ISTIQAMAH
Penulis: Ibnu Taimiyah
Sebagai warisan klasik (turats), buku Istiqomah yang ditulis oleh Syaiku; Islam Ibnu Taimiyah adalah khazanah keilmuan yang memberikan kontribusi besar bagi kaum Muslimin. Tema-tema yang dibahas dalam buku ini memang isu lama, tetapi selalu menjadi relevan diperbincangkan hingga saat ini.
Syaikh Ibnu Taimiyah dikenal sebagai ulama yang otoritatif ketika membincangkan persoalan-persoalan agama. Dalam buku ini, ia menuliskan pandangan-pandangannya tentang berbagai persoalan, terutama yang mencakup tiga tema pokok, yaitu : Akidah, Akhlak & Ibadah. Buku ini menjelaskan pendapat-pendapatnya yang cemerlang tentang pengertian bida’ah dan sunnah, tentang fikih ikhtilaf, Ilmu Kalam dan Tasawuf.
Dalam memaparkan pandangan-pandangannya, Syaikh Ibnu Taimiyah juga mengutip pendapat pendapat para sahabat dan salafussaleh, sehingga buku ini penuh warna dan kaya akan rujukan. Pendapat-pendapat tersebut dijelaskan, kemudian diberi komentar olehnya untuk menguatkan hujjah-nya tentang suatu persoalan.
-----------------------
ISTIQAMAH
Penulis: Ibnu Taimiyah
ISBN: 9789795928010
Sampul Hard Cover
Isi: 674 halaman
Ukuran: 25x15 Cm
Berat: 1,2 Kg.
Harga: Rp 165.000,-
Pemesanan silahkan sms ke 087878147997 atau Whatsapp:
https://wa.me/6287878147997
Syukran.
Penulis: Ibnu Taimiyah
Sebagai warisan klasik (turats), buku Istiqomah yang ditulis oleh Syaiku; Islam Ibnu Taimiyah adalah khazanah keilmuan yang memberikan kontribusi besar bagi kaum Muslimin. Tema-tema yang dibahas dalam buku ini memang isu lama, tetapi selalu menjadi relevan diperbincangkan hingga saat ini.
Syaikh Ibnu Taimiyah dikenal sebagai ulama yang otoritatif ketika membincangkan persoalan-persoalan agama. Dalam buku ini, ia menuliskan pandangan-pandangannya tentang berbagai persoalan, terutama yang mencakup tiga tema pokok, yaitu : Akidah, Akhlak & Ibadah. Buku ini menjelaskan pendapat-pendapatnya yang cemerlang tentang pengertian bida’ah dan sunnah, tentang fikih ikhtilaf, Ilmu Kalam dan Tasawuf.
Dalam memaparkan pandangan-pandangannya, Syaikh Ibnu Taimiyah juga mengutip pendapat pendapat para sahabat dan salafussaleh, sehingga buku ini penuh warna dan kaya akan rujukan. Pendapat-pendapat tersebut dijelaskan, kemudian diberi komentar olehnya untuk menguatkan hujjah-nya tentang suatu persoalan.
-----------------------
ISTIQAMAH
Penulis: Ibnu Taimiyah
ISBN: 9789795928010
Sampul Hard Cover
Isi: 674 halaman
Ukuran: 25x15 Cm
Berat: 1,2 Kg.
Harga: Rp 165.000,-
Pemesanan silahkan sms ke 087878147997 atau Whatsapp:
https://wa.me/6287878147997
Syukran.
AGAMA
Oleh: Dr. Hamid Fahmy Zarkasyi
Di pinggir jalan kota Manchester Inggris terdapat papan iklan besar bertuliskan kata-kata singkat “It’s like Religion”. Iklan itu tidak ada hubungannya dengan agama atau kepercayaan apapun. Disitu terpampang gambar seorang pemain bola dengan latar belakang ribuan supporternya yang fanatik. Saya baru tahu kalau itu iklan klub sepak bola setelah membaca tulisan dibawahnya Manchester United.
Sepakbola dengan supporter fanatik itu biasa, tapi tulisan it’s like religion itu cukup mengusik pikiran saya. Kalau iklan itu di pasang di Jalan Thamrin Jakarta umat beragama pasti akan geger. Ini pelecehan terhadap agama.
Tapi, di Barat agama bisa dipahami seperti itu. Agama adalah fanatisme, kata para sosiolog. Bahkan ketika seorang selebritinya mengatakan My religion is song, sex, sand and champagne juga masih dianggap waras. Mungkin ini yang disinyalir al-Qur’an ara’ayta man ittakhadha ilaahahu hawaahu (QS. 25:43).
Pada dataran diskursus akademik, makna religion di Barat memang problematik. Bertahun-tahun mereka mencoba mendefinisikan religion tapi gagal.
Mereka tetap tidak mampu menjangkau hal-hal yang khusus. Jikapun mampu, mereka terpaksa menafikan agama lain. Ketika agama didefinisikan sebagai kepercayaan, atau kepercayaan kepada yang Maha Kuasa (Supreme Being), kepercayaan primitif di Asia menjadi bukan agama. Sebab agama primitif tidak punya kepercayaan formal, apalagi doktrin.
F. Schleiermacher kemudian mendefinisikan agama dengan tidak terlalu doktriner, agama adalah “Rasa ketergantungan yang absolut” (feeling of absolute dependence). Demikian pula Whithehead, agama adalah “Apa yang kita lakukan dalam kesendirian”.
Disini faktor-faktor terpentingnya adalah emosi, pengalaman, intuisi dan etika. Tapi definisi ini hanya sesuai untuk agama primitif yang punya tradisi penuh dengan ritus-ritus, dan tidak cocok untuk agama yang punya struktur keimanan, ide-ide dan doktrin-doktrin.
Tapi bagi sosiolog dan antropolog memang begitu. Bagi mereka religion sama sekali bukan seperangkat ide-ide, nilai atau pengalaman yang terpisah dari matriks kultural.
Bahkan, kata mereka, beberapa kepercayaan, adat istiadat atau ritus-ritus keagamaan tidak bisa dipahami kecuali dengan matriks kultural tersebut. Emile Durkheim malah yakin bahwa masyarakat itu sendiri sudah cukup sebagai faktor penting bagi lahirnya rasa berketuhanan dalam jiwa. (Lihat The Elementary Forms of the Religious Life, New York, 1926, p. 207).
Tapi bagi pakar psikologi agama justru harus diartikan dari faktor kekuatan kejiwaan manusia ketimbang faktor sosial dan intelektual. Para sosiolog Barat nampaknya trauma dengan makna agama yang doktriner, sehingga tidak peduli dengan aspek ekstrasosial, ekstrasosiologis atau pun ekstrapsikologis. Aspek imanensi lebih dipentingkan daripada aspek transendensi.
Sejatinya, akar kebingungan Barat mendefinisikan religion karena konsep Tuhan yang bermasalah. Agama Barat - Kristen - kata Armstrong dalam History of God justru banyak bicara Yesus Kristus ketimbang Tuhan. Padahal, Yesus sendiri tidak pernah mengklaim dirinya suci, apalagi Tuhan.
Dalam hal ini kesimpulan Profesor al-Attas sangat jitu ‘Islam, sebagai agama, telah sempurna sejak diturunkan’. Konsep Tuhan, Agama, Ibadah, Manusia dan lain-lain dalam Islam telah jelas sejak awal. Para ulama kemudian hanya menjelaskan konsep-konsep itu tanpa merubah konsep asalnya. Sedang di Barat konsep Tuhan mereka sejak awal bermasalah sehingga perlu direkayasa agar bisa diterima akal manusia.
Kita mungkin akan tersenyum membaca judul buku yang baru terbit di Barat, Tomorrow’s God, (Tuhan Masa Depan), karya Neale Donald Walsch. Tuhan agama-agama yang ada tidak lagi cocok untuk masa kini. Tuhan haruslah seperti apa yang digambarkan oleh akal modern. Manusia makhluk berakal (rational animal) harus lebih dominan daripada manusia makhluk Tuhan. Pada puncaknya nanti manusialah yang menciptakan Tuhan dengan akalnya.
Socrates pun pernah berkata: “Wahai warga Athena! aku percaya pada Tuhan, tapi tidak akan berhenti berfilsafat”. Artinya “Saya ber
Oleh: Dr. Hamid Fahmy Zarkasyi
Di pinggir jalan kota Manchester Inggris terdapat papan iklan besar bertuliskan kata-kata singkat “It’s like Religion”. Iklan itu tidak ada hubungannya dengan agama atau kepercayaan apapun. Disitu terpampang gambar seorang pemain bola dengan latar belakang ribuan supporternya yang fanatik. Saya baru tahu kalau itu iklan klub sepak bola setelah membaca tulisan dibawahnya Manchester United.
Sepakbola dengan supporter fanatik itu biasa, tapi tulisan it’s like religion itu cukup mengusik pikiran saya. Kalau iklan itu di pasang di Jalan Thamrin Jakarta umat beragama pasti akan geger. Ini pelecehan terhadap agama.
Tapi, di Barat agama bisa dipahami seperti itu. Agama adalah fanatisme, kata para sosiolog. Bahkan ketika seorang selebritinya mengatakan My religion is song, sex, sand and champagne juga masih dianggap waras. Mungkin ini yang disinyalir al-Qur’an ara’ayta man ittakhadha ilaahahu hawaahu (QS. 25:43).
Pada dataran diskursus akademik, makna religion di Barat memang problematik. Bertahun-tahun mereka mencoba mendefinisikan religion tapi gagal.
Mereka tetap tidak mampu menjangkau hal-hal yang khusus. Jikapun mampu, mereka terpaksa menafikan agama lain. Ketika agama didefinisikan sebagai kepercayaan, atau kepercayaan kepada yang Maha Kuasa (Supreme Being), kepercayaan primitif di Asia menjadi bukan agama. Sebab agama primitif tidak punya kepercayaan formal, apalagi doktrin.
F. Schleiermacher kemudian mendefinisikan agama dengan tidak terlalu doktriner, agama adalah “Rasa ketergantungan yang absolut” (feeling of absolute dependence). Demikian pula Whithehead, agama adalah “Apa yang kita lakukan dalam kesendirian”.
Disini faktor-faktor terpentingnya adalah emosi, pengalaman, intuisi dan etika. Tapi definisi ini hanya sesuai untuk agama primitif yang punya tradisi penuh dengan ritus-ritus, dan tidak cocok untuk agama yang punya struktur keimanan, ide-ide dan doktrin-doktrin.
Tapi bagi sosiolog dan antropolog memang begitu. Bagi mereka religion sama sekali bukan seperangkat ide-ide, nilai atau pengalaman yang terpisah dari matriks kultural.
Bahkan, kata mereka, beberapa kepercayaan, adat istiadat atau ritus-ritus keagamaan tidak bisa dipahami kecuali dengan matriks kultural tersebut. Emile Durkheim malah yakin bahwa masyarakat itu sendiri sudah cukup sebagai faktor penting bagi lahirnya rasa berketuhanan dalam jiwa. (Lihat The Elementary Forms of the Religious Life, New York, 1926, p. 207).
Tapi bagi pakar psikologi agama justru harus diartikan dari faktor kekuatan kejiwaan manusia ketimbang faktor sosial dan intelektual. Para sosiolog Barat nampaknya trauma dengan makna agama yang doktriner, sehingga tidak peduli dengan aspek ekstrasosial, ekstrasosiologis atau pun ekstrapsikologis. Aspek imanensi lebih dipentingkan daripada aspek transendensi.
Sejatinya, akar kebingungan Barat mendefinisikan religion karena konsep Tuhan yang bermasalah. Agama Barat - Kristen - kata Armstrong dalam History of God justru banyak bicara Yesus Kristus ketimbang Tuhan. Padahal, Yesus sendiri tidak pernah mengklaim dirinya suci, apalagi Tuhan.
Dalam hal ini kesimpulan Profesor al-Attas sangat jitu ‘Islam, sebagai agama, telah sempurna sejak diturunkan’. Konsep Tuhan, Agama, Ibadah, Manusia dan lain-lain dalam Islam telah jelas sejak awal. Para ulama kemudian hanya menjelaskan konsep-konsep itu tanpa merubah konsep asalnya. Sedang di Barat konsep Tuhan mereka sejak awal bermasalah sehingga perlu direkayasa agar bisa diterima akal manusia.
Kita mungkin akan tersenyum membaca judul buku yang baru terbit di Barat, Tomorrow’s God, (Tuhan Masa Depan), karya Neale Donald Walsch. Tuhan agama-agama yang ada tidak lagi cocok untuk masa kini. Tuhan haruslah seperti apa yang digambarkan oleh akal modern. Manusia makhluk berakal (rational animal) harus lebih dominan daripada manusia makhluk Tuhan. Pada puncaknya nanti manusialah yang menciptakan Tuhan dengan akalnya.
Socrates pun pernah berkata: “Wahai warga Athena! aku percaya pada Tuhan, tapi tidak akan berhenti berfilsafat”. Artinya “Saya ber
iman tapi saya akan tetap menggambarkan Tuhan dengan akal saya sendiri”. Wilfred Cantwell Smith nampaknya setuju. Dalam makalahnya berjudul Philosophia as One of the Religious Tradition of Mankind, ia mengategorikan tradisi intelektual Yunani sebagai agama. Apa arti agama baginya tidak penting, malah kalau perlu istilah ini dibuang.
Akhirnya, sama juga mengamini Nietzche bahwa tuhan hanyalah realitas sobyektif dalam fikiran manusia, alias khayalan manusia yang tidak ada dalam realitas obyektif. Konsep tuhan rasional inilah yang justru menjadi lahan subur bagi ateisme. Sebab tuhan bisa dibunuh.
Jika Imam al-Ghazzali dikaruniai umur hingga abad ini mungkin ia sudah menulis berjilid-jilid Tahafut. Sekurang-kurangnya ia akan menolak jika Islam dimasukkan kedalam definisi religion versi Barat dan Allah disamakan dengan Tuhan spekulatif. Jika konsep Unmoved Mover Aristotle saja ditolak, kita bisa bayangkan apa reaksi al-Ghazzali ketika mengetahui tuhan di Barat kini is no longer Supreme Being (Tidak lagi Maha Kuasa).
Konsep Tuhan di Barat kini sudah hampir sepenuhnya rekayasa akal manusia. Buktinya tuhan ‘harus’ mengikuti peraturan akal manusia. Ia “tidak boleh” menjadi tiran, “tidak boleh” ikut campur dalam kebebasan dan kreativitas manusia. Tuhan yang ikut mengatur alam semesta dianggap absurd.
Tuhan yang personal dan tirani itulah yang pada abad ke 19 “dibunuh” Nietzche dari pikiran manusia. Tuhan Pencipta tidak wujud pada nalar manusia produk kebudayaan Barat. Agama disana akhirnya tanpa tuhan atau bahkan tuhan tanpa Tuhan. Disini kita baru paham mengapa Manchester United dengan penyokongnya itu like religion. Mungkin mereka hanya malu mengatakan it’s really religion but without god.
Kini di Indonesia dan di negeri-negeri Muslim lainnya cendekiawan Muslim mulai ikut-ikutan risih dengan konsep Allah Maha Kuasa (Supreme Being). Tuhan tidak lagi mengatur segala aspek kehidupan manusia. Bahkan kekuasaan Tuhan harus dibatasi. Benteng pemisah antara agama dan politik dibangun kokoh. Para kyai dan cendekiawan Muslim seperti berteriak “Politik Islam, No” tapi lalu berbisik “Berpolitik, Yes”….”Money Politik laa siyyama (apalagi)”.
Tapi ketika benteng pemisah agama dan politik dibangun, tiba-tiba tembok pemisah antar agama-agama dihancurkan. “Ini proyek besar bung”! kata fulan berbisik. “Ini zaman globalisasi dan kita harus akur” kata profesor pakar studi Islam. Santri-santri diajari berani bilang “Ya akhi tuhan semua agama itu sama, yang beda hanya namaNya”; “Gus! Maulud Nabi sama saja dengan maulud Isa atau Natalan”. Mahasiswa Muslim pun diajari logika relativis “Anda jangan menganggap agama anda paling benar”. Tak ketinggalan para ulama diperingati “Jangan mengatasnamakan Tuhan”.
Kini semua orang “harus” membiarkan pembongkaran batas antar agama, menerima pluralitas dan pluralisme sekaligus. Sebab, kata mereka, pluralisme seperti juga sekularisme, adalah hukum alam. Samar-samar seperti ada suara besar mengingatkan “Kalau anda tidak pluralis anda pasti teroris”
Anehnya, untuk menjadi seorang pluralis kita tidak perlu meyakini kebenaran agama kita. Kata-kata Hamka “yang bilang semua agama sama berarti ia tidak beragama” mungkin dianggap kuno. Kini yang laris manis adalah konsep global theology-nya John Hick, atau kalau kurang kental pakai Transcendent Unity of Religions-nya F. Schuon.
Semua agama sama pada level esoteris. Di negeri Muslim terbesar di dunia ini, lagu-lagu lama Nietzche tentang relativisme dan nihilisme dinyanyikan mahasiswa Muslim dengan penuh emosi dan semangat. “Tidak ada yang absolut selain Allah” artinya ‘tidak ada yang tahu kebenaran selain Allah’. Syariat, fiqih, tafsir wahyu, ijtihad para ulama adalah hasil pemahaman manusia, maka semua relatif.
Walhal, Tuhan tidak pernah meminta kita memahami yang absolut apalagi menjadi absolut. Dalam Islam Yang relatif pun bisa mengandung yang absolut. Secara kelakar seorang kawan membayangkan di Jakarta nanti ada papan iklan besar bergambar seorang kyai dengan latar belakang ribuan santri dengan tulisan singkat “Yesus Tuhan kita juga”.
Akhirnya, sama juga mengamini Nietzche bahwa tuhan hanyalah realitas sobyektif dalam fikiran manusia, alias khayalan manusia yang tidak ada dalam realitas obyektif. Konsep tuhan rasional inilah yang justru menjadi lahan subur bagi ateisme. Sebab tuhan bisa dibunuh.
Jika Imam al-Ghazzali dikaruniai umur hingga abad ini mungkin ia sudah menulis berjilid-jilid Tahafut. Sekurang-kurangnya ia akan menolak jika Islam dimasukkan kedalam definisi religion versi Barat dan Allah disamakan dengan Tuhan spekulatif. Jika konsep Unmoved Mover Aristotle saja ditolak, kita bisa bayangkan apa reaksi al-Ghazzali ketika mengetahui tuhan di Barat kini is no longer Supreme Being (Tidak lagi Maha Kuasa).
Konsep Tuhan di Barat kini sudah hampir sepenuhnya rekayasa akal manusia. Buktinya tuhan ‘harus’ mengikuti peraturan akal manusia. Ia “tidak boleh” menjadi tiran, “tidak boleh” ikut campur dalam kebebasan dan kreativitas manusia. Tuhan yang ikut mengatur alam semesta dianggap absurd.
Tuhan yang personal dan tirani itulah yang pada abad ke 19 “dibunuh” Nietzche dari pikiran manusia. Tuhan Pencipta tidak wujud pada nalar manusia produk kebudayaan Barat. Agama disana akhirnya tanpa tuhan atau bahkan tuhan tanpa Tuhan. Disini kita baru paham mengapa Manchester United dengan penyokongnya itu like religion. Mungkin mereka hanya malu mengatakan it’s really religion but without god.
Kini di Indonesia dan di negeri-negeri Muslim lainnya cendekiawan Muslim mulai ikut-ikutan risih dengan konsep Allah Maha Kuasa (Supreme Being). Tuhan tidak lagi mengatur segala aspek kehidupan manusia. Bahkan kekuasaan Tuhan harus dibatasi. Benteng pemisah antara agama dan politik dibangun kokoh. Para kyai dan cendekiawan Muslim seperti berteriak “Politik Islam, No” tapi lalu berbisik “Berpolitik, Yes”….”Money Politik laa siyyama (apalagi)”.
Tapi ketika benteng pemisah agama dan politik dibangun, tiba-tiba tembok pemisah antar agama-agama dihancurkan. “Ini proyek besar bung”! kata fulan berbisik. “Ini zaman globalisasi dan kita harus akur” kata profesor pakar studi Islam. Santri-santri diajari berani bilang “Ya akhi tuhan semua agama itu sama, yang beda hanya namaNya”; “Gus! Maulud Nabi sama saja dengan maulud Isa atau Natalan”. Mahasiswa Muslim pun diajari logika relativis “Anda jangan menganggap agama anda paling benar”. Tak ketinggalan para ulama diperingati “Jangan mengatasnamakan Tuhan”.
Kini semua orang “harus” membiarkan pembongkaran batas antar agama, menerima pluralitas dan pluralisme sekaligus. Sebab, kata mereka, pluralisme seperti juga sekularisme, adalah hukum alam. Samar-samar seperti ada suara besar mengingatkan “Kalau anda tidak pluralis anda pasti teroris”
Anehnya, untuk menjadi seorang pluralis kita tidak perlu meyakini kebenaran agama kita. Kata-kata Hamka “yang bilang semua agama sama berarti ia tidak beragama” mungkin dianggap kuno. Kini yang laris manis adalah konsep global theology-nya John Hick, atau kalau kurang kental pakai Transcendent Unity of Religions-nya F. Schuon.
Semua agama sama pada level esoteris. Di negeri Muslim terbesar di dunia ini, lagu-lagu lama Nietzche tentang relativisme dan nihilisme dinyanyikan mahasiswa Muslim dengan penuh emosi dan semangat. “Tidak ada yang absolut selain Allah” artinya ‘tidak ada yang tahu kebenaran selain Allah’. Syariat, fiqih, tafsir wahyu, ijtihad para ulama adalah hasil pemahaman manusia, maka semua relatif.
Walhal, Tuhan tidak pernah meminta kita memahami yang absolut apalagi menjadi absolut. Dalam Islam Yang relatif pun bisa mengandung yang absolut. Secara kelakar seorang kawan membayangkan di Jakarta nanti ada papan iklan besar bergambar seorang kyai dengan latar belakang ribuan santri dengan tulisan singkat “Yesus Tuhan kita juga”.
KITAB TAUHID
Penulis: Dr. Shalih bin Fuzan Al-Fauzan
Selama 13 tahun di Makkah, sesudah diangkat menjadi Rasul, Nabi Muhammad SAW mengajak manusia kepada tauhid, karena hal itu merupakan pondasi bangunan Islam. Oleh karena itu, ilmu tauhid adalah ilmu yang harus dijaga baik dengan mempelajari maupun mengajarkannya serta mengamalkannya. Hal itu agar amal seseorang menjadi amal yang saleh, diterima disisi Allah, dan bermanfaat bagi semesta alam. Terlebih aliran-aliran sesat telah tersebar di mana-mana dan siap memangsa siapa saja.
Buku ini adalah terjemahan dari kitab tauhid 1, 2, dan 3 karya Dr. Shalih bin Fauzan yang sudah tidak asing lagi di dunia. Di dalamnya dijabarkan berbagai persoalan tauhid secara lengkap serta disampaikan dengan bahasa ringkas dan mudah dipahami. Sumbernya pun hanya diambil dari Al-Qur’an dan As-Sunnah serta karya-karya ulama yang terpercaya.
------------------------------------------------
Kitab Tauhid
Penulis: Dr. Shalih bin Fuzan Al-Fauzan
Ukuran: 15 x 23 cm
Tebal: 462 hlm
ISBN: 978-602-7637-01-6
Harga: Rp. 98.000,-
Pemesanan silahkan sms ke 087878147997 atau Whatsapp:
https://wa.me/6287878147997
Syukran.
Penulis: Dr. Shalih bin Fuzan Al-Fauzan
Selama 13 tahun di Makkah, sesudah diangkat menjadi Rasul, Nabi Muhammad SAW mengajak manusia kepada tauhid, karena hal itu merupakan pondasi bangunan Islam. Oleh karena itu, ilmu tauhid adalah ilmu yang harus dijaga baik dengan mempelajari maupun mengajarkannya serta mengamalkannya. Hal itu agar amal seseorang menjadi amal yang saleh, diterima disisi Allah, dan bermanfaat bagi semesta alam. Terlebih aliran-aliran sesat telah tersebar di mana-mana dan siap memangsa siapa saja.
Buku ini adalah terjemahan dari kitab tauhid 1, 2, dan 3 karya Dr. Shalih bin Fauzan yang sudah tidak asing lagi di dunia. Di dalamnya dijabarkan berbagai persoalan tauhid secara lengkap serta disampaikan dengan bahasa ringkas dan mudah dipahami. Sumbernya pun hanya diambil dari Al-Qur’an dan As-Sunnah serta karya-karya ulama yang terpercaya.
------------------------------------------------
Kitab Tauhid
Penulis: Dr. Shalih bin Fuzan Al-Fauzan
Ukuran: 15 x 23 cm
Tebal: 462 hlm
ISBN: 978-602-7637-01-6
Harga: Rp. 98.000,-
Pemesanan silahkan sms ke 087878147997 atau Whatsapp:
https://wa.me/6287878147997
Syukran.
Tapi, Allah juga memberi tahu jika Anda memilih menjadi atheis niscaya akan menuai azab di neraka jahannam yang sangat pedih dan jika memilih beriman maka ia akan mendapatkan pahala surga yang kekal abadi.
https://m.facebook.com/story.php?story_fbid=1714145335392076&id=153825841424041
https://m.facebook.com/story.php?story_fbid=1714145335392076&id=153825841424041
KECERDASAN DALAM PANDANGAN ISLAM
Penulis: Ibnul Jauzi
Buku ini adalah salah satu buku terjemah Kitab buah karya ulama dan cendekiawan Muslim terkemuka, Ibnul Jauzi , yang berjudul Akbar Al Adzkiya.
Dalam buku ini dibahas tentang Akal, kecerdasan, serta kisah orang-orang cerdas dalam menghadapi dan menyikapi berbagai permasalahan hidup.
Diawali dengan sisi kecerdasan para Nabi, kemudian para sahabat, para ulama, cendekiawan, dan diakhiri dengan sisi kecerdasan yang dimiliki hewan. Metode pemaparan yang digunakan penulis pun sangat menarik, karena kisah-kisah yang dibawakan berdasarkan riwayat hadits dan atsar, sehingga validitas dan keotentikan kisahnya tak perlu diragukan lagi.
-----------------------
KECERDASAN DALAM PANDANGAN ISLAM
Penulis: Ibnul Jauzi
Ukuran: 16 cm x 24,5 cm
Cover: Hard Cover
Berat: 1 Kg
Tebal: 684 halaman
Harga: Rp. 171.000,-
Pemesanan silahkan sms ke 087878147997 atau Whatsapp:
https://wa.me/6287878147997
Syukran.
Penulis: Ibnul Jauzi
Buku ini adalah salah satu buku terjemah Kitab buah karya ulama dan cendekiawan Muslim terkemuka, Ibnul Jauzi , yang berjudul Akbar Al Adzkiya.
Dalam buku ini dibahas tentang Akal, kecerdasan, serta kisah orang-orang cerdas dalam menghadapi dan menyikapi berbagai permasalahan hidup.
Diawali dengan sisi kecerdasan para Nabi, kemudian para sahabat, para ulama, cendekiawan, dan diakhiri dengan sisi kecerdasan yang dimiliki hewan. Metode pemaparan yang digunakan penulis pun sangat menarik, karena kisah-kisah yang dibawakan berdasarkan riwayat hadits dan atsar, sehingga validitas dan keotentikan kisahnya tak perlu diragukan lagi.
-----------------------
KECERDASAN DALAM PANDANGAN ISLAM
Penulis: Ibnul Jauzi
Ukuran: 16 cm x 24,5 cm
Cover: Hard Cover
Berat: 1 Kg
Tebal: 684 halaman
Harga: Rp. 171.000,-
Pemesanan silahkan sms ke 087878147997 atau Whatsapp:
https://wa.me/6287878147997
Syukran.
Syed M. Naquib al-Attas dalam bukunya A Commentary on the Hujjat al-Shiddiq of Nur al-Din al- Raniri (Kuala Lumpur: Kementerian Kebudayaan, 1986) halaman 200 mengatakan, "Kebodohan itu terdiri dari 2 jenis. Pertama, kebodohan yg ringan yaitu kurangnya ilmu mengenai apa yg seharusnya diketahui. Kedua, kebodohan yg berat, yaitu keyakinan yg salah yg bertentangan dg fakta dan realitas, meyakini sesuatu yg berbeda dg sesuatu itu sendiri, atau melakukan sesuatu dg cara2 yg berbeda dari bagaimana seharusnya sesuatu itu dilakukan."
Kebodohan yg ringan bisa diobati dg pengajaran atau pendidikan. Tapi kebodohan yg berat adalah penyebab utama dari kejahatan manusia dan berbahaya bagi pembangunan moralitas individu maupun masyarakat. Sebab kebodohan jenis ini bersumber dari spiritualitas yg tidak sempurna yg dinyatakan dg sikap menolak kebenaran.
Contoh yg mudah. Orang pandai mengerjakan operasi 2+3=5. Orang bodoh jenis pertama mengerjakan 2+3=23 karena dia tidak tahu cara mengerjakannya. Tapi orang bodoh jenis kedua mengerjakan 2+3=23 karena sengaja utk maksud2 tertentu, demi kepentingan tertentu.
Mari kita berantas semua bentuk kebodohan, terutama kebodohan jenis kedua.
-Dr. Budi Handrianto-
Kebodohan yg ringan bisa diobati dg pengajaran atau pendidikan. Tapi kebodohan yg berat adalah penyebab utama dari kejahatan manusia dan berbahaya bagi pembangunan moralitas individu maupun masyarakat. Sebab kebodohan jenis ini bersumber dari spiritualitas yg tidak sempurna yg dinyatakan dg sikap menolak kebenaran.
Contoh yg mudah. Orang pandai mengerjakan operasi 2+3=5. Orang bodoh jenis pertama mengerjakan 2+3=23 karena dia tidak tahu cara mengerjakannya. Tapi orang bodoh jenis kedua mengerjakan 2+3=23 karena sengaja utk maksud2 tertentu, demi kepentingan tertentu.
Mari kita berantas semua bentuk kebodohan, terutama kebodohan jenis kedua.
-Dr. Budi Handrianto-
Jika konsep manusia yang digunakan untuk mendidik sudah keliru, maka tidak mudah untuk mendidik dengan benar. Sebab, tujuan dan kurikulum utamanya akan berbeda. Konsep yang salah tentang manusia ini akan berdampak besar pada perjalanan hidupnya.
https://m.facebook.com/story.php?story_fbid=1716432838496659&id=153825841424041
https://m.facebook.com/story.php?story_fbid=1716432838496659&id=153825841424041
Ia berpesan “tugas kalian bukan mengkristenkan orang Islam tapi merobah cara berfikir orang Islam, agar nanti lahir generasi Muslim yang memusuhi agamanya”.
https://m.facebook.com/story.php?story_fbid=1723448601128416&id=153825841424041
https://m.facebook.com/story.php?story_fbid=1723448601128416&id=153825841424041
*WARISAN SANG MURABBI*
*Pilar-Pilar Asasi*
Suatu hari Syaqiq Albilkhi datang kepada Harun Alrasyyid, penguasa di zamannya, tentu saja bukan untuk mengharap atau meminta sesuatu atau menjilat penguasa, hal yang karenanya para ulama bertahan untuk tidak pernah mendatangi pintu mereka.
la segera minta segelas air minum. Setelah gelas itu di genggamnya, ia bertanya, “Harun, apa sikapmu jika di tengah padang pasir engkau kehabisan air yang kau perlukan untuk menyambung hidup?” Harun menjawab “Setengah kerajaanku akan kulepaskan untuk menebus segelas air itu.”
Syaqiq bertanya lagi, “Bagaimana bila suatu hari segelas air yang setiap hari engkau keluarkan dari tubuhmu, tak dapat keluar dan menyebabkan engkau sangat menderita?” Harun menjawab lugas, “Seluruh kerajaanku akan kulepaskan untuk bisa mengeluarkan air itu.”
Syaqiq lantas menutup dialog dengan pesan yang tajam, membuat Harun menangis, “Nah, karenanya hati-hatilah dengan kekuasaan yang nilainya tak lebih dari segelas air ini.”
WARISAN SANG MURABBI
Pilar-pilar Asasi
🖋 Penulis: KH. Rahmat Abdullah
📄 Kertas isi: Book Paper 55 gr
📖 Isi: 348 halaman (b/w)
📏 Ukuran 15,5 x 24 cm
📙 Sampul: Soft Cover
Laminating Doft ; Spot UV
🔖 Harga : Rp 99.000,-
Pemesanan silahkan sms ke 087878147997 atau Whatsapp:
https://wa.me/6287878147997
Syukran.
*Pilar-Pilar Asasi*
Suatu hari Syaqiq Albilkhi datang kepada Harun Alrasyyid, penguasa di zamannya, tentu saja bukan untuk mengharap atau meminta sesuatu atau menjilat penguasa, hal yang karenanya para ulama bertahan untuk tidak pernah mendatangi pintu mereka.
la segera minta segelas air minum. Setelah gelas itu di genggamnya, ia bertanya, “Harun, apa sikapmu jika di tengah padang pasir engkau kehabisan air yang kau perlukan untuk menyambung hidup?” Harun menjawab “Setengah kerajaanku akan kulepaskan untuk menebus segelas air itu.”
Syaqiq bertanya lagi, “Bagaimana bila suatu hari segelas air yang setiap hari engkau keluarkan dari tubuhmu, tak dapat keluar dan menyebabkan engkau sangat menderita?” Harun menjawab lugas, “Seluruh kerajaanku akan kulepaskan untuk bisa mengeluarkan air itu.”
Syaqiq lantas menutup dialog dengan pesan yang tajam, membuat Harun menangis, “Nah, karenanya hati-hatilah dengan kekuasaan yang nilainya tak lebih dari segelas air ini.”
WARISAN SANG MURABBI
Pilar-pilar Asasi
🖋 Penulis: KH. Rahmat Abdullah
📄 Kertas isi: Book Paper 55 gr
📖 Isi: 348 halaman (b/w)
📏 Ukuran 15,5 x 24 cm
📙 Sampul: Soft Cover
Laminating Doft ; Spot UV
🔖 Harga : Rp 99.000,-
Pemesanan silahkan sms ke 087878147997 atau Whatsapp:
https://wa.me/6287878147997
Syukran.
Banyak peristiwa membuktikan, bahwa pemikiran, keyakinan, dan sikap masyarakat, tidak selalu sejalan dengan penguasa. Di masa Khalifah al-Makmun, yang Muktazily, umat Islam lebih mengikuti para ulama Ahlu Sunnah, ketimbang paham Muktazilah. Di masa penjajahan Belanda, umat Islam tidak mengikuti agama penjajah, dan lebih mengikuti kepemimpinan ulama.
https://m.facebook.com/story.php?story_fbid=1726366167503326&id=153825841424041
https://m.facebook.com/story.php?story_fbid=1726366167503326&id=153825841424041
Kita memerintahkan anak kita menolong fakir miskin, menyantuni anak yatim, karena itu perintah Allah SWT, sesuai ajaran Islam; bukan karena perintah Pancasila. Dan yakinlah kita, di akhirat nanti, tidak akan ditanya oleh Allah, apakah kita sudah mengamalkan Pancasila atau tidak!
https://m.facebook.com/story.php?story_fbid=1726727210800555&id=153825841424041
https://m.facebook.com/story.php?story_fbid=1726727210800555&id=153825841424041
ENSIKLOPEDIA MATAN FIKIH SYAFI'I POPULER
Penulis: Syaikh Salim bin Sumair al-Hadrami, et. al.
Madzhab Syafi'i adalah madzhab terbesar di Indonesia. Masyarakat muslim Indonesia, dari bermacam suku, wilayah, organisasi dan lembaga, banyak yang menganut dan menisbatkan diri pada madzhab yang didirikan oleh Imam Abu Abdullah Muhammad bin Idris Asy-Syafi'i Al-Muththalibi Al-Quraisy ini. Maka, belajar dan mengajarkan apa yang menjadi kandungan dari madzhab in menjadi sebuah kebutuhan yang tak dapat dihindarkan. Oleh karena itu, menghadirkan sebuah buku yang menghimpun materi belajar dan mengajar fikih Syafi'i bagi santri dan pemula, menjadi sebuah perkara yang penting untuk dilakukan.
Buku ini istimewa, karena ia menghimpun empat matan fikih yang cukup penting dan masyhur di kalangan para pencari ilmu, terutama yang mendalami fikih madzhab Syafi'i. Empat matan fikih tersebut yakni :
1. Matan Safinatun Najah (Syaikh Salim bin Sumair Al-Hadrami w. 1271 H)
2. Al-Mukhtashar Al-Lathif (Syaikh Abdullah bin Abdurrahman Bafadhal w. 918 H)
3. Matan ABu Syuja (Abu Syuja' Al-Ashfahani w. 593 H)
4. Al-Yaqut An-Nafis (Syaikh Ahmad bin Umar Asy-Syathiri w. 1360 H)
Semoga hadirnya buku in membawa sebuah kemanfaatan yang besar bagi kaum muslimin, khususnya para santri dan pemula yang hendak memulai belajar fikih madzhab Syafi'i.
------------------------------------
ISLAM ENSIKLOPEDIA MATAN FIKIH SYAFI'I POPULER
Penulis: Syaikh Salim bin Sumair al-Hadrami, et. al.
Sampul: Hard Cover
Tebal: 626 Halaman
Ukuran: 24,7 x 17,5 x 3,2 cm
Berat: 1,07 kg
Harga: Rp. 165.000,-
Pemesanan silahkan sms ke 087878147997 atau Whatsapp:
https://wa.me/6287878147997
Syukran.
Penulis: Syaikh Salim bin Sumair al-Hadrami, et. al.
Madzhab Syafi'i adalah madzhab terbesar di Indonesia. Masyarakat muslim Indonesia, dari bermacam suku, wilayah, organisasi dan lembaga, banyak yang menganut dan menisbatkan diri pada madzhab yang didirikan oleh Imam Abu Abdullah Muhammad bin Idris Asy-Syafi'i Al-Muththalibi Al-Quraisy ini. Maka, belajar dan mengajarkan apa yang menjadi kandungan dari madzhab in menjadi sebuah kebutuhan yang tak dapat dihindarkan. Oleh karena itu, menghadirkan sebuah buku yang menghimpun materi belajar dan mengajar fikih Syafi'i bagi santri dan pemula, menjadi sebuah perkara yang penting untuk dilakukan.
Buku ini istimewa, karena ia menghimpun empat matan fikih yang cukup penting dan masyhur di kalangan para pencari ilmu, terutama yang mendalami fikih madzhab Syafi'i. Empat matan fikih tersebut yakni :
1. Matan Safinatun Najah (Syaikh Salim bin Sumair Al-Hadrami w. 1271 H)
2. Al-Mukhtashar Al-Lathif (Syaikh Abdullah bin Abdurrahman Bafadhal w. 918 H)
3. Matan ABu Syuja (Abu Syuja' Al-Ashfahani w. 593 H)
4. Al-Yaqut An-Nafis (Syaikh Ahmad bin Umar Asy-Syathiri w. 1360 H)
Semoga hadirnya buku in membawa sebuah kemanfaatan yang besar bagi kaum muslimin, khususnya para santri dan pemula yang hendak memulai belajar fikih madzhab Syafi'i.
------------------------------------
ISLAM ENSIKLOPEDIA MATAN FIKIH SYAFI'I POPULER
Penulis: Syaikh Salim bin Sumair al-Hadrami, et. al.
Sampul: Hard Cover
Tebal: 626 Halaman
Ukuran: 24,7 x 17,5 x 3,2 cm
Berat: 1,07 kg
Harga: Rp. 165.000,-
Pemesanan silahkan sms ke 087878147997 atau Whatsapp:
https://wa.me/6287878147997
Syukran.
Dulu, di awal tahun 1960-an, lulus SMP saya mendaftar Sekolah Guru Atas (SGA). Rapor saya dilihat, dan saya ditolak. Lalu, saya mendaftar ke SMA terbaik di Surabaya. Rapor saya dilihat, dan saya diterima,” kata pria 70 tahun yang kemudian menjadi dosen di ITS.
https://m.facebook.com/story.php?story_fbid=1729943537145589&id=153825841424041
https://m.facebook.com/story.php?story_fbid=1729943537145589&id=153825841424041
Waktu itu, tidak ada yang mengeluarkan fatwa haram ikut pemilu, dengan alasan pemilu adalah sistem demokrasi. Padahal, para ulama Indonesia sudah mengkaji kitab-kitab para ulama tentang fiqih politik, seperti kitab al-Ahkam al-Sulthaniyyah ditulis Imam Mawardi (w. 450 H/sekitar 1072 M).
https://m.facebook.com/story.php?story_fbid=1730442750429001&id=153825841424041
https://m.facebook.com/story.php?story_fbid=1730442750429001&id=153825841424041