga merumuskan makna sila Ketuhanan Yang Maha Esa sebagai konsep yang netral agama, dan tidak condong pada satu agama. Ia menggariskan tentang masalah ini:

“Barang siapa beranggapan Sila Ketuhanan ini juga meliputi anggapan bahwa Tuhan itu tidak ada, atheisme (materialisme); atau bahwa Tuhan berjumlah banyak (politeisme), maka ia tidak lagi berdiri di atas Pancasila. Pun pula jika orang beranggapan bahwa Ketuhanan Yang Maha Esa itu hanya tepat bagi kepercayaan Islam atau Yahudi saja, misalnya, maka orang semacam itu pada hakikatnya juga tidak lagi berdiri di atas Pancasila.” (J.B. Soedarmanta, Pater Beek S.J., Larut tetapi Tidak Hanyut).

Tetapi, sebagian kalangan ada juga yang memahami, bahwa sila Ketuhanan Yang Maha Esa juga menjamin orang untuk tidak beragama. Drs. R.M. S.S. Mardanus S.Hn., dalam bukunya, “Pendidikan—Pembinaan Djiwa Pantja Sila”, (1968), menulis: “Begitu pula kita harus mengetahui, bahwa orang yang ber-Tuhan tidak sekaligus harus menganut suatu agama. Bisa saja orang itu ber-Tuhan, yaitu percaya dan menyembah Tuhan Yang Maha Esa, tetapi tidak memeluk suatu agama, karena ia merasa tidak cocok dengan ajaran-ajaran dan dogma-dogma agama tertentu. Orang yang ber-Tuhan tetapi tidak beragama bukanlah seorang ateis. Pengertian ini sebaiknya jangan dikaburkan.”

Pastor J.O.H. Padmaseputra, dalam bukunya, “Ketuhanan di Indonesia” (Semarang, 1968), menulis: “Apakah orang y
ang tidak beragama harus dipandang ateis? Tidak. Karena amat mungkin dan memang ada orang tidak sedikit yang percaya akan Tuhan, tetapi tidak menganut agama yang tertentu.” (Dikutip dari buku Pantjasila dan Agama Konfusius karya RimbaDjohar, (Semarang: Indonezia Esperanto-Instituto, MCMLXIX), hal. 34-35).

Padahal, jika dicermati dengan jujur, rumusan sila Ketuhanan Yang Maha Esa ada kaitannya dengan pencoretan tujuh kata dalam Piagam Jakarta: Ketuhanan, dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya. Bung Hatta yang aktif melobi tokoh-tokoh Islam agar rela menerima pencoretan tujuh kata itu, menjelaskan, bahwa Tuhan Yang Maha Esa adalah Allah, tidak lain kecuali Allah. Sebagai saksi sejarah, Prof. Kasman Singodimedjo, menegaskan: “Dan segala tafsiran dari Ketuhanan Yang Maha Esa itu, baik tafsiran menurut historisnya maupun menurut artinya dan pengertiannya sesuai betul dengan tafsiran yang diberikan oleh Islam.” (Lihat, Hidup Itu Berjuang, Kasman Singodimedjo 75 Tahun (Jakarta: Bulan Bintang, 1982), hal. 123-125.)

Lebih jelas lagi adalah keterangan Ki Bagus Hadikusuma, ketua Muhammadiyah, yang akhirnya bersedia menerima penghapusan “tujuh kata” setelah diyakinkan bahwa makna Ketuhanan Yang Maha Esa adalah Tauhid. Dan itu juga dibenarkan oleh Teuku Mohammad Hasan, anggota PPKI yang diminta jasanya oleh Hatta untuk melunakkan hati Ki Bagus. (Siswanto Masruri, Ki Bagus Hadikusuma, (Yogyakarta: Pilar Media, 2005).

Sebenarnya, sebagaimana dituturkan Kasman Singodimedjo, Ki Bagus sangat alot dalam mempertahankan rumusan “Ketuhanan, dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya”. Sebab, rumusan itu dihasilkan dengan susah payah. Dalam sidang-sidang BPUPK, Ki Bagus dan sejumlah tokoh Islam lainnya juga masih menyimpan ketidakpuasan terhadap rumusan itu. Ia, misalnya, setuju agar kata “bagi pemeluk-pemeluknya” dihapuskan. Tapi, karena dalam sidang PPKI tersebut, sampai dua kali dilakukan lobi, dan Soekarno juga menjanjikan, bahwa semua itu masih bersifat sementara. Di dalam sidang MPR berikutnya, umat Islam bisa memperjuangkan kembali masuknya tujuh kata tersebut. Di samping itu, Ki Bagus juga mau menerima rumusan tersebut, dengan catatan, kata Ketuhanan ditambahkan dengan Yang Maha Esa, bukan sekedar “Ketuhanan”, sebagaimana diusulkan Soekarno pada pidato tanggal 1 Juni 1945 di BPUPK. Pengertian inilah yang sebenarnya lebih masuk akal dibandingkan dengan pengertian yang diajukan berbagai kalangan. (Ibid).

Dalam bukunya, “Islam dan Politik, Teori Belah Bambu Masa Demokrasi Terpimpin” (1959-1965), (Jakarta: Gema Insani Press, 1996), Prof. Dr. Ahmad Syafii Maarif juga mencatat, bahwa pada 18 Agustus 1945, Soekarno sebenarnya sangat kewalahan menghadapi Ki Bagus. Akhirnya melalui Hatta yang menggunakan jasa Teuku Mohammad Hasan, Ki Bagus dapat dilunakkan sikapnya, dan setuju mengganti “tujuh kata” dengan “Yang Maha Esa”. Syafii Maarif selanjutnya menulis: “Dengan fakta ini, tidak diragukan lagi bahwa atribut Yang Maha Esa bagi sila Ketuhanan adalah sebagai ganti dari tujuh kata atau delapan perkataan yang dicoret, disamping juga melambangkan ajaran tauhid (monoteisme), pusat seluruh sistem kepercayaan dalam Islam.” Namun tidak berarti bahwa pemeluk agama lain tidak punya kebebasan dalam menafsirkan sila pertama menurut agama mereka masing-masing. (hal. 31).

Tentang makna Ketuhanan Yang Maha Esa identik dengan Tauhid, juga ditegaskan oleh tokoh NU KH Achmad Siddiq. Dalam satu makalahnya yang berjudul “Hubungan Agama dan Pancasila” yang dimuat dalam buku Peranan Agama dalam Pemantapan Ideologi Pancasila, terbitan Badan Litbang Agama, Jakarta 1984/1985, Rais Aam NU, KH Achmad Siddiq, menyatakan:

“Kata “Yang Maha Esa” pada sila pertama (Ketuhanan Yang Maha Esa) merupakan imbangan tujuh kata yang dihapus dari sila pertama menurut rumusan semula. Pergantian ini dapat diterima dengan pengertian bahwa kata “Yang Maha Esa” merupakan penegasan dari sila Ketuhanan, sehingga rumusan “Ketuhanan Yang Maha Esa” itu mencerminkan pengertian tauhid (monoteisme murni) menurut akidah Islamiyah (surat al-I
khlas). Kalau para pemeluk agama lain dapat menerimanya, maka kita bersyukur dan berdoa.” (Dikutip dari buku Kajian Agama dan Masyarakat, 15 Tahun Badan Penelitian dan Pengembangan Agama 1975-1990, disunting oleh Sudjangi (Jakarta: Balitbang Departemen Agama, 1991-1992).

Jika para tokoh Islam di Indonesia memahami makna sila pertama dengan Tauhid, tentu ada baiknya para politisi Muslim seperti Aburizal Bakrie dan sebagainya berani menegaskan, bahwa tafsir Ketuhanan Yang Maha Esa yang tepat adalah bermakna Tauhid. Itu artinya, di Indonesia, haram hukumnya disebarkan paham-paham yang bertentangan dengan nilai-nilai Tauhid. Tauhid maknanya, men-SATU-kan Allah. Yang SATU itu harus Allah, nama dan sifat-sifat-Nya. Allah dalam makna yang dijelaskan dalam konsepsi Islam, yakni Allah yang satu, yang tidak beranak dan tidak diperanakkan; bukan Allah seperti dalam konsep kaum Musyrik Arab, atau dalam konsep lainnya.

Kata “Allah” juga muncul di alinea ketiga Pembukaan UUD 1945: “Atas berkat rahmat Allah….”. Sulit dibayangkan, bahwa konsepsi Allah di situ bukan konsep Allah seperti yang dijelaskan dalam al-Quran. Karena itu, tidak salah sama sekali jika para cendekiawan dan politisi Muslim berani menyatakan, bahwa sila pertama Pancasila bermakna Tauhid sebagaimana dalam konsepsi Islam. Rumusan dan penafsiran sila pertama Pancasila jelas tidak bisa dipisahkan dari konteks sejarah munculnya rumusan tersebut.

Musyawarah Nasional (Munas) Alim Ulama Nahdlatul Ulama di Situbondo, Jawa Timur, 16 Rabiulawwal 1404 H/21 Desember 1983 memutuskan sebuah “Deklarasi tentang Hubungan Pancasila dengan Islam”, yang antara lain menegaskan: (1) Pancasila sebagai dasar dan falsafah negara Republik Indonesia bukanlah agama, tidak dapat menggantikan agama dan tidak dapat dipergunakan untuk menggantikan kedudukan agama. (2) Sila “Ketuhanan Yang Maha Esa” sebagai dasar Negara Republik Indonesia menurut pasal 29 ayat 1 Undang-undang Dasar (UUD) 1945, yang menjiwai sila yang lain, mencerminkan tauhid menurut pengertian keimanan dalam Islam. (3) Bagi Nahdlatul Ulama (NU) Islam adalah akidah dan syariah, meliputi aspek hubungan manusia dengan Allah dan hubungan antarmanusia. (4) Penerimaan dan pengamalan Pancasila merupakan perwujudan dan upaya umat Islam Indonesia untuk menjalankan syariat agamanya. (5) Sebagai konsekuensi dari sikap di atas, NU berkewajiban mengamankan pengertian yang benar tentang Pancasila dan pengamalannya yang murni dan konsekuen oleh semua pihak. (Lihat, pengantar K.H. A. Mustofa Bisri berjudul “Pancasila Kembali” untuk buku As’ad Said Ali, Negara Pancasila, Jalan Kemaslahatan Berbangsa, (Jakarta: LP3ES, 2009).

Kaum Muslim perlu mencermati kemungkinan adanya upaya sebagian kalangan untuk menjadikan Pancasila sebagai alat penindas hak konsotistusional umat Islam, sehingga setiap upaya penerapan ajaran Islam di bumi Indonesia dianggap sebagai usaha untuk menghancurkan NKRI. Dalam ceramahnya saat Peringatan Nuzulul Quran, Mei 1954, Natsir sudah mengingatkan agar tidak terburu-buru memberikan vonis kepada umat Islam, seolah-olah umat Islam akan menghapuskan Pancasila. Atau seolah-olah umat Islam tidak setia pada Proklamasi. ”Yang demikian itu sudah berada dalam lapangan agitasi yang sama sekali tidak beralasan logika dan kejujuran lagi,” kata Natsir. Lebih jauh Natsir menyampaikan, ”Setia kepada Proklamasi itu bukan berarti bahwa harus menindas dan menahan perkembangan dan terciptanya cita-cita dan kaidah Islam dalam kehidupan bangsa dan negara kita”

Natsir juga meminta agar Pancasila dalam perjalannya tidak diisi dengan ajaran-ajaran yang menentang al-Quran, wahyu Ilahi yang semenjak berabad-abad telah menjadi darah daging bagi sebagian terbesar bangsa Indonesia. (M. Natsir, Capita Selecta 2).

Contoh penyimpangan penafsiran Pancasila pernah dilakukan dengan proyek indoktrinasi melalui Program P-4 (Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila). Pancasila bukan hanya dijadikan sebagai dasar Negara. Tetapi, lebih dari itu, Pancasila dijadikan landasan moral yang seharusnya menjadi wilayah agama. Penempatan Pancasila semacam ini sudah be
rlebihan. Di Majalah Panji Masyarakat edisi 328/1981, mantan anggota DPR dari PPP, Ridwan Saidi pernah menulis kolom berjudul ”Gejala Perongrongan Agama”. Sejarawan dan budayawan Betawi ini mengupas dengan tajam pemikiran Prof. Dardji Darmodiharjo, salah satu konseptor P-4.

”Saya memandang sosok tubuhnya pertama kali adalah pada kwartal terakhir tahun 1977 pada Sidang Paripurna Badan Pekerja MPR, waktu itu Prof. Dardji menyampaikan pidato pemandangan umumnya mewakili Fraksi Utusan Daerah. Pidatonya menguraikan tentang falsafah Pancasila. Sudah barang tentu uraiannya itu bertitik tolak dari pandangan diri pribadinya belaka. Dan sempat pula pada kesempatan itu Prof. Dardji menyampaikan kejengkelannya ketika katanya pada suatu kesempatan dia selesai ceramah tentang sikap hidup Pancasila, seorang hadirin bertanya padanya bagaimana cara gosok gigi Pancasila.”

Kuatnya pengaruh Islamic worldview dalam penyusunan Pembukaan UUD 1945 – termasuk Pancasila – terlihat jelas dalam sila kedua: Kemanusiaan yang adil dan beradab. Manusia Indonesia harus bersikap adil dan beradab. Adil dan adab merupakan dua kosa kata pokok dalam Islam yang memiliki makna penting. Salah satu makna adab adalah pengakuan terhadap Allah sebagai satu-satunya Tuhan dan Muhammad saw sebagai Nabi, utusan Allah. Menserikatkan Allah dengan makhluk – dalam pandangan Muslim – bukanlah tindakan yang beradab.

Meletakkan manusia biasa lebih tinggi kedudukannya dibandingkan utusan Allah SWT tentu juga tidak beradab. Menempatkan pezina dan penjahat lebih tinggi kedudukannya dibandingkan dengan orang yang bertaqwa, jelas sangat tidak beradab.

Jadi, jika Golkar atau siapa pun bersungguh-sungguh menegakkan Pancasila di Indonesia, siapkah Golkar menegakkan Tauhid dan adab di bumi Indonesia? Wallahu a’lam bil-sahawab.*
Kisah Adian Husaini Menuntut Ilmu

Kamar seluas kurang lebih 4×5 meter persegi itu dikitari rak buku yang berisi beragam jenis buku. Sebuah sisi bagian tengah ruang terletak meja dengan laptop di atasnya. Sebuah televisi di sisi lain, meja tamu lengkap dengan kursi berada di tengah ruang. Di situlah Adian Husaini mengasah pemikirannya, menjelajah dunia ilmu, dan melahirkan karya-karyanya.

Kini, tak kurang dari 25 buku karya mantan wartawan kelahiran Bojonegoro, 17 Desember 1965, ini diterbitkan. Bukunya, Habibie, Soeharto, dan Islam, yang ia tulis pada 1994, sempat mengundang kontroversi, membuatnya mesti berkeliling dari kampus ke kampus mengikuti bedah buku itu. ”Saya tidak mengenal Habibie. Tapi, di situ saya bela Habibie habis-habisan, karena saya melihat di lapangan yang anti-Habibie motifnya agama,” ucap penulis buku Wajah Peradaban Barat: Dari Hegemoni Kristen ke Dominasi Sekular-Liberal yang mendapat penghargaan sebagai buku terbaik untuk kategori non-fiksi dalam Islamic Book Fair di Jakarta pada 2006.

Adian berhenti jadi wartawan, melanjutkan kuliah S-2 Hubungan Internasional Universitas Jayabaya sambil aktif di KISDI. Tesisnya soal politik zionis Israel. Dia memang berniat menekuni bidang ini. Studi tentang Yahudi, dalam benak Adian, yang memungkinkan adalah di Amerika, Inggris, atau Israel. Gayung bersambut, seseorang menawarinya beasiswa belajar ke Amerika.

Tengah dalam proses, dia berubah arah. Pertemuannya dengan Hamid Fahmi Syarkasyi membuat sarjana kedokteran hewan Institut Pertanian Bogor (IPB) ini berpaling ke Malaysia. Kini ia tengah mempersiapkan disertasi doktornya pada bidang pemikiran dan peradaban Islam di International Institute of Islamic Thought and Civilization – Internasional Islamic University Malaysia (ISTAC-IIUM).

Selasa (24/4) lalu, ayah enam anak –M Syamil Fikri (12 tahun), Bana Fatahillah (10 th), Dina Farhana (8 th), Fatiha Aqsha Kamila (6 th), Fatih Madini (4th), Alima Pia Rasyida (2 th)– dari penikahannya dengan Megawati ini menerima Burhanuddin Bella dari Republika di kediamannya, bilangan Depok. Berikut petikannya:

Apa aktivitas Anda yang banyak menyita waktu saat ini?
Bulan-bulan ini saya menyelesaikan disertasi. Mudah-mudahan akhir April, kalau tidak, Mei selesai. Yang lainnya, mengisi pengajian dari masjid ke masjid. Hampir tiap Jumat mengisi khutbah Jumat. Semula saya enggan, tapi saya pengin juga berkomunikasi dengan umat. Misalnya, bagaimana menyampaikan ide-ide yang intelek di pengajian ibu-ibu. Itu eksperimen yang menarik. Yang susah, saya diminta mengisi ceramah nikah. Saya tolak. Tapi, waktu saudara saya nikah, ibu saya maksa. Ya, mau tidak mau. Beberapa majalah tiap minggu juga meminta saya menulis. Ada beberapa yang minta saya menulis rutin. Kita juga sedang mempersiapkan kurikulum studi Islam S-2 di beberapa kampus. DDI kerja sama dengan beberapa kampus untuk pembinaan dai tingkat S-2.

Mengapa Anda tidak jadi kuliah di Amerika?
Waktu di sini, saya jumpa dengan Hamid Fahmi Syarkasyi yang sedang kuliah S-3 di ISTAC. Dia bilang, ”Anda jangan ke Inggris atau ke Amerika. Harus ke ISTAC.” Dia masternya di Inggris, pernah belajar di Pakistan. Dia merasa, ISTAC itulah yang luar biasa, kampus Islam yang tidak ada duanya di dunia Islam. Saat ke sana, Hamid yang jemput, langsung dibawa bertemu Prof Wan Muhammad Nur. Rupanya, Prof Wan sudah baca buku-buku saya. Buku terakhir yang saya tulis sebelum berangkat, Islam Liberal itu. Saya langsung ditanya, secara lisan kira-kira dia bilang, ”Ya sudah. Kalau memang Anda serius kuliah, Anda kuliah di sini.”

Tawaran belajar ke Amerika dibatalkan?
Ini sangat berkesan. Saya tercengang lihat kampus yang arsiteknya sangat indah, perpustakaannya sangat lengkap. Di situ memadukan antara Islam dan Barat. Jadi, dari mata kuliahnya sudah menarik. Kita harus belajar Quran, belajar Hadis. Tapi, kita juga diwajibkan ambil kuliah tentang Barat, sejarah peradaban Barat, aains Barat, ada filsafat Barat, sampai kepada Bahasa Yunani, Bahasa Latin, Bahasa Jerman, Bahasa Persi. Kita ditantang aja.

Apa reaksi orang yang menawari Anda belajar ke Ameri