MUSTANIR ONLINE
3.2K subscribers
865 photos
163 videos
56 files
900 links
Sharing audio, tulisan karya Dr Adian Husaini, Dr Hamid Fahmy Zarkasyi serta pemikir muslim kontemporer lainnya.
Download Telegram
Snouck Hurgronje, Hamka, Hingga Kini
Oleh: Dr. Adian Husaini

Prof Dr Hamka pernah menulis sebuah artikel menarik berjudul “Islam dan Majapahit”, yang dimuat dalam buku "Dari Perbendaharaan Lama" (Jakarta: Pustaka Panjimas, 1982). Bagi pengkaji sejarah Islam di Indonesia, artikel Hamka ini teramat sayang untuk dilewatkan.

Hamka memulai artikelnya dengan ungkapan pembuka: “Meskipun telah hidup di zaman baru dan penyelidik sejarah sudah lebih luas dari pada dahulu, masih banyak orang yang mencoba memutar balikkan sejarah. Satu di antara pemutarbalikkan itu ialah dakwah setengah orang yang lebih tebal rasa Hindunya daripada Islamnya, berkata bahwa keruntuhan Majapahit adalah karena serangan Islam.

Padahal bukanlah begitu kejadiannya. Malahan sebaliknya.”Hamka menjelaskan, bahwa Kerajaan Majapahit pada zaman kebesarannya, terutama semasa dalam kendali Maha Patih Gajah Mada, memang adalah sebuah kerajaan Hindu yang besar di Indonesia, dan pernah mengadakan ekspansi, serangan dan tekanan atas pulau-pulau Indonesia yang lain. Dalam kitab “Negarakertagama” disebutkan daftar negeri taklukkan Majapahit.

Berbagai Kerajaan, baik Hindu, Budha, maupun Kerajaan Islam ditaklukkan. Kerajaan Islam Pasai dan Terengganu pun dihancurkan oleh Majapahit. Pasai tidak pernah bangkit lagi sebagai sebuah kerajaan. Tapi, Pasai kaya dengan para ulama. Di dalam sejarah Melayu, Tun Sri Lanang menulis, bahwa setelah Kerajaan Malaka naik dan maju, senantiasa juga ahli-ahli agama di Malaka menanyakan hukum-hukum Islam yang sulit ke Pasai. Dan jika ada orang-orang besar Pasai datang ziarah ke Malaka, mereka disambut juga oleh Sultan-sultan di Malaka dengan serba kebesaran.

Menurut Hamka, jika Pasai ditaklukkan dengan senjata, maka para ulama Pasai kemudian datang ke Tanah Jawa dengan dakwah, dengan keteguhan cita-cita dan ideologi. Para ulama datang ke Gresik sambil berniaga dan berdakwah. Terdapatlah nama-nama Maulana Malik Ibrahim dan Maulana Ibrahim Asmoro, atau Jumadil Kubro, ayah dari Maulana Ishak yang berputera Sunan Giri (Raden Paku) dan Sunan Ngampel (Makhdum Ibrahim).

“Dengan sabar dan mempunyai rancangan yang teratur, guru-guru Islam berdarah Arab-Persia-Aceh, itu menyebarkan agamanya di Jawa Timur, sampai Giri menjadi pusat penyiaran Islam, bukan saja untuk tanah Jawa, bahkan sampai ke Maluku. Sampai akhirnya Sunan Bonang (Raden Rahmat) dapat mengambil Raden Patah, putra Raja Majapahit yang terakhir (Brawijaya) dikawinkan dengan cucunya, dan akhirnya dijadikan Raja Islam yang pertama di Demak,” tulis Hamka.

Tindakan para wali dalam penyebaran Islam di Jawa itu tidak dapat dicela oleh raja-raja Majapahit. Bahkan, kekuasaan dan kewibawaan mereka di tengah masyarakat semakin meluas. Ada wali yang diangkat sebagai adipati Kerajaan Majapahit.

****

Hamka menolak keras pandangan yang menyatakan, bahwa Majapahit runtuh karena diserang Islam. Itu adalah pemutarbalikan sejarah yang sengaja disebarkan oleh orientalis seperti Snouck Hourgronje. Upaya ini dilakukan untuk menjauhkan bangsa Indonesia agar tidak menjadikan Islam sebagai basis semangat kebangsaan.

“Maksud ini berhasil,” papar Hamka. Akibatnya, dalam pentas sejarah nasional Indonesia yang diajarkan di sekolah-sekolah, nama Sunan Ampel dan Sunan Giri tenggelam oleh nama Gajah Mada. Nama Raden Patah dan Pati Unus yang mencoba mengusir penjajah Portugis dari Malaka tenggelam oleh nama Raja Airlangga.

Upaya sistematis untuk memecah belah bangsa Indonesia yang mayoritasnya Muslim dilakukan dengan berbagai cara oleh penjajah Belanda. Salah satunya dengan menjauhkan Islam dari semangat kebangsaan Indonesia. Seolah-olah Indonesia adalah kelanjutan Kerajaan Majapahit.

Simaklah paparan Hamka selanjutnya berikut ini: “Marilah kita jadikan saja segala kejadian itu, menjadi kekayaan sejarah kita, dan jangan dicoba memutar balik keadaan, agar kokohkan kesatuan bangsa Indonesia, di bawah lambaian Merah Putih! Kalau tuan membusungkan dada menyebut Gajah Mada, maka orang di Sriwijaya akan berkata bahwa yang mendirikan Candi Borobudur itu ialah
seorang Raja Budha dari Sumatra yang pernah menduduki pulau Jawa. Kalau tuan membanggakan Majapahit, maka orang Melayu akan membuka Sitambo lamanya pula, menyatakan bahwa Hang Tuah pernah mengamuk dalam kraton sang Prabu Majapahit dan tidak ada kstaria Jawa yang berani menangkapnya.

Memang, di zaman jahiliyah kita bermusuhan, kita berdendam, kita tidak bersatu! Islam kemudiannya adalah sebagai penanam pertama jiwa persatuan. Dan Kompeni Belanda kembali memakai alat perpecahannya, untuk menguatkan kekuasaannya.

Tahukan tuan, bahwasanya tatkala Pangeran Diponegoro, Amirul Mukminin Tanah Jawa telah dapat ditipu dan perangnya dikalahkan, maka Belanda membawa Pangeran Sentot Ali Basyah ke Minangkabau buat mengalahkan Paderi? Tahukah tuan bahwa setelah Sentot merasa dirinya tertipu, sebab yang diperanginya adalah kawan sefahamnya dalam Islam, dan setelah kaum Paderi dan raja-raja Minangkabau memperhatikan ikatan serbannya sama dengan ikatan serban ulama Minangkabau, sudi menerima Sentot sebagai “Amir” Islam di Minangkabau?

Teringatkah tuan, bahwa lantaran rahasia bocor dan Belanda tahu, Sentot pun diasingkan ke Bengkulu dan disana beliau berkubur buat selama-lamanya?

Maka dengan memakai paham Islam, dengan sendirinya kebangsaan dan kesatuan Indonesia terjamin. Tetapi dengan mengemukakan kebangsaan saja, tanpa Islam, orang harus kembali mengeruk, mengorek tambo lama, dan itulah pangkal bala dan bencana.”

Peringatan Hamka, ulama terkenal, ini kiranya sangat patut dicamkan! Upaya sebagian kalangan, baik LSM dalam dan luar negeri maupun sebagian unsur pemerintah untuk menjauhkan Islam dari masyarakat – dengan cara membangkitkan kembali tradisi-tradisi pra-Islam atau menanamkan paham sekularisme – sejatinya akan membawa Indonesia ke jurang bencana.

Fenomana ini pun menunjukkan, bahwa tantangan dakwah Islam di Tanah Jawa --dan nusantara-- sejatinya masih belum berubah. Jika Wali Songo dan para pendakwah Islam lainnya di Tanah Jawa telah memulai langkah-langkah yang spektakuler, mengubah agama penduduk mayoritas negeri ini menjadi Muslim, maka kaum Muslim selanjutnya berkewajiban melanjutkannya.

Dalam buku terkenalnya, Fiqhud Da’wah, M. Natsir menegaskan, bahwa dakwah adalah kewajiban setiap muslim. “Tidak boleh seorang Muslim dan Muslimah menghindarkan diri dari padanya.” (3-11-2011)
👍1
UTANG REPUBLIK PADA ISLAM
Perjuangan Para Tokoh Islam dalam Menjaga NKRI
Penulis: Lukman Hakiem

Kemerdekaan Republik Indonesia, sebagaimana tercantum dalam Pembukaan Undang-undang Dasar 1945, adalah “atas berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa”. Kalimat ini memiliki beberapa makna, diantaranya: Pertama, bangsa Indonesia dalam menggapai kemerdekannya tak lepas dari pertolongan Allah S.W.T. Kedua, turunnya rahmat dan pertolongan Allah itu tak bisa dilepaskan dari peran orang-orang yang dekat kepada Allah dan berjuang merebut kemerdekaan Tanah Air dari segala bentuk penjajahan. Doktrin melawan segala bentuk penjajahan ini diwujudkan dengan perlawanan para kyai dan santri untuk mengusir penjajah dari negeri ini.

Jika kita menyebut “Utang Republik pada Islam” tentu bukan berarti menihilkan peran kelompok agama-agama lainnya. Tetapi, fakta sejarah tak bisa dipungkiri, para kyai dan tokoh-tokoh Islam memiliki saham yang besar dalam perjuangan kemerdekaan dan mempertahankan negeri ini. Bisa dibilang, negeri ini merdeka dari pengorbanan darah, keringat, dan air mata mereka. Sederet tokoh besar umat Islam di negeri ini, yang memiliki jasa dan peran penting dalam kemerdekaan misalnya; Haji Omar Said Tjokroaminoto, Haji Agus Salim, KH Hasyim Asy’ari, KH Abdul Wahid Hasyim, Mohammad Natsir, Abdul Kahar Mudzakkir, Ki Bagus Hadikusumo, Mohammad Roem, dan lain-lain. Nama-nama mereka tercatat dengan tinta emas dalam lembaran sejarah perjuangan negeri ini.

Pesan penting dari buku ini adalah upaya merawat ingatan bangsa Indonesia, bahwa jangan sekali-kali melupakan jasa para ulama. Perjuangan mereka adalah fakta sejarah yang tak bisa dipungkiri. Mereka berjuang agar negeri ini menjadi “baldatun thayyibatun wa Rabbun ghafur” (negeri yang dilimpahi kebaikan dan ampunan Tuhan), dengan tegaknya keadilan dan kesejahteraan sosial secara merata. Karena itu, sayang jika buku ini tak Anda miliki!
----------------------------------
UTANG REPUBLIK PADA ISLAM
Perjuangan Para Tokoh Islam dalam Menjaga NKRI
Penulis : Lukman Hakiem
Sampul: Soft Cover
Isi: 396 Halaman
Berat: 450 Gram
Ukuran: 15,5 x 24 cm
Harga: Rp 115.000,-

Pemesanan silahkan sms ke 087878147997 atau Whatsapp:
https://wa.me/6287878147997

Syukran.
AKU INGIN PERGI HAJI | JIKA ALLAH KEHENDAKI PASTI DIMUDAHKAN

Kisah haji yang luar biasa. Pria ini berasal dari Ghana, dia lelaki yang miskin dan tinggal di luar kota.

Beberapa tahun lalu, sebuah drone milik kantor berita Turki jatuh di samping rumahnya. Ketika orang Turki datang mencarinya, mereka menemukan pria itu memegang drone tersebut di tangannya dan dia bercanda dengan bertanya kepada mereka "Apakah Anda memiliki drone yang lebih besar yang dapat membawa saya pergi haji?"

Wartawan memviralkan kisah ini dan sampailah ke Pemerintah Turki sehingga pemerintah Turki memutuskan untuk menghajikan laki-laki ini. Semua biaya dibayar pemerintah Turki.

Sekarang dia disini, di Makkah siap untuk haji.

Jadi, ketika Allah menghendaki Anda atau siapapun dia untuk datang ke Makkah, Allah akan mudahkan, jangan pernah lelah untuk selalu berdoa, Allah Maha pengasih Maha penyayang..
___

Copas: indra mudaris dengan sedikit edit.
Jadi Hafiz Sebelum Balig: Metode Edektif Mendidik Anak Menghafal Al-Qur'an
Penulis: Saied Al-Makhtum

Buku “Jadi Hafiz sebelum Balig” hadir sebagai bagian dari solusi untuk orangtua maupun guru yang ingin menjadikan anak-anaknya hafal Al-Qur'an. Sebagaimana judulnya, buku ini berisi motivasi, kisah-kisah inspiratif, petunjuk, metode, hingga langkah-langkah teknis dan praktis bagaimana cara Anda mengajarkan Al-Qur'an sejak mereka baru bisa berbicara.

Penulisnya, Ustadz Saied Al-Makhtum merupakan seorang ayah, guru, dan kepala pesantren yang fokus mengkaji dan mengajar Al-Qur'an, khususnya di bidang tahfizhul-qur'an. Buku ini adalah formulasi dari kajian teori, praktik, sekaligus pengalaman penulis sebagai orangtua, guru, dan pendidik bagi murid-muridnya.

Buku ini spesial untuk siapa?
1. Para orangtua yang mendambakan buah hati menjadi penghafal Al-Qur’an sebelum balig
2. Para guru dan tenaga pendidik tahfiz Al-Qur’an di sekolah tingkat PAUD, TK, dan SD
3. Para pengajar pendidikan tahfiz nonformal seperti guru TPA dan TPQ
4. Keluarga umat Islam yang memimpikan anggota keluarganya ada yang menjadi penghafal Al-Qur’an.
--------------------------------
Jadi Hafiz Sebelum Balig
Penulis: Saied Al-Makhtum
Ukuran: 20,5 x 14 cm
Sampul: Soft Cover
Isi: 228 halaman
Berat: 250 gr
ISBN: 9786239870256
Harga: Rp. 75.000,-

Pemesanan silahkan sms ke 087878147997 atau Whatsapp:
https://wa.me/6287878147997

Syukran.
AGAMA
Oleh: Dr. Hamid Fahmy Zarkasyi

Di pinggir jalan kota Manchester Inggris terdapat papan iklan besar bertuliskan kata-kata singkat “Its like Religion”. Iklan itu tidak ada hubungannya dengan agama atau kepercayaan apapun. Disitu terpampang gambar seorang pemain bola dengan latar belakang ribuan supporternya yang fanatik. Saya baru tahu kalau itu iklan klub sepak bola setelah membaca tulisan dibawahnya Manchester United.

Sepakbola dengan supporter fanatik itu biasa, tapi tulisan its like religion itu cukup mengusik pikiran saya. Kalau iklan itu di pasang di Jalan Thamrin Jakarta umat beragama pasti akan geger. Ini pelecehan terhadap agama.

Tapi, di Barat agama bisa dipahami seperti itu. Agama adalah fanatisme, kata para sosiolog. Bahkan ketika seorang selebritinya mengatakan My religion is song, sex, sand and champagne juga masih dianggap waras. Mungkin ini yang disinyalir al-Quran araayta man ittakhadha ilaahahu hawaahu (QS. 25:43).

Pada dataran diskursus akademik, makna religion di Barat memang problematik. Bertahun-tahun mereka mencoba mendefinisikan religion tapi gagal.

Mereka tetap tidak mampu menjangkau hal-hal yang khusus. Jikapun mampu, mereka terpaksa menafikan agama lain. Ketika agama didefinisikan sebagai kepercayaan, atau kepercayaan kepada yang Maha Kuasa (Supreme Being), kepercayaan primitif di Asia menjadi bukan agama. Sebab agama primitif tidak punya kepercayaan formal, apalagi doktrin.

F. Schleiermacher kemudian mendefinisikan agama dengan tidak terlalu doktriner, agama adalah “Rasa ketergantungan yang absolut” (feeling of absolute dependence). Demikian pula Whithehead, agama adalah “Apa yang kita lakukan dalam kesendirian”.

Disini faktor-faktor terpentingnya adalah emosi, pengalaman, intuisi dan etika. Tapi definisi ini hanya sesuai untuk agama primitif yang punya tradisi penuh dengan ritus-ritus, dan tidak cocok untuk agama yang punya struktur keimanan, ide-ide dan doktrin-doktrin.

Tapi bagi sosiolog dan antropolog memang begitu. Bagi mereka religion sama sekali bukan seperangkat ide-ide, nilai atau pengalaman yang terpisah dari matriks kultural.

Bahkan, kata mereka, beberapa kepercayaan, adat istiadat atau ritus-ritus keagamaan tidak bisa dipahami kecuali dengan matriks kultural tersebut. Emile Durkheim malah yakin bahwa masyarakat itu sendiri sudah cukup sebagai faktor penting bagi lahirnya rasa berketuhanan dalam jiwa. (Lihat The Elementary Forms of the Religious Life, New York, 1926, p. 207).

Tapi bagi pakar psikologi agama justru harus diartikan dari faktor kekuatan kejiwaan manusia ketimbang faktor sosial dan intelektual. Para sosiolog Barat nampaknya trauma dengan makna agama yang doktriner, sehingga tidak peduli dengan aspek ekstrasosial, ekstrasosiologis atau pun ekstrapsikologis. Aspek imanensi lebih dipentingkan daripada aspek transendensi.

Sejatinya, akar kebingungan Barat mendefinisikan religion karena konsep Tuhan yang bermasalah. Agama Barat - Kristen - kata Armstrong dalam History of God justru banyak bicara Yesus Kristus ketimbang Tuhan. Padahal, Yesus sendiri tidak pernah mengklaim dirinya suci, apalagi Tuhan.

Dalam hal ini kesimpulan Profesor al-Attas sangat jitu Islam, sebagai agama, telah sempurna sejak diturunkan. Konsep Tuhan, Agama, Ibadah, Manusia dan lain-lain dalam Islam telah jelas sejak awal. Para ulama kemudian hanya menjelaskan konsep-konsep itu tanpa merubah konsep asalnya. Sedang di Barat konsep Tuhan mereka sejak awal bermasalah sehingga perlu direkayasa agar bisa diterima akal manusia.

Kita mungkin akan tersenyum membaca judul buku yang baru terbit di Barat, Tomorrows God, (Tuhan Masa Depan), karya Neale Donald Walsch. Tuhan agama-agama yang ada tidak lagi cocok untuk masa kini. Tuhan haruslah seperti apa yang digambarkan oleh akal modern. Manusia makhluk berakal (rational animal) harus lebih dominan daripada manusia makhluk Tuhan. Pada puncaknya nanti manusialah yang menciptakan Tuhan dengan akalnya.
Socrates pun pernah berkata: “Wahai warga Athena! aku percaya pada Tuhan, tapi tidak akan berhenti berfilsafat”. Artinya “Saya beriman tapi saya akan tetap menggambarkan Tuhan dengan akal saya sendiri”. Wilfred Cantwell Smith nampaknya setuju. Dalam makalahnya berjudul Philosophia as One of the Religious Tradition of Mankind, ia mengategorikan tradisi intelektual Yunani sebagai agama. Apa arti agama baginya tidak penting, malah kalau perlu istilah ini dibuang.

Akhirnya, sama juga mengamini Nietzche bahwa tuhan hanyalah realitas sobyektif dalam fikiran manusia, alias khayalan manusia yang tidak ada dalam realitas obyektif. Konsep tuhan rasional inilah yang justru menjadi lahan subur bagi ateisme. Sebab tuhan bisa dibunuh.

Jika Imam al-Ghazzali dikaruniai umur hingga abad ini mungkin ia sudah menulis berjilid-jilid Tahafut. Sekurang-kurangnya ia akan menolak jika Islam dimasukkan kedalam definisi religion versi Barat dan Allah disamakan dengan Tuhan spekulatif. Jika konsep Unmoved Mover Aristotle saja ditolak, kita bisa bayangkan apa reaksi al-Ghazzali ketika mengetahui tuhan di Barat kini is no longer Supreme Being (Tidak lagi Maha Kuasa).

Konsep Tuhan di Barat kini sudah hampir sepenuhnya rekayasa akal manusia. Buktinya tuhan harus mengikuti peraturan akal manusia. Ia “tidak boleh” menjadi tiran, “tidak boleh” ikut campur dalam kebebasan dan kreativitas manusia. Tuhan yang ikut mengatur alam semesta dianggap absurd.

Tuhan yang personal dan tirani itulah yang pada abad ke 19 “dibunuh” Nietzche dari pikiran manusia. Tuhan Pencipta tidak wujud pada nalar manusia produk kebudayaan Barat. Agama disana akhirnya tanpa tuhan atau bahkan tuhan tanpa Tuhan. Disini kita baru paham mengapa Manchester United dengan penyokongnya itu like religion. Mungkin mereka hanya malu mengatakan its really religion but without god.

Kini di Indonesia dan di negeri-negeri Muslim lainnya cendekiawan Muslim mulai ikut-ikutan risih dengan konsep Allah Maha Kuasa (Supreme Being). Tuhan tidak lagi mengatur segala aspek kehidupan manusia. Bahkan kekuasaan Tuhan harus dibatasi. Benteng pemisah antara agama dan politik dibangun kokoh. Para kyai dan cendekiawan Muslim seperti berteriak “Politik Islam, No” tapi lalu berbisik “Berpolitik, Yes”….”Money Politik laa siyyama (apalagi)”.

Tapi ketika benteng pemisah agama dan politik dibangun, tiba-tiba tembok pemisah antar agama-agama dihancurkan. “Ini proyek besar bung”! kata fulan berbisik. “Ini zaman globalisasi dan kita harus akur” kata profesor pakar studi Islam. Santri-santri diajari berani bilang “Ya akhi tuhan semua agama itu sama, yang beda hanya namaNya”; “Gus! Maulud Nabi sama saja dengan maulud Isa atau Natalan”. Mahasiswa Muslim pun diajari logika relativis “Anda jangan menganggap agama anda paling benar”. Tak ketinggalan para ulama diperingati “Jangan mengatasnamakan Tuhan”.

Kini semua orang “harus” membiarkan pembongkaran batas antar agama, menerima pluralitas dan pluralisme sekaligus. Sebab, kata mereka, pluralisme seperti juga sekularisme, adalah hukum alam. Samar-samar seperti ada suara besar mengingatkan “Kalau anda tidak pluralis anda pasti teroris”

Anehnya, untuk menjadi seorang pluralis kita tidak perlu meyakini kebenaran agama kita. Kata-kata Hamka “yang bilang semua agama sama berarti ia tidak beragama” mungkin dianggap kuno. Kini yang laris manis adalah konsep global theology-nya John Hick, atau kalau kurang kental pakai Transcendent Unity of Religions-nya F. Schuon.

Semua agama sama pada level esoteris. Di negeri Muslim terbesar di dunia ini, lagu-lagu lama Nietzche tentang relativisme dan nihilisme dinyanyikan mahasiswa Muslim dengan penuh emosi dan semangat. “Tidak ada yang absolut selain Allah” artinya tidak ada yang tahu kebenaran selain Allah. Syariat, fiqih, tafsir wahyu, ijtihad para ulama adalah hasil pemahaman manusia, maka semua relatif.
Walhal, Tuhan tidak pernah meminta kita memahami yang absolut apalagi menjadi absolut. Dalam Islam Yang relatif pun bisa mengandung yang absolut. Secara kelakar seorang kawan membayangkan di Jakarta nanti ada papan iklan besar bergambar seorang kyai dengan latar belakang ribuan santri dengan tulisan singkat “Yesus Tuhan kita juga”.
Ushul Fikih Tingkat Dasar
Penulis: Dr. Muhammad Sulaiman Al-Asyqar

Ushul Fikih merupakan disiplin ilmu tentang cara atau metode mengeluarkan hukum dari dalil-dalilnya, yaitu tentang apa yang dikehendaki oleh perintah dan apa pula yang dikehendaki oleh larangan. Yang menjadi obyek pembahasan disiplin ilmu ini adalah:
1. Menjelaskan macam-macam hukum dan jenis-jenis hukum seperti wajib, haram, sunnat, makruh, dan mubah.
2. Menjelaskan macam-macam dalil dan permasalahannya.
3. Menjelaskan cara mengeluarkan hukum dari dalil-dalilnya.
4. Menjelaskan ijtihad dan cara-caranya.

Adapun yang materi menjadi pokok pembahasan Ushul Fikih antara lain:
1. Hukum,yang di dalamnya meliputi wajib, sunah, makruh, mubah, haram, dan lain-lain.
2. Adillah, yaitu dalil-dalil Al-Qur’an, As-Sunnah, Ijma’, dan Qiyas.
3. Istinbath atau pengambilan kesimpulan hukum.
4. Mustanbith, yaitu mujtahid dengan syarat-syaratnya.

Ushul Fikih sangat bermanfaat bagi seorang Muslim yang terus menghadapi dinamika sosial sehingga selalu muncul persoalan-persoalan baru di dalam masyarakat. Untuk memecahkan persoalan baru yang belum ada nash yang jelas, tentu diperlukan istinbath, yaitu mengeluarkan hukum-hukum baru terhadap berbagai permasalahan yang muncul dengan melakukan ijtihad.
---------------------------------
Ushul Fikih Tingkat Dasar
Penulis: Dr. Muhammad Sulaiman Al-Asyqar
Ukuran: 17 x 24 cm
Sampul: Hard Cover
Isi: 375 halamba
Berat: 820 gr
Harga: Rp. 100.000,-

Pemesanan silahkan sms ke 087878147997 atau Whatsapp:
https://wa.me/6287878147997

Syukran....
WA dari seorang Wali Kelas, Ibu Nani Roswati kepada Para Orang Tua Siswa SMKN 1 Tambun Selatan, Bekasi:

(1) Ujian anak Anda telah selesai
(2) Saya tahu Anda cemas dan berharap anak Anda berhasil dalam ujiannya.
(3) Tapi, mohon diingat,
(4) di tengah-tengah para pelajar yang menjalani ujian itu,
(5) ada calon seniman yang tidak perlu mengerti matematika,
(6) ada calon pengusaha yang tidak butuh pelajaran sejarah atau sastra,
(7) ada calon musisi yang nilai kimia-nya tak akan berarti,
(8) ada calon olahragawan yang lebih mementingkan fisik daripada fisika,
(9) ada calon fotografer yang lebih berkarakter dengan sudut pandang art berbeda yang tentunya ilmunya bukan dari sekolah ini.
(10) Sekiranya anak Anda lulus menjadi yang teratas, hebat!
(11) Tapi bila tidak, mohon jangan rampas rasa percaya diri dan harga diri mereka.
(12) Katakan saja, "Tidak apa-apa. Itu hanya sekadar ujian."
(13) Anak-anak itu diciptakan untuk sesuatu yang lebih besar lagi dalam hidup ini.
(14) Katakan pada mereka, tidak penting berapapun nilai ujian mereka,
(15) Anda mencintai mereka dan tak akan menghakimi mereka.
(16) Sebuah ujian atau nilai rendah takkan bisa mencabut impian dan bakat mereka.
(17) Berhentilah berpikir bahwa hanya dokter dan insinyur yang bahagia di dunia ini.
(18) Hormat saya, Wali kelas...
---------------------
*PANDUAN MENGELOLA SEKOLAH TAHFIDZ*
Penulis: Tim Yayasan Muntada Islami

Siswa tidak senang, sulit menghafal, senang halaqah seperti sedang puasa daud (sehari masuk, sehari tidak), memiliki kesulitan fisik, atau guru yang tidak berperasaan kompilasi mengajar, tiba-tiba berhadapan perkembangan masalah di lembaga pendidikan tahfizh yang bisa memusingkan.

Lantas , bagaimanakah solusinya? Bagi para pengajar sekolah tahfizh, buku ini cocok sekali dibuat pedoman untuk merumuskan perencanaan kegiatan yang akan dilakukan pada halaqah tahfizh Anda. Rujukan untuk mengadapi dan menyikapi berbagai watak dan sifat siswa, Insyaallah.

Buku ini disusun berdasarkan pengalaman Yayasan Muntada Islami London ini di terbitkan sebagai sumbangsih bagi pendidikan generasi Qur’ani.

Ada solusi pada setiap masalah. Dan buku ini, semoga dapat menjadi solusi dan masukan dalam mewujudkan aspirasi sekolah tahfiz di seluruh Indonesia.
-----------------------------
Panduan Mengelola Sekolah Tahfizh
Penulis: Tim Yayasan Muntada Islami
Ukuran: 14.5 x 23 cm
Sampul: Soft Cover
Isi: HVS vii+176 hal
Berat: 300gr
ISBN: 9786028417266
Harga: Rp. 57.000,-

Pemesanan silahkan sms ke 087878147997 atau Whatsapp:
https://wa.me/6287878147997

Syukran...
Dua sistem itu sudah terbukti gagal!