PAK NADIEM, BEGINILAH GURU YANG BAIK MENURUT KH HASYIM ASY’ARI!
Oleh: Dr. Adian Husaini
(Direktur ATTAQWA COLLEGE DEPOK)
Menyambut Hari Guru, 25 November 2019, beredar sambutan Mendikbud Nadiem Makarim di internet. Di awal pidatonya, Nadiem menyatakan, bahwa ia ingin berbicara apa adanya, dengan hati yang tulus, kepada semua guru di Indonesia dari Sabang sampai Merauke. “Guru Indonesia yang tercinta, tugas Anda adalah yang termulia sekaligus yang tersulit. Anda ditugasi untuk membentuk masa depan bangsa, tetapi lebih sering diberi aturan dibandingkan dengan pertolongan,” kata Menteri Nadiem.
Ada beberapa poin penting pidato Mendikbud menyambut Hari Guru. Diantaranya ialah:
(a) Guru ingin membantu murid yang mengalami ketertinggalan di kelas, tetapi waktunya habis untuk mengerjakan tugas administratif tanpa manfaat yang jelas.
(b) Guru tahu betul bahwa potensi anak tidak dapat diukur dari hasil ujian, tetapi terpaksa mengejar angka karena didesak berbagai pemangku kepentingan.
(c) Guru ingin mengajak murid keluar kelas untuk belajar dari dunia sekitarnya, tetapi kurikulum yang begitu padat menutup pintu petualangan.
(d) Guru frustasi karena tahu bahwa di dunia nyata kemampuan berkarya dan berkolaborasi akan menentukan kesuksesan anak, bukan kemampuan menghafal.
(e) Guru tahu bahwa setiap anak memiliki kebutuhan berbeda, tetapi keseragaman telah mengalahkan keberagaman sebagai prinsip dasar birokrasi.
(f) Guru ingin setiap murid terinspirasi, tetapi guru tidak diberi kepercayaan untuk berinovasi.
“Saya tidak akan membuat janji-janji kosong kepada anda. Perubahan adalah hal yang sulit dan penuh dengan ketidaknyamanan. Satu hal yang pasti, saya akan berjuang untuk kemerdekaan belajar di Indonesia,” begitu janji Menteri Nadiem.
*
Kita menunggu realisasi janji Menteri Nadiem tersebut. Insan pendidikan pasti sepakat bahwa kunci utama perbaikan pendidikan nasional adalah perbaikan kualitas guru. Pahlawan Nasional dan Pendiri Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia, Mohammad Natsir — mengutip Dr. G.J. Nieuwenhuis — menyatakan, ”Suatu bangsa tidak akan maju, sebelum ada di antara bangsa itu segolongan Guru yang suka berkorban untuk keperluan bangsanya.”
Dalam acara Pengajian Alumni HMI UI tahun 1960 dan 1970-an di Jakarta, ada yang bertanya tentang masa depan pendidikan di era Menteri Nadiem. Saya jawab, “Jika Mendikbud Nadiem bisa menyederhanakan birokrasi pendidikan dan memberikan kemerdekaan kepada guru untuk mengajar dan mendidik, itu sudah bagus. Sebab, tantangan di lapangan sangatlah berat.”
Adab guru-murid
Problem pendidikan kita yang paling mendasar sebenarnya sederhana: hilangnya adab guru dan murid (loss of adab). Inilah akar masalah pendidikan kita, dan bahkan – menurut Prof. Syed Muhammad Naquib al-Attas — menjadi akar krisis yang melanda umat Islam. Di Nusantara, banyak kitab adab guru dan murid karya para ulama kita.
Di Jakarta, misalnya, Mufti Betawi Sayyid Utsman menulis kitab Adabul Insan – satu kitab kecil huruf Arab Melayu yang cocok diajarkan pada anak-anak tingkat sekolah dasar. Tokoh Persatuan Islam (Persis), A. Hassan menulis buku berjudul “Kesopanan Tinggi” dan “Hai Putraku”, tahun 1946, yang hingga kini belum diterbitkan menjadi buku. Sastrawan besar kita, Raja Ali Haji, menulis kitab “Gurindam 12”, yang berisi panduan adab kepada diri, keluarga, pemimpin, bahasa, Nabi, juga Allah SWT.
Salah satu Kitab Adab guru dan murid yang terkenal adalah kitab “Ādabul ’Ālim wal-Muta’allim” karya KH Hasyim Asy’ari. Sebab, menurut Syekh az-Zarnuji, penulis Kitab “Ta’limul Muta’allim”, banyak orang mencari ilmu, dan akhirnya tidak dapat ilmu yang bermanfaat, karena salah niat dan salah jalan. Maksudnya, tidak beradab dalam mencari ilmu.
Sebagai contoh, dalam ”Ādabul ’Ālim wal-Muta’allim” Kyai Hasyim Asy’ari menyebutkan sejumlah adab yang harus dijalani oleh guru. Misalnya, guru harus selalu berusaha mendekatkan diri (taqarrub) kepada Allah, memiliki rasa takut kepada Allah, rendah hati (tawadhu’), khusyu’ dalam ibadah, mentaati hukum Allah, menggunakan ilmunya dengan benar, zuhud (tidak cinta duni
Oleh: Dr. Adian Husaini
(Direktur ATTAQWA COLLEGE DEPOK)
Menyambut Hari Guru, 25 November 2019, beredar sambutan Mendikbud Nadiem Makarim di internet. Di awal pidatonya, Nadiem menyatakan, bahwa ia ingin berbicara apa adanya, dengan hati yang tulus, kepada semua guru di Indonesia dari Sabang sampai Merauke. “Guru Indonesia yang tercinta, tugas Anda adalah yang termulia sekaligus yang tersulit. Anda ditugasi untuk membentuk masa depan bangsa, tetapi lebih sering diberi aturan dibandingkan dengan pertolongan,” kata Menteri Nadiem.
Ada beberapa poin penting pidato Mendikbud menyambut Hari Guru. Diantaranya ialah:
(a) Guru ingin membantu murid yang mengalami ketertinggalan di kelas, tetapi waktunya habis untuk mengerjakan tugas administratif tanpa manfaat yang jelas.
(b) Guru tahu betul bahwa potensi anak tidak dapat diukur dari hasil ujian, tetapi terpaksa mengejar angka karena didesak berbagai pemangku kepentingan.
(c) Guru ingin mengajak murid keluar kelas untuk belajar dari dunia sekitarnya, tetapi kurikulum yang begitu padat menutup pintu petualangan.
(d) Guru frustasi karena tahu bahwa di dunia nyata kemampuan berkarya dan berkolaborasi akan menentukan kesuksesan anak, bukan kemampuan menghafal.
(e) Guru tahu bahwa setiap anak memiliki kebutuhan berbeda, tetapi keseragaman telah mengalahkan keberagaman sebagai prinsip dasar birokrasi.
(f) Guru ingin setiap murid terinspirasi, tetapi guru tidak diberi kepercayaan untuk berinovasi.
“Saya tidak akan membuat janji-janji kosong kepada anda. Perubahan adalah hal yang sulit dan penuh dengan ketidaknyamanan. Satu hal yang pasti, saya akan berjuang untuk kemerdekaan belajar di Indonesia,” begitu janji Menteri Nadiem.
*
Kita menunggu realisasi janji Menteri Nadiem tersebut. Insan pendidikan pasti sepakat bahwa kunci utama perbaikan pendidikan nasional adalah perbaikan kualitas guru. Pahlawan Nasional dan Pendiri Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia, Mohammad Natsir — mengutip Dr. G.J. Nieuwenhuis — menyatakan, ”Suatu bangsa tidak akan maju, sebelum ada di antara bangsa itu segolongan Guru yang suka berkorban untuk keperluan bangsanya.”
Dalam acara Pengajian Alumni HMI UI tahun 1960 dan 1970-an di Jakarta, ada yang bertanya tentang masa depan pendidikan di era Menteri Nadiem. Saya jawab, “Jika Mendikbud Nadiem bisa menyederhanakan birokrasi pendidikan dan memberikan kemerdekaan kepada guru untuk mengajar dan mendidik, itu sudah bagus. Sebab, tantangan di lapangan sangatlah berat.”
Adab guru-murid
Problem pendidikan kita yang paling mendasar sebenarnya sederhana: hilangnya adab guru dan murid (loss of adab). Inilah akar masalah pendidikan kita, dan bahkan – menurut Prof. Syed Muhammad Naquib al-Attas — menjadi akar krisis yang melanda umat Islam. Di Nusantara, banyak kitab adab guru dan murid karya para ulama kita.
Di Jakarta, misalnya, Mufti Betawi Sayyid Utsman menulis kitab Adabul Insan – satu kitab kecil huruf Arab Melayu yang cocok diajarkan pada anak-anak tingkat sekolah dasar. Tokoh Persatuan Islam (Persis), A. Hassan menulis buku berjudul “Kesopanan Tinggi” dan “Hai Putraku”, tahun 1946, yang hingga kini belum diterbitkan menjadi buku. Sastrawan besar kita, Raja Ali Haji, menulis kitab “Gurindam 12”, yang berisi panduan adab kepada diri, keluarga, pemimpin, bahasa, Nabi, juga Allah SWT.
Salah satu Kitab Adab guru dan murid yang terkenal adalah kitab “Ādabul ’Ālim wal-Muta’allim” karya KH Hasyim Asy’ari. Sebab, menurut Syekh az-Zarnuji, penulis Kitab “Ta’limul Muta’allim”, banyak orang mencari ilmu, dan akhirnya tidak dapat ilmu yang bermanfaat, karena salah niat dan salah jalan. Maksudnya, tidak beradab dalam mencari ilmu.
Sebagai contoh, dalam ”Ādabul ’Ālim wal-Muta’allim” Kyai Hasyim Asy’ari menyebutkan sejumlah adab yang harus dijalani oleh guru. Misalnya, guru harus selalu berusaha mendekatkan diri (taqarrub) kepada Allah, memiliki rasa takut kepada Allah, rendah hati (tawadhu’), khusyu’ dalam ibadah, mentaati hukum Allah, menggunakan ilmunya dengan benar, zuhud (tidak cinta duni
a), selalu mensucikan jiwanya, menegakkan sunnah Rasul, dan sebagainya.
Tapi, bukan hanya guru yang harus beradab. Murid pun harus beradab. Diantara adab yang harus dimiliki oleh pelajar adalah: senantiasa berusaha membersihkan hati dari segala penyakit hati, seperti kedengkian, akidah dan akhlak yang rusak, ikhlas dalam mencari ilmu untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT dan tidak bermaksud mengejar keuntungan duniawi. Pelajar juga harus sabar atas kehidupan yang sederhana, mampu membagi waktu dengan baik, mengurangi makan dan minum, sedikit tidur, pandai memilih teman yang baik, dan sebagainya.
Pelajar juga dinasehatkan oleh Kyai Hasyim Asy’ari untuk berhati-hati dalam memilih guru. Pelajar harus selalu memohon petunjuk pada Allah: kepada guru siapa ia harus mencari ilmu. Pelajar pun diminta mentaati gurunya, laksana pasien mentaati nasehat dokternya. Pelajar jangan melupakan jasa dan keutamaan guru. Ia perlu terus mendoakan gurunya, baik ketika hidup atau sesudah wafatnya.
Konsep penanaman adab dalam diri seorang pelajar (inculcation of adab) inilah, yang oleh Prof. Syed Muhammad Naquib al-Attas, disebut sebagai “the fundamental element of education.” Jika elemen yang paling mendasar ini hilang dari pendidikan kita, maka tak ada lagi yang namanya “pendidikan” (opvoeding). Bisa jadi tinggal pembelajaran (onderwijz), atau training!
Ajaran para ulama Nusantara tentang adab ini bukan sekedar “local wisdom”, tetapi “universal wisdom” – yang lebih mendasar dan komprehensif dalam membentuk manusia unggul, ketimbang konsep karakter Thomas Lickona!
Percayalah Pak Menteri!
(Depok, 25 November 2019)
Tapi, bukan hanya guru yang harus beradab. Murid pun harus beradab. Diantara adab yang harus dimiliki oleh pelajar adalah: senantiasa berusaha membersihkan hati dari segala penyakit hati, seperti kedengkian, akidah dan akhlak yang rusak, ikhlas dalam mencari ilmu untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT dan tidak bermaksud mengejar keuntungan duniawi. Pelajar juga harus sabar atas kehidupan yang sederhana, mampu membagi waktu dengan baik, mengurangi makan dan minum, sedikit tidur, pandai memilih teman yang baik, dan sebagainya.
Pelajar juga dinasehatkan oleh Kyai Hasyim Asy’ari untuk berhati-hati dalam memilih guru. Pelajar harus selalu memohon petunjuk pada Allah: kepada guru siapa ia harus mencari ilmu. Pelajar pun diminta mentaati gurunya, laksana pasien mentaati nasehat dokternya. Pelajar jangan melupakan jasa dan keutamaan guru. Ia perlu terus mendoakan gurunya, baik ketika hidup atau sesudah wafatnya.
Konsep penanaman adab dalam diri seorang pelajar (inculcation of adab) inilah, yang oleh Prof. Syed Muhammad Naquib al-Attas, disebut sebagai “the fundamental element of education.” Jika elemen yang paling mendasar ini hilang dari pendidikan kita, maka tak ada lagi yang namanya “pendidikan” (opvoeding). Bisa jadi tinggal pembelajaran (onderwijz), atau training!
Ajaran para ulama Nusantara tentang adab ini bukan sekedar “local wisdom”, tetapi “universal wisdom” – yang lebih mendasar dan komprehensif dalam membentuk manusia unggul, ketimbang konsep karakter Thomas Lickona!
Percayalah Pak Menteri!
(Depok, 25 November 2019)
Adanya suara-suara yang menghalalkan homoseksual sebenarnya lebih bersumber dari jiwa yang sakit, emosi yang tidak stabil dan nalar yang dangkal.
https://m.facebook.com/story.php?story_fbid=1591695684303709&id=153825841424041
https://m.facebook.com/story.php?story_fbid=1591695684303709&id=153825841424041
Meskipun banyak kaum Yahudi yang masih memandang homoseksual sebagai suatu kejahatan, tetapi mereka saat ini kalah dominan dengan Yahudi-yahudi yang sudah mendukung perkawinan sejenis.
https://m.facebook.com/story.php?story_fbid=1592675670872377&id=153825841424041
https://m.facebook.com/story.php?story_fbid=1592675670872377&id=153825841424041
Jika ada orang Islam yang "dianggap" ekstrim atau "radikal" "fundamentalist" atau "terroris" atau apapun istilahnya tidak logis jika disimpulkan bahwa umat Islam itu ekstrim, radikal, fundamentalis dan teroris. Lebih tidak logis lagi jika semua umat Islam, semua lembaga Islam dan semua gerakan umat Islam dicurigai menjadi radikal atau berpotensi menjadi radikal. Yang memprihatinkan kini stigma stigma tersebut diarahkan kepada umat Islam yang beramar makruf dan mengatakan kebenaran di depan publik.
Yang sangat mengherankan yang mencurigai justru mereka mereka yang dianggap cendekiawan, ulama atau politisi yang beragama Islam dan dianggap mengerti Islam dan umat Islam.
Dr. Hamid Fahmy Zarkasyi
Yang sangat mengherankan yang mencurigai justru mereka mereka yang dianggap cendekiawan, ulama atau politisi yang beragama Islam dan dianggap mengerti Islam dan umat Islam.
Dr. Hamid Fahmy Zarkasyi
Tafsir Al Misbah Dalam Sorotan
Penulis: Dr. Afrizal Nur
Sinopsis:
Buku ini adalah kritik terhadap buku Tafsir Al Mishbah yang ditulis oleh salah seorang pakar tafsir di Indonesia, M. Quraish Shihab. Penulis menyoroti beberapa hal dari karya tafsir tersebut, yang dianggap perlu untuk dikoreksi. Di antaranya tentang jilbab, tentang ahli Kitab, tentang kecenderungan tasyayyu’ (Syiah), dan lain sebagainya.
Mengoreksi secara ilmiah sebuah karya tulis adalah tradisi dalam khazanah keilmuan Islam. Tradisi tersebut tentu saja bertujuan untuk mengoreksi dan membangun dialektika keilmuan, agar kekeliruan bisa diluruskan dengan cara yang bermartabat. Karena itu, polemik terhadap sebuah karya tulis adalah hal biasa, selama masing-masing pihak memiliki hujjah yang kuat dan mengedepankan cara-cara yang santun dalam menyampaikan pendapatnya.
Buku ini awalnya adalah disertasi penulis di Universitas Kebangsaan Malaysia. Sebuah karya yang diajukan untuk mendapatkan gelar akademik, tentu saja buku ini sudah diujikan secara ilmiah. Kami sajikan dengan kemasan yang lebih popular dan ringan, agar buku ini mudah untuk dibaca.
Pendapat Ust Abdul Somad (UAS) tentang buku ini:
“Saya selalu ditanya orang tentang Tafsir Al Mishbah yang ditulis oleh Prof. Qurasih Shihab. Hampir tidak pernah saya jawab. Lalu saya katakan, coba Tanya Ustadz Afrizal Nur, karena beliau menulis tentang itu, disertasi doktor di Universitas Kebangsaan Malaysia. Alhamdulillah sekarang sudah terbit bukunya, “Tafsir Al Mishbah dalam Sorotan”. Buku ini amat sangat mendidik, isinya tidak diragukan karena disertasi doktor; ilmiah, tidak menghujat, tidak mencaci maki, murni ilmiah, keilmuan."
Ustad Abdul Somad (UAS), Lc,.MA, Datuk Seri Ulama Setia Negara
------------------------------------------
Tafsir Al Misbah Dalam Sorotan
Penulis: Dr. Afrizal Nur
No ISBN: 9789795928171
Cover: Soft Cover
Ukuran: 25x15
Harga: Rp 63.000,-
Pemesanan silahkan sms/whatsapp ke 087878147997.
Syukran...
Penulis: Dr. Afrizal Nur
Sinopsis:
Buku ini adalah kritik terhadap buku Tafsir Al Mishbah yang ditulis oleh salah seorang pakar tafsir di Indonesia, M. Quraish Shihab. Penulis menyoroti beberapa hal dari karya tafsir tersebut, yang dianggap perlu untuk dikoreksi. Di antaranya tentang jilbab, tentang ahli Kitab, tentang kecenderungan tasyayyu’ (Syiah), dan lain sebagainya.
Mengoreksi secara ilmiah sebuah karya tulis adalah tradisi dalam khazanah keilmuan Islam. Tradisi tersebut tentu saja bertujuan untuk mengoreksi dan membangun dialektika keilmuan, agar kekeliruan bisa diluruskan dengan cara yang bermartabat. Karena itu, polemik terhadap sebuah karya tulis adalah hal biasa, selama masing-masing pihak memiliki hujjah yang kuat dan mengedepankan cara-cara yang santun dalam menyampaikan pendapatnya.
Buku ini awalnya adalah disertasi penulis di Universitas Kebangsaan Malaysia. Sebuah karya yang diajukan untuk mendapatkan gelar akademik, tentu saja buku ini sudah diujikan secara ilmiah. Kami sajikan dengan kemasan yang lebih popular dan ringan, agar buku ini mudah untuk dibaca.
Pendapat Ust Abdul Somad (UAS) tentang buku ini:
“Saya selalu ditanya orang tentang Tafsir Al Mishbah yang ditulis oleh Prof. Qurasih Shihab. Hampir tidak pernah saya jawab. Lalu saya katakan, coba Tanya Ustadz Afrizal Nur, karena beliau menulis tentang itu, disertasi doktor di Universitas Kebangsaan Malaysia. Alhamdulillah sekarang sudah terbit bukunya, “Tafsir Al Mishbah dalam Sorotan”. Buku ini amat sangat mendidik, isinya tidak diragukan karena disertasi doktor; ilmiah, tidak menghujat, tidak mencaci maki, murni ilmiah, keilmuan."
Ustad Abdul Somad (UAS), Lc,.MA, Datuk Seri Ulama Setia Negara
------------------------------------------
Tafsir Al Misbah Dalam Sorotan
Penulis: Dr. Afrizal Nur
No ISBN: 9789795928171
Cover: Soft Cover
Ukuran: 25x15
Harga: Rp 63.000,-
Pemesanan silahkan sms/whatsapp ke 087878147997.
Syukran...
Filsafat Islam
Antara Ilmuwan Muslim dan Orentalis
Oleh: Dr. Hamid Fahmy Zarkasyi
Jika di abad 9-13 M orang menyebut kata falsafah, maka asosiasinya pasti tertuju pada al-Masysya’un atau Muslim paripatetik. Sebab para mutakallimun dan fuqaha tahu kata falsafah (filsafat) merupakan Arabisasi dari kata philosophia. Selain itu para ulama seperti al-Kindi, al-Farabi, Ibn Sina, Ibn Rusyd dsb., jelas telah berinteraksi dan menimba ilmu dari khazanah filsafat Yunani dengan tujuan untuk memformulasikan filsafat Islam. Namun, para orientalis menyimpulkan bahwa dalam Islam tidak ada filsafat. Jadi bagaimanakah asal usul dan hakekat filsafat Islam itu?
Terdapat tiga pandangan berbeda terdahap filsafat Islam. Pertama, mereka yang yakin bahwa tidak ada filsafat Islam, yang ada hanyalah filsafat Yunani yang nama dan substansinya telah di Arabkan. Kedua, mereka menolak sama sekali adanya filsafat dalam Islam, karena berfilsafat itu haram hukumnya. Ketiga, mereka yang berpegang bahwa filsafat Islam itu berasal dari al-Qur’an dan diperkaya oleh filsafat Yunani. Yang pertama diwakili oleh orientalis, yang kedua oleh para fuqaha dan muhaddithin dan ketiga adalah ilmuwan Muslim masa kini. Disini hanya akan dibahas pandangan pertama dan ketiga.
Alasan menafikan adanya filsafat Islam dari orientalis bersumber dari arti dan sejarah filsafat Islam. Peter FE misalnya, melihat sumber filsafat Islam hanya dari Yunani. Kajiannya menyimpulakan bahwa “dalam Islam tidak ada filsafat”, bahkan Ilmu Kalam sekalipun ia anggap sebagai “saudara tiri” filsafat yang juga berasal sumber yang sama yaitu Yunani (the stepsisters borne by the same mother). Pernyataan serupa juga disampaikan oleh Professor Ueberweg dalam bukunya History of Philosophy vol. i, (hal. 405), bahwa seluruh filsafat Arab hanyalah Aristotelianisme yang dikembangkan kurang lebih dengan konsep-konsep Neo-Platonik. Jadi filsafat Islam berasal dari Yunani, baik nama maupun isinya.
De Boer juga melihat dari sisi sejarah. Katanya “Islam datang ke dunia ini tanpa filsafat”, sebab, katanya, pada abad pertama masyarakat Islam tidak mempunyai kesadaran akan metode atau sistim. Jadi filsafat Islam hanyalah hasil asimilasi dan bukan asli dari Islam. Tidak aneh jika bukunya The History of Philosophy in Islam membahas secara berlebihan Sains Yunani dan Wisdom dari Timur, sekedar untuk menunjukkan ketidak-aslian filsafat Islam. Sama dengan De Boer, Gustave E von Grunebaum berasumsi bahwa dalam Islam tidak ada pemikiran rasional, konsep-konsep dan prinsip klassifikasi, oleh karena itu semua itu pasti diambil dari Yunani. Pandangan ekstrim ini tentu berdasarkan pengetahuan yang parsial tentang Islam.
Asumsi bahwa dalam Islam tidak ada sesuatu yang rasional juga datang dari M.W.Watt, Joseph van Ess dan Michael Cook. Mereka bahkan menuduh ilmu Kalam yang menggunakan argumentasi rasional itu, memperkenalkan dan mendiskusikan konsep-konsep non-Qur’ani, yang kebanyakan diambil dari filsafat dan sains Yunani atau dari teks Syriac. Tapi, para orientalis itu hanya berasumsi dan mengakui bahwa itu semua masih harus dibuktikan. Padahal ilmu sanad dan klassifikasi hadith, misalnya, tidak pernah terbukti berasal dari Yunani.
Dalam buku A History of Philosophical System, Edward J. Jurji menulis artikel berjudul Arabic and Islamic Philosophy. Dalam artikel itu ia mengakui adanya sumbangan peradaban Arab-Islam kepada peradaban Barat Baru (New West). Meskipun demikian ia dengan tegas menyatakan bahwa itu semua tidak berasal dari jazirah Arab, tapi dari Yunani. Sebab sebelum orang-orang Arab itu berhubungan dengan bangsa Syria, Yahudi dan Iran, mereka berwawasan sempit (narrow horizon). Orang Muslim, pada abad ke 7 M, katanya, mustahil bisa faham arti logika dan filsafat Yunani. Kemampuan mereka dalam disiplin filsafat baru muncul setelah orang-orang Kristen dan Yahudi mengungguli mereka.
Pernyataan Edward sebenarnya bertentangan dengan temuan Peter yang menemukan fakta bahwa orang Kristen tidak bisa menyelesaikan terjemahan Organon karya Aristotle karena khawatir akan membahayakan keimanan mereka. Bagi Mu
Antara Ilmuwan Muslim dan Orentalis
Oleh: Dr. Hamid Fahmy Zarkasyi
Jika di abad 9-13 M orang menyebut kata falsafah, maka asosiasinya pasti tertuju pada al-Masysya’un atau Muslim paripatetik. Sebab para mutakallimun dan fuqaha tahu kata falsafah (filsafat) merupakan Arabisasi dari kata philosophia. Selain itu para ulama seperti al-Kindi, al-Farabi, Ibn Sina, Ibn Rusyd dsb., jelas telah berinteraksi dan menimba ilmu dari khazanah filsafat Yunani dengan tujuan untuk memformulasikan filsafat Islam. Namun, para orientalis menyimpulkan bahwa dalam Islam tidak ada filsafat. Jadi bagaimanakah asal usul dan hakekat filsafat Islam itu?
Terdapat tiga pandangan berbeda terdahap filsafat Islam. Pertama, mereka yang yakin bahwa tidak ada filsafat Islam, yang ada hanyalah filsafat Yunani yang nama dan substansinya telah di Arabkan. Kedua, mereka menolak sama sekali adanya filsafat dalam Islam, karena berfilsafat itu haram hukumnya. Ketiga, mereka yang berpegang bahwa filsafat Islam itu berasal dari al-Qur’an dan diperkaya oleh filsafat Yunani. Yang pertama diwakili oleh orientalis, yang kedua oleh para fuqaha dan muhaddithin dan ketiga adalah ilmuwan Muslim masa kini. Disini hanya akan dibahas pandangan pertama dan ketiga.
Alasan menafikan adanya filsafat Islam dari orientalis bersumber dari arti dan sejarah filsafat Islam. Peter FE misalnya, melihat sumber filsafat Islam hanya dari Yunani. Kajiannya menyimpulakan bahwa “dalam Islam tidak ada filsafat”, bahkan Ilmu Kalam sekalipun ia anggap sebagai “saudara tiri” filsafat yang juga berasal sumber yang sama yaitu Yunani (the stepsisters borne by the same mother). Pernyataan serupa juga disampaikan oleh Professor Ueberweg dalam bukunya History of Philosophy vol. i, (hal. 405), bahwa seluruh filsafat Arab hanyalah Aristotelianisme yang dikembangkan kurang lebih dengan konsep-konsep Neo-Platonik. Jadi filsafat Islam berasal dari Yunani, baik nama maupun isinya.
De Boer juga melihat dari sisi sejarah. Katanya “Islam datang ke dunia ini tanpa filsafat”, sebab, katanya, pada abad pertama masyarakat Islam tidak mempunyai kesadaran akan metode atau sistim. Jadi filsafat Islam hanyalah hasil asimilasi dan bukan asli dari Islam. Tidak aneh jika bukunya The History of Philosophy in Islam membahas secara berlebihan Sains Yunani dan Wisdom dari Timur, sekedar untuk menunjukkan ketidak-aslian filsafat Islam. Sama dengan De Boer, Gustave E von Grunebaum berasumsi bahwa dalam Islam tidak ada pemikiran rasional, konsep-konsep dan prinsip klassifikasi, oleh karena itu semua itu pasti diambil dari Yunani. Pandangan ekstrim ini tentu berdasarkan pengetahuan yang parsial tentang Islam.
Asumsi bahwa dalam Islam tidak ada sesuatu yang rasional juga datang dari M.W.Watt, Joseph van Ess dan Michael Cook. Mereka bahkan menuduh ilmu Kalam yang menggunakan argumentasi rasional itu, memperkenalkan dan mendiskusikan konsep-konsep non-Qur’ani, yang kebanyakan diambil dari filsafat dan sains Yunani atau dari teks Syriac. Tapi, para orientalis itu hanya berasumsi dan mengakui bahwa itu semua masih harus dibuktikan. Padahal ilmu sanad dan klassifikasi hadith, misalnya, tidak pernah terbukti berasal dari Yunani.
Dalam buku A History of Philosophical System, Edward J. Jurji menulis artikel berjudul Arabic and Islamic Philosophy. Dalam artikel itu ia mengakui adanya sumbangan peradaban Arab-Islam kepada peradaban Barat Baru (New West). Meskipun demikian ia dengan tegas menyatakan bahwa itu semua tidak berasal dari jazirah Arab, tapi dari Yunani. Sebab sebelum orang-orang Arab itu berhubungan dengan bangsa Syria, Yahudi dan Iran, mereka berwawasan sempit (narrow horizon). Orang Muslim, pada abad ke 7 M, katanya, mustahil bisa faham arti logika dan filsafat Yunani. Kemampuan mereka dalam disiplin filsafat baru muncul setelah orang-orang Kristen dan Yahudi mengungguli mereka.
Pernyataan Edward sebenarnya bertentangan dengan temuan Peter yang menemukan fakta bahwa orang Kristen tidak bisa menyelesaikan terjemahan Organon karya Aristotle karena khawatir akan membahayakan keimanan mereka. Bagi Mu
slim ini tidak masalah. Ini berarti mereka tidak mampu menyerap logika Yunani yang canggih (baca sophisticated) karena miskinnya mekanisme untuk menghasilkan kerangka konsep keilmuan (scientific conceptual scheme) dalam pandangan hidup mereka. Jadi kalau fakta yang dikemukakan Peter ini dipahami dalam perspektif pandangan hidup (worldview) Islam, asumsi Edward tidak bisa dipertahankan lagi. Malah asumsi itu bisa menjadi terbalik yaitu bahwa kerangka konsep keilmuan Barat itu muncul hanya setelah mereka bersentuhan dengan peradaban Muslim yang berdasarkan pada pandangan hidup yang canggih.
Akibat dari cara pandang ini nampak dalam framework kajian mereka. Sudah dapat dipastikan bahwa hampir seluruh buku sejarah filsafat Islam, atau artikel tentang filsafat Islam dimulai dari tokoh yang bernama al-Kindi. Sebab al-Kindi dianggap cendekiawan Muslim yang pertama kali bersentuhan dengan filsafat Yunani. Logikanya, sebelum al-Kindi tidak ada filsafat Islam. Dan orang-orang yang menyerang filsafat Yunani seperti al-Ghazzali, Fakhr al-Din al-Razi dan lain-lain tidak disebut filosof.
Mungkin agak sedikit obyektif, dan bisa mewakili pandangan ketiga adalah Michael Marmura (dalam Encyclopedia of Religion) dan Oliver Leaman. Menurut Marmura para filosof Muslim itu tidak hanya menerima ide-ide Yunani yang mereka terjemahkan, mereka menyeleksi, mengolah dan merubah konsep-konsepnya untuk membentuk filsafat mereka sendiri. Pengakuan Marmura sangat tepat, sebab tidak semua konsep Yunani diterima oleh Muslim. Ada proses seleksi, pemurnian, modifikasi dan reformulasi konsep. Faktanya memang penterjemah dari kalangan Kristen seperti Hunayn Ibn Ishaq (m.873), Thabit in Qurra (m.901), Yahya ibn Adi (m.974) dsb. adalah penerjemah bayaran. Sesudah proses penterjemahan, tidak lagi punya peran apa-apa. Para cendekiawan dan filosof Muslim lah yang kemudian mengolahnya dalam bentuk komentar, penjelasan, adapsi dan tentu Islamisasi konsep-konsep pentingnya. Pendapat Marmura ini dikuatkan oleh Sabra, yaitu bahwa istilah Yunani “philosophia” yang di Arabkan menjadi falsafah justru menunjukkan tanda keberhasilan naturalisasi filsafat Yunani kedalam millieu Islam.
Bahkan menurut C.A.Qadir, penulis buku Philosophy and Science in The Islamic World, sumber aspirasi asli dan riel para pemikir Muslim adalah al-Qur’an dan Hadith. Pemikiran Yunani hanyalah pembuka jalan. Muslim berhutang pada Yunani dan pada saat yang sama menyimpang dari Yunani. Dalam masalah Tuhan, manusia dan alam semesta para pemikir Muslim memiliki konsep mereka sendiri yang justru tidak terdapat dalam pemikiran Yunani.
Oleh sebab itu MM Sharif dalam A History of Muslim Philosophy mengibaratkan pemikiran Islam dan Muslim sebagai kain sedangkan pemikiran Yunani sebagai sulaman, “meskipun sulaman itu dari emas, kita hendaknya jangan menganggap sulaman itu sebagai kain”. Bagi Iqbal semangat Islam adalah anti-klasik, maksudnya adalah anti-Yunani. Seyyed Hossein Nasr secara metaforis menyatakan bahwa Aristotle telah dikirim kembali ketempat asalnya di Barat, bersamaan dengan Averroes, murid terbesarnya. Meskipun begitu Nasr menyadari bahwa dalam filsafat terdapat unsur-unsur Yunani. Hanya saja ketika unsur-unsurnya yang sesuai dengan semangat Islam itu diintegrasikan kedalam peradaban Islam, ia menjadi Islami.
Jika para orientalis diatas begitu ekstrim mengklaim filsafat Islam sepenuhnya berasal dari Yunani. Oliver Leaman dalam bukunya An Introduction to Medieval Islamic Philosophy mengakui bahwa Usul Fiqih memiliki peran penting dalam melahirkan filsafat dalam Islam. Ini nampaknya dikaitkan dengan tradisi qiyas dalam fiqih yang sangat rasional dan hampir mirip dengan syllogisme Aristotle. Bukan hanya itu kenyataannya dalam al-Qur’an memang telah terdapat elemen metafisika, seperti konsep Tuhan, alam ghaib, hari akhir, prinsip akhlaq, ilmu, iman dsb. Dari elemen ini saja sudah dapat disimpulkan bahwa filsafat telah ada sebelum bersentuhan dengan Yunani. Realitas ini digambarkan oleh Oliver Leaman dengan cerdas sekali bahwa filsafat Islam muncul dalam teologi Islam dan tanpa kaitan l
Akibat dari cara pandang ini nampak dalam framework kajian mereka. Sudah dapat dipastikan bahwa hampir seluruh buku sejarah filsafat Islam, atau artikel tentang filsafat Islam dimulai dari tokoh yang bernama al-Kindi. Sebab al-Kindi dianggap cendekiawan Muslim yang pertama kali bersentuhan dengan filsafat Yunani. Logikanya, sebelum al-Kindi tidak ada filsafat Islam. Dan orang-orang yang menyerang filsafat Yunani seperti al-Ghazzali, Fakhr al-Din al-Razi dan lain-lain tidak disebut filosof.
Mungkin agak sedikit obyektif, dan bisa mewakili pandangan ketiga adalah Michael Marmura (dalam Encyclopedia of Religion) dan Oliver Leaman. Menurut Marmura para filosof Muslim itu tidak hanya menerima ide-ide Yunani yang mereka terjemahkan, mereka menyeleksi, mengolah dan merubah konsep-konsepnya untuk membentuk filsafat mereka sendiri. Pengakuan Marmura sangat tepat, sebab tidak semua konsep Yunani diterima oleh Muslim. Ada proses seleksi, pemurnian, modifikasi dan reformulasi konsep. Faktanya memang penterjemah dari kalangan Kristen seperti Hunayn Ibn Ishaq (m.873), Thabit in Qurra (m.901), Yahya ibn Adi (m.974) dsb. adalah penerjemah bayaran. Sesudah proses penterjemahan, tidak lagi punya peran apa-apa. Para cendekiawan dan filosof Muslim lah yang kemudian mengolahnya dalam bentuk komentar, penjelasan, adapsi dan tentu Islamisasi konsep-konsep pentingnya. Pendapat Marmura ini dikuatkan oleh Sabra, yaitu bahwa istilah Yunani “philosophia” yang di Arabkan menjadi falsafah justru menunjukkan tanda keberhasilan naturalisasi filsafat Yunani kedalam millieu Islam.
Bahkan menurut C.A.Qadir, penulis buku Philosophy and Science in The Islamic World, sumber aspirasi asli dan riel para pemikir Muslim adalah al-Qur’an dan Hadith. Pemikiran Yunani hanyalah pembuka jalan. Muslim berhutang pada Yunani dan pada saat yang sama menyimpang dari Yunani. Dalam masalah Tuhan, manusia dan alam semesta para pemikir Muslim memiliki konsep mereka sendiri yang justru tidak terdapat dalam pemikiran Yunani.
Oleh sebab itu MM Sharif dalam A History of Muslim Philosophy mengibaratkan pemikiran Islam dan Muslim sebagai kain sedangkan pemikiran Yunani sebagai sulaman, “meskipun sulaman itu dari emas, kita hendaknya jangan menganggap sulaman itu sebagai kain”. Bagi Iqbal semangat Islam adalah anti-klasik, maksudnya adalah anti-Yunani. Seyyed Hossein Nasr secara metaforis menyatakan bahwa Aristotle telah dikirim kembali ketempat asalnya di Barat, bersamaan dengan Averroes, murid terbesarnya. Meskipun begitu Nasr menyadari bahwa dalam filsafat terdapat unsur-unsur Yunani. Hanya saja ketika unsur-unsurnya yang sesuai dengan semangat Islam itu diintegrasikan kedalam peradaban Islam, ia menjadi Islami.
Jika para orientalis diatas begitu ekstrim mengklaim filsafat Islam sepenuhnya berasal dari Yunani. Oliver Leaman dalam bukunya An Introduction to Medieval Islamic Philosophy mengakui bahwa Usul Fiqih memiliki peran penting dalam melahirkan filsafat dalam Islam. Ini nampaknya dikaitkan dengan tradisi qiyas dalam fiqih yang sangat rasional dan hampir mirip dengan syllogisme Aristotle. Bukan hanya itu kenyataannya dalam al-Qur’an memang telah terdapat elemen metafisika, seperti konsep Tuhan, alam ghaib, hari akhir, prinsip akhlaq, ilmu, iman dsb. Dari elemen ini saja sudah dapat disimpulkan bahwa filsafat telah ada sebelum bersentuhan dengan Yunani. Realitas ini digambarkan oleh Oliver Leaman dengan cerdas sekali bahwa filsafat Islam muncul dalam teologi Islam dan tanpa kaitan l
angsung dengan filsafat Yunani (philosophy arose in Islamic theology and was without any direct contact with Greek philosophy).
Lebih dari itu, dalam Islam sendiri terdapat istilah hikmah. Hikmah sepadan dengan kata sophy atau sophia. Dikalangan masyarakat Muslim tradisional filsafat masih dipahami sebagai Íikmah yang berkaitan dengan para Nabi dan para wali. Bahkan, menurut SH.Nasr, banyak orang yang tidak sadar bahwa wujud filsafat dalam Islam bisa ditemukan dalam ilmu-ilmu Islam seperti Tafsir, Hadith, KalÉm, UsËl al-Fiqh, Tasawwuf dan sudah tentu ilmu-ilmu alam dan mathematika, yang memiliki akar secara mendasar dalam al-Qur’an, sumber hikmah itu sendiri. Qadir dengan ringan menyatakan bahwa yang sebenarnya terjadi adalah bahwa Íikmah dalam Islam telah menemukan sparing-partner-nya untuk berkembang.
Jadi, jika Muslim masih memahami arti filsafat Islam sebagai pengetahuan asing dan haram, maka ia tidak dapat menciptakan disiplin ilmu baru dalam Islam. Dan jika Muslim masih menganggap filsafat Islam adalah murni berasal dari Yunani maka berfikirnya set back ke abad ke 10. Padahal pada abad ke 13 saja istilah “falsafah” sudah dapat diterima jika unsur-unsurnya yang bertentangan dengan Islam dihilangkan. Ibn Taymiyyah, (MinhÉj al-Sunnah, I. ed.Rasyad Salim, hal 261) juga tidak keberatan dengan istilah falsafah ini, asal ditambah dengan predikat al-sahihah, yaitu pengetahuan tentang Wujud.
Lebih dari itu, dalam Islam sendiri terdapat istilah hikmah. Hikmah sepadan dengan kata sophy atau sophia. Dikalangan masyarakat Muslim tradisional filsafat masih dipahami sebagai Íikmah yang berkaitan dengan para Nabi dan para wali. Bahkan, menurut SH.Nasr, banyak orang yang tidak sadar bahwa wujud filsafat dalam Islam bisa ditemukan dalam ilmu-ilmu Islam seperti Tafsir, Hadith, KalÉm, UsËl al-Fiqh, Tasawwuf dan sudah tentu ilmu-ilmu alam dan mathematika, yang memiliki akar secara mendasar dalam al-Qur’an, sumber hikmah itu sendiri. Qadir dengan ringan menyatakan bahwa yang sebenarnya terjadi adalah bahwa Íikmah dalam Islam telah menemukan sparing-partner-nya untuk berkembang.
Jadi, jika Muslim masih memahami arti filsafat Islam sebagai pengetahuan asing dan haram, maka ia tidak dapat menciptakan disiplin ilmu baru dalam Islam. Dan jika Muslim masih menganggap filsafat Islam adalah murni berasal dari Yunani maka berfikirnya set back ke abad ke 10. Padahal pada abad ke 13 saja istilah “falsafah” sudah dapat diterima jika unsur-unsurnya yang bertentangan dengan Islam dihilangkan. Ibn Taymiyyah, (MinhÉj al-Sunnah, I. ed.Rasyad Salim, hal 261) juga tidak keberatan dengan istilah falsafah ini, asal ditambah dengan predikat al-sahihah, yaitu pengetahuan tentang Wujud.
PLURALISME DAN ISLAM
Oleh: Dr Hamid Fahmy Zarkasyi
Ketika fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengharamkan Pluralisme Agama, tidak banyak yang protes, kecuali beberapa gelintir penganut pluralis liberal. Sayang, protes itu tidak ditanggapi Majelis Ulama Indonesia dengan penjelasan yang ilmiah, detail dan dapat dipertahankan.
Mungkin itulah sebabnya mereka yang protes itu kini terus mengembangkan paham ini melalui berbagai proyek. Untuk itu penjelasan mengenai apa hakekat pluralisme agama itu perlu dihadirkan sekali lagi.
Sebelum Majelis Ulama Indonesia menghasilkan fatwa itu, Jurnal pemikiran dan peradaban ISLAMIA pada edisi 3 dan 4 telah membahas panjang lebar paham ini. KH. Salahuddin Wahid menantang para pengkritik fatwa untuk menjelaskan maksud mereka, apakah seperti yang dimaksud ISLAMIA atau makna yang lain. Namun, hingga pihak pengkritik fatwa itu juga tidak tegas pluralisme apa yang mereka bela itu.
Sebenarnya, paham Pluralisme Agama lahir dari doktrin pluralisme. Di Barat pluralisme memiliki akar yang dapat dilacak jauh ke belakang, tapi yang paling dominan adalah akar nihilisme dan relativisme Barat postmodern.
Dari berbagai kamus pluralisme dapat bermakna dua hal: Pertama, Pengakuan terhadap kualitas majemuk atau toleransi terhadap kemajemukan. Kedua, Doktrin yang berisi a) Pengakuan terhadap kemajemukan prinsip tertinggi, b) Pernyataan tidak ada jalan untuk menyatakan kebenaran yang tunggal atau kebenaran satu-satunya tentang suatu masalah c) Ancaman bahwa tidak ada pendapat yang benar, atau semua pendapat itu sama benarnya. d) Teori yang seirama dengan relativisme dan sikap curiga terhadap kebenaran (truth). e) Pandangan bahwa disana tidak ada pendapat yang benar atau semua pendapat adalah sama benarnya. (No view is true, or that all view are equally true). (Lihat, The Golier Webster Int. Dictionary Of The English Language; Oxford Dictionary of Philosophy; Oxford Advanced Learners Dictionary of Current English).
Jadi dari makna pluralisme saja sudah terdapat ide yang mencurigai kebenaran atau paham relativitas kebenaran.
Pluralisme dalam pengertian pertama adalah toleransi, dimana masing-masing agama, ras, suku dan kepercayaan berpegang pada prinsip masing-masing dan menghormati prinsip dan kepercayaan orang lain.
Pluralisme dalam arti kedua sudah tidak berpegang pada suatu dasar apapan. Masyarakat, harus menerima kenyataan bahwa disana tidak ada kebenaran tunggal artinya semua benar, atau masyarakat tidak boleh memiliki keyakinan bahwa agama dan kepercayaan mereka itu benar atau paling benar. Bahkan dalam satu pengertian pluralisme mengajarkan bahwa sebenarnya kebenaran itu tidak ada.
Sebenarnya wacana pluralisme tidak bisa lepas dari pemikiran Barat postmodern. Sebab menurut Akbar S. Ahmed, dalam bukunya Postmodernism and Islam postmodernisme diwarnai oleh doktrin pluralisme. Selain itu postmodernisme selalu menjadikan fundamentalisme sebagai musuh utamanya dan cara menghadapinya adalah menebar pluralisme. Doktrin utamanya adalah nihilisme dan relativisme.
Jadi, target utama pluralisme sebenarnya adalah agama dan kepercayaan. Sebab begitu seseorang berbicara masalah pluralisme secara sosiologis, ia otomatis membahas teologi atau agama juga.
Diantara tokoh pendukung paham pluralisme adalah Peter Ludwig Berger, seorang sosiolog Amerika dan juga teolog Lutheran. Dalam bukunya The Desecularization of the World Peter menyatakan bahwa sekularisasi telah gagal, sebab praktek keagamaan ternyata justru bertambah subur dan desekularisasi malah dominan. Oleh sebab itu dalam The Social Construction of Reality ia mengusulkan gantinya yaitu penyebaran paham pluralisme.
Berger beralasan bahwa meskipun agama masih sebagai faktor sosial yang kuat, namun pluralisme dan dunia yang global telah merubah pengalaman keberagamaan individu. Pluralisme yang dihidupkan, disebarkan dan diperkuat oleh globalisasi itu menjadi fakta kehidupan sosial dan kesadaran individual.
Pada tingkat institusional, agama tidak lagi punya otoritas. Dan dalam masyarakat demokrasi liberal dimana kebebasan beragama dijamin,
Oleh: Dr Hamid Fahmy Zarkasyi
Ketika fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengharamkan Pluralisme Agama, tidak banyak yang protes, kecuali beberapa gelintir penganut pluralis liberal. Sayang, protes itu tidak ditanggapi Majelis Ulama Indonesia dengan penjelasan yang ilmiah, detail dan dapat dipertahankan.
Mungkin itulah sebabnya mereka yang protes itu kini terus mengembangkan paham ini melalui berbagai proyek. Untuk itu penjelasan mengenai apa hakekat pluralisme agama itu perlu dihadirkan sekali lagi.
Sebelum Majelis Ulama Indonesia menghasilkan fatwa itu, Jurnal pemikiran dan peradaban ISLAMIA pada edisi 3 dan 4 telah membahas panjang lebar paham ini. KH. Salahuddin Wahid menantang para pengkritik fatwa untuk menjelaskan maksud mereka, apakah seperti yang dimaksud ISLAMIA atau makna yang lain. Namun, hingga pihak pengkritik fatwa itu juga tidak tegas pluralisme apa yang mereka bela itu.
Sebenarnya, paham Pluralisme Agama lahir dari doktrin pluralisme. Di Barat pluralisme memiliki akar yang dapat dilacak jauh ke belakang, tapi yang paling dominan adalah akar nihilisme dan relativisme Barat postmodern.
Dari berbagai kamus pluralisme dapat bermakna dua hal: Pertama, Pengakuan terhadap kualitas majemuk atau toleransi terhadap kemajemukan. Kedua, Doktrin yang berisi a) Pengakuan terhadap kemajemukan prinsip tertinggi, b) Pernyataan tidak ada jalan untuk menyatakan kebenaran yang tunggal atau kebenaran satu-satunya tentang suatu masalah c) Ancaman bahwa tidak ada pendapat yang benar, atau semua pendapat itu sama benarnya. d) Teori yang seirama dengan relativisme dan sikap curiga terhadap kebenaran (truth). e) Pandangan bahwa disana tidak ada pendapat yang benar atau semua pendapat adalah sama benarnya. (No view is true, or that all view are equally true). (Lihat, The Golier Webster Int. Dictionary Of The English Language; Oxford Dictionary of Philosophy; Oxford Advanced Learners Dictionary of Current English).
Jadi dari makna pluralisme saja sudah terdapat ide yang mencurigai kebenaran atau paham relativitas kebenaran.
Pluralisme dalam pengertian pertama adalah toleransi, dimana masing-masing agama, ras, suku dan kepercayaan berpegang pada prinsip masing-masing dan menghormati prinsip dan kepercayaan orang lain.
Pluralisme dalam arti kedua sudah tidak berpegang pada suatu dasar apapan. Masyarakat, harus menerima kenyataan bahwa disana tidak ada kebenaran tunggal artinya semua benar, atau masyarakat tidak boleh memiliki keyakinan bahwa agama dan kepercayaan mereka itu benar atau paling benar. Bahkan dalam satu pengertian pluralisme mengajarkan bahwa sebenarnya kebenaran itu tidak ada.
Sebenarnya wacana pluralisme tidak bisa lepas dari pemikiran Barat postmodern. Sebab menurut Akbar S. Ahmed, dalam bukunya Postmodernism and Islam postmodernisme diwarnai oleh doktrin pluralisme. Selain itu postmodernisme selalu menjadikan fundamentalisme sebagai musuh utamanya dan cara menghadapinya adalah menebar pluralisme. Doktrin utamanya adalah nihilisme dan relativisme.
Jadi, target utama pluralisme sebenarnya adalah agama dan kepercayaan. Sebab begitu seseorang berbicara masalah pluralisme secara sosiologis, ia otomatis membahas teologi atau agama juga.
Diantara tokoh pendukung paham pluralisme adalah Peter Ludwig Berger, seorang sosiolog Amerika dan juga teolog Lutheran. Dalam bukunya The Desecularization of the World Peter menyatakan bahwa sekularisasi telah gagal, sebab praktek keagamaan ternyata justru bertambah subur dan desekularisasi malah dominan. Oleh sebab itu dalam The Social Construction of Reality ia mengusulkan gantinya yaitu penyebaran paham pluralisme.
Berger beralasan bahwa meskipun agama masih sebagai faktor sosial yang kuat, namun pluralisme dan dunia yang global telah merubah pengalaman keberagamaan individu. Pluralisme yang dihidupkan, disebarkan dan diperkuat oleh globalisasi itu menjadi fakta kehidupan sosial dan kesadaran individual.
Pada tingkat institusional, agama tidak lagi punya otoritas. Dan dalam masyarakat demokrasi liberal dimana kebebasan beragama dijamin,
agama tidak bisa lagi menjadikan negara sebagai sandaran. Sejalan dengan kapitalisme otoritas itu seperti pasar, siapa saja bebas memiliki otoritas. Bahkan masyarakat akan lebih kuat menganut doktrin pluralisme daripada menganut suatu agama, tegas Berger.
Lebih ekstrim dari Berger, Diana L. Eck dalam The Challenge of Pluralism, tegas-tegas menyatakan bahwa pluralisme bukan sekedar toleransi antar umat beragama, tidak pula sekedar menerima pluralitas (diversity).
Dalam bukunya From Diversity to Pluralism ia “membayangkan” bahwa pluralisme adalah “peleburan” agama-agama menjadi satu wajah baru yaitu realitas keagamaan yang plural. Pada pemikiran Diana ini, nampak sekali muatan relativismenya. Sebab ia juga menyarankan agar agama-agama bersedia membuka diri dan menerima kebenaran yang ada pada agama lain.
Alasannya karena setiap agama mengandung porsi kebenaran. Ini jelas sekali menunjukkan bahwa Diana sependapat dengan ide bahwa semua agama itu sama benarnya dan tidak ada agama yang lebih benar dari agama lain.
Dari definisi dan penjabaran singkat diatas, pluralisme sudah mengandung makna relativisme. Jadi klaim bahwa pluralisme adalah sebuah doktrin sosial ternyata menyentuh aspek teologis. Maka dari itu pluralisme dan pluralisme agama, seperti yang akan dijelaskan berikut ini, ternyata tidak beda. Kecuali jika ada yang memahami pluralisme hanya setingkat toleransi.
Paham pluralisme agama terdiri dari dua aliran besar yaitu teologi global (global theology) atau teologi dunia (world theology) dan kesatuan transenden agama-agama (transcendent unity of religions). Yang pertama dicetuskan oleh John Hick dan Wilfred Cantwell Smith, sedangkan yang kedua oleh Fritjhof Schuon.
Pertama yaitu teologi global berambisi untuk menyelesaikan masalah yang dihadapi proyek globalisasi Barat. Pendekatan yang dipakai aliran teologi global terhadap agama-agama awalnya bersifat sosiologis, kultural dan ideologis. Bersifat sosiologis dan kultural karena agama-agama yang ada di dunia ini harus disesuaikan dengan kondisi sosial budaya masyarakat modern yang plural. Ideologis sebab ia telah menjadi bagian dari program gerakan globalisasi yang jelas-jelas memasarkan ideologi Barat.
Akibatnya, menurut Malcom Walter globalisasi yang datang bersama dengan kapitalisme ini malah membawa kekuatan baru yang menghapus otoritas agama, politik, militer dan sumber kekuatan lainnya.
Karena kenyataannya gerakan globalisasi ini telah membawa ideologi baru yang bertujuan agar semua menjadi terbuka dan bebas menerima ideologi dan nilai-nilai kebudayaan Barat seperti demokrasi, Hak Asasi Manusia, feminisme/gender, liberalisme dan sekularisme. (Lihat Dr. Amir al-Roubaie, “Globalisasi dan Posisi Peradaban Islam”, dalam Jurnal pemikiran dan peradaban Islam ISLAMIA, Edisi 4, 2004 )
Jadi globalisasi Barat itu seakan-akan berdiri didepan semua agama dan memberi instruksinya “Ikut globalisasi Barat atau tertinggal dan ditinggal”. Posisi seperti inilah yang disampaikan oleh Peter Berger. Semua penganut agama, katanya, hanya ada tiga pilihan: menolak pluralisme, menarik diri daripadanya atau terlibat dengannya. Semua pilihan memiliki kesulitan dan resiko masing-masing, tapi hanya dengan terlibat dalam suatu agama akan menjadi sejalan dengan demokrasi liberal.
Setelah menggunakan pendekatan sosiologis, kultural dan ideologis aliran ini menggunakan pendekatan filosofis, terutamanya doktrin relativisme. Doktrin relativisme kebenaran digunakan oleh John Hick dan juga Diana L. Eck untuk melebur batas agama-agama (eksklusifisme).
Dalam bukunya an Interpretation of Religion Hick menyatakan bahwa kebenaran itu relatif yang absolut hanya Tuhan dan manusia tidak pernah mampu memahami Tuhan. Apa yang dipahami manusia mengenai Tuhan hanyalah bersifat relatif. Selain itu Hick juga mengadopsi teori Copernican Revolution yaitu yang merevolusi prinsip geosentris menjadi heliosentris. Jika Copernicus memindahkan pusat gravitasi dari bumi ke matahari maka Hick memindahkan pusat gravitasi teologi dari agama-agama kepada Tuhan (Religion-centredness to God centredness).
Lebih ekstrim dari Berger, Diana L. Eck dalam The Challenge of Pluralism, tegas-tegas menyatakan bahwa pluralisme bukan sekedar toleransi antar umat beragama, tidak pula sekedar menerima pluralitas (diversity).
Dalam bukunya From Diversity to Pluralism ia “membayangkan” bahwa pluralisme adalah “peleburan” agama-agama menjadi satu wajah baru yaitu realitas keagamaan yang plural. Pada pemikiran Diana ini, nampak sekali muatan relativismenya. Sebab ia juga menyarankan agar agama-agama bersedia membuka diri dan menerima kebenaran yang ada pada agama lain.
Alasannya karena setiap agama mengandung porsi kebenaran. Ini jelas sekali menunjukkan bahwa Diana sependapat dengan ide bahwa semua agama itu sama benarnya dan tidak ada agama yang lebih benar dari agama lain.
Dari definisi dan penjabaran singkat diatas, pluralisme sudah mengandung makna relativisme. Jadi klaim bahwa pluralisme adalah sebuah doktrin sosial ternyata menyentuh aspek teologis. Maka dari itu pluralisme dan pluralisme agama, seperti yang akan dijelaskan berikut ini, ternyata tidak beda. Kecuali jika ada yang memahami pluralisme hanya setingkat toleransi.
Paham pluralisme agama terdiri dari dua aliran besar yaitu teologi global (global theology) atau teologi dunia (world theology) dan kesatuan transenden agama-agama (transcendent unity of religions). Yang pertama dicetuskan oleh John Hick dan Wilfred Cantwell Smith, sedangkan yang kedua oleh Fritjhof Schuon.
Pertama yaitu teologi global berambisi untuk menyelesaikan masalah yang dihadapi proyek globalisasi Barat. Pendekatan yang dipakai aliran teologi global terhadap agama-agama awalnya bersifat sosiologis, kultural dan ideologis. Bersifat sosiologis dan kultural karena agama-agama yang ada di dunia ini harus disesuaikan dengan kondisi sosial budaya masyarakat modern yang plural. Ideologis sebab ia telah menjadi bagian dari program gerakan globalisasi yang jelas-jelas memasarkan ideologi Barat.
Akibatnya, menurut Malcom Walter globalisasi yang datang bersama dengan kapitalisme ini malah membawa kekuatan baru yang menghapus otoritas agama, politik, militer dan sumber kekuatan lainnya.
Karena kenyataannya gerakan globalisasi ini telah membawa ideologi baru yang bertujuan agar semua menjadi terbuka dan bebas menerima ideologi dan nilai-nilai kebudayaan Barat seperti demokrasi, Hak Asasi Manusia, feminisme/gender, liberalisme dan sekularisme. (Lihat Dr. Amir al-Roubaie, “Globalisasi dan Posisi Peradaban Islam”, dalam Jurnal pemikiran dan peradaban Islam ISLAMIA, Edisi 4, 2004 )
Jadi globalisasi Barat itu seakan-akan berdiri didepan semua agama dan memberi instruksinya “Ikut globalisasi Barat atau tertinggal dan ditinggal”. Posisi seperti inilah yang disampaikan oleh Peter Berger. Semua penganut agama, katanya, hanya ada tiga pilihan: menolak pluralisme, menarik diri daripadanya atau terlibat dengannya. Semua pilihan memiliki kesulitan dan resiko masing-masing, tapi hanya dengan terlibat dalam suatu agama akan menjadi sejalan dengan demokrasi liberal.
Setelah menggunakan pendekatan sosiologis, kultural dan ideologis aliran ini menggunakan pendekatan filosofis, terutamanya doktrin relativisme. Doktrin relativisme kebenaran digunakan oleh John Hick dan juga Diana L. Eck untuk melebur batas agama-agama (eksklusifisme).
Dalam bukunya an Interpretation of Religion Hick menyatakan bahwa kebenaran itu relatif yang absolut hanya Tuhan dan manusia tidak pernah mampu memahami Tuhan. Apa yang dipahami manusia mengenai Tuhan hanyalah bersifat relatif. Selain itu Hick juga mengadopsi teori Copernican Revolution yaitu yang merevolusi prinsip geosentris menjadi heliosentris. Jika Copernicus memindahkan pusat gravitasi dari bumi ke matahari maka Hick memindahkan pusat gravitasi teologi dari agama-agama kepada Tuhan (Religion-centredness to God centredness).
Kalau dulu setiap agama menjadi pusat yang dikelilingi tuhan, maka kini dirubah tuhanlah yang dikelilingi agama-agama. Artinya dari banyak agama banyak tuhan menjadi banyak agama satu Tuhan.
Berbeda dari Hick yang mengusung globalisasi, doktrin kesatuan agama-agama Schuon menebarkan ide bahwa agama dibagi menjadi dua: tingkat eksoterik (lahiriyah) dan esoterik (batiniyah).
Pada tingkat eksoterik agama-agama mempunyai tuhan, teologi, ajaran yang berbeda. Namun pada tingkat esoterik agama-agama itu menyatu dan memiliki tuhan yang sama yang abstrak dan tidak terbatas.
Doktrin pluralisme agama ini kini disebarkan kedalam wacana pemikiran Islam. Pengikut pertama doktrin teologi global dari Islam adalah Hasan Askari, sedangkan pengikut doktrin kesatuan transenden agama-agama adalah S.H. Nasr, namun pencetusnya sendiri Schuon yang dulunya Yahudi itu konon telah masuk Islam dan tetap pluralis.
Para cendekiawan Muslim yang mengadopsi paham ini sekurangnya ada tiga kelompok. Pertama, Mereka yang memahami doktrin dan mempunyai agenda tersendiri. Kedua, Mereka yang tidak memahami doktrin ini karena pemikirannya terbaratkan. Ketiga, Mereka yang tidak memahami doktrin ini dan terbawa oleh wacana umum. Dari kelompok pertama dan kedua inilah muncul istilah-istilah asing seperti Islam inklusif, Islam pluralis, pluralisme dalam Islam dan sebagainya.
Selain itu mereka juga mencari-cari justifikasi dari al-Quran dan Hadis. Cara yang mereka gunakan adalah dengan mendekonstruksi makna ayat dan hadis untuk disesuaikan dengan tujuan mereka.
Jadi prinsip pluralisme ala Peter L. Berger, Diana L. Eck atau lainnya atau doktrin pluralisme agama ala John Hick dan Schuon tidak berbeda. Pluralisme bukan prinsip mengenai toleransi, tapi relativisme kebenaran yang mengajarkan bahwa “Semua agama adalah sama”.
Di Barat pluralisme telah meresahkan dan merugikan pihak gereja, seperti yang akan dibahas sebentar lagi. Tapi di negeri ini para aktifis LSM menganggapnya “berkah” melimpah. Para cendekiawan dan beberapa ulama menerimanya dalam domain “ijtihad”, karena dianggap “baru” dan berdimensi universal meski asing bagi umat.
“Ijtihad” pendukung pluralisme (baca: liberalisme) di negeri ini lebih maju dari wacana para teolog Barat. Mereka telah sampai tahap “berani” membuka “pintu-pintu” surga bagi semua umat beragama. Tapi mereka lupa ketika membuka pintu surga lebar-lebar, mereka belum menunjukkan jalan-jalan menuju pintu-pintu itu secara pasti, karena semua jalan adalah relatif.
Boleh jadi, demi pluralism agama di satu saat nanti menjelang ajal seorang Kyai boleh dibaptis, dan setelah dikubur seorang pendeta boleh ditalqin, agar di alam sana bisa ada alternatif surga yang menurut mereka sangat “plural” itu.
Lagenhausen seorang Muslim mengkritik keras faham ini, “Tujuan pluralisme untuk membangun toleransi itu baik tapi terlepas apapun tujuannya, konsepnya salah”, tulisnya (Dr Muhammad Legenhausen, Islam and Religious Pluralism Journal Al-Tawhid, Vol. XIV, No. 3 ). Menurut HAMKA orang yang menyatakan bahwa semua agama adalah sama, sebenarnya dia sendiri tidak beragama. Jika ini makna pluralisme yang dimaksud kelompok pluralis liberal, maka fatwa Majelis Ulama Indonesia itu sungguh benar adanya.
Berbeda dari Hick yang mengusung globalisasi, doktrin kesatuan agama-agama Schuon menebarkan ide bahwa agama dibagi menjadi dua: tingkat eksoterik (lahiriyah) dan esoterik (batiniyah).
Pada tingkat eksoterik agama-agama mempunyai tuhan, teologi, ajaran yang berbeda. Namun pada tingkat esoterik agama-agama itu menyatu dan memiliki tuhan yang sama yang abstrak dan tidak terbatas.
Doktrin pluralisme agama ini kini disebarkan kedalam wacana pemikiran Islam. Pengikut pertama doktrin teologi global dari Islam adalah Hasan Askari, sedangkan pengikut doktrin kesatuan transenden agama-agama adalah S.H. Nasr, namun pencetusnya sendiri Schuon yang dulunya Yahudi itu konon telah masuk Islam dan tetap pluralis.
Para cendekiawan Muslim yang mengadopsi paham ini sekurangnya ada tiga kelompok. Pertama, Mereka yang memahami doktrin dan mempunyai agenda tersendiri. Kedua, Mereka yang tidak memahami doktrin ini karena pemikirannya terbaratkan. Ketiga, Mereka yang tidak memahami doktrin ini dan terbawa oleh wacana umum. Dari kelompok pertama dan kedua inilah muncul istilah-istilah asing seperti Islam inklusif, Islam pluralis, pluralisme dalam Islam dan sebagainya.
Selain itu mereka juga mencari-cari justifikasi dari al-Quran dan Hadis. Cara yang mereka gunakan adalah dengan mendekonstruksi makna ayat dan hadis untuk disesuaikan dengan tujuan mereka.
Jadi prinsip pluralisme ala Peter L. Berger, Diana L. Eck atau lainnya atau doktrin pluralisme agama ala John Hick dan Schuon tidak berbeda. Pluralisme bukan prinsip mengenai toleransi, tapi relativisme kebenaran yang mengajarkan bahwa “Semua agama adalah sama”.
Di Barat pluralisme telah meresahkan dan merugikan pihak gereja, seperti yang akan dibahas sebentar lagi. Tapi di negeri ini para aktifis LSM menganggapnya “berkah” melimpah. Para cendekiawan dan beberapa ulama menerimanya dalam domain “ijtihad”, karena dianggap “baru” dan berdimensi universal meski asing bagi umat.
“Ijtihad” pendukung pluralisme (baca: liberalisme) di negeri ini lebih maju dari wacana para teolog Barat. Mereka telah sampai tahap “berani” membuka “pintu-pintu” surga bagi semua umat beragama. Tapi mereka lupa ketika membuka pintu surga lebar-lebar, mereka belum menunjukkan jalan-jalan menuju pintu-pintu itu secara pasti, karena semua jalan adalah relatif.
Boleh jadi, demi pluralism agama di satu saat nanti menjelang ajal seorang Kyai boleh dibaptis, dan setelah dikubur seorang pendeta boleh ditalqin, agar di alam sana bisa ada alternatif surga yang menurut mereka sangat “plural” itu.
Lagenhausen seorang Muslim mengkritik keras faham ini, “Tujuan pluralisme untuk membangun toleransi itu baik tapi terlepas apapun tujuannya, konsepnya salah”, tulisnya (Dr Muhammad Legenhausen, Islam and Religious Pluralism Journal Al-Tawhid, Vol. XIV, No. 3 ). Menurut HAMKA orang yang menyatakan bahwa semua agama adalah sama, sebenarnya dia sendiri tidak beragama. Jika ini makna pluralisme yang dimaksud kelompok pluralis liberal, maka fatwa Majelis Ulama Indonesia itu sungguh benar adanya.
Hypothesisnya kira-kira berbunyi begini:
Semakin bodoh seseorang itu ia semakin religius dan semakin cerdas seseorang orang itu ia semakin sekuler dan bahkan atheist.
https://m.facebook.com/story.php?story_fbid=1598421826964428&id=153825841424041
Semakin bodoh seseorang itu ia semakin religius dan semakin cerdas seseorang orang itu ia semakin sekuler dan bahkan atheist.
https://m.facebook.com/story.php?story_fbid=1598421826964428&id=153825841424041
Facebook
Mustanir Online Book Store
Worldview Koruptor
Oleh: Dr. Hamid Fahmy Zarkasyi
Beberapa bulan lalu sebuah dialog di televisi swasta membahas perilaku korupsi penegak hukum dan koruptor. Hadir dalam acara itu para guru besar...
Oleh: Dr. Hamid Fahmy Zarkasyi
Beberapa bulan lalu sebuah dialog di televisi swasta membahas perilaku korupsi penegak hukum dan koruptor. Hadir dalam acara itu para guru besar...
*KRITERIA PEMIMPIN*
Oleh: Dr. Hamid Fahmy Zarkasyi
“…….. jabatan adalah amanah, ia pada hari kiamat akan menjadikan yang meyandangnya hina dan menyesal kecuali yang mengambilnya dengan benar (bihaqqiha) dan menunaikan tugasnya dengan baik.” Itulah nasehat Rasulullah kepada Abu Dzar al-Ghifari yang meminta jabatan kepada beliau.
Sabda Nabi itu bukan hanya untuk Abu Dzar, tapi untuk umatnya. Nadanya seperti mengancam, tapi seorang Nabi peduli pada umatnya itu sedang mewanti-wanti. Ada tiga kriteria pejabat atau pemimpin (imam) yang tersembunyi dalam pesan diatas yaitu: amanah, mengambil dengan benar dan menunaikan dengan baik.
Kriteria diatas tidaklah sederhana. Sebab pemimpin dalam gambaran Nabi adalah pekerja bagi orang banyak, bukan sekedar penguasa. Dan pekerja seperti digambarkan oleh al-Qur’an harulah orang yang kuat dan tepercaya. “Sesungguhnya orang yang paling baik yang kamu ambil untuk bekerja, ialah orang yang kuat lagi dapat dipercaya” (al-Qashash :26)
Kuat pada ayat diatas adalah kuat bekerja dalam memimpin. Sedang maksud amanah adalah tidak berkhianat dan tidak menyimpang, dengan motif karena takut kepada Allah. Maka sebagai pekerja untuk umat, sifat kuat bekerja adalah prasyarat penting pemimpin. Tapi yang lebih penting lagi adalah menjaga sifat amanah yang bisa hilang karena tuntutan pekerjaannya. (Yusuf al-Qaradhawi, Al-Siyayah al-Syar’iyyah Fi Dhaui Nushus al-Syari’ah wa Maqashiduha).
Nabi pun konsisten dengan kriterianya. Khalid bin Walid dan ‘Amr bin Ash yang baru masuk Islam diberi jabatan pimpinan militer. Padahal ilmu keislaman mereka berdua belum memadai. Tapi ternyata keduanya dianggap kuat bekerja dan mampu menjaga amanah. Sebaliknya, orang sealim Abu Hurairah yang sangat kuat hafalan haditsnya dan banyak mendampingi Rasulullah tidak diberi jabatan apa-apa. Semangat Hasan bin Tsabit membela Islam juga tidak masuk kriteria orang yang layak memegang pimpinan atau jabatan. Tentu lagi-lagi karena tidak masuk kriteria pemimpin yang dicanangkan Nabi.
Masalahnya, seseorang bisa gagal menunaikan tugas kepemimpinannya karena tidak mampu mempertahankan amanah (khiyanat) atau karena tidak ada ilmu untuk itu (jahil). Maka al-Qur’an memberi pelajaran dari kisah Nabi Yusuf. Disitu dikisahkan bahwa ia diberi kedudukan tinggi oleh raja karena dapat dipercaya (amin), pandai menjaga (hafiz) dan berpengetahuan (alim) (Yusuf; 54-55). Ini berarti kriteria pemimpin ditambah satu syarat lagi yaitu “hafizh” artinya menjaga amanah. Hal ini disinggung Nabi dalam hadits yang lain: “Sesungguhnya Allah akan menanyai setiap pemimpin tentang rakyatnya, apakah menjaganya (hafiza) atau menyia-nyaikannya.” (HR. Nasa’i dan Ibnu Hibban).
Syarat yang satu lagi adalah sifat al-‘Alim. Artinya mengetahui apa yang menjadi tanggung jawabnya; mengetahui ilmu tentang tugasnya. Adalah malapetaka suatu bangsa jika pemimpin yang dipilih dan dipercaya rakyat ternyata tidak cukup ilmu tentang tugasnya. Inilah yang diwanti-wanti Umar ibn Khattab bahwa “amal tanpa ilmu itu lebih banyak merusak daripada memperbaiki”. Disini kita akan mafhum apa kira-kira sebabnya Abu Dzar tidak diberi jabatan oleh Nabi.
Ringkasnya, pemimpin atau pejabat Muslim yang sesuai dengan ajaran Islam adalah yang bersifat amanah, memperolehnya dengan benar, menunaikan dengan baik, kuat, dapat dipercaya (amin), pandai menjaga (hafiz) amanahnya dan berpengetahuan (alim) tentang tugas kepemimpinannya.
Dari kriteria diatas, nampaknya Nabi tidak mengisyaratkan bahwa pemimpin Muslim itu harus seorang yang tinggi ilmunya dalam bidang agama. Seorang Muslim dengan kekuatan leadership dan amanahnya bisa menduduki jabatan tertinggi meski ilmu agamanya tidak setingkat ulama. Ini pulalah yang disimpulkan oleh Yusuf al-Qaradhawi. Namun, tidak berarti orang yang buta agama atau bahkan yang sekuler-liberal bisa masuk dalam kriteria Nabi diatas. Sebab seseorang tidak akan amanah jika ia tidak memahami syariah.
Pemimpin yang tidak tahu agama bisa lepas dari Tuhannya, atau jauh dari masyarakatnya. Sebab seorang pemimpin (amir/imam) memiliki dua tugas yakni : beribadah kepada Alla
Oleh: Dr. Hamid Fahmy Zarkasyi
“…….. jabatan adalah amanah, ia pada hari kiamat akan menjadikan yang meyandangnya hina dan menyesal kecuali yang mengambilnya dengan benar (bihaqqiha) dan menunaikan tugasnya dengan baik.” Itulah nasehat Rasulullah kepada Abu Dzar al-Ghifari yang meminta jabatan kepada beliau.
Sabda Nabi itu bukan hanya untuk Abu Dzar, tapi untuk umatnya. Nadanya seperti mengancam, tapi seorang Nabi peduli pada umatnya itu sedang mewanti-wanti. Ada tiga kriteria pejabat atau pemimpin (imam) yang tersembunyi dalam pesan diatas yaitu: amanah, mengambil dengan benar dan menunaikan dengan baik.
Kriteria diatas tidaklah sederhana. Sebab pemimpin dalam gambaran Nabi adalah pekerja bagi orang banyak, bukan sekedar penguasa. Dan pekerja seperti digambarkan oleh al-Qur’an harulah orang yang kuat dan tepercaya. “Sesungguhnya orang yang paling baik yang kamu ambil untuk bekerja, ialah orang yang kuat lagi dapat dipercaya” (al-Qashash :26)
Kuat pada ayat diatas adalah kuat bekerja dalam memimpin. Sedang maksud amanah adalah tidak berkhianat dan tidak menyimpang, dengan motif karena takut kepada Allah. Maka sebagai pekerja untuk umat, sifat kuat bekerja adalah prasyarat penting pemimpin. Tapi yang lebih penting lagi adalah menjaga sifat amanah yang bisa hilang karena tuntutan pekerjaannya. (Yusuf al-Qaradhawi, Al-Siyayah al-Syar’iyyah Fi Dhaui Nushus al-Syari’ah wa Maqashiduha).
Nabi pun konsisten dengan kriterianya. Khalid bin Walid dan ‘Amr bin Ash yang baru masuk Islam diberi jabatan pimpinan militer. Padahal ilmu keislaman mereka berdua belum memadai. Tapi ternyata keduanya dianggap kuat bekerja dan mampu menjaga amanah. Sebaliknya, orang sealim Abu Hurairah yang sangat kuat hafalan haditsnya dan banyak mendampingi Rasulullah tidak diberi jabatan apa-apa. Semangat Hasan bin Tsabit membela Islam juga tidak masuk kriteria orang yang layak memegang pimpinan atau jabatan. Tentu lagi-lagi karena tidak masuk kriteria pemimpin yang dicanangkan Nabi.
Masalahnya, seseorang bisa gagal menunaikan tugas kepemimpinannya karena tidak mampu mempertahankan amanah (khiyanat) atau karena tidak ada ilmu untuk itu (jahil). Maka al-Qur’an memberi pelajaran dari kisah Nabi Yusuf. Disitu dikisahkan bahwa ia diberi kedudukan tinggi oleh raja karena dapat dipercaya (amin), pandai menjaga (hafiz) dan berpengetahuan (alim) (Yusuf; 54-55). Ini berarti kriteria pemimpin ditambah satu syarat lagi yaitu “hafizh” artinya menjaga amanah. Hal ini disinggung Nabi dalam hadits yang lain: “Sesungguhnya Allah akan menanyai setiap pemimpin tentang rakyatnya, apakah menjaganya (hafiza) atau menyia-nyaikannya.” (HR. Nasa’i dan Ibnu Hibban).
Syarat yang satu lagi adalah sifat al-‘Alim. Artinya mengetahui apa yang menjadi tanggung jawabnya; mengetahui ilmu tentang tugasnya. Adalah malapetaka suatu bangsa jika pemimpin yang dipilih dan dipercaya rakyat ternyata tidak cukup ilmu tentang tugasnya. Inilah yang diwanti-wanti Umar ibn Khattab bahwa “amal tanpa ilmu itu lebih banyak merusak daripada memperbaiki”. Disini kita akan mafhum apa kira-kira sebabnya Abu Dzar tidak diberi jabatan oleh Nabi.
Ringkasnya, pemimpin atau pejabat Muslim yang sesuai dengan ajaran Islam adalah yang bersifat amanah, memperolehnya dengan benar, menunaikan dengan baik, kuat, dapat dipercaya (amin), pandai menjaga (hafiz) amanahnya dan berpengetahuan (alim) tentang tugas kepemimpinannya.
Dari kriteria diatas, nampaknya Nabi tidak mengisyaratkan bahwa pemimpin Muslim itu harus seorang yang tinggi ilmunya dalam bidang agama. Seorang Muslim dengan kekuatan leadership dan amanahnya bisa menduduki jabatan tertinggi meski ilmu agamanya tidak setingkat ulama. Ini pulalah yang disimpulkan oleh Yusuf al-Qaradhawi. Namun, tidak berarti orang yang buta agama atau bahkan yang sekuler-liberal bisa masuk dalam kriteria Nabi diatas. Sebab seseorang tidak akan amanah jika ia tidak memahami syariah.
Pemimpin yang tidak tahu agama bisa lepas dari Tuhannya, atau jauh dari masyarakatnya. Sebab seorang pemimpin (amir/imam) memiliki dua tugas yakni : beribadah kepada Alla
h dan berkhidmat kepada masyarakat. Untuk beribadah diperlukan ilmu dan iman, untuk berkhidmat diperlukan ilmu untuk mensejahterakan rakyat. Oleh sebab,“Pemimpin yang tidak berusaha meningkatkan materi dan akhlaq serta kesejahteraan rakyat tidak akan masuk surga”. (HR Bukhari).
Kriteria pemimpin (amir/imam) yang dicanangkan Nabi dan ditambah dengan kriteria dari al-Qur’an itu diterjemahkan oleh al-Mawardi dalam al-Ahkam at-Sultaniyyah menjadi enam. Enam kriteria itu adalah berperilaku adil, memiliki ilmu untuk mengambil keputusan, panca indera yang sehat (khususnya alat dengar, melihat dan alat bicara), sehat secara fisik dan tidak cacat, peduli terhadap berbagai masalah, dan terakhir tegas dan percaya diri.
Namun, kriteria-kriteria diatas secara amali (praxis) berkulminasi pada dua sikap nurani yaitu pemimpin yang mencintai dan dicintai; yang mendoakan dan didoakan rakyat. Bukan pemimpin yang dibenci dan dikutuk oleh rakyat (HR Muslim). Tapi bagaimana akan mencintai rakyat jika pemimpin itu lebih cinta jabatan dan partai politiknya?
Kriteria pemimpin (amir/imam) yang dicanangkan Nabi dan ditambah dengan kriteria dari al-Qur’an itu diterjemahkan oleh al-Mawardi dalam al-Ahkam at-Sultaniyyah menjadi enam. Enam kriteria itu adalah berperilaku adil, memiliki ilmu untuk mengambil keputusan, panca indera yang sehat (khususnya alat dengar, melihat dan alat bicara), sehat secara fisik dan tidak cacat, peduli terhadap berbagai masalah, dan terakhir tegas dan percaya diri.
Namun, kriteria-kriteria diatas secara amali (praxis) berkulminasi pada dua sikap nurani yaitu pemimpin yang mencintai dan dicintai; yang mendoakan dan didoakan rakyat. Bukan pemimpin yang dibenci dan dikutuk oleh rakyat (HR Muslim). Tapi bagaimana akan mencintai rakyat jika pemimpin itu lebih cinta jabatan dan partai politiknya?
*CINTA TERKALANG*
Sebuah novel karya Buya Hamka
Snopsis:
Kebersamaan yang terjalin lama serta kesamaan nasib membuat benih cinta tumbuh antara Adnan dan Syamsiah. Dalam kediaman yang anggun, Syamsiah menitipkan cintanya pada takdir. Dalam perjuangan yang bergemuruh, Adnan memutuskan untuk merantau demi mendapatkan modal agar dapat menikahi Syamsiah - yang menurut adat istiadat Minangkabau sudah saatnya menikah.
Syamsiah menanti Adnan dengan perasaan rindu mendalam dan harap yang penuh kecemasan. Hatinya berdebar hebat saat mendapatkan surat yang berisi kabar bahwa Adnan akan segera pulang. Namun, setelah surat terakhir itu, Adnan tidak lagi memberi kabar ke kampung. Di tengah kegelisahan Syamsiah, muncullah seorang pemuda gagah yang kaya raya bernama Sutan Marah Husin. Syamsiah dihadapkan pada situasi yang membuatnya harus memilih. Keluarga yang terus mendesaknya untuk segera menikah, rasa cinta kepada Adnan yang masih bergolak dalam hatinya, dan kehadiran Sutan Marah Husin terus berkecamuk dalam batin Syamsiah.
*Siapakah yang akan dipilih oleh Syamsiah? Akankah takdir berpihak kepada Adnan?*
----------------------
CINTA TERKALANG
Sebuah novel karya Buya Hamka
Harga Rp. 60.000,-
Pemesanan silahkan sms/whatsapp ke 087878147997.
Syukran...
Sebuah novel karya Buya Hamka
Snopsis:
Kebersamaan yang terjalin lama serta kesamaan nasib membuat benih cinta tumbuh antara Adnan dan Syamsiah. Dalam kediaman yang anggun, Syamsiah menitipkan cintanya pada takdir. Dalam perjuangan yang bergemuruh, Adnan memutuskan untuk merantau demi mendapatkan modal agar dapat menikahi Syamsiah - yang menurut adat istiadat Minangkabau sudah saatnya menikah.
Syamsiah menanti Adnan dengan perasaan rindu mendalam dan harap yang penuh kecemasan. Hatinya berdebar hebat saat mendapatkan surat yang berisi kabar bahwa Adnan akan segera pulang. Namun, setelah surat terakhir itu, Adnan tidak lagi memberi kabar ke kampung. Di tengah kegelisahan Syamsiah, muncullah seorang pemuda gagah yang kaya raya bernama Sutan Marah Husin. Syamsiah dihadapkan pada situasi yang membuatnya harus memilih. Keluarga yang terus mendesaknya untuk segera menikah, rasa cinta kepada Adnan yang masih bergolak dalam hatinya, dan kehadiran Sutan Marah Husin terus berkecamuk dalam batin Syamsiah.
*Siapakah yang akan dipilih oleh Syamsiah? Akankah takdir berpihak kepada Adnan?*
----------------------
CINTA TERKALANG
Sebuah novel karya Buya Hamka
Harga Rp. 60.000,-
Pemesanan silahkan sms/whatsapp ke 087878147997.
Syukran...
HADIAH UNTUK PEGAWAI
Oleh: Dr. Ahmad Zain An-Najah, MA
Banyak orang kini mengenal istilah “gratifikasi”, yakni uang/barang yang diberikan kepada pegawai negeri di luar gaji resmi. Dalam undang-undang Negara, pegawai yang menerima gratifikasi dinyatakan bersalah dan dikatagorikan menerima suap, kecuali kalau dilaporkan kepada lembaga KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi). Bagaimana pandangan Islam terhadap gratifikasi atau hadiah pegawai ini?
Di dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
Penjelasan Pasal 12 B ayat (1) gratifikasi didefinisikan sebagai pemberian dalam arti luas, yakni meliputi pemberian uang, barang rabat (diskon), komisi, pinjaman tanpa bunga, tiket perjalanan, fasilitas penginapan, perjalanan wisata, pengobatan cuma-cuma, dan fasilitas lainnya.
Dalam pandangan Islam, hadiah untuk pegawai semacam itu memang juga diharamkan.
Dari Abu Humaid as-Sa'idi radhiyallahu 'anhu berkata : Nabi shallallahu 'alaihi wasallam memperkerjakan seorang laki-laki dari suku al-Azdi yang bernama Ibnu Lutbiah sebagai pemungut zakat. Ketika datang dari tugasnya, dia berkata: "Ini untuk kalian sebagai zakat dan ini dihadiahkan untukku". Beliau bersabda : " Cobalah dia duduk saja di rumah ayahnya atau ibunya, dan menunggu apakah akan ada yang memberikan kepadanya hadiah? Dan demi Dzat yag jiwaku di tangan-Nya, tidak seorangpun yang mengambil sesuatu dari zakat ini, kecuali dia akan datang pada hari qiyamat dengan dipikulkan di atas lehernya berupa unta yang berteriak, atau sapi yang melembuh atau kambing yang mengembik". Kemudian beliau mengangkat tangan-nya, sehingga terlihat oleh kami ketiak beliau yang putih dan (berkata,): "Ya Allah bukan kah aku sudah sampaikan, bukankah aku sudah sampaikan", sebanyak tiga kali.“ (HR Bukhari dan Muslim).
Berkata Ibnu Abdul Barr dalam at-Tamhid, 2:9, “ Hadis tersbeut menunjukkan bahwa uang yang diambilnya tersebut adalah ghulul ( barang curian dari harta rampasan perang) dan hukumnya haram, sebagaimana firman Allah Subhanahu wa ta’ala: (yang artinya): “Barangsiapa yang berkhianat dalam urusan rampasan perang itu, maka pada hari kiamat ia akan datang membawa apa yang dikhianatkannya itu “ (QS ali-Imran: 361).
Di dalam kitab Syarhu as-Sunnah, 3:313, Imam al-Baghawi menjelaskan bahwa hadis Abu Humaid as-Sa’idi itu menunjukkan bahwa hadiah pegawai, pejabat, dan para hakim adalah haram. Itu karena pemberian kepada pegawai (zakat) tersebut, dimaksudkan agar dia tidak terlalu mempermasalahkan hal-hal yang mestinya menjadi kewajiban sang wajib zakat, dan bertujuan untuk mengurangi hak-hak orang-orang miskin. Adapun yang diberikan kepada para hakim, agar dia memihak kepadanya ketika dalam persidangan.“
Yang termasuk dalam larangan hadis tersebut, misalnya, seorang pegawai perusahaan telekomunikasi yang bertugas memperbaiki saluran atau kabel telepun yang terputus atau mengalami gangguan. Dia kemudian menerima atau meminta upah tambahan dari kerjanya dari para pelanggan, padahal, dia sudah mendapatkan gaji bulanan dari perusahaannya. Jika ia menghambil atau meminta upah lagi hal itu bisa merusak kerjanya, karena dia akan cenderung untuk mendahulukan para pelanggan yang memberikan kepadanya uang lebih, dan membiarkan pelanggan yang memberikan kepadanya uang sedikit atau yang tidak memberikannya sama sekali.
Haram juga, misalnya, seorang pegawai urusan haji yang ditugaskan untuk mengurusi penyewaan tempat tinggal atau asrama jama’ah haji selama di Mekah dan Madinah, kemudian ia menyewa tempat tinggal yang lebih murah, dan menilep sisa anggaran. Akibatnya, jama’ah haji banyak yang terpaksa tinggal di apartemen-apartemen yang tidak layak dan jauh dari Masjidil Haram. Dan contoh-contoh sejenis.
Jika seorang pegawai di dalam menjalankan tugasnya mendapatkan hadiah, hendaknya dilaporkan secara transparan kepada lembaga yang mengirimnya. Tergantung pada lembaga tersebut, apakah akan mengijinkan untuk mengambil hadiah atau tidak. Sebagian ulama membolehkan untuk memberikan hadi
Oleh: Dr. Ahmad Zain An-Najah, MA
Banyak orang kini mengenal istilah “gratifikasi”, yakni uang/barang yang diberikan kepada pegawai negeri di luar gaji resmi. Dalam undang-undang Negara, pegawai yang menerima gratifikasi dinyatakan bersalah dan dikatagorikan menerima suap, kecuali kalau dilaporkan kepada lembaga KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi). Bagaimana pandangan Islam terhadap gratifikasi atau hadiah pegawai ini?
Di dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
Penjelasan Pasal 12 B ayat (1) gratifikasi didefinisikan sebagai pemberian dalam arti luas, yakni meliputi pemberian uang, barang rabat (diskon), komisi, pinjaman tanpa bunga, tiket perjalanan, fasilitas penginapan, perjalanan wisata, pengobatan cuma-cuma, dan fasilitas lainnya.
Dalam pandangan Islam, hadiah untuk pegawai semacam itu memang juga diharamkan.
Dari Abu Humaid as-Sa'idi radhiyallahu 'anhu berkata : Nabi shallallahu 'alaihi wasallam memperkerjakan seorang laki-laki dari suku al-Azdi yang bernama Ibnu Lutbiah sebagai pemungut zakat. Ketika datang dari tugasnya, dia berkata: "Ini untuk kalian sebagai zakat dan ini dihadiahkan untukku". Beliau bersabda : " Cobalah dia duduk saja di rumah ayahnya atau ibunya, dan menunggu apakah akan ada yang memberikan kepadanya hadiah? Dan demi Dzat yag jiwaku di tangan-Nya, tidak seorangpun yang mengambil sesuatu dari zakat ini, kecuali dia akan datang pada hari qiyamat dengan dipikulkan di atas lehernya berupa unta yang berteriak, atau sapi yang melembuh atau kambing yang mengembik". Kemudian beliau mengangkat tangan-nya, sehingga terlihat oleh kami ketiak beliau yang putih dan (berkata,): "Ya Allah bukan kah aku sudah sampaikan, bukankah aku sudah sampaikan", sebanyak tiga kali.“ (HR Bukhari dan Muslim).
Berkata Ibnu Abdul Barr dalam at-Tamhid, 2:9, “ Hadis tersbeut menunjukkan bahwa uang yang diambilnya tersebut adalah ghulul ( barang curian dari harta rampasan perang) dan hukumnya haram, sebagaimana firman Allah Subhanahu wa ta’ala: (yang artinya): “Barangsiapa yang berkhianat dalam urusan rampasan perang itu, maka pada hari kiamat ia akan datang membawa apa yang dikhianatkannya itu “ (QS ali-Imran: 361).
Di dalam kitab Syarhu as-Sunnah, 3:313, Imam al-Baghawi menjelaskan bahwa hadis Abu Humaid as-Sa’idi itu menunjukkan bahwa hadiah pegawai, pejabat, dan para hakim adalah haram. Itu karena pemberian kepada pegawai (zakat) tersebut, dimaksudkan agar dia tidak terlalu mempermasalahkan hal-hal yang mestinya menjadi kewajiban sang wajib zakat, dan bertujuan untuk mengurangi hak-hak orang-orang miskin. Adapun yang diberikan kepada para hakim, agar dia memihak kepadanya ketika dalam persidangan.“
Yang termasuk dalam larangan hadis tersebut, misalnya, seorang pegawai perusahaan telekomunikasi yang bertugas memperbaiki saluran atau kabel telepun yang terputus atau mengalami gangguan. Dia kemudian menerima atau meminta upah tambahan dari kerjanya dari para pelanggan, padahal, dia sudah mendapatkan gaji bulanan dari perusahaannya. Jika ia menghambil atau meminta upah lagi hal itu bisa merusak kerjanya, karena dia akan cenderung untuk mendahulukan para pelanggan yang memberikan kepadanya uang lebih, dan membiarkan pelanggan yang memberikan kepadanya uang sedikit atau yang tidak memberikannya sama sekali.
Haram juga, misalnya, seorang pegawai urusan haji yang ditugaskan untuk mengurusi penyewaan tempat tinggal atau asrama jama’ah haji selama di Mekah dan Madinah, kemudian ia menyewa tempat tinggal yang lebih murah, dan menilep sisa anggaran. Akibatnya, jama’ah haji banyak yang terpaksa tinggal di apartemen-apartemen yang tidak layak dan jauh dari Masjidil Haram. Dan contoh-contoh sejenis.
Jika seorang pegawai di dalam menjalankan tugasnya mendapatkan hadiah, hendaknya dilaporkan secara transparan kepada lembaga yang mengirimnya. Tergantung pada lembaga tersebut, apakah akan mengijinkan untuk mengambil hadiah atau tidak. Sebagian ulama membolehkan untuk memberikan hadi