PERINGATAN IMAM AL GHAZALI
Oleh: Adian Husaini
Tanggal 4 Juni 2005, saya datang ke IAIN Bandung, memenuhi undangan seminar tentang sekularisme, liberalisme, dan pluralisme agama. Kampus IAIN Bandung sedang direncanakan untuk menjadi Universitas Islam Negeri (UIN), seperti halnya UIN Jakarta dan UIN Yogyakarta. Dalam berbagai diskusi saya dengan mahasiswa dan dosen di berbagai UIN dan IAIN, saya mempunyai kesimpulan, bahwa salah satu masalah mendasar yang dialami oleh kalangan akademisi dan perguruan tinggi Islam saat ini adalah masalah visi, misi, dan niat. Masalah visi dan misi terkait dengan pemahaman tentang konsep ilmu.
Apa sebenarnya yang dimaksud dengan ilmu? Ilmu-ilmu apakah yang harus dipelajari, dan untuk apa mempelajari ilmu-ilmu tersebut.
Pendidikan, pada dasarnya berkaitan dengan masalah ilmu. Apalagi masalah pendidikan agama, yang berkaitan dengan ilmu-ilmu agama (ulumuddin). Sudah bukan rahasia lagi, kekacauan konsep ilmu telah menyebabkan munculnya dampak yang sangat serius di kalangan kaum Muslim saat ini.
Pada level perguruan tinggi, konsep keilmuan terpecah secara mendasar; ilmu agama dan ilmu umum. Perguruan Tinggi dibentuk berdasarkan konsep yang sekular itu, sehingga lahirlah universitas/Institut Umum dan Universitas/Insititut Islam. Konsep dasar ini jelas sangat keliru, karena tidak berdasarkan pada konsep keilmuan Islam. Dari konsep yang salah ini, lahirlah para cendekiawan yang terbelah, baik dalam cara berpikir, maupun dalam penguasaan keilmuan.
Mahasiswa yang belajar teknik, kedokteran, ekonomi, komputer, geologi, dan sebagainya, tidak merasa wajib untuk mempelajari ilmu-ilmu agama. Ia hanya merasa cukup sudah beramal dan bersemangat memperjuangkan Islam melalui aktivitas politik, sosial, ekonomi, dan sebagainya. Ia tidak merasa wajib untuk mempalajari ilmu-ilmu Islam, seperti Ushuluddin, bahasa Arab, Ulumul Quran, Ulumul hadits, ilmu fiqih, dan sebagainya.
Menurut perasaan mereka, mempelajari ilmu-ilmu agama seperti itu adalah tanggung jawab orang-orang pesantren, IAIN, dan semacamnya. Meskipun secara umum bisa dikatakan, rata-rata mahasiswa kedokteran, teknik, komputer, dan sebagainya, adalah manusia berotak cerdas, mereka tidak merasa wajib menggunakan akalnya untuk mempelajari dengan sungguh-sungguh bahasa Arab atau ulumuddin lainnya.
Mereka biasanya hanya suka mendengar ustad ceramah, seminggu sekali, atau sebulan sekali, atau melalui media radio/telivisi, dengan tradisi jiping (ngaji kuping).
Belajar agama dianggap sambilan, atau hanya sekedar mengisi waktu, dengan tenaga dan pikiran sisa. Mereka sanggup belajar bahasa Inggris, membayar mahal, dan bersungguh-sungguh mencurahkan pikirannya, untuk menguasai bahasa itu. Tetapi, ketika berhadapan dengan bahasa Arab, mereka merasa tidak berkepentingan sama sekali.
Padahal, Imam Syafii menjelaskan dalam Kitab Risalah, bahwa mempalajari bahasa Arab adalah fardhu 'ain, dan setiap orang Muslim wajib menguasai bahasa Arab, semaksimal mungkin, sesuai dengan kemampuannya. Artinya, adalah berdosa, jika seseorang tidak bersungguh-sungguh belajar bahasa Arab. Padahal, jika orang-orang cerdas mau bersungguh-sungguh menggunakan akalnya untuk menguasai bahasa Arab, mereka insyaallah bisa menguasainya, sebagaimana mereka mampu memguasai bahasa-bahasa asing lainnya.
Biasanya, para profesional atau kaum cendekiawan berlatarbelakang ilmu-ilmu umum, senang dan bangga memelihara statusnya sebagai orang awam dalam agama. Meskipun sudah lulus kuliah berpuluh-puluh tahun, dan menjadi orang muslim sejak lahir, mereka senang mengucapkan, saya ini awam dalam agama. Jadilah ia awam seumur hidupnya dalam bidang-bidang ilmu agama, tetapi sangat pakar dalam ilmu-ilmu tertentu di bidang profesinya.
Fenomena semacam ini sangat lazim kita jumpai. Mereka menjadi awam dalam ilmu-ilmu agama bukan karena otaknya bodoh, atau tidak punya waktu untuk belajar, tetapi lebih karena mereka tidak memahami konsepsi ilmu dalam Islam. Mereka tidak paham, mana ilmu yang fardhu 'ain, dan mana ilmu yang fardhu kifayah.
Padahal, konsep ini telah dijelaskan dengan gam
Oleh: Adian Husaini
Tanggal 4 Juni 2005, saya datang ke IAIN Bandung, memenuhi undangan seminar tentang sekularisme, liberalisme, dan pluralisme agama. Kampus IAIN Bandung sedang direncanakan untuk menjadi Universitas Islam Negeri (UIN), seperti halnya UIN Jakarta dan UIN Yogyakarta. Dalam berbagai diskusi saya dengan mahasiswa dan dosen di berbagai UIN dan IAIN, saya mempunyai kesimpulan, bahwa salah satu masalah mendasar yang dialami oleh kalangan akademisi dan perguruan tinggi Islam saat ini adalah masalah visi, misi, dan niat. Masalah visi dan misi terkait dengan pemahaman tentang konsep ilmu.
Apa sebenarnya yang dimaksud dengan ilmu? Ilmu-ilmu apakah yang harus dipelajari, dan untuk apa mempelajari ilmu-ilmu tersebut.
Pendidikan, pada dasarnya berkaitan dengan masalah ilmu. Apalagi masalah pendidikan agama, yang berkaitan dengan ilmu-ilmu agama (ulumuddin). Sudah bukan rahasia lagi, kekacauan konsep ilmu telah menyebabkan munculnya dampak yang sangat serius di kalangan kaum Muslim saat ini.
Pada level perguruan tinggi, konsep keilmuan terpecah secara mendasar; ilmu agama dan ilmu umum. Perguruan Tinggi dibentuk berdasarkan konsep yang sekular itu, sehingga lahirlah universitas/Institut Umum dan Universitas/Insititut Islam. Konsep dasar ini jelas sangat keliru, karena tidak berdasarkan pada konsep keilmuan Islam. Dari konsep yang salah ini, lahirlah para cendekiawan yang terbelah, baik dalam cara berpikir, maupun dalam penguasaan keilmuan.
Mahasiswa yang belajar teknik, kedokteran, ekonomi, komputer, geologi, dan sebagainya, tidak merasa wajib untuk mempelajari ilmu-ilmu agama. Ia hanya merasa cukup sudah beramal dan bersemangat memperjuangkan Islam melalui aktivitas politik, sosial, ekonomi, dan sebagainya. Ia tidak merasa wajib untuk mempalajari ilmu-ilmu Islam, seperti Ushuluddin, bahasa Arab, Ulumul Quran, Ulumul hadits, ilmu fiqih, dan sebagainya.
Menurut perasaan mereka, mempelajari ilmu-ilmu agama seperti itu adalah tanggung jawab orang-orang pesantren, IAIN, dan semacamnya. Meskipun secara umum bisa dikatakan, rata-rata mahasiswa kedokteran, teknik, komputer, dan sebagainya, adalah manusia berotak cerdas, mereka tidak merasa wajib menggunakan akalnya untuk mempelajari dengan sungguh-sungguh bahasa Arab atau ulumuddin lainnya.
Mereka biasanya hanya suka mendengar ustad ceramah, seminggu sekali, atau sebulan sekali, atau melalui media radio/telivisi, dengan tradisi jiping (ngaji kuping).
Belajar agama dianggap sambilan, atau hanya sekedar mengisi waktu, dengan tenaga dan pikiran sisa. Mereka sanggup belajar bahasa Inggris, membayar mahal, dan bersungguh-sungguh mencurahkan pikirannya, untuk menguasai bahasa itu. Tetapi, ketika berhadapan dengan bahasa Arab, mereka merasa tidak berkepentingan sama sekali.
Padahal, Imam Syafii menjelaskan dalam Kitab Risalah, bahwa mempalajari bahasa Arab adalah fardhu 'ain, dan setiap orang Muslim wajib menguasai bahasa Arab, semaksimal mungkin, sesuai dengan kemampuannya. Artinya, adalah berdosa, jika seseorang tidak bersungguh-sungguh belajar bahasa Arab. Padahal, jika orang-orang cerdas mau bersungguh-sungguh menggunakan akalnya untuk menguasai bahasa Arab, mereka insyaallah bisa menguasainya, sebagaimana mereka mampu memguasai bahasa-bahasa asing lainnya.
Biasanya, para profesional atau kaum cendekiawan berlatarbelakang ilmu-ilmu umum, senang dan bangga memelihara statusnya sebagai orang awam dalam agama. Meskipun sudah lulus kuliah berpuluh-puluh tahun, dan menjadi orang muslim sejak lahir, mereka senang mengucapkan, saya ini awam dalam agama. Jadilah ia awam seumur hidupnya dalam bidang-bidang ilmu agama, tetapi sangat pakar dalam ilmu-ilmu tertentu di bidang profesinya.
Fenomena semacam ini sangat lazim kita jumpai. Mereka menjadi awam dalam ilmu-ilmu agama bukan karena otaknya bodoh, atau tidak punya waktu untuk belajar, tetapi lebih karena mereka tidak memahami konsepsi ilmu dalam Islam. Mereka tidak paham, mana ilmu yang fardhu 'ain, dan mana ilmu yang fardhu kifayah.
Padahal, konsep ini telah dijelaskan dengan gam
blang oleh Imam al-Ghazali melalui kitabnya yang terkenal Ihya Ulumuddin.
Ilmu-ilmu yang berkaitan dengan masalah aqidah dan ibadah wajib, misalnya, termasuk ilmu yang fardhu ain. Secara ringkas, ilmu yang fardhu ain adalah ilmu yang diperlukan untuk mengamalkan kewajiban. Untuk orang-orang yang dikarunai akal yang cerdas, maka beban dan kewajiban untuk mengkaji keilmuan itu tentu lebih berat. Mereka seharusnya lebih mendalami ilmu-ilmu yang fardhu ain, lebih daripada orang lain yang kurang kadar kecerdasan akalnya.
Bagi kaum cendekiawan atau ulama, maka tanggung jawab mereka juga lebih berat. Disamping wajib mengetahui yang benar, mereka juga harus mengetahui ilmu tentang hal-hal yang bathil yang tersebar di tengah masyarakat. Sebab, kata al-Ghazali, orang yang tidak mengetahui kebathilan, ia akan terperosok di dalamnya.
Ibarat seorang dokter, maka ulama wajib mengetahui ilmu tentang pengobatan dan sekaligus ilmu tentang penyakitnya.
Maka, di masa lalu, para ulama Islam, disamping menguasai ilmu-ilmu keislaman dengan mendalam, mereka juga menguasai ilmu-ilmu tentang pemikiran kontemporer ketika itu. Dengan itulah para ulama bisa menjalankan fungsinya sebagai pewaris para nabi, dengan menjaga aqidah umat.
Para ulama saat ini, misalnya, wajib memahami dengan mendalam masalah sekularisme, liberalisme, pluralisme, marxisme, dan sebagainya. Paham-paham inilah yang sekarang menguasai dunia dan mencengkeram benak kaum muslimin.
Jika para ulama tidak menguasai masalah-masalah pemikiran kontemporer, maka mereka akan menjadi penonton yang baik di satu arena pertarungan pemikiran yang dahsyat.
Mencari ilmu, sebagaimana disabdakan oleh Rasulullah saw, adalah wajib bagi setiap Muslim. Artinya, setiap hari, kaum Muslim seharusnya sibuk dalam aktivitas keilmuan. Tidak ada hari tanpa mengaji dan menambah ilmu, terutama ilmu-ilmu yang fardhu 'ain, maupun ilmu yang fardhu kifayah.
Imam al-Ghazali mencontohkan, ilmu fardhu kifayah seperti ilmu kedokteran dan ilmu berhitung. Ilmu jenis ini diperkukan untuk tegaknya sistem masyarakat. Fardhu kifayah artinya, jika sebagian kaum Muslimin sudah menguasai ilmu itu, dalam jumlah yang mencukupi kebutuhan masyarakat (kifayah), maka gugurlah kewajiban itu dari sebagian kaum muslimin lainnya.
Tidak perlu semua anggota masyarakat menjadi dokter, dan tidak perlu semuanya pakar dalam matematika, teknik elektro, teknik komputer, teknik pesawat, dan sebagainya. Cukup sebagian kaum Muslimin yang menguasai bidang ilmu fardhu kifayah.
Selain kesalahan dalam memahami konsepsi ilmu, masalah mendasar lainnya dalam masalah ilmu dan pendidikan adalah soal niat mencari ilmu. Imam al-Ghazali sudah mengingatkan dengan bahasa yang lugas dalam mukaddimah kitab Bidayatul Hidayah.
Kata beliau, jika seseorang mencari ilmu dengan maksud untuk sekedar hebat-hebatan, mencari pujian, atau untuk mengumpulkan harta benda, maka dia telah berjalan untuk menghancurkan agamanya, merusak dirinya sendiri, dan telah menjual akhirat dengan dunia. (Fa-anta saain ilaa hadmi diinika wa ihlaaki nafsika, wa bayi aakhiratika bi dunyaaka).
Bagi Imam al-Ghazali, ilmu adalah sesuatu yang sangat mulia, dan sebab itu terlalu murah jika ilmu ditujukan untuk hal-hal yang sifatnya duniawi. Ilmu haruslah ditujukan untuk ibadah dan mencari hidayah Allah.
Siapapun yang mencari ilmu dengan niat yang mulia seperti itu, kata beliau, maka para Malaikat akan melindungi pencari ilmu itu dengan membentangkan sayapnya; dan ikan-ikan di laut mendoakan si pencari ilmu yang ikhlas dalam langkahnya.
Jika saat ini kita mengalami krisis ulama, dan pesantren serta kampus-kampus Islam tidak melahirkan ulama-ulama yang tangguh, maka kita perlu melakukan introspeksi ke dalam, apakah konsepsi ilmu dan niat dalam mencari ilmu sudah benar?
Banyak jurusan dalam ilmu-ilmu agama dibentuk, dengan tujuan untuk mencari lapangan kerja. Mereka yang lulus, banyak yang kemudian tidak tertarik untuk mengembangkan ilmunya lebih jauh, atau mengamalkan ilmunya untuk berdakwah, tetapi justru meniatkan ilmunya untuk mencari harta benda dunia, sebagaimana sud
Ilmu-ilmu yang berkaitan dengan masalah aqidah dan ibadah wajib, misalnya, termasuk ilmu yang fardhu ain. Secara ringkas, ilmu yang fardhu ain adalah ilmu yang diperlukan untuk mengamalkan kewajiban. Untuk orang-orang yang dikarunai akal yang cerdas, maka beban dan kewajiban untuk mengkaji keilmuan itu tentu lebih berat. Mereka seharusnya lebih mendalami ilmu-ilmu yang fardhu ain, lebih daripada orang lain yang kurang kadar kecerdasan akalnya.
Bagi kaum cendekiawan atau ulama, maka tanggung jawab mereka juga lebih berat. Disamping wajib mengetahui yang benar, mereka juga harus mengetahui ilmu tentang hal-hal yang bathil yang tersebar di tengah masyarakat. Sebab, kata al-Ghazali, orang yang tidak mengetahui kebathilan, ia akan terperosok di dalamnya.
Ibarat seorang dokter, maka ulama wajib mengetahui ilmu tentang pengobatan dan sekaligus ilmu tentang penyakitnya.
Maka, di masa lalu, para ulama Islam, disamping menguasai ilmu-ilmu keislaman dengan mendalam, mereka juga menguasai ilmu-ilmu tentang pemikiran kontemporer ketika itu. Dengan itulah para ulama bisa menjalankan fungsinya sebagai pewaris para nabi, dengan menjaga aqidah umat.
Para ulama saat ini, misalnya, wajib memahami dengan mendalam masalah sekularisme, liberalisme, pluralisme, marxisme, dan sebagainya. Paham-paham inilah yang sekarang menguasai dunia dan mencengkeram benak kaum muslimin.
Jika para ulama tidak menguasai masalah-masalah pemikiran kontemporer, maka mereka akan menjadi penonton yang baik di satu arena pertarungan pemikiran yang dahsyat.
Mencari ilmu, sebagaimana disabdakan oleh Rasulullah saw, adalah wajib bagi setiap Muslim. Artinya, setiap hari, kaum Muslim seharusnya sibuk dalam aktivitas keilmuan. Tidak ada hari tanpa mengaji dan menambah ilmu, terutama ilmu-ilmu yang fardhu 'ain, maupun ilmu yang fardhu kifayah.
Imam al-Ghazali mencontohkan, ilmu fardhu kifayah seperti ilmu kedokteran dan ilmu berhitung. Ilmu jenis ini diperkukan untuk tegaknya sistem masyarakat. Fardhu kifayah artinya, jika sebagian kaum Muslimin sudah menguasai ilmu itu, dalam jumlah yang mencukupi kebutuhan masyarakat (kifayah), maka gugurlah kewajiban itu dari sebagian kaum muslimin lainnya.
Tidak perlu semua anggota masyarakat menjadi dokter, dan tidak perlu semuanya pakar dalam matematika, teknik elektro, teknik komputer, teknik pesawat, dan sebagainya. Cukup sebagian kaum Muslimin yang menguasai bidang ilmu fardhu kifayah.
Selain kesalahan dalam memahami konsepsi ilmu, masalah mendasar lainnya dalam masalah ilmu dan pendidikan adalah soal niat mencari ilmu. Imam al-Ghazali sudah mengingatkan dengan bahasa yang lugas dalam mukaddimah kitab Bidayatul Hidayah.
Kata beliau, jika seseorang mencari ilmu dengan maksud untuk sekedar hebat-hebatan, mencari pujian, atau untuk mengumpulkan harta benda, maka dia telah berjalan untuk menghancurkan agamanya, merusak dirinya sendiri, dan telah menjual akhirat dengan dunia. (Fa-anta saain ilaa hadmi diinika wa ihlaaki nafsika, wa bayi aakhiratika bi dunyaaka).
Bagi Imam al-Ghazali, ilmu adalah sesuatu yang sangat mulia, dan sebab itu terlalu murah jika ilmu ditujukan untuk hal-hal yang sifatnya duniawi. Ilmu haruslah ditujukan untuk ibadah dan mencari hidayah Allah.
Siapapun yang mencari ilmu dengan niat yang mulia seperti itu, kata beliau, maka para Malaikat akan melindungi pencari ilmu itu dengan membentangkan sayapnya; dan ikan-ikan di laut mendoakan si pencari ilmu yang ikhlas dalam langkahnya.
Jika saat ini kita mengalami krisis ulama, dan pesantren serta kampus-kampus Islam tidak melahirkan ulama-ulama yang tangguh, maka kita perlu melakukan introspeksi ke dalam, apakah konsepsi ilmu dan niat dalam mencari ilmu sudah benar?
Banyak jurusan dalam ilmu-ilmu agama dibentuk, dengan tujuan untuk mencari lapangan kerja. Mereka yang lulus, banyak yang kemudian tidak tertarik untuk mengembangkan ilmunya lebih jauh, atau mengamalkan ilmunya untuk berdakwah, tetapi justru meniatkan ilmunya untuk mencari harta benda dunia, sebagaimana sud
ah diperingatkan oleh al-Ghazali.
Yang lebih memprihatinkan, ada kampus-kampus yang sama sekali mengabaikan masalah ilmu, dan mendirikan lembaga pendidikan sekedar jual beli gelar. Dari kampus-kampus semacam ini akan lahir orang-orang yang menyandang gelar tertentu tanpa keilmuan yang memadai.
Peringatan Imam al-Ghazali ini sangat penting kita renungkan. Beliau menulis Kitab Ihya Ulumuddin dan Bidayatul Hidayah antara tahun 1096-1097, di saat awal-awal periode Perang Salib.
Saat itulah kaum Muslimin mengalami krisis politik dan militer yang sangat serius, sehingga pasukan Salib (Crusaders) yang lebih rendah tingkat peradabannya mampu mengalahkan kaum Muslimin.
Dengan penguasaan ilmu yang tinggi dan pencermatannya langsung ke beberapa wilayah kaum Muslimin, Al-Ghazali melihat pada problema yang paling mendasar yang harus dipecahkan umat Islam saat itu, yaitu masalah keilmuan dan keulamaan.
Seperti kita bahas pada Catatan Akhir Pekan (CAP) yang lalu, tugas ulama adalah sebagai pewaris para Nabi. Mereka yang harus menjaga ilmu-ilmu agama agar tetap hidup dan menjadi bagian dari kehidupan masyarakat Islam.
Jika konsepsi Islam tentang ilmu dipahami dan dihayati oleh kaum Muslimin, terutama para tokoh-tokohnya, maka tidak mungkin kita mengalami krisis seperti sekarang ini.
Umat akan paham, mana yang wajib dilakukan terlebih dahulu dan mana yang menjadi prioritas kemudian. Tidak mungkin kita mengalami krisis pembelajaran dirosah islamiyah, dimana jurusan-jurusan agama (Fakultas Agama Islam) adalah jurusan terakhir yang dipilih mahasiswa muslim.
Kemarin, saya berkunjung ke satu kampus di Jakarta. Ada data yang dianggap biasa: di kampus ini, jumlah mahasiswa jurusan komunikasi mencapai 400 orang, sementara mahasiswa jurusan agama hanya 15 orang. Itu pun adalah mereka-mereka yang diberi insentif untuk kuliah di situ.
Biasanya, karena merupakan pilihan terakhir, maka yang masuk ke studi agama pun, kualitas mahasiswa yang kemampuan akalnya pas-pasan.
Masalahnya lebih rumit lagi, setelah masuknya virus liberalisme-sekularisme ke dalam sistem pendidikan Islam.
Virus ini otomatis melemahkan sendi-sendi pertahanan kaum Muslim, dan memunculkan masalah yang sangat pelik. Dari konsepsi yang keliru lahirlah sarjana yang keliru cara berpikirnya. Jika dulu paham ateisme disebarkan oleh kalangan Marxis-komunis, maka kini tidak sedikit sarjana dari kalangan studi Islam yang dengan bangga menyebarkan ateisme atau Marxisme, baik dalam bentuknya yang asli atau metamorfosisnya, seperti paham pluralisme agama atau gender equality.
Mudah-mudahan peringatan Imam al-Ghazali dapat menjadi bahan renungan kita bersama, dalam upaya membangun peradaban Islam yang gemilang di masa mendatang. Amin. (Jakarta, 10 Juni 2005). __oOo__
Yang lebih memprihatinkan, ada kampus-kampus yang sama sekali mengabaikan masalah ilmu, dan mendirikan lembaga pendidikan sekedar jual beli gelar. Dari kampus-kampus semacam ini akan lahir orang-orang yang menyandang gelar tertentu tanpa keilmuan yang memadai.
Peringatan Imam al-Ghazali ini sangat penting kita renungkan. Beliau menulis Kitab Ihya Ulumuddin dan Bidayatul Hidayah antara tahun 1096-1097, di saat awal-awal periode Perang Salib.
Saat itulah kaum Muslimin mengalami krisis politik dan militer yang sangat serius, sehingga pasukan Salib (Crusaders) yang lebih rendah tingkat peradabannya mampu mengalahkan kaum Muslimin.
Dengan penguasaan ilmu yang tinggi dan pencermatannya langsung ke beberapa wilayah kaum Muslimin, Al-Ghazali melihat pada problema yang paling mendasar yang harus dipecahkan umat Islam saat itu, yaitu masalah keilmuan dan keulamaan.
Seperti kita bahas pada Catatan Akhir Pekan (CAP) yang lalu, tugas ulama adalah sebagai pewaris para Nabi. Mereka yang harus menjaga ilmu-ilmu agama agar tetap hidup dan menjadi bagian dari kehidupan masyarakat Islam.
Jika konsepsi Islam tentang ilmu dipahami dan dihayati oleh kaum Muslimin, terutama para tokoh-tokohnya, maka tidak mungkin kita mengalami krisis seperti sekarang ini.
Umat akan paham, mana yang wajib dilakukan terlebih dahulu dan mana yang menjadi prioritas kemudian. Tidak mungkin kita mengalami krisis pembelajaran dirosah islamiyah, dimana jurusan-jurusan agama (Fakultas Agama Islam) adalah jurusan terakhir yang dipilih mahasiswa muslim.
Kemarin, saya berkunjung ke satu kampus di Jakarta. Ada data yang dianggap biasa: di kampus ini, jumlah mahasiswa jurusan komunikasi mencapai 400 orang, sementara mahasiswa jurusan agama hanya 15 orang. Itu pun adalah mereka-mereka yang diberi insentif untuk kuliah di situ.
Biasanya, karena merupakan pilihan terakhir, maka yang masuk ke studi agama pun, kualitas mahasiswa yang kemampuan akalnya pas-pasan.
Masalahnya lebih rumit lagi, setelah masuknya virus liberalisme-sekularisme ke dalam sistem pendidikan Islam.
Virus ini otomatis melemahkan sendi-sendi pertahanan kaum Muslim, dan memunculkan masalah yang sangat pelik. Dari konsepsi yang keliru lahirlah sarjana yang keliru cara berpikirnya. Jika dulu paham ateisme disebarkan oleh kalangan Marxis-komunis, maka kini tidak sedikit sarjana dari kalangan studi Islam yang dengan bangga menyebarkan ateisme atau Marxisme, baik dalam bentuknya yang asli atau metamorfosisnya, seperti paham pluralisme agama atau gender equality.
Mudah-mudahan peringatan Imam al-Ghazali dapat menjadi bahan renungan kita bersama, dalam upaya membangun peradaban Islam yang gemilang di masa mendatang. Amin. (Jakarta, 10 Juni 2005). __oOo__
TAFSIR AL WASITH
Salah satu karya terbaik Prof Dr Wahbah Az Zuhaili.
--------------------------------------------
Diskon 30% menjadi Rp. 499.800,- (harga normal Rp. 714.000,-)
Belum termasuk ongkos kirim. Berat paket 4 Kg).
Pemesanan silahkan SMS/Whatsapp 087878147997
--------------------------------------------
Tentang buku:
Salah satu cara untuk menambah pengetahuan dan pemahaman kaum muslimin terhadap dinul Islam adalah dengan membaca literaturnya, yaitu tafsir Al-Qur’an. Buku ini hadir untuk memenuhi hal itu. Sebab, buku ini merupakan rujukan tafsir terbaik secara bobot dan kualitas.
Dalam Tafsir Al-Wasith ini, Anda akan mendapatkan poin-poin bahasan penting yaitu:
1. Tafsir ini bersandar pada prinsip-prinsip tafsir bil-ma
2. Tafsir ini menjelaskan kandungan ayat secara terperinci dan menyeluruh, serta dengan gaya bahasa sederhana dan mudah dicerna.
3. Tafsir ini menjelaskan sebab turunnya ayat (azbabun nuzul ayat) yang shahih dan terpercaya.
4. Tafsir ini berpedoman pada kitab-kitab induk tafsir dengan berbagai manhaj-Nya.
5. Tafsir ini menghapus riwayat-riwayat Israiliyat.
Sebuah referensi tafsir Al-Qur’an terbaik untuk menambah literatur keislaman Anda.
---------------------------------------------
TAFSIR AL WASITH
Salah satu karya terbaik Prof Dr Wahbah Az Zuhaili.
Diskon 30% dari menjadi Rp. 499.800,- (harga normal Rp. 714.000,-)
Belum termasuk ongkos kirim. Berat paket 4 Kg).
Pemesanan silahkan SMS/Whatsapp 087878147997.
Syukran.
Salah satu karya terbaik Prof Dr Wahbah Az Zuhaili.
--------------------------------------------
Diskon 30% menjadi Rp. 499.800,- (harga normal Rp. 714.000,-)
Belum termasuk ongkos kirim. Berat paket 4 Kg).
Pemesanan silahkan SMS/Whatsapp 087878147997
--------------------------------------------
Tentang buku:
Salah satu cara untuk menambah pengetahuan dan pemahaman kaum muslimin terhadap dinul Islam adalah dengan membaca literaturnya, yaitu tafsir Al-Qur’an. Buku ini hadir untuk memenuhi hal itu. Sebab, buku ini merupakan rujukan tafsir terbaik secara bobot dan kualitas.
Dalam Tafsir Al-Wasith ini, Anda akan mendapatkan poin-poin bahasan penting yaitu:
1. Tafsir ini bersandar pada prinsip-prinsip tafsir bil-ma
tsur dan tafsir bir-ra
yi.2. Tafsir ini menjelaskan kandungan ayat secara terperinci dan menyeluruh, serta dengan gaya bahasa sederhana dan mudah dicerna.
3. Tafsir ini menjelaskan sebab turunnya ayat (azbabun nuzul ayat) yang shahih dan terpercaya.
4. Tafsir ini berpedoman pada kitab-kitab induk tafsir dengan berbagai manhaj-Nya.
5. Tafsir ini menghapus riwayat-riwayat Israiliyat.
Sebuah referensi tafsir Al-Qur’an terbaik untuk menambah literatur keislaman Anda.
---------------------------------------------
TAFSIR AL WASITH
Salah satu karya terbaik Prof Dr Wahbah Az Zuhaili.
Diskon 30% dari menjadi Rp. 499.800,- (harga normal Rp. 714.000,-)
Belum termasuk ongkos kirim. Berat paket 4 Kg).
Pemesanan silahkan SMS/Whatsapp 087878147997.
Syukran.
PARPOL ISLAM
Oleh: Dr. Hamid Fahmy Zarkasyi
Pada periode awal berdirinya Negara Indonesia, terjadi perdebatan antara para tokoh umat Islam tentang status Negara. Sebagian tokoh pro bentuk Negara Islam, sebagian yang lain memilih substansi Islamnya daripada ben tuk negaranya. Dari wacana itu muncul metafora “pilih minyak babi cap onta atau minyak onta cap babi”. Artinya “Pilih Negara yang substansinya sekuler tapi berlabel Islam, atau pilih Negara yang substansinya Islam tapi berlabel sekuler”.
Dengan dihapusnya 7 kata dalam Piagam Jakarta dan realitas yang lain de facto jatuh pada pilihan yang kedua. Umat Islam pun rela, karena sila Ketuhanan Yang Maha Esa masih dapat mewadahi sub stansi Islam. Masalahnya apakah semua masih ingat Gentleman Agreement itu. “Negara ini bukan Negara Islam, tapi substansinya Islam”. Ternyata tidak.
Di zaman Orde Lama umat Islam dituduh seakan masih menginginkan pilihan pertama. Umat Islam pun dilukis seakan berwajah subsversif. Umat Islam justru dipaksa kompromis dengan komunisme.
Tidak jelas dimana substansi Islam diterapkan. Pelajaran Agama di sekolah-sekolah pun tidak ada. Di zaman Orde Baru upa ya memasukkan substansi Islam mulai nampak. Tapi tetap saja umat Islam dibatasi dikawal dan dicurigai. Untuk itu umat Islam dipisahkan dari politik. Motto yang ditawarkan Nurcholish Madjid “Islam Yes Partai Islam No” seperti menguatkan kebijakan itu.
Ketika reformasi bergulir tahun 1998, umat Islam seperti terlepas dari belenggu de-politisasi. Para tokoh umat Islam pun mendirikan partai-partai baru. Euforia berpolitik umat Islam itu seperti mementahkan asumsi Nurcholish Madjid. Dalam sebuah symposium di Tokyo tahun 2008 saya nyatakan ini adalah titik balik dari de-politisasi Orde Baru. Realitasnya umat mau berpartai politik Islam (Partai Islam Yes) dan juga ber-Islam (Islam Yes).
Tapi pernyataan saya dibantah oleh A.Rabasa, pengkaji Indonesia dari Amerika. Tidak ada perubahan dalam politik Islam di Indonesia, katanya. Umat Islam tetap tidak suka politik Islam. Buktinya perolehan parpol Islam tidak pernah menyamai suara Masyumi pada Pemilu tahun 1955.
Ini bukti bahwa umat Islam tidak mau berpolitik lagi. Melihat perolehan partai politik Islam pada tiga Pemilu pasca Reformasi yang semakin menurun, nampaknya Rabasa benar. Tapi pertanyaan muncul lagi apakah benar umat Islam memperjuangkan substansi Islam tanpa melalui partai po – litik. Jika jawabnya benar, maka asumsi Cak Nur menjadi Salah. Jargon itu menjadi “Partai Islam No, Islam No”. Natanya, kini umat Islam tetap berpolitik tapi pindah memilih partai politik sekuler.
Apa yang salah pada partai politik Islam. Mengapa umat Islam sekarang tidak mampu menandingi prestasi Masyumi. Agar lebih obyektif, kita bertanya pada Abul Ala al-Maududi dan Sayyid Qutb.
Dua orang pemikir politik Islam zaman modern. Bagi al-Mawdudi umat Islam perlu melakukan transformasi gerakan intelek- tual. Gerakan itu perlu memasukkan nilai-nilai kedalam anggota masyarakat, dengan mendidik dan menghasilkan ilmuwan Muslim yang bervisi Islam dalam berbagai bidang ilmu. Berarti parpol Islam tidak punya lembaga ini.
Parpol Islam seharusnya mengikuti langkah-langkah Rasulullah, tulis al- Maududi. Setelah 10 tahun pemikiran Islam menjadi dewasa dan berubah dari idealisme menjadi organisasi yang kokoh.
Organisasi yang kokoh didukung oleh administrasi yang sehat, ekonomi, keuan- gan dan penegakan hukum yang kuat, intelektual yang kommit terhadap Islam.
Berbeda dari al-Maududi, Sayyid Qutb lebih menekankan agar partai politik Islam dapat menterjemahkan Islam dalam bentuk etika masyakat dan etika sosio-politik. Disini peran intelektual sangat penting. Karena itu intelektual dibalik partai politik Islam harus kuat imannya, konsisten, memiliki kemam- puan manajemen, memiliki kekuasaan, dan tetap menjalankan syariah. Dari sini kita bisa introspeksi : sudahkan saran kedua tokoh politik Islam itu dimiliki oleh semua parpol Islam?
Meskipun demikian perlu disadari bahwa partai politik Islam itu harus bersaing dengan partai-partai dan masyarakat non-Islam. Dalam kompetisi itu menurut
Oleh: Dr. Hamid Fahmy Zarkasyi
Pada periode awal berdirinya Negara Indonesia, terjadi perdebatan antara para tokoh umat Islam tentang status Negara. Sebagian tokoh pro bentuk Negara Islam, sebagian yang lain memilih substansi Islamnya daripada ben tuk negaranya. Dari wacana itu muncul metafora “pilih minyak babi cap onta atau minyak onta cap babi”. Artinya “Pilih Negara yang substansinya sekuler tapi berlabel Islam, atau pilih Negara yang substansinya Islam tapi berlabel sekuler”.
Dengan dihapusnya 7 kata dalam Piagam Jakarta dan realitas yang lain de facto jatuh pada pilihan yang kedua. Umat Islam pun rela, karena sila Ketuhanan Yang Maha Esa masih dapat mewadahi sub stansi Islam. Masalahnya apakah semua masih ingat Gentleman Agreement itu. “Negara ini bukan Negara Islam, tapi substansinya Islam”. Ternyata tidak.
Di zaman Orde Lama umat Islam dituduh seakan masih menginginkan pilihan pertama. Umat Islam pun dilukis seakan berwajah subsversif. Umat Islam justru dipaksa kompromis dengan komunisme.
Tidak jelas dimana substansi Islam diterapkan. Pelajaran Agama di sekolah-sekolah pun tidak ada. Di zaman Orde Baru upa ya memasukkan substansi Islam mulai nampak. Tapi tetap saja umat Islam dibatasi dikawal dan dicurigai. Untuk itu umat Islam dipisahkan dari politik. Motto yang ditawarkan Nurcholish Madjid “Islam Yes Partai Islam No” seperti menguatkan kebijakan itu.
Ketika reformasi bergulir tahun 1998, umat Islam seperti terlepas dari belenggu de-politisasi. Para tokoh umat Islam pun mendirikan partai-partai baru. Euforia berpolitik umat Islam itu seperti mementahkan asumsi Nurcholish Madjid. Dalam sebuah symposium di Tokyo tahun 2008 saya nyatakan ini adalah titik balik dari de-politisasi Orde Baru. Realitasnya umat mau berpartai politik Islam (Partai Islam Yes) dan juga ber-Islam (Islam Yes).
Tapi pernyataan saya dibantah oleh A.Rabasa, pengkaji Indonesia dari Amerika. Tidak ada perubahan dalam politik Islam di Indonesia, katanya. Umat Islam tetap tidak suka politik Islam. Buktinya perolehan parpol Islam tidak pernah menyamai suara Masyumi pada Pemilu tahun 1955.
Ini bukti bahwa umat Islam tidak mau berpolitik lagi. Melihat perolehan partai politik Islam pada tiga Pemilu pasca Reformasi yang semakin menurun, nampaknya Rabasa benar. Tapi pertanyaan muncul lagi apakah benar umat Islam memperjuangkan substansi Islam tanpa melalui partai po – litik. Jika jawabnya benar, maka asumsi Cak Nur menjadi Salah. Jargon itu menjadi “Partai Islam No, Islam No”. Natanya, kini umat Islam tetap berpolitik tapi pindah memilih partai politik sekuler.
Apa yang salah pada partai politik Islam. Mengapa umat Islam sekarang tidak mampu menandingi prestasi Masyumi. Agar lebih obyektif, kita bertanya pada Abul Ala al-Maududi dan Sayyid Qutb.
Dua orang pemikir politik Islam zaman modern. Bagi al-Mawdudi umat Islam perlu melakukan transformasi gerakan intelek- tual. Gerakan itu perlu memasukkan nilai-nilai kedalam anggota masyarakat, dengan mendidik dan menghasilkan ilmuwan Muslim yang bervisi Islam dalam berbagai bidang ilmu. Berarti parpol Islam tidak punya lembaga ini.
Parpol Islam seharusnya mengikuti langkah-langkah Rasulullah, tulis al- Maududi. Setelah 10 tahun pemikiran Islam menjadi dewasa dan berubah dari idealisme menjadi organisasi yang kokoh.
Organisasi yang kokoh didukung oleh administrasi yang sehat, ekonomi, keuan- gan dan penegakan hukum yang kuat, intelektual yang kommit terhadap Islam.
Berbeda dari al-Maududi, Sayyid Qutb lebih menekankan agar partai politik Islam dapat menterjemahkan Islam dalam bentuk etika masyakat dan etika sosio-politik. Disini peran intelektual sangat penting. Karena itu intelektual dibalik partai politik Islam harus kuat imannya, konsisten, memiliki kemam- puan manajemen, memiliki kekuasaan, dan tetap menjalankan syariah. Dari sini kita bisa introspeksi : sudahkan saran kedua tokoh politik Islam itu dimiliki oleh semua parpol Islam?
Meskipun demikian perlu disadari bahwa partai politik Islam itu harus bersaing dengan partai-partai dan masyarakat non-Islam. Dalam kompetisi itu menurut
Dale F. Eickelman and James Piscatori dalam karyanya Muslim Politics perlu menggunakan simbol-simbol agama. Di sini symbol-simbol itu dalam pan- dangan al-Maududi dan Sayyid Qutb adalah pemahaman dan pengamalan Islam secara konsekuens. Jadi pilihannya bukan “minyak babi cap onta atau minyak onta cap babi” tapi “minyak zaitun cap onta atau minyak onta cap zaitun”. Universal tapi tetap berasas Islam atau Islam yang universal tanpa lupa moral.
Dimuat di Jurnal Islamia Republika hari Kamis 20/03/2014
Dimuat di Jurnal Islamia Republika hari Kamis 20/03/2014
KALBU
Oleh: Dr Hamid Fahmy Zarkasyi
Akhir-akhir ini pendidikan disoroti sebagai terlalu intelektualistis. Terkadang juga dianggap terlalu job-oriented (berorientasi kerja). Sementara pendidikan agama dituduh sebagai terlampau spiritualistis sehingga nampak tidak rasional.
Sebenarnya pendidikan dalam Islam tidak demikian. Ia meliputi seluruh aspek dalam diri manusia. Tidak melulu spiritualistis dan tidak pula terlalu intelektualistis atau pragmatis dan praktis. Pendidikan dalam Islam berkaitan dengan soal ilmu dan ilmu dalam Islam berdimensi iman dan amal. Oleh sebab itu pendidikan Islam mengharuskan pemahaman tentang dua hal: pertama letak iman, ilmu dan amal tersebut dalam jiwa manusia. Kedua, bagaimana menanamkan itu semua kedalam diri manusia. Sistim apa yang cocok untuk pengembangan anak dalam berbagai aspek kejiwaannya dalam sebuah sistim pendidikan yang terpadu, perlu dipikirkan terus menerus dan seksama.
Namun, sebelum berfikir tentang metode atau sistim perlu dijelaskan terlebih dulu konsep jiwa manusia yang akan menjadi obyek pendidikan itu. Sebab jiwa manusia memiliki bagian-bagian penting yang saling berkaitan.
Hakim Tirmidhi seorang ulama abad ke 9 menulis buku berjudul Bayan al-Farq, Bayn al-Sadr,wa al-Qalb,wa al-Fuad wa al-Lub. (Penjelasan Tentang Perbedaan antara Sadr (sadar), Qalb (kalbu/hati), Fuad (nurani) dan Lubb (akal pikiran). Istilah-istilah sadr yang dalam bahasa Indonesia menjadi sadar-kesadaran ternyara berbeda artinya dari istilah qalb, hati atau kalbu. Fuad yang di Indonesiakan menjadi nurani berbeda lagi dari lubb yang arti sebenarnya adalah akal pikiran yang berimana. Ulul Albab adalah orang yang berakal fikiran tauhidi.
Namun itu semua merujuk kepada sesuatu yang bersifat batiniyah. Jika seseorang di bedah dadanya tentu sadr, qalb, fuad dan lub itu tidak akan ditemukan secara fisik. Maka dalam buku ini Hakim Tirmidhi menjelaskan bahwa hati atau qalb itu adalah nama yang komprehensif yang kesemuanya bersifat batiniyah alias tidak zahir alias tidak empiris.
Sadr ada di dalam qalb seperti kedudukan putihnya mata di dalam mata. Sadr adalah pintu masuk segala sesuatu ke dalam diri manusia. Perasaan waswas, lalai, kebencian, kejahatan, kelapangan dan kesempitan masuk melalui sadr. Nafsu amarah, cita-cita, keinginan, nafsu birahi, itu pun masuk kedalam sadr dan bukan kedalam qalb. Akan tetapi sadr itu juga tempat masuknya ilmu yang datang melalui pendengaran atau khabar. Maka dari itu pengajaran, hafalan, dan pendengaran itu berhubungan dengan sadr. Dinamakan sadr karena merujuk kepada kata sadara (muncul), atau sadr (pusat). Jadi kesadaran adalah inti atau pusat dari hati (qalb).
Jika sadr ada di dalam qalb maka qalb itu ada dalam genggaman nafs atau jiwa. Namun, qalb itu adalah raja dan jiwa itu adalah kerajaannya. “Jika rajanya baik” seperti sabda Nabi, “maka baiklah bala tentaranya dan jika rusak maka rusaklah bala tentaranya”. Demikian pula baik-buruknya jasad itu tergantung pada hati (qalb). Hati (qalb) itu bagaikan lampu dan baiknya suatu lampu itu terlihat dari cahanya. Dan baiknya hati terlihat dari cahaya ketaqwaan dan keyakinan.
Sebagai raja qalb adalah tempat bersemayamnya cahaya Iman, cahaya kekhusyu’an, ketaqwaan, kecintaan, keridhaan, keyakinan, ketakutan, harapan, kesabaran, kepuasan. Karena iman dalam Islam berasaskan pada ilmu, maka qalb juga merupakan sumber ilmu. Karena sadr itu tempat masuknya ilmu, sedangkan qalb itu tempat keimanan, maka di dalam qalb itu pun terdapat ilmu.
Jika qalb (hati) itu adalah mata maka fuad itu adalah hitamnya pupil mata. Fuad ini adalah tempat bersemayamnya ma’rifah, ide, pemikiran, konsep, pandangan. Ketika seseorang berfikir maka fuadnya lebih dulu yang bekerja baru kemudian hatinya. Fuad itu ada ditengah-tengah hati, sedangkan hati ditengah-tengah sadar.
Jika qalb adalah mata, sadr adalah putih mata, fuad adalah hitamnya pupil mata, maka lubb adalah cahaya mata. Jika qalb adalah tempat bersamayamnya cahaya keimanan dan sadr tempa cahaya keislaman, dan fuad adalah tempat cahaya ma’rifah maka lubb berkaitan dengan cahaya keta
Oleh: Dr Hamid Fahmy Zarkasyi
Akhir-akhir ini pendidikan disoroti sebagai terlalu intelektualistis. Terkadang juga dianggap terlalu job-oriented (berorientasi kerja). Sementara pendidikan agama dituduh sebagai terlampau spiritualistis sehingga nampak tidak rasional.
Sebenarnya pendidikan dalam Islam tidak demikian. Ia meliputi seluruh aspek dalam diri manusia. Tidak melulu spiritualistis dan tidak pula terlalu intelektualistis atau pragmatis dan praktis. Pendidikan dalam Islam berkaitan dengan soal ilmu dan ilmu dalam Islam berdimensi iman dan amal. Oleh sebab itu pendidikan Islam mengharuskan pemahaman tentang dua hal: pertama letak iman, ilmu dan amal tersebut dalam jiwa manusia. Kedua, bagaimana menanamkan itu semua kedalam diri manusia. Sistim apa yang cocok untuk pengembangan anak dalam berbagai aspek kejiwaannya dalam sebuah sistim pendidikan yang terpadu, perlu dipikirkan terus menerus dan seksama.
Namun, sebelum berfikir tentang metode atau sistim perlu dijelaskan terlebih dulu konsep jiwa manusia yang akan menjadi obyek pendidikan itu. Sebab jiwa manusia memiliki bagian-bagian penting yang saling berkaitan.
Hakim Tirmidhi seorang ulama abad ke 9 menulis buku berjudul Bayan al-Farq, Bayn al-Sadr,wa al-Qalb,wa al-Fuad wa al-Lub. (Penjelasan Tentang Perbedaan antara Sadr (sadar), Qalb (kalbu/hati), Fuad (nurani) dan Lubb (akal pikiran). Istilah-istilah sadr yang dalam bahasa Indonesia menjadi sadar-kesadaran ternyara berbeda artinya dari istilah qalb, hati atau kalbu. Fuad yang di Indonesiakan menjadi nurani berbeda lagi dari lubb yang arti sebenarnya adalah akal pikiran yang berimana. Ulul Albab adalah orang yang berakal fikiran tauhidi.
Namun itu semua merujuk kepada sesuatu yang bersifat batiniyah. Jika seseorang di bedah dadanya tentu sadr, qalb, fuad dan lub itu tidak akan ditemukan secara fisik. Maka dalam buku ini Hakim Tirmidhi menjelaskan bahwa hati atau qalb itu adalah nama yang komprehensif yang kesemuanya bersifat batiniyah alias tidak zahir alias tidak empiris.
Sadr ada di dalam qalb seperti kedudukan putihnya mata di dalam mata. Sadr adalah pintu masuk segala sesuatu ke dalam diri manusia. Perasaan waswas, lalai, kebencian, kejahatan, kelapangan dan kesempitan masuk melalui sadr. Nafsu amarah, cita-cita, keinginan, nafsu birahi, itu pun masuk kedalam sadr dan bukan kedalam qalb. Akan tetapi sadr itu juga tempat masuknya ilmu yang datang melalui pendengaran atau khabar. Maka dari itu pengajaran, hafalan, dan pendengaran itu berhubungan dengan sadr. Dinamakan sadr karena merujuk kepada kata sadara (muncul), atau sadr (pusat). Jadi kesadaran adalah inti atau pusat dari hati (qalb).
Jika sadr ada di dalam qalb maka qalb itu ada dalam genggaman nafs atau jiwa. Namun, qalb itu adalah raja dan jiwa itu adalah kerajaannya. “Jika rajanya baik” seperti sabda Nabi, “maka baiklah bala tentaranya dan jika rusak maka rusaklah bala tentaranya”. Demikian pula baik-buruknya jasad itu tergantung pada hati (qalb). Hati (qalb) itu bagaikan lampu dan baiknya suatu lampu itu terlihat dari cahanya. Dan baiknya hati terlihat dari cahaya ketaqwaan dan keyakinan.
Sebagai raja qalb adalah tempat bersemayamnya cahaya Iman, cahaya kekhusyu’an, ketaqwaan, kecintaan, keridhaan, keyakinan, ketakutan, harapan, kesabaran, kepuasan. Karena iman dalam Islam berasaskan pada ilmu, maka qalb juga merupakan sumber ilmu. Karena sadr itu tempat masuknya ilmu, sedangkan qalb itu tempat keimanan, maka di dalam qalb itu pun terdapat ilmu.
Jika qalb (hati) itu adalah mata maka fuad itu adalah hitamnya pupil mata. Fuad ini adalah tempat bersemayamnya ma’rifah, ide, pemikiran, konsep, pandangan. Ketika seseorang berfikir maka fuadnya lebih dulu yang bekerja baru kemudian hatinya. Fuad itu ada ditengah-tengah hati, sedangkan hati ditengah-tengah sadar.
Jika qalb adalah mata, sadr adalah putih mata, fuad adalah hitamnya pupil mata, maka lubb adalah cahaya mata. Jika qalb adalah tempat bersamayamnya cahaya keimanan dan sadr tempa cahaya keislaman, dan fuad adalah tempat cahaya ma’rifah maka lubb berkaitan dengan cahaya keta
uhidan.
Gambaran di atas mungkin nampak terlalu spiritual atau dalam bahasa Kant transcendent. Tapi memang proses berfikir demikian adanya. Hanya saja yang ditekankan disini bukan bagaimana ilmu didapat akan tetapi bagaimana ia berproses menuju dari ilmu menjadi iman. Apabila pendidikan Islam memperhatikan potensi batiniyah manusia seperti digambarkan Hakim Tirmidhi diatas maka yang akan lahir adalah manusia-manusia tinggi ilmu dan imannya sekaligus banyak amalnya. Yaitu manusia-manusia yang hati (qalb), kesadaran (sadr), nurani (fuad) dan fikirannya (lubb) berjalan seimbang. Wallau a’lam.
Gambaran di atas mungkin nampak terlalu spiritual atau dalam bahasa Kant transcendent. Tapi memang proses berfikir demikian adanya. Hanya saja yang ditekankan disini bukan bagaimana ilmu didapat akan tetapi bagaimana ia berproses menuju dari ilmu menjadi iman. Apabila pendidikan Islam memperhatikan potensi batiniyah manusia seperti digambarkan Hakim Tirmidhi diatas maka yang akan lahir adalah manusia-manusia tinggi ilmu dan imannya sekaligus banyak amalnya. Yaitu manusia-manusia yang hati (qalb), kesadaran (sadr), nurani (fuad) dan fikirannya (lubb) berjalan seimbang. Wallau a’lam.
ILMU DAN KEBAHAGIAAN
Oleh: Dr. Adian Husaini
Dalam bukunya, Tasauf Modern, Prof. Hamka pernah menyalin sebuah artikel karya Al-Anisah Mai berjudul Kun Saidan. Artikel itu diindonesiakan dengan judul: Senangkanlah hatimu!
Dalam kondisi apa pun, pesan artikel tersebut, maka senangkanlah hatimu! Jangan pernah bersedih. Dalam kondisi apa pun.
Kalau engkau kaya, senangkanlah hatimu! Karena di hadapanmu terbentang kesempatan untuk mengerjakan yang sulit-sulit....
Dan jika engkau fakir miskin, senangkan pulalah hatimu! Karena engkau telah terlepas dari suatu penyakit jiwa, penyakit kesombongan yang selalu menimpa orang kaya. Senangkanlah hatimu karena tak ada orang yang akan hasad dan dengki kepada engkau lagi, lantaran kemiskinanmu...
Kalau engkau dilupakan orang, kurang masyhur, senangkan pulalah hatimu!
Karena lidah tidak banyak yang mencelamu, mulut tak banyak mencacatmu...
Kalau tanah airmu dijajah atau dirimu diperbudak, senangkanlah hatimu! Sebab penjajahan dan perbudakan membuka jalan bagi bangsa yang terjajah atau diri yang diperbudak kepada perjuangan melepaskan diri dari belenggu.
Kondisi senantiasa bahagia dalam situasi apa pun, inilah, yang senantiasa dikejar oleh manusia. Manusia ingin bahagia. Hidup tenang, tenteram, damai, bahagia. Tapi, apakah yang dimaksud bahagia? Sebagian orang mengejar kebahagiaan dengan bekerja keras untuk menghimpun harta. Tapi, setelah harta melimpah ruah, kebahagiaan itu pun tak kunjung menyinggahinya. Harta yang disangkanya membawa bahagia, justru membuatnya resah. Masalah demi masalah membelitnya.
Sebagian orang mengejar kebahagiaan pada diri wanita cantik. Dia menyangka setelah mengawini seorang wanita cantik, maka dia akan bahagia. Tapi, tak lama kemudian, bahtera rumah tangganya kandas. Ada yang mengejar kebahagiaan pada tahta, kekuasaan. Beragam cara dia lakukan untuk merebut kekuasaan. Sebab, kekuasaan memang sebuah kenikmatan dalam kehidupan. Dengan kekuasaan seseorang dapat berbuat banyak. Tapi, betapa banyak manusia yang justru hidup merana dalam kegemilangan kekuasaan. Dia sama sekali tidak merasakan kebahagiaan.
Orang sakit menyangka, bahagia terletak pada kesehatan! Orang miskin menyangka, bahagia terletak pada harta kekayaan! Rakyat jelata menyangka kebahagiaan terletak pada kekuasaan! Orang biasa menyangka bahagia terletak pada kepopuleran! Dan sangkaan-sangkaan lain...
Tapi, sesungguhnya, kebahagiaan bukanlah terletak pada itu semua. Semua kenikmatan duniawi bisa menjadi tangga yang mengantar kepada kebahagiaan. Semuanya adalah sarana. Bukan bahagia itu sendiri. Lihatlah, betapa banyak pejabat yang hidupnya dibelit dengan penderitaan. Lihat pula, betapa banyak artis terkenal yang hidupnya jauh dari kebahagiaan dan berujung kepada narkoba dan obat penenang! Lalu, apakah itu bahagia (saadah/happiness).
Selama ribuan tahun, para ahli pikir, telah sibuk membincang tentang kebahagiaan. Kamus The Oxford English Dictionary (1963) mendefinisikan happiness sebagai: Good fortune or luck in life or in particular affair; success, prosperity. Jadi, dalam pandangan ini, kebahagiaan adalah sesuatu yang ada di luar manusia, dan bersifat kondisional. Jika dia sedang berjaya, maka di situ ada kebahagiaan. Jika sedang jatuh, maka hilanglah kebahagiaan. Maka, menurut pandangan ini, tidak ada kebahagiaan yang abadi, yang tetap dalam jiwa manusia. Kebahagiaan itu sifatnya temporal dan kondisional. Prof. Naquib al-Attas menggambarkan kondisi kejiwaan masyarakat Barat sebagai: Mereka senantiasa dalam keadaan mencari dan mengejar kebahagiaan, tanpa merasa puas dan menetap dalam suatu keadaan. Tokoh panutan mereka adalah Sisyphus.
Berbeda dengan pandangan tersebut, Prof. Naquib Al-Attas mendefinisikan kebahagiaan (saadah/happiness) sebagai berikut:
Kesejahteraan dan kebahagiaan itu bukan dianya merujuk kepada sifat badani dan jasmani insan, bukan kepada diri hayawani sifat basyari; dan bukan pula dia suatu keadaan akal-fikri insan yang hanya dapat dinikmati dalam alam fikiran dan nazar-akali belaka. Kesejahteraan dan kebahagiaan itu merujuk kepada keyakinan dir
Oleh: Dr. Adian Husaini
Dalam bukunya, Tasauf Modern, Prof. Hamka pernah menyalin sebuah artikel karya Al-Anisah Mai berjudul Kun Saidan. Artikel itu diindonesiakan dengan judul: Senangkanlah hatimu!
Dalam kondisi apa pun, pesan artikel tersebut, maka senangkanlah hatimu! Jangan pernah bersedih. Dalam kondisi apa pun.
Kalau engkau kaya, senangkanlah hatimu! Karena di hadapanmu terbentang kesempatan untuk mengerjakan yang sulit-sulit....
Dan jika engkau fakir miskin, senangkan pulalah hatimu! Karena engkau telah terlepas dari suatu penyakit jiwa, penyakit kesombongan yang selalu menimpa orang kaya. Senangkanlah hatimu karena tak ada orang yang akan hasad dan dengki kepada engkau lagi, lantaran kemiskinanmu...
Kalau engkau dilupakan orang, kurang masyhur, senangkan pulalah hatimu!
Karena lidah tidak banyak yang mencelamu, mulut tak banyak mencacatmu...
Kalau tanah airmu dijajah atau dirimu diperbudak, senangkanlah hatimu! Sebab penjajahan dan perbudakan membuka jalan bagi bangsa yang terjajah atau diri yang diperbudak kepada perjuangan melepaskan diri dari belenggu.
Kondisi senantiasa bahagia dalam situasi apa pun, inilah, yang senantiasa dikejar oleh manusia. Manusia ingin bahagia. Hidup tenang, tenteram, damai, bahagia. Tapi, apakah yang dimaksud bahagia? Sebagian orang mengejar kebahagiaan dengan bekerja keras untuk menghimpun harta. Tapi, setelah harta melimpah ruah, kebahagiaan itu pun tak kunjung menyinggahinya. Harta yang disangkanya membawa bahagia, justru membuatnya resah. Masalah demi masalah membelitnya.
Sebagian orang mengejar kebahagiaan pada diri wanita cantik. Dia menyangka setelah mengawini seorang wanita cantik, maka dia akan bahagia. Tapi, tak lama kemudian, bahtera rumah tangganya kandas. Ada yang mengejar kebahagiaan pada tahta, kekuasaan. Beragam cara dia lakukan untuk merebut kekuasaan. Sebab, kekuasaan memang sebuah kenikmatan dalam kehidupan. Dengan kekuasaan seseorang dapat berbuat banyak. Tapi, betapa banyak manusia yang justru hidup merana dalam kegemilangan kekuasaan. Dia sama sekali tidak merasakan kebahagiaan.
Orang sakit menyangka, bahagia terletak pada kesehatan! Orang miskin menyangka, bahagia terletak pada harta kekayaan! Rakyat jelata menyangka kebahagiaan terletak pada kekuasaan! Orang biasa menyangka bahagia terletak pada kepopuleran! Dan sangkaan-sangkaan lain...
Tapi, sesungguhnya, kebahagiaan bukanlah terletak pada itu semua. Semua kenikmatan duniawi bisa menjadi tangga yang mengantar kepada kebahagiaan. Semuanya adalah sarana. Bukan bahagia itu sendiri. Lihatlah, betapa banyak pejabat yang hidupnya dibelit dengan penderitaan. Lihat pula, betapa banyak artis terkenal yang hidupnya jauh dari kebahagiaan dan berujung kepada narkoba dan obat penenang! Lalu, apakah itu bahagia (saadah/happiness).
Selama ribuan tahun, para ahli pikir, telah sibuk membincang tentang kebahagiaan. Kamus The Oxford English Dictionary (1963) mendefinisikan happiness sebagai: Good fortune or luck in life or in particular affair; success, prosperity. Jadi, dalam pandangan ini, kebahagiaan adalah sesuatu yang ada di luar manusia, dan bersifat kondisional. Jika dia sedang berjaya, maka di situ ada kebahagiaan. Jika sedang jatuh, maka hilanglah kebahagiaan. Maka, menurut pandangan ini, tidak ada kebahagiaan yang abadi, yang tetap dalam jiwa manusia. Kebahagiaan itu sifatnya temporal dan kondisional. Prof. Naquib al-Attas menggambarkan kondisi kejiwaan masyarakat Barat sebagai: Mereka senantiasa dalam keadaan mencari dan mengejar kebahagiaan, tanpa merasa puas dan menetap dalam suatu keadaan. Tokoh panutan mereka adalah Sisyphus.
Berbeda dengan pandangan tersebut, Prof. Naquib Al-Attas mendefinisikan kebahagiaan (saadah/happiness) sebagai berikut:
Kesejahteraan dan kebahagiaan itu bukan dianya merujuk kepada sifat badani dan jasmani insan, bukan kepada diri hayawani sifat basyari; dan bukan pula dia suatu keadaan akal-fikri insan yang hanya dapat dinikmati dalam alam fikiran dan nazar-akali belaka. Kesejahteraan dan kebahagiaan itu merujuk kepada keyakinan dir
i akan Hakikat Terakhir yang Mutlak yang dicari-cari itu yakni: keadaan diri yang yakin akan Hak Taala dan penuaian amalan yang dikerjakan oleh diri itu berdasarkan keyakinan itu dan menuruti titah batinnya. (SMN al-Attas, Mana Kebahagiaan dan Pengalamannya dalam Islam, (Kuala Lumpur: ISTAC:2002), pengantar Prof. Zainy Uthman, hal. xxxv).
Jadi, kebahagiaan adalah kondisi hati, yang dipenuhi dengan keyakinan (iman), dan berperilaku sesuai dengan keyakinannya itu. Bilal bin Rabah merasa bahagia dapat mempertahankan keimanannya, meskipun dalam kondisi disiksa. Imam Abu Hanifah merasa bahagia meskipun harus dijebloskan ke penjara dan dicambuk setiap hari, karena menolak diangkat menjadi hakim negara.
Imam al-Ghazali, seperti dikutip Hamka dalam Tasaud Modern, mengungkapkan: Bahagia dan kelezatan yang sejati, ialah bilamana dapat mengingat Allah. Hutaiah, seorang ahli syair, menggubah sebuah syair:
ولست آرى السعادة جمع مال * ولكن التقى لهي السعيد
(Menurut pendapatku, bukanlah kebahagiaan itu pada pengumpul harta benda;
Tetapi, taqwa akan Allah itulah bahagia).
Menurut al-Ghazali, puncak kebahagiaan pada manusia adalah jika dia berhasil mencapai marifatullah, telah mengenal Allah SWT. Selanjutnya, al-Ghazali menyatakan:
Ketahuilah bahagia tiap-tiap sesuatu ialah bila kita rasai nikmat kesenangan dan kelezatannya, dan kelezatan itu ialah menurut tabiat kejadian masing-masing. Maka kelezatan (mata) ialah melihat rupa yang indah, kenikmatan telinga mendengar suara yang merdu, demikian pula segala anggota yang lain dari tubuh manusia. Ada pun kelezatan hati ialah teguh marifat kepada Allah, karena hati itu dijadikan ialah buat mengingat Tuhan.... Seorang hamba rakyat akan sangat gembira kalau dia dapat berkenalan dengan wazir; kegembiraan itu naik berlipat-ganda kalau dia dapat berkenalan pula dengan raja. Tentu saja berkenalan dengan Allah, adalah puncak dari segala macam kegembiraan, lebih dari apa yang dapat dikira-kirakan oleh manusia, sebab tidak ada yang maujud ini yang lebih dari kemuliaan Allah... Oleh sebab itu tidak ada marifat yang lebih lezat daripada marifatullah.
Marifatullah adalah buah dari ilmu. Ilmu yang mampu mengantarkan manusia kepada keyakinan , bahwa Tiada Tuhan selain Allah (Laa ilaaha illallah). Untuk itulah, untuk dapat meraih kebahagiaan yang abadi, manusia wajib mengenal Allah. Caranya, dengan mengenal ayat-ayat-Nya, baik ayat kauniyah maupun ayat qauliyah. Banyak sekali ayat-ayat al-Quran yang memerintahkan manusia memperhatikan dan memikirkan tentang fenomana alam semesta, termasuk memikirkan dirinya sendiri. Alam semesta ini adalah ayat, tanda-tanda, untuk mengenal Sang Khaliq. Maka, celakalah orang yang tidak mau berpikir tentang alam semesta.
Di samping ayat-ayat kauniyah, Allah SWT juga menurunkan ayat-ayat qauliyah, berupa wahyu verbal kepada utusan-Nya yang terakhir, yaitu Nabi Muhammad saw. Karena itu, dalam QS Ali Imran 18-19, disebutkan, bahwa orang-orang yang berilmu adalah orang-orang yang bersaksi bahwa Tiada tuhan selain Allah, dan bersaksi bahwa Sesungguhnya ad-Din dalam pandangan Allah SWT adalah Islam. Risalah kenabian Muhammad saw telah menyempurnakan risalah para nabi sebelumnya.
Inilah yang disebut sebagai ilmu yang mengantarkan kepada peradaban dan kebahagiaan. Setiap lembaga pendidikan, khususnya lembaga pendidikan Islam, harus mampu mengantarkan sivitas akademika-nya menuju kepada tangga kebahagiaan yang hakiki dan abadi. Setiap peserta didik harus besungguh-sungguh untuk memahami ilmu yang benar dan bermujahadah untuk meraih kebahagiaan yang hakiki; kebahagiaan yang sejati, yang terkait antara dunia dan akhirat. Kriteria inilah yang harusnya dijadikan indikator utama, apakah suatu program pendidikan (tadib) berhasil atau tidak. Keberhasilan pendidikan dalam Islam bukan diukur dari berapa mahalnya uang bayaran sekolah; berapa banyak yang diterima di Perguruan Tinggi Negeri, dan sebagainya. Tetapi, apakah pendidikan itu mampu melahirkan manusia-manusia yang beradab yang mengenal dan bahagia beribadah kepada Sang Pencipta.
Manusia-manusia ya
Jadi, kebahagiaan adalah kondisi hati, yang dipenuhi dengan keyakinan (iman), dan berperilaku sesuai dengan keyakinannya itu. Bilal bin Rabah merasa bahagia dapat mempertahankan keimanannya, meskipun dalam kondisi disiksa. Imam Abu Hanifah merasa bahagia meskipun harus dijebloskan ke penjara dan dicambuk setiap hari, karena menolak diangkat menjadi hakim negara.
Imam al-Ghazali, seperti dikutip Hamka dalam Tasaud Modern, mengungkapkan: Bahagia dan kelezatan yang sejati, ialah bilamana dapat mengingat Allah. Hutaiah, seorang ahli syair, menggubah sebuah syair:
ولست آرى السعادة جمع مال * ولكن التقى لهي السعيد
(Menurut pendapatku, bukanlah kebahagiaan itu pada pengumpul harta benda;
Tetapi, taqwa akan Allah itulah bahagia).
Menurut al-Ghazali, puncak kebahagiaan pada manusia adalah jika dia berhasil mencapai marifatullah, telah mengenal Allah SWT. Selanjutnya, al-Ghazali menyatakan:
Ketahuilah bahagia tiap-tiap sesuatu ialah bila kita rasai nikmat kesenangan dan kelezatannya, dan kelezatan itu ialah menurut tabiat kejadian masing-masing. Maka kelezatan (mata) ialah melihat rupa yang indah, kenikmatan telinga mendengar suara yang merdu, demikian pula segala anggota yang lain dari tubuh manusia. Ada pun kelezatan hati ialah teguh marifat kepada Allah, karena hati itu dijadikan ialah buat mengingat Tuhan.... Seorang hamba rakyat akan sangat gembira kalau dia dapat berkenalan dengan wazir; kegembiraan itu naik berlipat-ganda kalau dia dapat berkenalan pula dengan raja. Tentu saja berkenalan dengan Allah, adalah puncak dari segala macam kegembiraan, lebih dari apa yang dapat dikira-kirakan oleh manusia, sebab tidak ada yang maujud ini yang lebih dari kemuliaan Allah... Oleh sebab itu tidak ada marifat yang lebih lezat daripada marifatullah.
Marifatullah adalah buah dari ilmu. Ilmu yang mampu mengantarkan manusia kepada keyakinan , bahwa Tiada Tuhan selain Allah (Laa ilaaha illallah). Untuk itulah, untuk dapat meraih kebahagiaan yang abadi, manusia wajib mengenal Allah. Caranya, dengan mengenal ayat-ayat-Nya, baik ayat kauniyah maupun ayat qauliyah. Banyak sekali ayat-ayat al-Quran yang memerintahkan manusia memperhatikan dan memikirkan tentang fenomana alam semesta, termasuk memikirkan dirinya sendiri. Alam semesta ini adalah ayat, tanda-tanda, untuk mengenal Sang Khaliq. Maka, celakalah orang yang tidak mau berpikir tentang alam semesta.
Di samping ayat-ayat kauniyah, Allah SWT juga menurunkan ayat-ayat qauliyah, berupa wahyu verbal kepada utusan-Nya yang terakhir, yaitu Nabi Muhammad saw. Karena itu, dalam QS Ali Imran 18-19, disebutkan, bahwa orang-orang yang berilmu adalah orang-orang yang bersaksi bahwa Tiada tuhan selain Allah, dan bersaksi bahwa Sesungguhnya ad-Din dalam pandangan Allah SWT adalah Islam. Risalah kenabian Muhammad saw telah menyempurnakan risalah para nabi sebelumnya.
Inilah yang disebut sebagai ilmu yang mengantarkan kepada peradaban dan kebahagiaan. Setiap lembaga pendidikan, khususnya lembaga pendidikan Islam, harus mampu mengantarkan sivitas akademika-nya menuju kepada tangga kebahagiaan yang hakiki dan abadi. Setiap peserta didik harus besungguh-sungguh untuk memahami ilmu yang benar dan bermujahadah untuk meraih kebahagiaan yang hakiki; kebahagiaan yang sejati, yang terkait antara dunia dan akhirat. Kriteria inilah yang harusnya dijadikan indikator utama, apakah suatu program pendidikan (tadib) berhasil atau tidak. Keberhasilan pendidikan dalam Islam bukan diukur dari berapa mahalnya uang bayaran sekolah; berapa banyak yang diterima di Perguruan Tinggi Negeri, dan sebagainya. Tetapi, apakah pendidikan itu mampu melahirkan manusia-manusia yang beradab yang mengenal dan bahagia beribadah kepada Sang Pencipta.
Manusia-manusia ya
ng berilmu seperti inilah yang hidupnya bahagia dalam keimanan dan keyakinan; yang hidupnya tidak terombang-ambing oleh setiap keadaan. Dalam kondisi apa pun, hidupnya bahagia, karena dia sudah mengenal Allah, ridha dengan keputusan Allah, dan berusaha menyelaraskan hidupnya dengan segala macam peraturan Allah yang diturunkan melalui utusan-Nya.
Dalam kondisi apa pun, dalam posisi apa pun, manusia semacam ini akan hidup dalam kebahagiaan. Fa laa khaufun alaihim wa laa hum yahzanuun. Hidupnya hanya mengacu kepada Allah, dan tidak terlalu peduli dengan reaksi manusia terhadapnya. Alangkah indah dan bahagianya hidup semacam itu; bahagia dunia dan akhirat. (***)
Dalam kondisi apa pun, dalam posisi apa pun, manusia semacam ini akan hidup dalam kebahagiaan. Fa laa khaufun alaihim wa laa hum yahzanuun. Hidupnya hanya mengacu kepada Allah, dan tidak terlalu peduli dengan reaksi manusia terhadapnya. Alangkah indah dan bahagianya hidup semacam itu; bahagia dunia dan akhirat. (***)
Boleh jadi, demi pluralism agama di satu saat nanti menjelang ajal seorang Kyai boleh dibaptis, dan setelah dikubur seorang pendeta boleh ditalqin, agar di alam sana bisa ada alternatif surga yang menurut mereka sangat “plural” itu.
-Dr. Hamid Fahmy Zarkasyi-
-Dr. Hamid Fahmy Zarkasyi-
Makna Akhlaq
Oleh: Dr Hamid Fahmy Zarkasyi
“It’s better to be moralist rather than religious”. Lebih baik moralis daripada religious. Itulah salah satu cara orang liberal-sekuler-humanis membunuh agama. Di Barat sana agama memang pernah menjadi sumber fundamentalisme dan kekerasan. Disini, di negeri-negeri Islam tidak. Tapi untuk bisa diberi cap yang sama, agama direkayasa agar melakukan kekerasan. Ini misinya.
Caranya agama dihancurkan dari konsep dasarnya. Salah satunya adalah makna akhlaq. Yang sekuler berupaya mensekulerkan maknanya. Maka ber-akhlaq itu sama dengan bermoral. Yang liberal dan humanis berusaha menghapus konsepnya. Bagi mereka “Muslim tidak perlu ber-akhlaq, berbuat baik pada sesama itu lebih mulia”. Masalahnya apa bedanya moral dan akhlaq serta apa pula makna karakter dan etika itu.
Akhlaq adalah kata jama’ dari kata khulq. Akar katanya serumpun dengan khalaqa (menciptakan). Artinya adalah sifat jiwa yang melekat (malakah) dalam diri seseorang sesuai dengan asal mula diciptakannya (ahsanu taqwim).
Alasannya jelas, jiwa manusia itu diciptakan Allah dengan fitrah-Nya (fitratallah alliti fatarannas alaiha). Maka ber-akhlaq adalah berpikir, berkehendak dan berperilaku sesuai dengan fitrah (nurani) nya.
Lalu mengapa manusia melawan fitrahnya? Karena kerja orang tua. Orang tua menanam benih kejahatan pada anaknya. Jika ia tanam benih kebaikan, maka sempurnakan fitrah anaknya.
Hadis Nabi jelas, orang tua berkuasa membuat anaknya Muslim atau kafir. Agar fitrah manusia itu sempurna Allah menurunkan fitrah yang lain yaitu al-Qur’an. Ibn Taymiyyah menyebutnya fitrah munazzalah. Dengan al-Qur’an fitrah manusia akan berkembang sempurna.
Fitrah manusia yang berkembang mengikuti al-Qur’an adalah Nabi Muhammad. Karena itulah maka pribadinya menjadi teladan umatnya. Jiwanya memancarkan cahaya. Perilakunya menjadi hukum dan tata etika. Nafasnya adalah dzikir yang berirama. Kalamnya meluncur penuh hikmah bijaksana.
Itulah makna kesimpulan Aisyah bahwa akhlaq Nabi adalah al-Qur’an (Khuluquhu al-Qur’an). Sebab jiwa Nabi tidak saja sesuai tapi tenggelam dalam samudera kebaikan dan kesempurnaan al-Qur’an.
Bagaimana al-Qur’an bisa menjadi akhlaq, bisa dijelaskan. Fakhruddin al-Razi. Misalnya, menulis buku Kitab al-Nafs wa al-Ruh, Fi ‘ilm al-Akhlaq. Didalamnya terdapat 32 pasal tentang akhlaq dan penyembuhan penyakitnya.
Jiwa manusia (nafs), misalnya, terbagi menjadi tiga tingkatan. Yang pertama adalah mereka yang tenggelam dengan Nur Ilahi disebut al-Muqarrabun. Kedua adalah mereka yang berorientasi ke langit dan terkadang ke bumi untuk urusan dunianya yang dinamakan al-Muqtasidun atau golongan kanan (ashab al-yamin).
Terakhir, dan terendah adalah yang tenggelam dalam cengkeraman hawa nafsu dan kenikmatan jasmani, disebut al-Zalimun atau golongan kiri (ashab al-syimal). Ilmu untuk mencapai yang pertama adalah olah batin (riyadah ruhaniyah). Ilmu untuk mencapai yang kedua adalah ilmu akhlaq. Makna akhlaq dilacak dari sumber perilaku manusia yang berupa aql, ruh, nafs, qalb dan cara kerjanya.
Berbeda dari akhlaq, istilah “moral” dalam Oxford English Dictionary dan kamus-kamus lain diartikan sebagai perilaku baik-buruk manusia. Prinsip-prinsipnya disebut etika atau filsafat moral. Ketika moral menjadi semangat atau sikap masyarakat ia disebut “etos”. Itu semua, termasuk baik buruk yang pastinya bersumber dari kesepakatan manusia (human convention).
Bahkan apa yang disebut “hukum moral” atau dharma dalam agama Hindu juga berasal dari kebiasaan sosial. Maknanya moral dan etika menjadi longgar. Jadi bermoral artinya berperilaku sesuai dengan aturan masyarakat, yang tidak selalu bersifat ilahi dan religious.
Orang ber-akhlaq dalam arti yang benar pasti bermoral, tapi tidak semua yang bermoral itu ber-akhlaq. Pemimpin yang tidak zalim, pembela kaum lemah, tidak korup dan sebagainya. bisa dianggap bermoral. Tapi ia tidak berakhlaq jika ia seorang lesbi/homo, pezina, korup, “peminum”, penjudi dan sebagainya. Saudagar kaya raya yang dermawan, zakatnya milyaran, pekerjanya ribuan, peran sosialnya lumayan, bisa
Oleh: Dr Hamid Fahmy Zarkasyi
“It’s better to be moralist rather than religious”. Lebih baik moralis daripada religious. Itulah salah satu cara orang liberal-sekuler-humanis membunuh agama. Di Barat sana agama memang pernah menjadi sumber fundamentalisme dan kekerasan. Disini, di negeri-negeri Islam tidak. Tapi untuk bisa diberi cap yang sama, agama direkayasa agar melakukan kekerasan. Ini misinya.
Caranya agama dihancurkan dari konsep dasarnya. Salah satunya adalah makna akhlaq. Yang sekuler berupaya mensekulerkan maknanya. Maka ber-akhlaq itu sama dengan bermoral. Yang liberal dan humanis berusaha menghapus konsepnya. Bagi mereka “Muslim tidak perlu ber-akhlaq, berbuat baik pada sesama itu lebih mulia”. Masalahnya apa bedanya moral dan akhlaq serta apa pula makna karakter dan etika itu.
Akhlaq adalah kata jama’ dari kata khulq. Akar katanya serumpun dengan khalaqa (menciptakan). Artinya adalah sifat jiwa yang melekat (malakah) dalam diri seseorang sesuai dengan asal mula diciptakannya (ahsanu taqwim).
Alasannya jelas, jiwa manusia itu diciptakan Allah dengan fitrah-Nya (fitratallah alliti fatarannas alaiha). Maka ber-akhlaq adalah berpikir, berkehendak dan berperilaku sesuai dengan fitrah (nurani) nya.
Lalu mengapa manusia melawan fitrahnya? Karena kerja orang tua. Orang tua menanam benih kejahatan pada anaknya. Jika ia tanam benih kebaikan, maka sempurnakan fitrah anaknya.
Hadis Nabi jelas, orang tua berkuasa membuat anaknya Muslim atau kafir. Agar fitrah manusia itu sempurna Allah menurunkan fitrah yang lain yaitu al-Qur’an. Ibn Taymiyyah menyebutnya fitrah munazzalah. Dengan al-Qur’an fitrah manusia akan berkembang sempurna.
Fitrah manusia yang berkembang mengikuti al-Qur’an adalah Nabi Muhammad. Karena itulah maka pribadinya menjadi teladan umatnya. Jiwanya memancarkan cahaya. Perilakunya menjadi hukum dan tata etika. Nafasnya adalah dzikir yang berirama. Kalamnya meluncur penuh hikmah bijaksana.
Itulah makna kesimpulan Aisyah bahwa akhlaq Nabi adalah al-Qur’an (Khuluquhu al-Qur’an). Sebab jiwa Nabi tidak saja sesuai tapi tenggelam dalam samudera kebaikan dan kesempurnaan al-Qur’an.
Bagaimana al-Qur’an bisa menjadi akhlaq, bisa dijelaskan. Fakhruddin al-Razi. Misalnya, menulis buku Kitab al-Nafs wa al-Ruh, Fi ‘ilm al-Akhlaq. Didalamnya terdapat 32 pasal tentang akhlaq dan penyembuhan penyakitnya.
Jiwa manusia (nafs), misalnya, terbagi menjadi tiga tingkatan. Yang pertama adalah mereka yang tenggelam dengan Nur Ilahi disebut al-Muqarrabun. Kedua adalah mereka yang berorientasi ke langit dan terkadang ke bumi untuk urusan dunianya yang dinamakan al-Muqtasidun atau golongan kanan (ashab al-yamin).
Terakhir, dan terendah adalah yang tenggelam dalam cengkeraman hawa nafsu dan kenikmatan jasmani, disebut al-Zalimun atau golongan kiri (ashab al-syimal). Ilmu untuk mencapai yang pertama adalah olah batin (riyadah ruhaniyah). Ilmu untuk mencapai yang kedua adalah ilmu akhlaq. Makna akhlaq dilacak dari sumber perilaku manusia yang berupa aql, ruh, nafs, qalb dan cara kerjanya.
Berbeda dari akhlaq, istilah “moral” dalam Oxford English Dictionary dan kamus-kamus lain diartikan sebagai perilaku baik-buruk manusia. Prinsip-prinsipnya disebut etika atau filsafat moral. Ketika moral menjadi semangat atau sikap masyarakat ia disebut “etos”. Itu semua, termasuk baik buruk yang pastinya bersumber dari kesepakatan manusia (human convention).
Bahkan apa yang disebut “hukum moral” atau dharma dalam agama Hindu juga berasal dari kebiasaan sosial. Maknanya moral dan etika menjadi longgar. Jadi bermoral artinya berperilaku sesuai dengan aturan masyarakat, yang tidak selalu bersifat ilahi dan religious.
Orang ber-akhlaq dalam arti yang benar pasti bermoral, tapi tidak semua yang bermoral itu ber-akhlaq. Pemimpin yang tidak zalim, pembela kaum lemah, tidak korup dan sebagainya. bisa dianggap bermoral. Tapi ia tidak berakhlaq jika ia seorang lesbi/homo, pezina, korup, “peminum”, penjudi dan sebagainya. Saudagar kaya raya yang dermawan, zakatnya milyaran, pekerjanya ribuan, peran sosialnya lumayan, bisa
dianggap bermoral tinggi. Tapi jika ia adalah pengusaha narkoba atau prostitusi, atau rentenir ia tidak ber-akhlaq.
Kini akhlaq juga diganti dengan istilah “karakter” (Yunani: kharakter). Character diartikan sebagai ciri yang membedakan seseorang karena kekuatan moral atau reputasi. Tapi character juga dimaknai sebagai sifat yang dimainkan seorang aktor dalam sebuah sandiwara, drama atau lakonan.
Berkarakter baik bisa diartikan sebagai ber”peran” baik. Ia bukan sifat yang melekat erat dalam identitas diri. Bukan dorongan jiwa tapi dorongan masyarakat. Mungkin nampak sangat manusiawi, tapi tidak yang mesti berdimensi ilahi.
Maka berkarakter juga tidak mesti berakhlaq. Di masa lalu, misalnya, terdapat seorang gubernur yang dianggap berkarakter tinggi. Ia tegas, berdisiplin tinggi, konsisten, berwibawa dan berwawasan luas. Tapi ia membolehkan perjudian dan pelacuran menjadi sumber APBD. Siapapun menentangnya akan dicemooh. Ia berkarakter tapi tidak ber-akhlaq. Begitulah Muslim bisa bermoral dan berkarakter, tapi tidak mesti ber-akhlaq.
Tapi jika makna ber-akhlaq hanya dibatasi secara sempit maka ia akan sesempit makna moral. Ber-akhlaq yang sempit hanya berpedoman halal-haram atau wajib-sunnah. Hubungannya dengan Tuhan tidak disempurnakan dengan hubungan antar manusia (mu’amalah ma’annas).
Ibadahnya sempurna, pakaiannya sederhana, lidahnya fasih melantunkan ayat-ayatNya. Tapi, tindakan dan ucapannya menyakiti sesamanya atau orang-orang dibawahnya. Inilah makna ber-akhlaq yang salah. Maka jangan heran jika ada tokoh agama terjerumus skandal tahta, harta dan wanita.
Sebaliknya, bagi Muslim sekuler-liberal-humanis, standar halal-haram, wajib-sunnah ditinggalkan. Standar baik-buruk hanya dari kesepakatan manusia.
Akibatnya, meniru akhlaq Nabi pun menjadi aneh kalau tidak utopis. Berjanggut seperti Nabi kini dianggap seperti berpedang atau bersenjata. Menolak ajakan korupsi dianggap “sok suci”. Berdemo sambil bertakbir sama dengan “ngajak” perang. Menghukumi kesesatan dan kemaksiatan dianggap fundamentalis, teroris dan anti HAM. Berdakwah tidak boleh menggurui dan sebagainya.
Begitulah, karena sekularisme, liberalisme dan humanisme maka beragama menjadi tidak mudah, apalagi ber-akhlaq. Padahal Francis Fukyama mengingatkan bahwa ketahanan suatu bangsa tergantung pada keberagamaan masyarakat dan etikanya.
Dengan etika, katanya, ekonomi dan politik akan berfungsi dengan baik. Mungkin maksudnya akhlaq. Jauh sebelum itu ulama arif bijaksana juga telah mengingatkan “Bangsa-bangsa akan kekal jika masih ber-akhlaq. Jika hilang akhlaq-nya maka hilang pula bangsa itu.
al-Qur’an lebih tegas lagi jika suatu bangsa itu bertaqwa maka akan diturunkan berkah dari langit, dan jika tidak lagi ber-akhlaq maka pasti dihancurkan oleh Allah.
Jadi sesungguhnya bangsa ini sedang dihancurkan. Bukan oleh kekuatan militer. Tapi oleh upaya penghancuran moral dan bahkan akhlaq pemimpinnya, anak mudanya, anggota DPR-nya, hakim-hakimnya dan cendekiawan Muslimnya dan sebagainya.
Kini akhlaq juga diganti dengan istilah “karakter” (Yunani: kharakter). Character diartikan sebagai ciri yang membedakan seseorang karena kekuatan moral atau reputasi. Tapi character juga dimaknai sebagai sifat yang dimainkan seorang aktor dalam sebuah sandiwara, drama atau lakonan.
Berkarakter baik bisa diartikan sebagai ber”peran” baik. Ia bukan sifat yang melekat erat dalam identitas diri. Bukan dorongan jiwa tapi dorongan masyarakat. Mungkin nampak sangat manusiawi, tapi tidak yang mesti berdimensi ilahi.
Maka berkarakter juga tidak mesti berakhlaq. Di masa lalu, misalnya, terdapat seorang gubernur yang dianggap berkarakter tinggi. Ia tegas, berdisiplin tinggi, konsisten, berwibawa dan berwawasan luas. Tapi ia membolehkan perjudian dan pelacuran menjadi sumber APBD. Siapapun menentangnya akan dicemooh. Ia berkarakter tapi tidak ber-akhlaq. Begitulah Muslim bisa bermoral dan berkarakter, tapi tidak mesti ber-akhlaq.
Tapi jika makna ber-akhlaq hanya dibatasi secara sempit maka ia akan sesempit makna moral. Ber-akhlaq yang sempit hanya berpedoman halal-haram atau wajib-sunnah. Hubungannya dengan Tuhan tidak disempurnakan dengan hubungan antar manusia (mu’amalah ma’annas).
Ibadahnya sempurna, pakaiannya sederhana, lidahnya fasih melantunkan ayat-ayatNya. Tapi, tindakan dan ucapannya menyakiti sesamanya atau orang-orang dibawahnya. Inilah makna ber-akhlaq yang salah. Maka jangan heran jika ada tokoh agama terjerumus skandal tahta, harta dan wanita.
Sebaliknya, bagi Muslim sekuler-liberal-humanis, standar halal-haram, wajib-sunnah ditinggalkan. Standar baik-buruk hanya dari kesepakatan manusia.
Akibatnya, meniru akhlaq Nabi pun menjadi aneh kalau tidak utopis. Berjanggut seperti Nabi kini dianggap seperti berpedang atau bersenjata. Menolak ajakan korupsi dianggap “sok suci”. Berdemo sambil bertakbir sama dengan “ngajak” perang. Menghukumi kesesatan dan kemaksiatan dianggap fundamentalis, teroris dan anti HAM. Berdakwah tidak boleh menggurui dan sebagainya.
Begitulah, karena sekularisme, liberalisme dan humanisme maka beragama menjadi tidak mudah, apalagi ber-akhlaq. Padahal Francis Fukyama mengingatkan bahwa ketahanan suatu bangsa tergantung pada keberagamaan masyarakat dan etikanya.
Dengan etika, katanya, ekonomi dan politik akan berfungsi dengan baik. Mungkin maksudnya akhlaq. Jauh sebelum itu ulama arif bijaksana juga telah mengingatkan “Bangsa-bangsa akan kekal jika masih ber-akhlaq. Jika hilang akhlaq-nya maka hilang pula bangsa itu.
al-Qur’an lebih tegas lagi jika suatu bangsa itu bertaqwa maka akan diturunkan berkah dari langit, dan jika tidak lagi ber-akhlaq maka pasti dihancurkan oleh Allah.
Jadi sesungguhnya bangsa ini sedang dihancurkan. Bukan oleh kekuatan militer. Tapi oleh upaya penghancuran moral dan bahkan akhlaq pemimpinnya, anak mudanya, anggota DPR-nya, hakim-hakimnya dan cendekiawan Muslimnya dan sebagainya.