Ayat Alquran tentang orang munafiq yg mengolok-olok Nabi Shallallahu alaihi wasallam:
Firman Allah Subhanahu wata'ala:
{لَا تَعْتَذِرُوا قَدْ كَفَرْتُمْ بَعْدَ إِيمَانِكُمْ}
Tidak usah kalian minta maaf, karena kalian kafir sesudah beriman.
(At-Taubah: 66)
Maksudnya, karena ucapan yang kalian katakan itu, yaitu yang kalian keluarkan untuk memperolok-olok Nabi Shallallahu alaihi wasallam.
{إِنْ نَعْفُ عَنْ طَائِفَةٍ مِنْكُمْ نُعَذِّبْ طَائِفَةً}
Jika kami memaafkan segolongan dari kalian (lantaran mereka bertobat), niscaya Kami akan mengazab golongan (yang lain).
(At-Taubah: 66)
Yakni kalian tidak dimaafkan secara keseluruhan, tetapi sebagian dari kalian tetap harus diazab.
{بِأَنَّهُمْ كَانُوا مُجْرِمِينَ}
disebabkan mereka adalah orang-orang yang selalu berbuat dosa.
(At-Taubah: 66)
Artinya, berdosa karena telah mengeluarkan kata-kata yang kotor dan keji itu.
Tafsir Ibnu Katsir
___________________
Semoga bermanfaat
Firman Allah Subhanahu wata'ala:
{لَا تَعْتَذِرُوا قَدْ كَفَرْتُمْ بَعْدَ إِيمَانِكُمْ}
Tidak usah kalian minta maaf, karena kalian kafir sesudah beriman.
(At-Taubah: 66)
Maksudnya, karena ucapan yang kalian katakan itu, yaitu yang kalian keluarkan untuk memperolok-olok Nabi Shallallahu alaihi wasallam.
{إِنْ نَعْفُ عَنْ طَائِفَةٍ مِنْكُمْ نُعَذِّبْ طَائِفَةً}
Jika kami memaafkan segolongan dari kalian (lantaran mereka bertobat), niscaya Kami akan mengazab golongan (yang lain).
(At-Taubah: 66)
Yakni kalian tidak dimaafkan secara keseluruhan, tetapi sebagian dari kalian tetap harus diazab.
{بِأَنَّهُمْ كَانُوا مُجْرِمِينَ}
disebabkan mereka adalah orang-orang yang selalu berbuat dosa.
(At-Taubah: 66)
Artinya, berdosa karena telah mengeluarkan kata-kata yang kotor dan keji itu.
Tafsir Ibnu Katsir
___________________
Semoga bermanfaat
*SIDOGIRI MENOLAK PEMIKIRAN KH. SAID AQIL SIROJ*
Penulis: Tim Pustaka Sidogiri
“Mengenai beberapa pemikiran KH. Said Aqil Siradj yang keliru, sebenarnya saya sudah tabayun langsung kepada beliau. Akan tetapi, menurut saya, tetap perlu adanya buku tanggapan seperti ini, sebab, sebuah buku memang seharusnya ditanggapi dengan buku, supaya sama-sama bisa dibaca dengan seksama oleh masyarakat kita.
Yang perting bahwa adanya bukunya dilandasi oleh niat yang ikhlas dan tulus untuk tawashau bil-haq. Bukan untuk menjatuhkan, apalagi untuk menimbulkan kebencian dan permusuhan. Kita sudah terbiasa berbeda pikiran tapi kita harus tetap saling menghormati satu sama lain sebagaimana teladan yang dicontohkan oleh para ulama salaf dulu.” Komentar dari KH. A. Nawawi Abd. Djalil, Pengasuh Pondok Pesantren Sidogiri.
Harga Rp. 110.000,-
Pemesanan silahkan sms/whatsapp ke 087878147997.
Syukran...
Note:
Dikirim dari Sidogiri. Pasuruan.
Penulis: Tim Pustaka Sidogiri
“Mengenai beberapa pemikiran KH. Said Aqil Siradj yang keliru, sebenarnya saya sudah tabayun langsung kepada beliau. Akan tetapi, menurut saya, tetap perlu adanya buku tanggapan seperti ini, sebab, sebuah buku memang seharusnya ditanggapi dengan buku, supaya sama-sama bisa dibaca dengan seksama oleh masyarakat kita.
Yang perting bahwa adanya bukunya dilandasi oleh niat yang ikhlas dan tulus untuk tawashau bil-haq. Bukan untuk menjatuhkan, apalagi untuk menimbulkan kebencian dan permusuhan. Kita sudah terbiasa berbeda pikiran tapi kita harus tetap saling menghormati satu sama lain sebagaimana teladan yang dicontohkan oleh para ulama salaf dulu.” Komentar dari KH. A. Nawawi Abd. Djalil, Pengasuh Pondok Pesantren Sidogiri.
Harga Rp. 110.000,-
Pemesanan silahkan sms/whatsapp ke 087878147997.
Syukran...
Note:
Dikirim dari Sidogiri. Pasuruan.
KORUPSI ILMU
Oleh: Dr. Adian Husaini
Nama lengkapnya adalah Haji Abdul Malik Karim Amrullah, disingkat menjadi HAMKA. Dia adalah seorang tokoh dan ulama yang sangat dihormati di berbagai dunia Islam. Lahir tanggal 17 Februari 1908, di desa kampung Molek, Meninjau, Sumatera Barat. Ayahnya adalah Syekh Abdul Karim bin Amrullah, yang dikenal sebagai Haji Rasul, yang merupakan pelopor Gerakan Islah (tajdid) di Minangkabau. Semasa kecil, Hamka belajar agama pada ulama-ulama terkenal, seperti Syeikh Ibrahim Musa, Syeikh Ahmad Rasyid, AR Sutan Mansur, dan tentu saja, ayahnya sendiri.
Dari para gurunya itulah, Hamka mampu menimba, mengamalkan, dan bahkan mengembangkan ilmunya. Ia menulis buku dalam berbagai bidang: aqidah, filsafat, sastra, sejarah, politik, dan sebagainya. Pada tahun 1953, Hamka terpilih sebagai penasihat pimpinan Pusat Muhammadiah. Pada 1977, Hamka memenuhi permintaan untuk memimpin Majelis Ulama Indonesia. Hamka juga aktif dalam kegiatan politik melalui Masyumi. Hamka pernah menjadi anggota Konstituante Masyumi dan menjadi jurkam dalam Pemilu 1955. Tapi, pada tahun 1981 ia meletakkan jabatan sebagai Ketua Umum MUI karena masalah fatwa Natal.
Kiprah Hamka dalam kelimuan juga cukup banyak. Tahun 1920-an, HAMKA menjadi wartawan beberapa surat kabar seperti Pelita Andalas, Seruan Islam, Bintang Islam dan Seruan Muhammadiyah. Pada tahun 1928, Hamka menjadi editor majalah Kemajuan Masyarakat. Pada tahun 1932, menjadi editor dan menerbitkan majalah Al-Mahdi di Makasar. Terakhir, majalah yang sangat monumental yang dipimpinnya Panji Masyarakat. Berbagai penghargaan telah diterimanya, seperti anugerah kehormatan Doctor Honoris Causa, Universitas al-Azhar, 1958 dan Doktor Honoris Causa, Universitas Kebangsaan Malaysia, 1974.
Alkisah, Hamka, adalah seorang tokoh yang sangat gigih dalam mengembangkan ilmu dan perjuangan dakwah Islam. Ratusan karya telah dihasilkannya. Tetapi, sebagaimana tradisi yang berkembang dalam keilmuan Islam selama ratusan tahun, tulisan-tulisan Hamka bukan hanya berisi data-data sejarah tanpa makna, melainkan sarat dengan ruh keimanan dan perjuangan serta memompakan semangat tinggi untuk mempertahankan keyakinan Islam dan memperjuangkan Islam.
Karena kegigihannya pula, HAMKA pernah dipenjara rejim Orde Lama. Tapi, di penjara, justru ia menghasilkan Tafsir Al-Azhar. Mohammad Natsir menghasilkan Capita Selecta dan berbagai buku lainnya. Sama dengan HAMKA, di penjara, Sayyid Quthb menghasilkan Fii Zhilalil Quran. Ibnu Taimiyah menghasilkan Majmuul Fatawa. Dan Ibnu Haistam menghasilkan teori optik. Mereka, adalah tipe ilmuwan, sekaligus ulama pejuang.
Dalam ajaran Islam, ulama menempati posisi sentral. Kata Rasul saw: Ulama adalah pewaris para nabi. Para Nabi tidak mewariskan dinar dan tidak juga dirham, melainkan mereka hanya mewariskan ilmu. (HR Abu Dawud, at-Tirmidzi, Ibn Majah).
Nabi juga memposisikan para ulama laksana bintang yang menjadi tempat umat mendapat bimbingan dan petunjuk. Melalui para ulama itulah, kini kita mewarisi risalah Nabi. Kita sekarang memahami Al-Quran dan tafsirnya, hadits Rasulullah saw, juga ilmu-ilmu keagamaan lainnya, melalui jasa para ulama. Melalui Imam Syafii, misalnya, kita memahami ilmu ushul fiqih, tentang bagaimana cara menetapkan hukum dalam Islam.
Maka, dalam sejarah Islam, ulama memegang peran yang sangat vital. Ketika Abu Bakar ash-Shiddiq menjadi umara, maka Umar bin Khathab, Ali r.a., dan sebagainya menjalankan peran ulama yang aktif menasehati dan mengontrol penguasa.
Begitu juga ketika Umar r.a. menjadi penguasa, para sahabat lain menjalankan fungsi kontrol dengan sangat efektif. Sebagai pewaris Nabi, para ulama bertanggung jawab untuk menjaga dan melanjutkan Risalah Nabi. Para ulama itulah yang pertama kali harus mempertahankan dan menegakkan ajaran Tauhid. Dalam nasehatnya kepada Sultan Muhammad bin Malik Syah, Imam al-Ghazali menyatakan, Ketahuilah wahai Sultan, engkau adalah makhluk. Engkau diciptakan oleh Maha Pencipta yang menciptakan alam dan seluruh isinya. Dia Maha Esa dan tidak ada sekutu bagi-Nya. (Dikutip dari k
Oleh: Dr. Adian Husaini
Nama lengkapnya adalah Haji Abdul Malik Karim Amrullah, disingkat menjadi HAMKA. Dia adalah seorang tokoh dan ulama yang sangat dihormati di berbagai dunia Islam. Lahir tanggal 17 Februari 1908, di desa kampung Molek, Meninjau, Sumatera Barat. Ayahnya adalah Syekh Abdul Karim bin Amrullah, yang dikenal sebagai Haji Rasul, yang merupakan pelopor Gerakan Islah (tajdid) di Minangkabau. Semasa kecil, Hamka belajar agama pada ulama-ulama terkenal, seperti Syeikh Ibrahim Musa, Syeikh Ahmad Rasyid, AR Sutan Mansur, dan tentu saja, ayahnya sendiri.
Dari para gurunya itulah, Hamka mampu menimba, mengamalkan, dan bahkan mengembangkan ilmunya. Ia menulis buku dalam berbagai bidang: aqidah, filsafat, sastra, sejarah, politik, dan sebagainya. Pada tahun 1953, Hamka terpilih sebagai penasihat pimpinan Pusat Muhammadiah. Pada 1977, Hamka memenuhi permintaan untuk memimpin Majelis Ulama Indonesia. Hamka juga aktif dalam kegiatan politik melalui Masyumi. Hamka pernah menjadi anggota Konstituante Masyumi dan menjadi jurkam dalam Pemilu 1955. Tapi, pada tahun 1981 ia meletakkan jabatan sebagai Ketua Umum MUI karena masalah fatwa Natal.
Kiprah Hamka dalam kelimuan juga cukup banyak. Tahun 1920-an, HAMKA menjadi wartawan beberapa surat kabar seperti Pelita Andalas, Seruan Islam, Bintang Islam dan Seruan Muhammadiyah. Pada tahun 1928, Hamka menjadi editor majalah Kemajuan Masyarakat. Pada tahun 1932, menjadi editor dan menerbitkan majalah Al-Mahdi di Makasar. Terakhir, majalah yang sangat monumental yang dipimpinnya Panji Masyarakat. Berbagai penghargaan telah diterimanya, seperti anugerah kehormatan Doctor Honoris Causa, Universitas al-Azhar, 1958 dan Doktor Honoris Causa, Universitas Kebangsaan Malaysia, 1974.
Alkisah, Hamka, adalah seorang tokoh yang sangat gigih dalam mengembangkan ilmu dan perjuangan dakwah Islam. Ratusan karya telah dihasilkannya. Tetapi, sebagaimana tradisi yang berkembang dalam keilmuan Islam selama ratusan tahun, tulisan-tulisan Hamka bukan hanya berisi data-data sejarah tanpa makna, melainkan sarat dengan ruh keimanan dan perjuangan serta memompakan semangat tinggi untuk mempertahankan keyakinan Islam dan memperjuangkan Islam.
Karena kegigihannya pula, HAMKA pernah dipenjara rejim Orde Lama. Tapi, di penjara, justru ia menghasilkan Tafsir Al-Azhar. Mohammad Natsir menghasilkan Capita Selecta dan berbagai buku lainnya. Sama dengan HAMKA, di penjara, Sayyid Quthb menghasilkan Fii Zhilalil Quran. Ibnu Taimiyah menghasilkan Majmuul Fatawa. Dan Ibnu Haistam menghasilkan teori optik. Mereka, adalah tipe ilmuwan, sekaligus ulama pejuang.
Dalam ajaran Islam, ulama menempati posisi sentral. Kata Rasul saw: Ulama adalah pewaris para nabi. Para Nabi tidak mewariskan dinar dan tidak juga dirham, melainkan mereka hanya mewariskan ilmu. (HR Abu Dawud, at-Tirmidzi, Ibn Majah).
Nabi juga memposisikan para ulama laksana bintang yang menjadi tempat umat mendapat bimbingan dan petunjuk. Melalui para ulama itulah, kini kita mewarisi risalah Nabi. Kita sekarang memahami Al-Quran dan tafsirnya, hadits Rasulullah saw, juga ilmu-ilmu keagamaan lainnya, melalui jasa para ulama. Melalui Imam Syafii, misalnya, kita memahami ilmu ushul fiqih, tentang bagaimana cara menetapkan hukum dalam Islam.
Maka, dalam sejarah Islam, ulama memegang peran yang sangat vital. Ketika Abu Bakar ash-Shiddiq menjadi umara, maka Umar bin Khathab, Ali r.a., dan sebagainya menjalankan peran ulama yang aktif menasehati dan mengontrol penguasa.
Begitu juga ketika Umar r.a. menjadi penguasa, para sahabat lain menjalankan fungsi kontrol dengan sangat efektif. Sebagai pewaris Nabi, para ulama bertanggung jawab untuk menjaga dan melanjutkan Risalah Nabi. Para ulama itulah yang pertama kali harus mempertahankan dan menegakkan ajaran Tauhid. Dalam nasehatnya kepada Sultan Muhammad bin Malik Syah, Imam al-Ghazali menyatakan, Ketahuilah wahai Sultan, engkau adalah makhluk. Engkau diciptakan oleh Maha Pencipta yang menciptakan alam dan seluruh isinya. Dia Maha Esa dan tidak ada sekutu bagi-Nya. (Dikutip dari k
arya al-Ghazali, At-Tibr al-Masbuk fi Nashaih al-Muluk, Terj. Arif B. Iskandar).
Selain mewarisi keilmuan dan risalah kenabian, para ulama di masa lalu juga sering menghadapi ujian kehidupan yang berat, sebagaimana dialami oleh para Nabi. Imam Malik pernah disiksa, karena pendapatnya bertentangan dengan gubernur Madinah ketika itu. Imam Abu Hanifah harus masuk penjara dan menjalani hukum cambuk 10 kali setiap hari, karena menolak berbagai tawaran jabatan tinggi dalam pemerintahan Abu Jafar al-Manshur.
Gara-gara menolak mengikuti pendapat Mutazilah tentang kemakhlukan Al-Quran, Imam Ahmad bin Hanbal akhirnya dijebloskan ke dalam penjara selama 28 bulan oleh Khalifah al-Makmun. Dua kakinya diikat dengan rantai besi, sehingga beliau harus shalat dalam keadaan kaki dirantai. Setiap hari beliau diinterogasi dan dipaksa meninggalkan pendapatnya yang bertentangan dengan paham Muktazilah. Tetapi, beliau terus menolak dan bertahan dengan pendapatnya yang shahih, meskipun terus mendapat cambukan. Imam Ahmad akhirnya meninggal dalam usia 77 tahun pada 241 Hijriah. Sekitar 600 ribu orang menghadiri pemakamannya.
Keteguhan dan ketinggian ilmu para ulama itulah yang berjasa besar dalam menjaga kemurnian agama Islam yang kita warisi dewasa ini. Karena itu, betapa risaunya Rasulullah saw terhadap ulama-ulama yang jahat (al-ulama al-su). Kata Nabi saw: Seburuk-buruk manusia adalah ulama yang buruk.
Kerusakan ulama adalah kerusakan Islam. Ulama jahat adalah ulama yang bodoh tetapi berani memberi fatwa atau ulama yang menjual agamanya untuk kepentingan dunia. Imam al-Ghazali dalam Kitabnya, Ihya Ulumuddin, memberikan penjelasan panjang lebar seputar bahaya ulama-ulama jahat, yang disebutnya sebagai ulama dunia.
Rasulullah saw bersabda: Di akhir zaman akan ada para ahli ibadah yang bodoh dan para ulama yang jahat. (HR at-Tirmidzi). Ulama adalah orang yang faqih fid-din, dan sekaligus orang yang bertaqwa kepada Allah. Tetapi, ulama yang jahil, ia lebih berbahaya bagi umat manusia.
Sejatinya, kejahilan bisa dilihat dalam dua fenomena: kejahilan yang ringan dan kejahilan yang berat. Kedua kejahilan itulah yang sesungguhnya menjadi sumber penyebab kesalahan, penyimpangan, kesesatan dan juga kejahatan manusia di muka bumi ini.
Kejahilan ringan adalah kurangnya ilmu tentang sesuatu yang seharusnya diketahui (ignorance). Mereka belum memperoleh informasi tentang kebenaran (al-Haq) sehingga mereka tidak memiliki pilihan lain kecuali melakukan apa yang mereka ketahui sebagai suatu kebenaran. Rasulullah membiarkan seorang Badui (Arab Gunung) yang kencing di dalam masjid. Meski Umar begitu marah besar, Rasulullah SAW mencegah dan hanya meminta para sahabat untuk menyiram menggunakan ember.
Tapi ada kejahilan berat, yaitu kekacauann ilmu (confusion of knowedge). Kejahilan jenis ini terjadi bukan karena kekurangan ilmu, tetapi karena ilmu yang salah, ilmu yang kacau. Ilmu yang benar adalah yang seharusnya mengantarkan kepada keyakinan dan kebenaran yang hakiki. Tetapi, ilmu yang rusak, justru mengantarkan kepada keraguan. Para pemilik ilmun yang salah ini akan menolak kebenaran, meskipun telah sampai padanya informasi tentang kebenaran (al-Haq) dengan hujjah yang meyakinkan dan dari sumber-sumber yang terpercaya. Kepada mereka juga telah datang para Nabi utusan Allah serta para penyeru ke jalan Allah yang lurus, tetapi mereka berpaling. Kasus penolakan Walid bin Mughirah dan para pembesar Qurays tentang kebenaran Muhammad serta Al-Quran adalah contohnya.
Walid bin Mughirah adalah seorang cendikiawan Qurays yang sangat disegani. Ia memutar balikkan kebenaran yang telah nyata tentang ajaran Muhammad dan mengatakan Al-Quran sebagai kata-kata Muhammad. Kejahilan yang dilakukan oleh para cendikiawan dan orang-orang cerdik-pandai seperti ini adalah bentuk kejahilan yang tidak dapat ditolelir. Sebab, mereka bukan orang-orang awam yang bodoh, bahkan sesungguhnya mereka orang-orang yang cerdas dan mampu memahami yang benar dari yang salah.
Kini, di Indonesia pada umumnya, terdapat fenomena ignorance pada kampus-kampus umum. B
Selain mewarisi keilmuan dan risalah kenabian, para ulama di masa lalu juga sering menghadapi ujian kehidupan yang berat, sebagaimana dialami oleh para Nabi. Imam Malik pernah disiksa, karena pendapatnya bertentangan dengan gubernur Madinah ketika itu. Imam Abu Hanifah harus masuk penjara dan menjalani hukum cambuk 10 kali setiap hari, karena menolak berbagai tawaran jabatan tinggi dalam pemerintahan Abu Jafar al-Manshur.
Gara-gara menolak mengikuti pendapat Mutazilah tentang kemakhlukan Al-Quran, Imam Ahmad bin Hanbal akhirnya dijebloskan ke dalam penjara selama 28 bulan oleh Khalifah al-Makmun. Dua kakinya diikat dengan rantai besi, sehingga beliau harus shalat dalam keadaan kaki dirantai. Setiap hari beliau diinterogasi dan dipaksa meninggalkan pendapatnya yang bertentangan dengan paham Muktazilah. Tetapi, beliau terus menolak dan bertahan dengan pendapatnya yang shahih, meskipun terus mendapat cambukan. Imam Ahmad akhirnya meninggal dalam usia 77 tahun pada 241 Hijriah. Sekitar 600 ribu orang menghadiri pemakamannya.
Keteguhan dan ketinggian ilmu para ulama itulah yang berjasa besar dalam menjaga kemurnian agama Islam yang kita warisi dewasa ini. Karena itu, betapa risaunya Rasulullah saw terhadap ulama-ulama yang jahat (al-ulama al-su). Kata Nabi saw: Seburuk-buruk manusia adalah ulama yang buruk.
Kerusakan ulama adalah kerusakan Islam. Ulama jahat adalah ulama yang bodoh tetapi berani memberi fatwa atau ulama yang menjual agamanya untuk kepentingan dunia. Imam al-Ghazali dalam Kitabnya, Ihya Ulumuddin, memberikan penjelasan panjang lebar seputar bahaya ulama-ulama jahat, yang disebutnya sebagai ulama dunia.
Rasulullah saw bersabda: Di akhir zaman akan ada para ahli ibadah yang bodoh dan para ulama yang jahat. (HR at-Tirmidzi). Ulama adalah orang yang faqih fid-din, dan sekaligus orang yang bertaqwa kepada Allah. Tetapi, ulama yang jahil, ia lebih berbahaya bagi umat manusia.
Sejatinya, kejahilan bisa dilihat dalam dua fenomena: kejahilan yang ringan dan kejahilan yang berat. Kedua kejahilan itulah yang sesungguhnya menjadi sumber penyebab kesalahan, penyimpangan, kesesatan dan juga kejahatan manusia di muka bumi ini.
Kejahilan ringan adalah kurangnya ilmu tentang sesuatu yang seharusnya diketahui (ignorance). Mereka belum memperoleh informasi tentang kebenaran (al-Haq) sehingga mereka tidak memiliki pilihan lain kecuali melakukan apa yang mereka ketahui sebagai suatu kebenaran. Rasulullah membiarkan seorang Badui (Arab Gunung) yang kencing di dalam masjid. Meski Umar begitu marah besar, Rasulullah SAW mencegah dan hanya meminta para sahabat untuk menyiram menggunakan ember.
Tapi ada kejahilan berat, yaitu kekacauann ilmu (confusion of knowedge). Kejahilan jenis ini terjadi bukan karena kekurangan ilmu, tetapi karena ilmu yang salah, ilmu yang kacau. Ilmu yang benar adalah yang seharusnya mengantarkan kepada keyakinan dan kebenaran yang hakiki. Tetapi, ilmu yang rusak, justru mengantarkan kepada keraguan. Para pemilik ilmun yang salah ini akan menolak kebenaran, meskipun telah sampai padanya informasi tentang kebenaran (al-Haq) dengan hujjah yang meyakinkan dan dari sumber-sumber yang terpercaya. Kepada mereka juga telah datang para Nabi utusan Allah serta para penyeru ke jalan Allah yang lurus, tetapi mereka berpaling. Kasus penolakan Walid bin Mughirah dan para pembesar Qurays tentang kebenaran Muhammad serta Al-Quran adalah contohnya.
Walid bin Mughirah adalah seorang cendikiawan Qurays yang sangat disegani. Ia memutar balikkan kebenaran yang telah nyata tentang ajaran Muhammad dan mengatakan Al-Quran sebagai kata-kata Muhammad. Kejahilan yang dilakukan oleh para cendikiawan dan orang-orang cerdik-pandai seperti ini adalah bentuk kejahilan yang tidak dapat ditolelir. Sebab, mereka bukan orang-orang awam yang bodoh, bahkan sesungguhnya mereka orang-orang yang cerdas dan mampu memahami yang benar dari yang salah.
Kini, di Indonesia pada umumnya, terdapat fenomena ignorance pada kampus-kampus umum. B
anyak sarjana ilmu-ilmu umum yang tidak memahami ilmu-ilmu keislaman dengan baik. Mereka buta terhadap Ilmu-ilmu al-Quran, hadits, bahasa Arab, ilmu fiqih, dan sebagainya. Sementara di lingkungan Perguruan Tinggi Islam telah banyak terjadi confusion of knowledge dalam ilmu-ilmu keagamaan. Ilmu perbandingan agama, misalnya, dirusak dengan cara menyebarkan paham relativisme kebenaran dan relativisme iman. Ulumul Quran dirusak dengan masuknya studi kritis terhadap al-Quran yang berujung kepada keraguan terhadap al-Quran.
Fenomena kerusakan ilmu ini, menurut Prof. Naquib al-Attas, disebut juga sebagai corruption of knowledge alias korupsi ilmu. Korupsi ilmu jauh lebih dahsyat akibatnya dibandingkan dengan korupsi harta.
Rasulullah saw bersabda,Bahwasanya Allah SWT tidak akan mencabut ilmu dengan sekaligus dari manusia. Tetapi Allah menghilangkan ilmu agama dengan mematikan para ulama. Apabila sudah ditiadakan para ulama, orang banyak akan memilih orang-orang bodoh sebagai pemimpinnya. Apabila pemimpin yang bodoh itu ditanya, mereka akan berfatwa tanpa ilmu pengetahuan. Mereka sesat dan menyesatkan. [HR Muslim].
Rasulullah sendiri berkata seburuk-buruk makhluk adalah ulama jahat. Yang paling dikhawatirkan beliau adalah munculnya orang-orang munafik yang canggih dalam berargumentasi (aliimil lisan). Banyak hadits Nabi saw yang menjelaskan bahwa pada Hari Kiamat nanti, siksaan bagi orang alim yang jahat akan jauh lebih berat dibandingkan orang bodoh yang salah. Karena itu, jika kita hendak mengukur bagaimana kondisi umat Islam, lihatlah kualitas ulamanya! Jika orang-orang yang berposisi atau memposisikan diri -- sebagai ulama tidak memiliki kualifikasi yang ideal, baik dalam ilmu maupun amal, maka itu indikator yang paling absah untuk menyatakan bahwa umat Islam dalam kondisi yang memprihatinkan. (***)
Fenomena kerusakan ilmu ini, menurut Prof. Naquib al-Attas, disebut juga sebagai corruption of knowledge alias korupsi ilmu. Korupsi ilmu jauh lebih dahsyat akibatnya dibandingkan dengan korupsi harta.
Rasulullah saw bersabda,Bahwasanya Allah SWT tidak akan mencabut ilmu dengan sekaligus dari manusia. Tetapi Allah menghilangkan ilmu agama dengan mematikan para ulama. Apabila sudah ditiadakan para ulama, orang banyak akan memilih orang-orang bodoh sebagai pemimpinnya. Apabila pemimpin yang bodoh itu ditanya, mereka akan berfatwa tanpa ilmu pengetahuan. Mereka sesat dan menyesatkan. [HR Muslim].
Rasulullah sendiri berkata seburuk-buruk makhluk adalah ulama jahat. Yang paling dikhawatirkan beliau adalah munculnya orang-orang munafik yang canggih dalam berargumentasi (aliimil lisan). Banyak hadits Nabi saw yang menjelaskan bahwa pada Hari Kiamat nanti, siksaan bagi orang alim yang jahat akan jauh lebih berat dibandingkan orang bodoh yang salah. Karena itu, jika kita hendak mengukur bagaimana kondisi umat Islam, lihatlah kualitas ulamanya! Jika orang-orang yang berposisi atau memposisikan diri -- sebagai ulama tidak memiliki kualifikasi yang ideal, baik dalam ilmu maupun amal, maka itu indikator yang paling absah untuk menyatakan bahwa umat Islam dalam kondisi yang memprihatinkan. (***)
BLASPHEMY
Oleh: Dr. Hamid Fahmy Zarkasyi
Dalam suatu symposium di Tokyo saya bertemu dengan Angel Rabasa. Orangnya energik dan simpatik. Ia salah seorang peneliti pada Rand Coorporation, NGO yang memberi saran dan masukan ke Security Council Amerika Serikat bagaimana menumpas fundamentalisme dalam Islam pasca 11 Sept. Banyak buku diterbitkan oleh NGO ini. Di saat coffee break ia sengaja menghampiri saya dan langsung “menembak”, What is wrong with Ahmadiyah in Indonesia? Saya katakan “itu adalah kasus penistaan agama (religious blasphemy)”. Oh no, that was the problem of freedom of speech ……bla…bla…bla.
Memang ia banyak tahu tentang Indonesia dan bahkan saya merasa pertanyaannya seperti ingin ikut campur urusan umat Islam. Saya lalu teringat makalah David E Kaplan, Hearts, Minds and Dollars, “Washington berinvestasi puluhan juta dolar dalam kampanye untuk mempengaruhi bukan saja masyarakat Islam, tapi juga Islam sendiri dan apa yang terjadi dalam Islam”. Kelihatannya, Rabasa ditugaskan untuk proyek yang disebut dalam makalah David itu.
“Baik, kalau begitu bagaimana dengan keberatan umat Kristiani terhadap aliran Jehovah yang dianggap sesat? Itu kan juga kasus penistaan agama?!!” tanya saya. Dia, yang berkulit putih itu menjadi sedikit memerah seperti menahan sesuatu. “Ya tapi orang Kristen tidak melaporkan kasus ini ke pemerintah”, jawabnya. Disini saya faham bahwa dia keberatan dengan campur tangan pemerintah dalam urusan agama. Tentu ini mindset yang tipikal orang Barat sekuler. Agama tidak boleh masuk ruang publik dan tidak boleh menyatu dengan kekuasaan, apapun bentuknya. Padahal, yang saya tahu, aliran Children of God dan Jehovah Witnesses dilarang kejaksaan Agung atas permintaan Ditjen Bimas Kristen karena dianggap sempalan Kristen. Ini bisa dipastikan merupakan hasil dari laporan para orang-orang Kristen.
Tapi kemudian saya katakan, kalau kita serahkan penyelesaian urusan blasphemy kemasyarakat, akan mengakibatkan chaos, atau kegaduhan. Anda tahun sendiri bagaimana masyarakat main hakim sendiri terhadap penganut Ahmadiyah di daerah-daerah. Dan jumlah mereka cukup banyak. Mengapa mereka begitu karena pemerintah tidak campur tangan. Saya juga sampaikan bahwa penganut Ahmadiyah sendiri menganggap siapapun yang tidak mengakui Mirza Ghulam Ahmad sebagai Nabi adalah kafir. Jadi, bukan hanya umat Islam yang menganggap Ahmadiyah salah, tapi Ahmadiyah justru menganggap umat Islam selain mereka itu salah. Ini tentu sudah merusak arti benar dan salah dalam ranah akidah dan syariah Islam. Rabasa ternyata tidak banyak tahu tentang kepercayaan Ahmadiyah. Akhirnya dia mengalihkan pembicaraan, let’s talk something else”, katanya.
Blasphemy atau blasfemie (bhs. Perancis) adalah istilah yang digunakan untuk penistaan agama di Barat. Kata blasphemy dalam Online Etymology Dictionary, © 2001 Douglas Harper berasal dari bahasa Latin blasphemia atau bahkan dari Yunani blasphēmein. Artinya irreligious, pernyataan, perkataan jahat atau menyakitkan, terkadang juga diartikan bodoh.
Secara definitif blasphemy adalah kejahatan menghina atau menista atau menunjukkan pelecehan atau kurang menghargai Tuhan, agama, ajarannya serta tulisan-tulisan-tulisan mengnainya. Juga berarti sikap menghina terhadap sesuatu yang dianggap sakral. (Merriam-Webster's Dictionary of Law, © 1996). Menurut The American Heritage blasphemy adalah aktifitas, pernyataan, tulisan yang merupakan penghinaan, irreligius, mengenai Tuhan atau sesuatu lainnya yang sakral.
Dalam the Random House Dictionary dan juga The American Heritage menganggap seseorang sebagai Tuhan atau mengaku memiliki kualitas seperti Tuhan termasuk blasphemy. Pengertian Easton Bible Dictionary (1897) bahkan lebih detail lagi. Blasphemy termasuk mengingkari adanya Roh Kudus, Bible, kemessiahan Jesus atau menganggap mukjizat Jesus itu sebagai kekuatan setan.
Masalahnya ketika para pemeluk agama merasa agamanya dinistakan, para pemikir liberal sekuler menganggap para pemeluk agama-agama telah membatasi kebebasan berpendapat mereka. Agama, menurut mereka menggunakan dalih blasph
Oleh: Dr. Hamid Fahmy Zarkasyi
Dalam suatu symposium di Tokyo saya bertemu dengan Angel Rabasa. Orangnya energik dan simpatik. Ia salah seorang peneliti pada Rand Coorporation, NGO yang memberi saran dan masukan ke Security Council Amerika Serikat bagaimana menumpas fundamentalisme dalam Islam pasca 11 Sept. Banyak buku diterbitkan oleh NGO ini. Di saat coffee break ia sengaja menghampiri saya dan langsung “menembak”, What is wrong with Ahmadiyah in Indonesia? Saya katakan “itu adalah kasus penistaan agama (religious blasphemy)”. Oh no, that was the problem of freedom of speech ……bla…bla…bla.
Memang ia banyak tahu tentang Indonesia dan bahkan saya merasa pertanyaannya seperti ingin ikut campur urusan umat Islam. Saya lalu teringat makalah David E Kaplan, Hearts, Minds and Dollars, “Washington berinvestasi puluhan juta dolar dalam kampanye untuk mempengaruhi bukan saja masyarakat Islam, tapi juga Islam sendiri dan apa yang terjadi dalam Islam”. Kelihatannya, Rabasa ditugaskan untuk proyek yang disebut dalam makalah David itu.
“Baik, kalau begitu bagaimana dengan keberatan umat Kristiani terhadap aliran Jehovah yang dianggap sesat? Itu kan juga kasus penistaan agama?!!” tanya saya. Dia, yang berkulit putih itu menjadi sedikit memerah seperti menahan sesuatu. “Ya tapi orang Kristen tidak melaporkan kasus ini ke pemerintah”, jawabnya. Disini saya faham bahwa dia keberatan dengan campur tangan pemerintah dalam urusan agama. Tentu ini mindset yang tipikal orang Barat sekuler. Agama tidak boleh masuk ruang publik dan tidak boleh menyatu dengan kekuasaan, apapun bentuknya. Padahal, yang saya tahu, aliran Children of God dan Jehovah Witnesses dilarang kejaksaan Agung atas permintaan Ditjen Bimas Kristen karena dianggap sempalan Kristen. Ini bisa dipastikan merupakan hasil dari laporan para orang-orang Kristen.
Tapi kemudian saya katakan, kalau kita serahkan penyelesaian urusan blasphemy kemasyarakat, akan mengakibatkan chaos, atau kegaduhan. Anda tahun sendiri bagaimana masyarakat main hakim sendiri terhadap penganut Ahmadiyah di daerah-daerah. Dan jumlah mereka cukup banyak. Mengapa mereka begitu karena pemerintah tidak campur tangan. Saya juga sampaikan bahwa penganut Ahmadiyah sendiri menganggap siapapun yang tidak mengakui Mirza Ghulam Ahmad sebagai Nabi adalah kafir. Jadi, bukan hanya umat Islam yang menganggap Ahmadiyah salah, tapi Ahmadiyah justru menganggap umat Islam selain mereka itu salah. Ini tentu sudah merusak arti benar dan salah dalam ranah akidah dan syariah Islam. Rabasa ternyata tidak banyak tahu tentang kepercayaan Ahmadiyah. Akhirnya dia mengalihkan pembicaraan, let’s talk something else”, katanya.
Blasphemy atau blasfemie (bhs. Perancis) adalah istilah yang digunakan untuk penistaan agama di Barat. Kata blasphemy dalam Online Etymology Dictionary, © 2001 Douglas Harper berasal dari bahasa Latin blasphemia atau bahkan dari Yunani blasphēmein. Artinya irreligious, pernyataan, perkataan jahat atau menyakitkan, terkadang juga diartikan bodoh.
Secara definitif blasphemy adalah kejahatan menghina atau menista atau menunjukkan pelecehan atau kurang menghargai Tuhan, agama, ajarannya serta tulisan-tulisan-tulisan mengnainya. Juga berarti sikap menghina terhadap sesuatu yang dianggap sakral. (Merriam-Webster's Dictionary of Law, © 1996). Menurut The American Heritage blasphemy adalah aktifitas, pernyataan, tulisan yang merupakan penghinaan, irreligius, mengenai Tuhan atau sesuatu lainnya yang sakral.
Dalam the Random House Dictionary dan juga The American Heritage menganggap seseorang sebagai Tuhan atau mengaku memiliki kualitas seperti Tuhan termasuk blasphemy. Pengertian Easton Bible Dictionary (1897) bahkan lebih detail lagi. Blasphemy termasuk mengingkari adanya Roh Kudus, Bible, kemessiahan Jesus atau menganggap mukjizat Jesus itu sebagai kekuatan setan.
Masalahnya ketika para pemeluk agama merasa agamanya dinistakan, para pemikir liberal sekuler menganggap para pemeluk agama-agama telah membatasi kebebasan berpendapat mereka. Agama, menurut mereka menggunakan dalih blasph
emy, penistaaan, bid’ah, musyrik, tabu dsb. untuk membungkam kebebasan berpikir mereka. Sedangkan dalih yang digunakan agamawan hanya bersumber dari persepsi para agamawan yang terbatas. Semenatara para pemeluk agama melihat orang-orang itu tidak mempunyai pengetahuan otoritatif untuk berbicara soal agama. Perbedaan pendapat ini nampaknya tidak punya jalan rekonsiliasi. Inilah Clash of worldview atau dalam bahasa Peter Berger collision of consciousness.
Benar, inti masalahnya ada pada perbedaan worldview. Di Barat pandangan agama dan alam pikiran masyarakat Barat khususnya masyarakat ilmiyah (scientific community) tidak pernah bertemu alias bentrok atau clash. Standar kebenaran alam pikiran masyarakat Barat sendiri selalu berubah-rubah. John Milton, sastrawan dan penulis politik Inggeris pernah bentrok dengan parlemen. Itu gara-gara brosur buatannya yang dianggap liar, tidak bertanggung jawab, tidak masuk akal dan illegal. Tapi menurut Milton itu pendapat individu. Pendapat individu yang berbeda-beda adalah modal bagi kesatuan bangsa. Oleh sebab itu menggali kebenaran dan ide-ide cemerlang tidak dapat dicapai kecuali dengan merujuk pendapat banyak orang, bukan segelintir orang.
Namun, yang akan menentukan sesuatu itu benar dan salah, menurut Milton bukan individu tapi gabungan pendapat individu-individu. Namun meski mayoritas telah bersuara, setiap individu dibebaskan untuk menemukan kebenaran mereka sendiri-sendiri. Tapi anehnya kata Milton jika fakta-fakta dibiarkan telanjang, kebenaran akan mengalahkan kebatilan dalam kompetisi terbuka. Masalah utama dalam teori Milton adalah standar kebenaran. Kebenaran, disatu sisi ditentukan oleh mayoritas, disisi lain oleh pasar bebas, tapi disisi lain juga tergantung pada individu masing-masing untuk menerima atau menolak.
Teori Milton kabur, tapi itu justru kondusif untuk membela kebebasan berpendapat. Meskipun dalam realitasnya tidak selalu begitu. Noam Chomsky mencoba merumuskan begini:”Jika anda percaya pada kebebasan berbicara, anda percaya pada kebebasan berbicara untuk mendukung pendapat yang tidak kau sukai”. (If you're in favor of freedom of speech, that means you're in favor of freedom of speech precisely for views you despise). Tapi kenyataannya Stalin dan Hitler yang mengaku mendukung kebebasan berbicara hanya mendukung pendapat yang mereka sukai. Sama, orang-orang yang tidak suka agama tentu akan membela pendapat yang mereka sukai, meski tidak disukai agamawan. Itulah poin konfliknya.
Kembali ke soal blasphemy. Sekurangnya ada dua sumber blasphermy di Barat baik individual maupun kelompok. Pertama dari luar agama dan kedua dari dalam agama. Masalahnya kemudian ketika suatu agama dinistakan oleh orang di luar agama atau diluar otoritas siapa yang berhak memvonis? Dan jika dari dalam agama itu sendiri, siapa pula yang berhak menghukuminya? Pertanyaan yang sama mungkin bisa diajukan. Ketika suatu negara dihina atau diserang oleh orang dari lular negara atau dari dalam negara itu, siapa yang berhak mengadili??
Baik mengikuti teori Milton maupun Chomsky blasmphemy tetap saja tidak dapat dibenarkan. Dalam teori Milton menista agama dapat menjadi illegal alias haram karena hanya pendapat segelintir orang dan tidak dapat dipegang kebebarannya. Dan jika mengikuti teori Chomsky orang-orang diluar komunitas agama atau yang tidak otoritatif tidak dapat berpendapat semau mereka karena harus menghormati apapun kepercayaan agama-agama meski tidak mereka sukai. Anta ta’iq wa ana ma’I famata nattifiq. Itulah clash of worldview.
Benar, inti masalahnya ada pada perbedaan worldview. Di Barat pandangan agama dan alam pikiran masyarakat Barat khususnya masyarakat ilmiyah (scientific community) tidak pernah bertemu alias bentrok atau clash. Standar kebenaran alam pikiran masyarakat Barat sendiri selalu berubah-rubah. John Milton, sastrawan dan penulis politik Inggeris pernah bentrok dengan parlemen. Itu gara-gara brosur buatannya yang dianggap liar, tidak bertanggung jawab, tidak masuk akal dan illegal. Tapi menurut Milton itu pendapat individu. Pendapat individu yang berbeda-beda adalah modal bagi kesatuan bangsa. Oleh sebab itu menggali kebenaran dan ide-ide cemerlang tidak dapat dicapai kecuali dengan merujuk pendapat banyak orang, bukan segelintir orang.
Namun, yang akan menentukan sesuatu itu benar dan salah, menurut Milton bukan individu tapi gabungan pendapat individu-individu. Namun meski mayoritas telah bersuara, setiap individu dibebaskan untuk menemukan kebenaran mereka sendiri-sendiri. Tapi anehnya kata Milton jika fakta-fakta dibiarkan telanjang, kebenaran akan mengalahkan kebatilan dalam kompetisi terbuka. Masalah utama dalam teori Milton adalah standar kebenaran. Kebenaran, disatu sisi ditentukan oleh mayoritas, disisi lain oleh pasar bebas, tapi disisi lain juga tergantung pada individu masing-masing untuk menerima atau menolak.
Teori Milton kabur, tapi itu justru kondusif untuk membela kebebasan berpendapat. Meskipun dalam realitasnya tidak selalu begitu. Noam Chomsky mencoba merumuskan begini:”Jika anda percaya pada kebebasan berbicara, anda percaya pada kebebasan berbicara untuk mendukung pendapat yang tidak kau sukai”. (If you're in favor of freedom of speech, that means you're in favor of freedom of speech precisely for views you despise). Tapi kenyataannya Stalin dan Hitler yang mengaku mendukung kebebasan berbicara hanya mendukung pendapat yang mereka sukai. Sama, orang-orang yang tidak suka agama tentu akan membela pendapat yang mereka sukai, meski tidak disukai agamawan. Itulah poin konfliknya.
Kembali ke soal blasphemy. Sekurangnya ada dua sumber blasphermy di Barat baik individual maupun kelompok. Pertama dari luar agama dan kedua dari dalam agama. Masalahnya kemudian ketika suatu agama dinistakan oleh orang di luar agama atau diluar otoritas siapa yang berhak memvonis? Dan jika dari dalam agama itu sendiri, siapa pula yang berhak menghukuminya? Pertanyaan yang sama mungkin bisa diajukan. Ketika suatu negara dihina atau diserang oleh orang dari lular negara atau dari dalam negara itu, siapa yang berhak mengadili??
Baik mengikuti teori Milton maupun Chomsky blasmphemy tetap saja tidak dapat dibenarkan. Dalam teori Milton menista agama dapat menjadi illegal alias haram karena hanya pendapat segelintir orang dan tidak dapat dipegang kebebarannya. Dan jika mengikuti teori Chomsky orang-orang diluar komunitas agama atau yang tidak otoritatif tidak dapat berpendapat semau mereka karena harus menghormati apapun kepercayaan agama-agama meski tidak mereka sukai. Anta ta’iq wa ana ma’I famata nattifiq. Itulah clash of worldview.
MELURUSKAN SEJARAH INDONESIA
Oleh: Dr. Adian Husaini
Tidak ada yang tidak setuju, bahwa sejarah adalah hal penting dalam kehidupan manusia. Untuk melihat masa depannya, seseorang perlu memahami masa lalunya. Al-Quran dipenuhi oleh berbagai cerita umat-umat terdahulu. Dan umat Islam diminta bisa mengambil hikmah dari kisah-kisah masa lalu, untuk menjadi bekal dalam menyongsong masa depannya. Maka, jangan heran, jika setiap bangsa senantiasa merumuskan sejarah masa lalunya. Sejarah juga sangat penting bagi kebangkitan suatu bangsa atau peradaban. Muhammad Asad (Leopold Weiss) dalam bukunya, Islam at the Crossroads, menulis: No civilization can prosper or even exist, after having lost this pride and the connection with its own past
Menyadari arti penting sejarah, kaum penjajah juga secara serius merekayasa sejarah Indonesia. Khususnya yang menyangkut peran Islam dalam sejarah Indonesia. Pakar sejarah Melayu, Prof. Naquib al-Attas sudah lama mengingatkan adanya upaya yang sistematis dari orientalis Belanda untuk memperkecil peran Islam dalam sejarah Kepulauan Nusantara. Dalam bukunya, Islam dalam Sejarah dan Kebudayaan Melayu (1990), Prof. Naquib al-Attas menulis tentang masalah ini: Kecenderungan ke arah memperkecil peranan Islam dalam sejarah Kepulauan ini, sudah nyata pula, misalnya dalam tulisan-tulisan Snouck Hurgronje pada akhir abad yang lalu. Kemudian hampir semua sarjana-sarjana yang menulis selepas Hurgronje telah terpengaruh kesan pemikirannya yang meluas dan mendalam di kalangan mereka, sehingga tidak mengherankan sekiranya pengaruh itu masih berlaku sampai dewasa ini.
Dalam kasus hukum, misalnya, sudah menjadi kenyataan, hukum Islam merupakan hukum yang hidup di tengah masyarakat. Bahkan, para pejuang Islam di Indonesia, sejak dulu sudah bercita-cita dan sudah menerapkan hukum Islam. Dalam disertasi doktornya di Universitas Indonesia, Dr. Rifyal Kabah mencatat, bahwa sebelum kedatangan penjajah Belanda, Islam telah memperkenalkan tradisi hukum baru di Indonesia. Ia menawarkan dasar-dasar tingkah laku sosial baru yang lebih sama rata dibanding dengan yang berlaku sebelumnya. Islam juga menyumbangkan konsepsi baru di bidang hukum untuk Indonesia. Islam telah mengubah ikatan yang bersifat kesukuan dan kedaerahan menjadi ikatan yang bersifat universal. Mengutip Daniel S. Lev, Rifyal mencatat bahwa Islam telah membentuk sebuah konsepsi sosial-politik supralokal sebelum Belanda dapat menyatukan Nusantara dalam sebuah administrasi pemerintahan.
Sebuah buku yang ditulis F.V.A. Ridder de Stuers, Gedenkschrift van den Orloog op Java (1847), mengisahkan memoar seorang Letnan Kolonel Belanda yang menulis, bahwa Perang Diponegoro (1825-1830) sebenarnya adalah perjuangan menegakkan hukum Islam bagi orang Jawa. Kepada William Stavers, ketua delegasi Belanda yang datang ke pedalaman Salatiga, pembantu dekat Pangeran Diponegoro, Kyai Mojo, menyampaikan pesan, Pangeran Diponegoro mencitakan hukum Islam seluruhnya berlaku untuk orang Jawa. Persengketaan orang Jawa dengan orang Eropa diputus menurut hukum Islam. Sedangkan persengketaan antar orang Eropa diselesaikan dengan hukum Eropa.
Sejak zaman VOC, Belanda pun mengakui hukum Islam di Indonesia. Dengan adanya Regerings Reglemen, mulai tahun 1855 Belanda mempertegas pengakuannya terhadap hukum Islam di Indonesia. Pengakuan ini diperkuat lagi oleh Lodewijk Willem Christian yang mengemukakan teori receptio in complexu. Teori ini pada intinya menyatakan, bahwa untuk orang Islam berlaku hukum Islam. Hingga abad ke-19, teori ini masih berlaku. Snouck Hurgronje mulai mengubah teori ini dengan teori receptie, yang menyatakan, hukum Islam baru diberlakukan untuk orang Indonesia, bila diterima oleh hukum adat. Pakar hukum adat dan hukum Islam UI, Prof. Hazairin menyebut teori receptie Snouck Hurgronje ini sebagai teori Iblis. (Lihat, Rifyal Kabah, Hukum Islam di Indonesia (Jakarta: Yarsi, 1999).
Islam, memang telah menjadi bagian integral dan tak terpisahkan dari masyarakat Melayu-Nusantara. Dalam buku klasik-nya, Islam and Secularism, Prof. Syed Muhammad Naquib al-
Oleh: Dr. Adian Husaini
Tidak ada yang tidak setuju, bahwa sejarah adalah hal penting dalam kehidupan manusia. Untuk melihat masa depannya, seseorang perlu memahami masa lalunya. Al-Quran dipenuhi oleh berbagai cerita umat-umat terdahulu. Dan umat Islam diminta bisa mengambil hikmah dari kisah-kisah masa lalu, untuk menjadi bekal dalam menyongsong masa depannya. Maka, jangan heran, jika setiap bangsa senantiasa merumuskan sejarah masa lalunya. Sejarah juga sangat penting bagi kebangkitan suatu bangsa atau peradaban. Muhammad Asad (Leopold Weiss) dalam bukunya, Islam at the Crossroads, menulis: No civilization can prosper or even exist, after having lost this pride and the connection with its own past
Menyadari arti penting sejarah, kaum penjajah juga secara serius merekayasa sejarah Indonesia. Khususnya yang menyangkut peran Islam dalam sejarah Indonesia. Pakar sejarah Melayu, Prof. Naquib al-Attas sudah lama mengingatkan adanya upaya yang sistematis dari orientalis Belanda untuk memperkecil peran Islam dalam sejarah Kepulauan Nusantara. Dalam bukunya, Islam dalam Sejarah dan Kebudayaan Melayu (1990), Prof. Naquib al-Attas menulis tentang masalah ini: Kecenderungan ke arah memperkecil peranan Islam dalam sejarah Kepulauan ini, sudah nyata pula, misalnya dalam tulisan-tulisan Snouck Hurgronje pada akhir abad yang lalu. Kemudian hampir semua sarjana-sarjana yang menulis selepas Hurgronje telah terpengaruh kesan pemikirannya yang meluas dan mendalam di kalangan mereka, sehingga tidak mengherankan sekiranya pengaruh itu masih berlaku sampai dewasa ini.
Dalam kasus hukum, misalnya, sudah menjadi kenyataan, hukum Islam merupakan hukum yang hidup di tengah masyarakat. Bahkan, para pejuang Islam di Indonesia, sejak dulu sudah bercita-cita dan sudah menerapkan hukum Islam. Dalam disertasi doktornya di Universitas Indonesia, Dr. Rifyal Kabah mencatat, bahwa sebelum kedatangan penjajah Belanda, Islam telah memperkenalkan tradisi hukum baru di Indonesia. Ia menawarkan dasar-dasar tingkah laku sosial baru yang lebih sama rata dibanding dengan yang berlaku sebelumnya. Islam juga menyumbangkan konsepsi baru di bidang hukum untuk Indonesia. Islam telah mengubah ikatan yang bersifat kesukuan dan kedaerahan menjadi ikatan yang bersifat universal. Mengutip Daniel S. Lev, Rifyal mencatat bahwa Islam telah membentuk sebuah konsepsi sosial-politik supralokal sebelum Belanda dapat menyatukan Nusantara dalam sebuah administrasi pemerintahan.
Sebuah buku yang ditulis F.V.A. Ridder de Stuers, Gedenkschrift van den Orloog op Java (1847), mengisahkan memoar seorang Letnan Kolonel Belanda yang menulis, bahwa Perang Diponegoro (1825-1830) sebenarnya adalah perjuangan menegakkan hukum Islam bagi orang Jawa. Kepada William Stavers, ketua delegasi Belanda yang datang ke pedalaman Salatiga, pembantu dekat Pangeran Diponegoro, Kyai Mojo, menyampaikan pesan, Pangeran Diponegoro mencitakan hukum Islam seluruhnya berlaku untuk orang Jawa. Persengketaan orang Jawa dengan orang Eropa diputus menurut hukum Islam. Sedangkan persengketaan antar orang Eropa diselesaikan dengan hukum Eropa.
Sejak zaman VOC, Belanda pun mengakui hukum Islam di Indonesia. Dengan adanya Regerings Reglemen, mulai tahun 1855 Belanda mempertegas pengakuannya terhadap hukum Islam di Indonesia. Pengakuan ini diperkuat lagi oleh Lodewijk Willem Christian yang mengemukakan teori receptio in complexu. Teori ini pada intinya menyatakan, bahwa untuk orang Islam berlaku hukum Islam. Hingga abad ke-19, teori ini masih berlaku. Snouck Hurgronje mulai mengubah teori ini dengan teori receptie, yang menyatakan, hukum Islam baru diberlakukan untuk orang Indonesia, bila diterima oleh hukum adat. Pakar hukum adat dan hukum Islam UI, Prof. Hazairin menyebut teori receptie Snouck Hurgronje ini sebagai teori Iblis. (Lihat, Rifyal Kabah, Hukum Islam di Indonesia (Jakarta: Yarsi, 1999).
Islam, memang telah menjadi bagian integral dan tak terpisahkan dari masyarakat Melayu-Nusantara. Dalam buku klasik-nya, Islam and Secularism, Prof. Syed Muhammad Naquib al-
Attas bahkan mencatat, bahwa dalam perjalanan sejarah peradaban Melayu, kedatangan Islam di wilayah kepulauan Melayu-Indonesia merupakan peristiwa terpenting dalam sejarah kepulauan tersebut. (the coming of Islam seen from the perspective of modern times was the most momentous event in the history of the Archipelago). Bahasa Melayu yang kemudian menjadi bahasa pengantar di kepulauan Melayu-Indonesia (the Malay-Indonesian archipelago) merupakan bahasa Muslim kedua terbesar yang digunakan oleh umat Islam.
Sebab itu, tulis al-Attas, Melayu kemudian menjadi identik dengan Islam. Sebab, agama Islam merupakan unsur terpenting dalam peradaban Melayu. Islam dan bahasa Melayu kemudian berhasil menggerakkan ke arah terbentuknya kesadaran nasional. Al-Attas mencatat: Together with the historical factor, the religious and language factors began setting in motion the process towards a national consciousness.
Upaya untuk memisahkan Islam dengan peradaban Melayu-Indonesia ini sejak lama dilakukan oleh kaum orientalis Belanda yang kemudian diikuti oleh kaum Islamofobia di Indonesia pasca penjajahan. Sejak dulu, kekuatan penjajah berusaha keras mendidik kaum terpelajar dan elite bangsa ini agar bersikap anti-pati terhadap segala sesuatu yang berbau Islam. Mereka ketakutan jika Islam sampai digunakan sebagi ideologi atau sumber tatatan hukum dan budaya bangsa.
Tahun 1938, M. Natsir pernah menulis sebuah artikel berjudul: Suara Azan dan Lonceng Gereja. Artikel ini mengomentari hasil Konferensi Zending Kristen di Amsterdam pada 25-26 Oktober 1938, yang juga menyinggung petingnya peran pendidikan Barat dalam menjauhkan kaum Muslim dari agamanya. Natsir mengutip ungkapan Prof. Snouck Hurgronje, dalam bukunya Nederland en de Islam, Opvoeding en onderwijs zijn in staat, de Moslims van het Islamstelsel te emancipeeren. (Pendidikan dan pelajaran dapat melepaskan orang Muslimin dari genggaman Islam).
Melalui bukunya, Snouck Hurgronje en Islam (Diindonesiakan oleh Girimukti Pusaka, dengan judul Snouck Hurgronje dan Islam, tahun 1989), P.SJ. Van Koningsveld memaparkan sosok dan kiprah Snouck Hurgronje dalam upaya membantu penjajah Belanda untuk menaklukkan Islam. Mengikuti jejak orientalis Yahudi, Ignaz Goldziher, yang menjadi murid para Syaikh al-Azhar Kairo, Snouck sampai merasa perlu untuk menyatakan diri sebagai seorang muslim (1885) dan mengganti nama menjadi Abdul Ghaffar. Dengan itu dia bisa diterima menjadi murid para ulama Mekkah. Menurut Van Koningsveld, pemerintah kolonial mengerti benar sepak terjang Snouck dalam penyamarannya sebagai Muslim. Snouck dianggap oleh kaum Muslim di Nusantara ini sebagai ulama, bahkan ada yang menyebutnya sebagai Mufti Hindia Belanda.
Padahal, Snouck sendiri menulis tentang Islam: Sesungguhnya agama ini meskipun cocok untuk membiasakan ketertiban kepada orang-orang biadab, tetapi tidak dapat berdamai dengan peradaban modern, kecuali dengan suatu perubahan radikal, namun tidak sesuatu pun memberi kita hak untuk mengharapkannya.
Prof. Snouck Hurgronje memang telah tiada. Namun, jalan pikirannya tetap ada yang melanjutkan. Upaya memisahkan dan menjauhkan Islam dari Indonesia terus dilakukan. Islam dicitrakan sebagai barang rongsokan yang harus di-Baratkan, agar menjadi liberal dan modern. Islam juga dicitrakan sebagai unsur asing dari bangsa ini. Bukan hanya dalam aspek hukum, tetapi dalam aspek pendidikan dan budaya pun, unsur-unsur liberalisme Barat dan nativisme dibangkitkan untuk menggusur Islam.
Kasus lain yang menggambarkan adanya rekayasa penjajah Belanda untuk mengarahkan sejarah Indonesia sesuai dengan keinginan Belanda, dapat dilihat pada kasus penokohan RA Kartini sebagai tokoh wanita Indonesia. Pada tahun 1970-an, di saat kuat-kuatnya pemerintahan Orde Baru, guru besar Universitas Indonesia, Prof. Dr. Harsja W. Bachtiar pernah menggugat masalah ini. Ia mengkritik 'pengkultusan' R.A. Kartini sebagai pahlawan nasional Indonesia.
Dalam buku Satu Abad Kartini (1879-1979), (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1990, cetakan ke-4), Harsja W. Bahtiar menulis sebuah artikel berjudul Kartini da
Sebab itu, tulis al-Attas, Melayu kemudian menjadi identik dengan Islam. Sebab, agama Islam merupakan unsur terpenting dalam peradaban Melayu. Islam dan bahasa Melayu kemudian berhasil menggerakkan ke arah terbentuknya kesadaran nasional. Al-Attas mencatat: Together with the historical factor, the religious and language factors began setting in motion the process towards a national consciousness.
Upaya untuk memisahkan Islam dengan peradaban Melayu-Indonesia ini sejak lama dilakukan oleh kaum orientalis Belanda yang kemudian diikuti oleh kaum Islamofobia di Indonesia pasca penjajahan. Sejak dulu, kekuatan penjajah berusaha keras mendidik kaum terpelajar dan elite bangsa ini agar bersikap anti-pati terhadap segala sesuatu yang berbau Islam. Mereka ketakutan jika Islam sampai digunakan sebagi ideologi atau sumber tatatan hukum dan budaya bangsa.
Tahun 1938, M. Natsir pernah menulis sebuah artikel berjudul: Suara Azan dan Lonceng Gereja. Artikel ini mengomentari hasil Konferensi Zending Kristen di Amsterdam pada 25-26 Oktober 1938, yang juga menyinggung petingnya peran pendidikan Barat dalam menjauhkan kaum Muslim dari agamanya. Natsir mengutip ungkapan Prof. Snouck Hurgronje, dalam bukunya Nederland en de Islam, Opvoeding en onderwijs zijn in staat, de Moslims van het Islamstelsel te emancipeeren. (Pendidikan dan pelajaran dapat melepaskan orang Muslimin dari genggaman Islam).
Melalui bukunya, Snouck Hurgronje en Islam (Diindonesiakan oleh Girimukti Pusaka, dengan judul Snouck Hurgronje dan Islam, tahun 1989), P.SJ. Van Koningsveld memaparkan sosok dan kiprah Snouck Hurgronje dalam upaya membantu penjajah Belanda untuk menaklukkan Islam. Mengikuti jejak orientalis Yahudi, Ignaz Goldziher, yang menjadi murid para Syaikh al-Azhar Kairo, Snouck sampai merasa perlu untuk menyatakan diri sebagai seorang muslim (1885) dan mengganti nama menjadi Abdul Ghaffar. Dengan itu dia bisa diterima menjadi murid para ulama Mekkah. Menurut Van Koningsveld, pemerintah kolonial mengerti benar sepak terjang Snouck dalam penyamarannya sebagai Muslim. Snouck dianggap oleh kaum Muslim di Nusantara ini sebagai ulama, bahkan ada yang menyebutnya sebagai Mufti Hindia Belanda.
Padahal, Snouck sendiri menulis tentang Islam: Sesungguhnya agama ini meskipun cocok untuk membiasakan ketertiban kepada orang-orang biadab, tetapi tidak dapat berdamai dengan peradaban modern, kecuali dengan suatu perubahan radikal, namun tidak sesuatu pun memberi kita hak untuk mengharapkannya.
Prof. Snouck Hurgronje memang telah tiada. Namun, jalan pikirannya tetap ada yang melanjutkan. Upaya memisahkan dan menjauhkan Islam dari Indonesia terus dilakukan. Islam dicitrakan sebagai barang rongsokan yang harus di-Baratkan, agar menjadi liberal dan modern. Islam juga dicitrakan sebagai unsur asing dari bangsa ini. Bukan hanya dalam aspek hukum, tetapi dalam aspek pendidikan dan budaya pun, unsur-unsur liberalisme Barat dan nativisme dibangkitkan untuk menggusur Islam.
Kasus lain yang menggambarkan adanya rekayasa penjajah Belanda untuk mengarahkan sejarah Indonesia sesuai dengan keinginan Belanda, dapat dilihat pada kasus penokohan RA Kartini sebagai tokoh wanita Indonesia. Pada tahun 1970-an, di saat kuat-kuatnya pemerintahan Orde Baru, guru besar Universitas Indonesia, Prof. Dr. Harsja W. Bachtiar pernah menggugat masalah ini. Ia mengkritik 'pengkultusan' R.A. Kartini sebagai pahlawan nasional Indonesia.
Dalam buku Satu Abad Kartini (1879-1979), (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1990, cetakan ke-4), Harsja W. Bahtiar menulis sebuah artikel berjudul Kartini da
n Peranan Wanita dalam Masyarakat Kita. Tulisan ini bernada gugatan terhadap penokohan Kartini. Kita mengambil alih Kartini sebagai lambang emansipasi wanita di Indonesia dari orang-orang Belanda. Kita tidak mencipta sendiri lambang budaya ini, meskipun kemudian kitalah yang mengembangkannya lebih lanjut, tulis Harsja W. Bachtiar, yang menamatkan doktor sosiologinya di Harvard University.
Harsja juga menggugat dengan halus, mengapa harus Kartini yang dijadikan sebagai simbol kemajuan wanita Indonesia. Ia menunjuk dua sosok wanita yang hebat dalam sejarah Indonesia. Pertama, Sultanah Seri Ratu Tajul Alam Safiatuddin Johan Berdaulat dari Aceh dan kedua, Siti Aisyah We Tenriolle dari Sulawesi Selatan. Anehnya, tulis Harsja, dua wanita itu tidak masuk dalam buku Sejarah Setengah Abad Pergerakan Wanita Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka, 1978), terbitan resmi Kongres Wanita Indonesia (Kowani). Tentu saja Kartini masuk dalam buku tersebut.
Padahal, papar Harsja, kehebatan dua wanita itu sangat luar biasa. Sultanah Safiatudin dikenal sebagai sosok yang sangat pintar dan aktif mengembangkan ilmu pengatetahuan. Selain bahasa Aceh dan Melayu, dia menguasai bahasa Arab, Persia, Spanyol dan Urdu. Di masa pemerintahannya, ilmu dan kesusastraan berkembang pesat. Ketika itulah lahir karya-karya besar dari Nuruddin ar-Raniry, Hamzah Fansuri, dan Abdur Rauf. Ia juga berhasil menampik usaha-usaha Belanda untuk menempatkan diri di daerah Aceh. VOC pun tidak berhasil memperoleh monopoli atas perdagangan timah dan komoditi lainnya. Sultanah memerintah Aceh cukup lama, yaitu 1644-1675. Ia dikenal sangat memajukan pendidikan, baik untuk pria maupun untuk wanita.
Tokoh wanita kedua yang disebut Harsja Bachriar adalah Siti Aisyah We Tenriolle. Wanita ini bukan hanya dikenal ahli dalam pemerintahan, tetapi juga mahir dalam kesusastraan. B.F. Matthes, orang Belanda yang ahli sejarah Sulawesi Selatan, mengaku mendapat manfaat besar dari sebuah epos La-Galigo, yang mencakup lebih dari 7.000 halaman folio. Ikhtisar epos besar itu dibuat sendiri oleh We Tenriolle. Pada tahun 1908, wanita ini mendirikan sekolah pertama di Tanette, tempat pendidikan modern pertama yang dibuka baik untuk anak-anak pria maupun untuk wanita.
Penelusuran Prof. Harsja W. Bachtiar terhadap penokohan Kartini akhirnya menemukan kenyataan, bahwa Kartini memang dipilih oleh orang Belanda untuk ditampilkan ke depan sebagai pendekar kemajuan wanita pribumi di Indonesia. Mula-mula Kartini bergaul dengan Asisten-Residen Ovink suami istri. Adalah Cristiaan Snouck Hurgronje, penasehat pemerintah Hindia Belanda, yang mendorong J.H. Abendanon, Direktur Departemen Pendidikan, Agama dan Kerajinan, agar memberikan perhatian pada Kartini tiga bersaudara.
Harsja menulis tentang kisah ini: Abendanon mengunjungi mereka dan kemudian menjadi semacam sponsor bagi Kartini. Kartini berkenalan dengan Hilda de Booy-Boissevain, istri ajudan Gubernur Jendral, pada suatu resepsi di Istana Bogor, suatu pertemuan yang sangat mengesankan kedua belah pihak.
Ringkasnya, Kartini kemudian berkenalan dengan Estella Zeehandelaar, seorang wanita aktivis gerakan Sociaal Democratische Arbeiderspartij (SDAP). Wanita Belanda ini kemudian mengenalkan Kartini pada berbagai ide modern, terutama mengenai perjuangan wanita dan sosialisme. Tokoh sosialisme H.H. van Kol dan penganjur Haluan Etika C.Th. van Deventer adalah orang-orang yang menampilkan Kartini sebagai pendekar wanita Indonesia.
Lebih dari enam tahun setelah Kartini wafat pada umur 25 tahun, pada tahun 1911, Abendanon menerbitkan kumpulan surat-surat Kartini dengan judul Door Duisternis tot Lich. Kemudian terbit juga edisi bahasa Inggrisnya dengan judul Letters of a Javaness Princess. Beberapa tahun kemudian, terbit terjemahan dalam bahasa Indonesia dengan judul Habis Gelap Terbitlah Terang: Boeah Pikiran (1922).
Dua tahun setelah penerbitan buku Kartini, Hilda de Booy-Boissevain mengadakan prakarsa pengumpulan dana yang memungkinkan pembiayaan sejumlah sekolah di Jawa Tengah. Tanggal 27 Juni 1913, didirikan Komite Kartini Fonds, yang
Harsja juga menggugat dengan halus, mengapa harus Kartini yang dijadikan sebagai simbol kemajuan wanita Indonesia. Ia menunjuk dua sosok wanita yang hebat dalam sejarah Indonesia. Pertama, Sultanah Seri Ratu Tajul Alam Safiatuddin Johan Berdaulat dari Aceh dan kedua, Siti Aisyah We Tenriolle dari Sulawesi Selatan. Anehnya, tulis Harsja, dua wanita itu tidak masuk dalam buku Sejarah Setengah Abad Pergerakan Wanita Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka, 1978), terbitan resmi Kongres Wanita Indonesia (Kowani). Tentu saja Kartini masuk dalam buku tersebut.
Padahal, papar Harsja, kehebatan dua wanita itu sangat luar biasa. Sultanah Safiatudin dikenal sebagai sosok yang sangat pintar dan aktif mengembangkan ilmu pengatetahuan. Selain bahasa Aceh dan Melayu, dia menguasai bahasa Arab, Persia, Spanyol dan Urdu. Di masa pemerintahannya, ilmu dan kesusastraan berkembang pesat. Ketika itulah lahir karya-karya besar dari Nuruddin ar-Raniry, Hamzah Fansuri, dan Abdur Rauf. Ia juga berhasil menampik usaha-usaha Belanda untuk menempatkan diri di daerah Aceh. VOC pun tidak berhasil memperoleh monopoli atas perdagangan timah dan komoditi lainnya. Sultanah memerintah Aceh cukup lama, yaitu 1644-1675. Ia dikenal sangat memajukan pendidikan, baik untuk pria maupun untuk wanita.
Tokoh wanita kedua yang disebut Harsja Bachriar adalah Siti Aisyah We Tenriolle. Wanita ini bukan hanya dikenal ahli dalam pemerintahan, tetapi juga mahir dalam kesusastraan. B.F. Matthes, orang Belanda yang ahli sejarah Sulawesi Selatan, mengaku mendapat manfaat besar dari sebuah epos La-Galigo, yang mencakup lebih dari 7.000 halaman folio. Ikhtisar epos besar itu dibuat sendiri oleh We Tenriolle. Pada tahun 1908, wanita ini mendirikan sekolah pertama di Tanette, tempat pendidikan modern pertama yang dibuka baik untuk anak-anak pria maupun untuk wanita.
Penelusuran Prof. Harsja W. Bachtiar terhadap penokohan Kartini akhirnya menemukan kenyataan, bahwa Kartini memang dipilih oleh orang Belanda untuk ditampilkan ke depan sebagai pendekar kemajuan wanita pribumi di Indonesia. Mula-mula Kartini bergaul dengan Asisten-Residen Ovink suami istri. Adalah Cristiaan Snouck Hurgronje, penasehat pemerintah Hindia Belanda, yang mendorong J.H. Abendanon, Direktur Departemen Pendidikan, Agama dan Kerajinan, agar memberikan perhatian pada Kartini tiga bersaudara.
Harsja menulis tentang kisah ini: Abendanon mengunjungi mereka dan kemudian menjadi semacam sponsor bagi Kartini. Kartini berkenalan dengan Hilda de Booy-Boissevain, istri ajudan Gubernur Jendral, pada suatu resepsi di Istana Bogor, suatu pertemuan yang sangat mengesankan kedua belah pihak.
Ringkasnya, Kartini kemudian berkenalan dengan Estella Zeehandelaar, seorang wanita aktivis gerakan Sociaal Democratische Arbeiderspartij (SDAP). Wanita Belanda ini kemudian mengenalkan Kartini pada berbagai ide modern, terutama mengenai perjuangan wanita dan sosialisme. Tokoh sosialisme H.H. van Kol dan penganjur Haluan Etika C.Th. van Deventer adalah orang-orang yang menampilkan Kartini sebagai pendekar wanita Indonesia.
Lebih dari enam tahun setelah Kartini wafat pada umur 25 tahun, pada tahun 1911, Abendanon menerbitkan kumpulan surat-surat Kartini dengan judul Door Duisternis tot Lich. Kemudian terbit juga edisi bahasa Inggrisnya dengan judul Letters of a Javaness Princess. Beberapa tahun kemudian, terbit terjemahan dalam bahasa Indonesia dengan judul Habis Gelap Terbitlah Terang: Boeah Pikiran (1922).
Dua tahun setelah penerbitan buku Kartini, Hilda de Booy-Boissevain mengadakan prakarsa pengumpulan dana yang memungkinkan pembiayaan sejumlah sekolah di Jawa Tengah. Tanggal 27 Juni 1913, didirikan Komite Kartini Fonds, yang
diketuai C.Th. van Deventer. Usaha pengumpulan dana ini lebih memperkenalkan nama Kartini, serta ide-idenya pada orang-orang di Belanda. Harsja Bachtriar kemudian mencatat: Orang-orang Indonesia di luar lingkungan terbatas Kartini sendiri, dalam masa kehidupan Kartini hampir tidak mengenal Kartini dan mungkin tidak akan mengenal Kartini bilamana orang-orang Belanda ini tidak menampilkan Kartini ke depan dalam tulisan-tulisan, percakapan-percakapan maupun tindakan-tindakan mereka.
Karena itulah, simpul guru besar UI tersebut: Kita mengambil alih Kartini sebagai lambang emansipasi wanita di Indonesia dari orang-orang Belanda. Kita tidak mencipta sendiri lambang budaya ini, meskipun kemudian kitalah yang mengembangkannya lebih lanjut.
Harsja mengimbau agar informasi tentang wanita-wanita Indonesia yang hebat-hebat dibuka seluas-luasnya, sehingga menjadi pengetahuan suri tauladan banyak orang. Ia secara halus berusaha meruntuhkan mitos Kartini: Dan, bilamana ternyata bahwa dalam berbagai hal wanita-wanita ini lebih mulia, lebih berjasa daripada R.A. Kartini, kita harus berbangga bahwa wanita-wanita kita lebih hebat daripada dikira sebelumnya, tanpa memperkecil penghargaan kita pada RA Kartini.
Memang, banyak wanita lain yang telah berbuat untuk Indonesia. Bukan sekedar bercita-cita. Dewi Sartika (1884-1947), misalnya, bukan hanya berwacana tentang pendidikan kaum wanita. Ia bahkan berhasil mendirikan sekolah yang belakangan dinamakan Sakola Kautamaan Istri (1910) yang berdiri di berbagai tempat di Bandung dan luar Bandung. Rohana Kudus (1884-1972) melakukan hal yang sama di kampung halamannya. Selain mendirikan Sekolah Kerajinan Amal Setia (1911) dan Rohana School (1916), Rohana Kudus bahkan menjadi jurnalis sejak di Koto Gadang sampai saat ia mengungsi ke Medan. Ia tercatat sebagai jurnalis wanita pertama di negeri ini.
Kalau Kartini hanya menyampaikan ide-idenya dalam surat, mereka sudah lebih jauh melangkah: mewujudkan ide-ide dalam tindakan nyata. Jika Kartini dikenalkan oleh Abendanon yang berinisiatif menerbitkan surat-suratnya, Rohana menyebarkan idenya secara langsung melalui koran-koran yang ia terbitkan sendiri sejak dari Sunting Melayu (Koto Gadang, 1912), Wanita Bergerak (Padang), Radio (padang), hingga Cahaya Sumatera (Medan).
Bahkan kalau melirik kisah-kisah Cut Nyak Dien, Tengku Fakinah, Cut Mutia, Pecut Baren, Pocut Meurah Intan, dan Cutpo Fatimah dari Aceh, klaim-klaim keterbelakangan kaum wanita di negeri pada masa Kartini hidup ini harus segera digugurkan. Mereka adalah wanita-wanita hebat yang turut berjuang mempertahankan kemerdekaan Aceh dari serangan Belanda. Tengku Fakinah, selain ikut berperang juga adalah seorang ulama-wanita. Di Aceh, kisah wanita ikut berperang atau menjadi pemimpin pasukan perang bukan sesuatu yang aneh. Bahkan jauh-jauh hari sebelum era Cut Nyak Dien dan sebelum Belanda datang ke Indonesia, Kerajaan Aceh sudah memiliki Panglima Angkatan Laut wanita pertama, yakni Malahayati.
Jadi, ada baiknya bangsa Indonesia bisa berpikir lebih jernih: Mengapa Kartini? Mengapa bukan Rohana Kudus? Mengapa bukan Cut Nyak Dien? Mengapa Abendanon memilih Kartini? Dan mengapa kemudian bangsa Indonesia juga mengikuti kebijakan itu? Cut Nyak Dien tidak pernah mau tunduk kepada Belanda. Ia tidak pernah menyerah dan berhenti menentang penjajahan Belanda atas negeri ini.
Meskipun aktif berkiprah di tengah masyarakat, Rohana Kudus juga memiliki visi keislaman yang tegas. Perputaran zaman tidak akan pernah membuat wanita menyamai laki-laki. Wanita tetaplah wanita dengan segala kemampuan dan kewajibannya. Yang harus berubah adalah wanita harus mendapat pendidikan dan perlakukan yang lebih baik. Wanita harus sehat jasmani dan rohani, berakhlak dan berbudi pekerti luhur, taat beribadah yang kesemuanya hanya akan terpenuhi dengan mempunyai ilmu pengetahuan, begitu kata Rohana Kudus.
Seperti diungkapkan oleh Prof. Harsja W. Bachtiar dan Tiar Anwar Bahtiar, penokohan Kartini tidak terlepas dari peran Belanda. Harsja W. Bachtiar bahkan menyinggung nama Snouck Hurgronje dalam rangkaian penok
Karena itulah, simpul guru besar UI tersebut: Kita mengambil alih Kartini sebagai lambang emansipasi wanita di Indonesia dari orang-orang Belanda. Kita tidak mencipta sendiri lambang budaya ini, meskipun kemudian kitalah yang mengembangkannya lebih lanjut.
Harsja mengimbau agar informasi tentang wanita-wanita Indonesia yang hebat-hebat dibuka seluas-luasnya, sehingga menjadi pengetahuan suri tauladan banyak orang. Ia secara halus berusaha meruntuhkan mitos Kartini: Dan, bilamana ternyata bahwa dalam berbagai hal wanita-wanita ini lebih mulia, lebih berjasa daripada R.A. Kartini, kita harus berbangga bahwa wanita-wanita kita lebih hebat daripada dikira sebelumnya, tanpa memperkecil penghargaan kita pada RA Kartini.
Memang, banyak wanita lain yang telah berbuat untuk Indonesia. Bukan sekedar bercita-cita. Dewi Sartika (1884-1947), misalnya, bukan hanya berwacana tentang pendidikan kaum wanita. Ia bahkan berhasil mendirikan sekolah yang belakangan dinamakan Sakola Kautamaan Istri (1910) yang berdiri di berbagai tempat di Bandung dan luar Bandung. Rohana Kudus (1884-1972) melakukan hal yang sama di kampung halamannya. Selain mendirikan Sekolah Kerajinan Amal Setia (1911) dan Rohana School (1916), Rohana Kudus bahkan menjadi jurnalis sejak di Koto Gadang sampai saat ia mengungsi ke Medan. Ia tercatat sebagai jurnalis wanita pertama di negeri ini.
Kalau Kartini hanya menyampaikan ide-idenya dalam surat, mereka sudah lebih jauh melangkah: mewujudkan ide-ide dalam tindakan nyata. Jika Kartini dikenalkan oleh Abendanon yang berinisiatif menerbitkan surat-suratnya, Rohana menyebarkan idenya secara langsung melalui koran-koran yang ia terbitkan sendiri sejak dari Sunting Melayu (Koto Gadang, 1912), Wanita Bergerak (Padang), Radio (padang), hingga Cahaya Sumatera (Medan).
Bahkan kalau melirik kisah-kisah Cut Nyak Dien, Tengku Fakinah, Cut Mutia, Pecut Baren, Pocut Meurah Intan, dan Cutpo Fatimah dari Aceh, klaim-klaim keterbelakangan kaum wanita di negeri pada masa Kartini hidup ini harus segera digugurkan. Mereka adalah wanita-wanita hebat yang turut berjuang mempertahankan kemerdekaan Aceh dari serangan Belanda. Tengku Fakinah, selain ikut berperang juga adalah seorang ulama-wanita. Di Aceh, kisah wanita ikut berperang atau menjadi pemimpin pasukan perang bukan sesuatu yang aneh. Bahkan jauh-jauh hari sebelum era Cut Nyak Dien dan sebelum Belanda datang ke Indonesia, Kerajaan Aceh sudah memiliki Panglima Angkatan Laut wanita pertama, yakni Malahayati.
Jadi, ada baiknya bangsa Indonesia bisa berpikir lebih jernih: Mengapa Kartini? Mengapa bukan Rohana Kudus? Mengapa bukan Cut Nyak Dien? Mengapa Abendanon memilih Kartini? Dan mengapa kemudian bangsa Indonesia juga mengikuti kebijakan itu? Cut Nyak Dien tidak pernah mau tunduk kepada Belanda. Ia tidak pernah menyerah dan berhenti menentang penjajahan Belanda atas negeri ini.
Meskipun aktif berkiprah di tengah masyarakat, Rohana Kudus juga memiliki visi keislaman yang tegas. Perputaran zaman tidak akan pernah membuat wanita menyamai laki-laki. Wanita tetaplah wanita dengan segala kemampuan dan kewajibannya. Yang harus berubah adalah wanita harus mendapat pendidikan dan perlakukan yang lebih baik. Wanita harus sehat jasmani dan rohani, berakhlak dan berbudi pekerti luhur, taat beribadah yang kesemuanya hanya akan terpenuhi dengan mempunyai ilmu pengetahuan, begitu kata Rohana Kudus.
Seperti diungkapkan oleh Prof. Harsja W. Bachtiar dan Tiar Anwar Bahtiar, penokohan Kartini tidak terlepas dari peran Belanda. Harsja W. Bachtiar bahkan menyinggung nama Snouck Hurgronje dalam rangkaian penok
👍1
an Islam. Kita melihat, strategi dan taktik itu pula yang sekarang masih banyak digunakan untuk menaklukkan Islam. Bahkan, jika kita cermati, strategi itu kini semakin canggih dilakukan. Kader-kader Snouck dari kalangan pribumi Muslim sudah berjubel. Biasanya, berawal dari perasaan minder sebagai Muslim dan silau dengan peradaban Barat, banyak anak didik Snouck langsung atau pun tidak yang sibuk menyeret Islam ke bawah orbit peradaban Barat.
Dan akhirnya, seperti dikatakan oleh Muhammad Asad, umat Islam di wilayah Melayu-Indonesia tidak akan pernah mengalami kebangkitan, ketika mereka sudah kehilangan kebanggaannya terhadap peradabannya sendiri, dan terputus dari serahnya. Ketika itulah, umat Islam hanya akan menjadi satelit dan pengekor pada peradaban lain. Untuk itulah, kaum Muslim perlu sangat serius melihat sejarahnya sendiri dan juga sejarah bangsanya. (***)
Dan akhirnya, seperti dikatakan oleh Muhammad Asad, umat Islam di wilayah Melayu-Indonesia tidak akan pernah mengalami kebangkitan, ketika mereka sudah kehilangan kebanggaannya terhadap peradabannya sendiri, dan terputus dari serahnya. Ketika itulah, umat Islam hanya akan menjadi satelit dan pengekor pada peradaban lain. Untuk itulah, kaum Muslim perlu sangat serius melihat sejarahnya sendiri dan juga sejarah bangsanya. (***)
👍1
ohan Kartini oleh Abendanon. Padahal, Snouck adalah seorang orientalis Belanda yang memiliki kebijakan sistematis untuk meminggirkan Islam dari bumi Nusantara.
Apa hubungan Kartini dengan Snouck Hurgronje? Dalam sejumlah suratnya kepada Ny. Abendanon, Kartini memang beberapa kali menyebut nama Snouck. Tampaknya, Kartini memandang orientalis-kolonialis Balanda itu sebagai orang hebat yang sangat pakar dalam soal Islam. Dalam suratnya kepada Ny. Abendanon tertanggal 18 Februari 1902, Kartini menulis:
Salam, Bidadariku yang manis dan baik!... Masih ada lagi suatu permintaan penting yang hendak saya ajukan kepada Nyonya. Apabila Nyonya bertemu dengan teman Nyonya Dr. Snouck Hurgronje, sudikah Nyonya bertanya kepada beliau tentang hal berikut: Apakah dalam agama Islam juga ada hukum akil balig seperti yang terdapat dalam undang-undang bangsa Barat? Ataukah sebaiknya saya memberanikan diri langsung bertanya kepada beliau? Saya ingin sekali mengetahui sesuatu tentang hak dan kewajiban perempuan Islam serta anak perempuannya. (Lihat, buku Kartini: Surat-surat kepada Ny. R.M. Abendanon-Mandri dan Suaminya, (penerjemah: Sulastin Sutrisno), (Jakarta: Penerbit Djambatan, 2000), hal. 234-235).
Melalui bukunya, Snouck Hurgronje en Islam (Diindonesiakan oleh Girimukti Pusaka, dengan judul Snouck Hurgronje dan Islam, tahun 1989), P.SJ. Van Koningsveld memaparkan sosok dan kiprah Snouck Hurgronje dalam upaya membantu penjajah Belanda untuk menaklukkan Islam. Mengikuti jejak orientalis Yahudi, Ignaz Goldziher, yang menjadi murid para Syaikh al-Azhar Kairo, Snouck sampai merasa perlu untuk menyatakan diri sebagai seorang muslim (1885) dan mengganti nama menjadi Abdul Ghaffar. Dengan itu dia bisa diterima menjadi murid para ulama Mekkah. Posisi dan pengalaman ini nantinya memudahkan langkah Snouck dalam menembus daerah-daerah Muslim di berbagai wilayah di Indonesia.
Menurut Van Koningsveld, pemerintah kolonial mengerti benar sepak terjang Snouck dalam penyamarannya sebagai Muslim. Snouck dianggap oleh banyak kaum Muslim di Nusantara ini sebagai ulama. Bahkan ada yang menyebutnya sebagai Mufti Hindia Belanda. Juga ada yang memanggilnya Syaikhul Islam Jawa. Padahal, Snouck sendiri menulis tentang Islam: Sesungguhnya agama ini meskipun cocok untuk membiasakan ketertiban kepada orang-orang biadab, tetapi tidak dapat berdamai dengan peradaban modern, kecuali dengan suatu perubahan radikal, namun tidak sesuatu pun memberi kita hak untuk mengharapkannya. (hal. 116).
Snouck Hurgronje (lahir: 1857) adalah adviseur pada Kantoor voor Inlandsche zaken pada periode 1899-1906. Kantor inilah yang bertugas memberikan nasehat kepada pemerintah kolonial dalam masalah pribumi. Dalam bukunya, Politik Islam Hindia Belanda, (Jakarta: LP3ES, 1985), Dr. Aqib Suminto mengupas panjang lebar pemikiran dan nasehat-nasehat Snouck Hurgronje kepada pemerintah kolonial Belanda. Salah satu strateginya, adalah melakukan pembaratan kaum elite pribumi melalui dunia pendidikan, sehingga mereka jauh dari Islam. Menurut Snouck, lapisan pribumi yang berkebudayaan lebih tinggi relatif jauh dari pengaruh Islam. Sedangkan pengaruh Barat yang mereka miliki akan mempermudah mempertemukannya dengan pemerintahan Eropa. Snouck optimis, rakyat banyak akan mengikuti jejak pemimpin tradisional mereka. Menurutnya, Islam Indonesia akan mengalami kekalahan akhir melalui asosiasi pemeluk agama ini ke dalam kebudayaan Belanda. Dalam perlombaan bersaing melawan Islam bisa dipastikan bahwa asosiasi kebudayaan yang ditopang oleh pendidikan Barat akan keluar sebagai pemenangnya. Apalagi, jika didukung oleh kristenisasi dan pemanfaatan adat. (hal. 43).
Aqib Suminto mengupas beberapa strategi Snouck Hurgronje dalam menaklukkan Islam di Indonesia: Terhadap daerah yang Islamnya kuat semacam Aceh misalnya, Snouck Hurgronje tidak merestui dilancarkan kristenisasi. Untuk menghadapi Islam ia cenderung memilih jalan halus, yaitu dengan menyalurkan semangat mereka kearah yang menjauhi agamanya (Islam) melalui asosiasi kebudayaan. (hal. 24).
Itulah strategi dan taktik penjajah untuk menaklukk
Apa hubungan Kartini dengan Snouck Hurgronje? Dalam sejumlah suratnya kepada Ny. Abendanon, Kartini memang beberapa kali menyebut nama Snouck. Tampaknya, Kartini memandang orientalis-kolonialis Balanda itu sebagai orang hebat yang sangat pakar dalam soal Islam. Dalam suratnya kepada Ny. Abendanon tertanggal 18 Februari 1902, Kartini menulis:
Salam, Bidadariku yang manis dan baik!... Masih ada lagi suatu permintaan penting yang hendak saya ajukan kepada Nyonya. Apabila Nyonya bertemu dengan teman Nyonya Dr. Snouck Hurgronje, sudikah Nyonya bertanya kepada beliau tentang hal berikut: Apakah dalam agama Islam juga ada hukum akil balig seperti yang terdapat dalam undang-undang bangsa Barat? Ataukah sebaiknya saya memberanikan diri langsung bertanya kepada beliau? Saya ingin sekali mengetahui sesuatu tentang hak dan kewajiban perempuan Islam serta anak perempuannya. (Lihat, buku Kartini: Surat-surat kepada Ny. R.M. Abendanon-Mandri dan Suaminya, (penerjemah: Sulastin Sutrisno), (Jakarta: Penerbit Djambatan, 2000), hal. 234-235).
Melalui bukunya, Snouck Hurgronje en Islam (Diindonesiakan oleh Girimukti Pusaka, dengan judul Snouck Hurgronje dan Islam, tahun 1989), P.SJ. Van Koningsveld memaparkan sosok dan kiprah Snouck Hurgronje dalam upaya membantu penjajah Belanda untuk menaklukkan Islam. Mengikuti jejak orientalis Yahudi, Ignaz Goldziher, yang menjadi murid para Syaikh al-Azhar Kairo, Snouck sampai merasa perlu untuk menyatakan diri sebagai seorang muslim (1885) dan mengganti nama menjadi Abdul Ghaffar. Dengan itu dia bisa diterima menjadi murid para ulama Mekkah. Posisi dan pengalaman ini nantinya memudahkan langkah Snouck dalam menembus daerah-daerah Muslim di berbagai wilayah di Indonesia.
Menurut Van Koningsveld, pemerintah kolonial mengerti benar sepak terjang Snouck dalam penyamarannya sebagai Muslim. Snouck dianggap oleh banyak kaum Muslim di Nusantara ini sebagai ulama. Bahkan ada yang menyebutnya sebagai Mufti Hindia Belanda. Juga ada yang memanggilnya Syaikhul Islam Jawa. Padahal, Snouck sendiri menulis tentang Islam: Sesungguhnya agama ini meskipun cocok untuk membiasakan ketertiban kepada orang-orang biadab, tetapi tidak dapat berdamai dengan peradaban modern, kecuali dengan suatu perubahan radikal, namun tidak sesuatu pun memberi kita hak untuk mengharapkannya. (hal. 116).
Snouck Hurgronje (lahir: 1857) adalah adviseur pada Kantoor voor Inlandsche zaken pada periode 1899-1906. Kantor inilah yang bertugas memberikan nasehat kepada pemerintah kolonial dalam masalah pribumi. Dalam bukunya, Politik Islam Hindia Belanda, (Jakarta: LP3ES, 1985), Dr. Aqib Suminto mengupas panjang lebar pemikiran dan nasehat-nasehat Snouck Hurgronje kepada pemerintah kolonial Belanda. Salah satu strateginya, adalah melakukan pembaratan kaum elite pribumi melalui dunia pendidikan, sehingga mereka jauh dari Islam. Menurut Snouck, lapisan pribumi yang berkebudayaan lebih tinggi relatif jauh dari pengaruh Islam. Sedangkan pengaruh Barat yang mereka miliki akan mempermudah mempertemukannya dengan pemerintahan Eropa. Snouck optimis, rakyat banyak akan mengikuti jejak pemimpin tradisional mereka. Menurutnya, Islam Indonesia akan mengalami kekalahan akhir melalui asosiasi pemeluk agama ini ke dalam kebudayaan Belanda. Dalam perlombaan bersaing melawan Islam bisa dipastikan bahwa asosiasi kebudayaan yang ditopang oleh pendidikan Barat akan keluar sebagai pemenangnya. Apalagi, jika didukung oleh kristenisasi dan pemanfaatan adat. (hal. 43).
Aqib Suminto mengupas beberapa strategi Snouck Hurgronje dalam menaklukkan Islam di Indonesia: Terhadap daerah yang Islamnya kuat semacam Aceh misalnya, Snouck Hurgronje tidak merestui dilancarkan kristenisasi. Untuk menghadapi Islam ia cenderung memilih jalan halus, yaitu dengan menyalurkan semangat mereka kearah yang menjauhi agamanya (Islam) melalui asosiasi kebudayaan. (hal. 24).
Itulah strategi dan taktik penjajah untuk menaklukk
👍1
KENANG-KENANGAN HIDUP
Penulis: Buya Hamka
*Harga diskon Rp. 150.000,-* dari harga normal Rp. 185.000,-)--
Sinopsis:
Buku kenang-kenangan hidup adalah buku buah karya seorang ulama kharismatik asal sumatra yaitu Buya Hamka, ditulis dengan ciri khas bahasa melayu, buku ini menceritakan perjalanan hidup buya hamka dari masa kecil sampai remaja, buku kenang-kenangan hidup ini benar-benar akan membuka mata kita tentang siapa sebenarnya Buya Hamka, mengerahui perjalanan hidupnya akan menginspirasi untuk bekal hidup meniti kehidupan dikemudian kelak.
-----------------------------
KENANG-KENANGAN HIDUP
Penulis: Buya Hamka
Berat buku: 1 Kg
Isi: HVS, 656 halaman
Sampul: Hard Cover.
Harga diskon Rp. 150.000,- dari harga normal Rp. 185.000,-)
Pemesanan silahkan sms/whatsapp ke 087878147997.
Syukran...
Penulis: Buya Hamka
*Harga diskon Rp. 150.000,-* dari harga normal Rp. 185.000,-)--
Sinopsis:
Buku kenang-kenangan hidup adalah buku buah karya seorang ulama kharismatik asal sumatra yaitu Buya Hamka, ditulis dengan ciri khas bahasa melayu, buku ini menceritakan perjalanan hidup buya hamka dari masa kecil sampai remaja, buku kenang-kenangan hidup ini benar-benar akan membuka mata kita tentang siapa sebenarnya Buya Hamka, mengerahui perjalanan hidupnya akan menginspirasi untuk bekal hidup meniti kehidupan dikemudian kelak.
-----------------------------
KENANG-KENANGAN HIDUP
Penulis: Buya Hamka
Berat buku: 1 Kg
Isi: HVS, 656 halaman
Sampul: Hard Cover.
Harga diskon Rp. 150.000,- dari harga normal Rp. 185.000,-)
Pemesanan silahkan sms/whatsapp ke 087878147997.
Syukran...
KAMUS NAHWU SHOROF
Disusun dalam bentuk kamus ditambah kelebihan lainnya membuat buku ini benar-benar sangat memudahkan bagi segenap pelajar mempelajari Nahwu Shorof.
Adapun kelebihan-kelebihan KAMUS NAHWU SHOROF ini adalah sebagai berikut:
1. Alfabetik/Abjadi
2. Modern
3. Aplikatif
4. Komparatif
Penulis: Kamerun AS Rahman, M.Pd.I
Harga: Rp. 99.000,-
Xii+662 Halaman
16,5 x 24,5, Hard Cover
Berat: 1 Kg.
Pemesanan silahkan sms/whatsapp ke 087878147997.
Syukran...
Disusun dalam bentuk kamus ditambah kelebihan lainnya membuat buku ini benar-benar sangat memudahkan bagi segenap pelajar mempelajari Nahwu Shorof.
Adapun kelebihan-kelebihan KAMUS NAHWU SHOROF ini adalah sebagai berikut:
1. Alfabetik/Abjadi
2. Modern
3. Aplikatif
4. Komparatif
Penulis: Kamerun AS Rahman, M.Pd.I
Harga: Rp. 99.000,-
Xii+662 Halaman
16,5 x 24,5, Hard Cover
Berat: 1 Kg.
Pemesanan silahkan sms/whatsapp ke 087878147997.
Syukran...
Tafsir Al Misbah Dalam Sorotan
Penulis: Dr. Afrizal Nur
Sinopsis:
Buku ini adalah kritik terhadap buku Tafsir Al Mishbah yang ditulis oleh salah seorang pakar tafsir di Indonesia, M. Quraish Shihab. Penulis menyoroti beberapa hal dari karya tafsir tersebut, yang dianggap perlu untuk dikoreksi. Di antaranya tentang jilbab, tentang ahli Kitab, tentang kecenderungan tasyayyu’ (Syiah), dan lain sebagainya.
Mengoreksi secara ilmiah sebuah karya tulis adalah tradisi dalam khazanah keilmuan Islam. Tradisi tersebut tentu saja bertujuan untuk mengoreksi dan membangun dialektika keilmuan, agar kekeliruan bisa diluruskan dengan cara yang bermartabat. Karena itu, polemik terhadap sebuah karya tulis adalah hal biasa, selama masing-masing pihak memiliki hujjah yang kuat dan mengedepankan cara-cara yang santun dalam menyampaikan pendapatnya.
Buku ini awalnya adalah disertasi penulis di Universitas Kebangsaan Malaysia. Sebuah karya yang diajukan untuk mendapatkan gelar akademik, tentu saja buku ini sudah diujikan secara ilmiah. Kami sajikan dengan kemasan yang lebih popular dan ringan, agar buku ini mudah untuk dibaca.
Pendapat Ust Abdul Somad (UAS) tentang buku ini:
“Saya selalu ditanya orang tentang Tafsir Al Mishbah yang ditulis oleh Prof. Qurasih Shihab. Hampir tidak pernah saya jawab. Lalu saya katakan, coba Tanya Ustadz Afrizal Nur, karena beliau menulis tentang itu, disertasi doktor di Universitas Kebangsaan Malaysia. Alhamdulillah sekarang sudah terbit bukunya, “Tafsir Al Mishbah dalam Sorotan”. Buku ini amat sangat mendidik, isinya tidak diragukan karena disertasi doktor; ilmiah, tidak menghujat, tidak mencaci maki, murni ilmiah, keilmuan."
Ustad Abdul Somad (UAS), Lc,.MA, Datuk Seri Ulama Setia Negara
------------------------------------------
Tafsir Al Misbah Dalam Sorotan
Penulis: Dr. Afrizal Nur
No ISBN: 9789795928171
Cover: Soft Cover
Ukuran: 25x15
Harga: Rp 63.000,-
Pemesanan silahkan sms/whatsapp ke 087878147997.
Syukran...
Penulis: Dr. Afrizal Nur
Sinopsis:
Buku ini adalah kritik terhadap buku Tafsir Al Mishbah yang ditulis oleh salah seorang pakar tafsir di Indonesia, M. Quraish Shihab. Penulis menyoroti beberapa hal dari karya tafsir tersebut, yang dianggap perlu untuk dikoreksi. Di antaranya tentang jilbab, tentang ahli Kitab, tentang kecenderungan tasyayyu’ (Syiah), dan lain sebagainya.
Mengoreksi secara ilmiah sebuah karya tulis adalah tradisi dalam khazanah keilmuan Islam. Tradisi tersebut tentu saja bertujuan untuk mengoreksi dan membangun dialektika keilmuan, agar kekeliruan bisa diluruskan dengan cara yang bermartabat. Karena itu, polemik terhadap sebuah karya tulis adalah hal biasa, selama masing-masing pihak memiliki hujjah yang kuat dan mengedepankan cara-cara yang santun dalam menyampaikan pendapatnya.
Buku ini awalnya adalah disertasi penulis di Universitas Kebangsaan Malaysia. Sebuah karya yang diajukan untuk mendapatkan gelar akademik, tentu saja buku ini sudah diujikan secara ilmiah. Kami sajikan dengan kemasan yang lebih popular dan ringan, agar buku ini mudah untuk dibaca.
Pendapat Ust Abdul Somad (UAS) tentang buku ini:
“Saya selalu ditanya orang tentang Tafsir Al Mishbah yang ditulis oleh Prof. Qurasih Shihab. Hampir tidak pernah saya jawab. Lalu saya katakan, coba Tanya Ustadz Afrizal Nur, karena beliau menulis tentang itu, disertasi doktor di Universitas Kebangsaan Malaysia. Alhamdulillah sekarang sudah terbit bukunya, “Tafsir Al Mishbah dalam Sorotan”. Buku ini amat sangat mendidik, isinya tidak diragukan karena disertasi doktor; ilmiah, tidak menghujat, tidak mencaci maki, murni ilmiah, keilmuan."
Ustad Abdul Somad (UAS), Lc,.MA, Datuk Seri Ulama Setia Negara
------------------------------------------
Tafsir Al Misbah Dalam Sorotan
Penulis: Dr. Afrizal Nur
No ISBN: 9789795928171
Cover: Soft Cover
Ukuran: 25x15
Harga: Rp 63.000,-
Pemesanan silahkan sms/whatsapp ke 087878147997.
Syukran...