BELA ISLAM BELA INDONESIA
Oleh: Dr. Adian Husaini
Aksi Bela Islam (ABI) III, 2 Desember 2016—yang populer dengan sebutan Aksi 212—diakui sangat fantastis dan memesona. Meski tidak mengusung kata "Indonesia", ABI III terbukti membanggakan bagi Indonesia. Menurut kapolri, tidak sepotong ranting pun patah dalam aksi yang diikuti jutaan orang Indonesia itu.
Dua hari kemudian, 4 Desember 2016 (Aksi 412), digelar aksi yang mengangkat jargon "Kita Indonesia". Sulit menolak kesan bahwa Aksi 412 digelar sebagai "tandingan" atau "respons" terhadap Aksi 212. Kepada media, pemrakarsa Aksi 412 menyatakan, "Karena dalam beberapa bulan terakhir ini kita disibukkan dan prihatin dengan kondisi bangsa ini. Kami mencoba mengingatkan, jika kita bisa hidup bersama-sama dan Pancasila yang menjadi payung dalam kehidupan beragama di Indonesia."
Munculnya Aksi 412 telah mengangkat kembali wacana lama dalam dunia pemikiran politik keislaman di Indonesia, yaitu wacana "keislaman" dan "keindonesiaan". Sebagian kalangan masih tetap memandang bahwa "Islam" dan "Indonesia" adalah dua hal yang terpisah dan tidak bisa disatukan. Bahkan, umat Islam terkesan mendapat teror opini: "Anda tidak bisa menjadi Muslim yang baik dan pada saat yang sama juga menjadi orang Indonesia yang baik!"
Begitulah opini yang dikembangkan untuk memisahkan antara "Islam" dan "Indonesia".
Rekayasa penjajah
Tentu saja pembangunan opini semacam itu bukan hal baru. Penjajah Belanda sudah lama melakukannya. Islam diposisikan sebagai faktor potensial yang mengancam keberlangsungan pemerintah kolonial. Trisula penjajahan yang terkenal adalah gold, gospel, glory. Orientalis penjajah, Snouck Hurgronje, misalnya, dikenal sebagai pendukung upaya kristenisasi terhadap pribumi.
Dalam satu suratnya tertanggal: Leiden 28 Januari 1889—beberapa bulan sebelum Snouck sendiri datang ke Indonesia—Snouck menyatakan persetujuannya dengan pemikiran Holle, tokoh Partai Politik Kristen, bahwa Islam adalah bahaya yang sangat besar bagi pemerintah kolonial. Dia menyetujui satu usul Holle, yaitu usaha kristenisasi daerah yang masih animis, walaupun hal ini harus dilakukan secara tidak langsung dengan sokongan nyata dari pemerintah (Karel Steenbrink, Beberapa Aspek Tentang Islam di Indonesia Abad Ke-19, 1984:241—242).
Hasil kajian Prof Uli Kozok terhadap kegiatan misionaris Kristen di daerah Batak menemukan kuatnya dukungan kolonial Belanda terhadap gerakan misionaris didasari oleh pandangan bahwa keislaman dipandang sebagai ancaman terbesar bagi keberlangsungan penjajahan.
"Betapa orang Batak Kristen dapat diandalkan tampak jelas sekarang. Sebagai orang Islam, orang Batak takkan mungkin menjadi rakyat yang patuh pada Belanda. […] memang benar orang Silindung yang Kristen adalah teman setia Belanda, dan pasukan bantuan mereka berperang bersama pasukan Belanda" (Prof Uli Kozok, Utusan Damai di Kemelut Perang, Peran Zending dalam Perang Toba: Berdasarkan Laporan L.I. Nommensen dan Penginjil RMG Lain. Buku ini diterbitkan oleh Sekolah Tinggi Teologia Jakarta, bekerja sama dengan Pusat Studi Sejarah dan Ilmu-Ilmu Sosial Universitas Negeri Medan, Ecole francaise d,Extreme-Orient, dan Yayasan Pustaka Obor Indonesia, 2010).
Bahkan, karena dianggap terlalu bermuatan ajaran Islam, sejarah menunjukkan, penggunaan bahasa Melayu sebagai bahasa persatuan pun sempat ditolak oleh kaum Kristen. JD Wolterbeek dalam bukunya, Babad Zending di Pulau Jawa, mengatakan: "Bahasa Melayu yang erat hubungannya dengan Islam merupakan suatu bahaya besar untuk orang Kristen Jawa yang mencintai Tuhannya dan juga bangsanya."
Senada dengan itu, tokoh Yesuit Frans van Lith (m. 1926) menyatakan: "Melayu tidak pernah bisa menjadi bahasa dasar untuk budaya Jawa di sekolah-sekolah, tetapi hanya berfungsi sebagai parasit. Bahasa Jawa harus menjadi bahasa pertama di Tanah Jawa dan dengan sendirinya ia akan menjadi bahasa pertama di Nusantara" (Seperti dikutip oleh Karel A Steenbrink dalam bukunya, Orang-Orang Katolik di Indonesia. Lihat juga buku Van Lith, Pembuka Pendidikan Guru di Jawa, Sejarah 150 th Serikat Jesus di Indone
Oleh: Dr. Adian Husaini
Aksi Bela Islam (ABI) III, 2 Desember 2016—yang populer dengan sebutan Aksi 212—diakui sangat fantastis dan memesona. Meski tidak mengusung kata "Indonesia", ABI III terbukti membanggakan bagi Indonesia. Menurut kapolri, tidak sepotong ranting pun patah dalam aksi yang diikuti jutaan orang Indonesia itu.
Dua hari kemudian, 4 Desember 2016 (Aksi 412), digelar aksi yang mengangkat jargon "Kita Indonesia". Sulit menolak kesan bahwa Aksi 412 digelar sebagai "tandingan" atau "respons" terhadap Aksi 212. Kepada media, pemrakarsa Aksi 412 menyatakan, "Karena dalam beberapa bulan terakhir ini kita disibukkan dan prihatin dengan kondisi bangsa ini. Kami mencoba mengingatkan, jika kita bisa hidup bersama-sama dan Pancasila yang menjadi payung dalam kehidupan beragama di Indonesia."
Munculnya Aksi 412 telah mengangkat kembali wacana lama dalam dunia pemikiran politik keislaman di Indonesia, yaitu wacana "keislaman" dan "keindonesiaan". Sebagian kalangan masih tetap memandang bahwa "Islam" dan "Indonesia" adalah dua hal yang terpisah dan tidak bisa disatukan. Bahkan, umat Islam terkesan mendapat teror opini: "Anda tidak bisa menjadi Muslim yang baik dan pada saat yang sama juga menjadi orang Indonesia yang baik!"
Begitulah opini yang dikembangkan untuk memisahkan antara "Islam" dan "Indonesia".
Rekayasa penjajah
Tentu saja pembangunan opini semacam itu bukan hal baru. Penjajah Belanda sudah lama melakukannya. Islam diposisikan sebagai faktor potensial yang mengancam keberlangsungan pemerintah kolonial. Trisula penjajahan yang terkenal adalah gold, gospel, glory. Orientalis penjajah, Snouck Hurgronje, misalnya, dikenal sebagai pendukung upaya kristenisasi terhadap pribumi.
Dalam satu suratnya tertanggal: Leiden 28 Januari 1889—beberapa bulan sebelum Snouck sendiri datang ke Indonesia—Snouck menyatakan persetujuannya dengan pemikiran Holle, tokoh Partai Politik Kristen, bahwa Islam adalah bahaya yang sangat besar bagi pemerintah kolonial. Dia menyetujui satu usul Holle, yaitu usaha kristenisasi daerah yang masih animis, walaupun hal ini harus dilakukan secara tidak langsung dengan sokongan nyata dari pemerintah (Karel Steenbrink, Beberapa Aspek Tentang Islam di Indonesia Abad Ke-19, 1984:241—242).
Hasil kajian Prof Uli Kozok terhadap kegiatan misionaris Kristen di daerah Batak menemukan kuatnya dukungan kolonial Belanda terhadap gerakan misionaris didasari oleh pandangan bahwa keislaman dipandang sebagai ancaman terbesar bagi keberlangsungan penjajahan.
"Betapa orang Batak Kristen dapat diandalkan tampak jelas sekarang. Sebagai orang Islam, orang Batak takkan mungkin menjadi rakyat yang patuh pada Belanda. […] memang benar orang Silindung yang Kristen adalah teman setia Belanda, dan pasukan bantuan mereka berperang bersama pasukan Belanda" (Prof Uli Kozok, Utusan Damai di Kemelut Perang, Peran Zending dalam Perang Toba: Berdasarkan Laporan L.I. Nommensen dan Penginjil RMG Lain. Buku ini diterbitkan oleh Sekolah Tinggi Teologia Jakarta, bekerja sama dengan Pusat Studi Sejarah dan Ilmu-Ilmu Sosial Universitas Negeri Medan, Ecole francaise d,Extreme-Orient, dan Yayasan Pustaka Obor Indonesia, 2010).
Bahkan, karena dianggap terlalu bermuatan ajaran Islam, sejarah menunjukkan, penggunaan bahasa Melayu sebagai bahasa persatuan pun sempat ditolak oleh kaum Kristen. JD Wolterbeek dalam bukunya, Babad Zending di Pulau Jawa, mengatakan: "Bahasa Melayu yang erat hubungannya dengan Islam merupakan suatu bahaya besar untuk orang Kristen Jawa yang mencintai Tuhannya dan juga bangsanya."
Senada dengan itu, tokoh Yesuit Frans van Lith (m. 1926) menyatakan: "Melayu tidak pernah bisa menjadi bahasa dasar untuk budaya Jawa di sekolah-sekolah, tetapi hanya berfungsi sebagai parasit. Bahasa Jawa harus menjadi bahasa pertama di Tanah Jawa dan dengan sendirinya ia akan menjadi bahasa pertama di Nusantara" (Seperti dikutip oleh Karel A Steenbrink dalam bukunya, Orang-Orang Katolik di Indonesia. Lihat juga buku Van Lith, Pembuka Pendidikan Guru di Jawa, Sejarah 150 th Serikat Jesus di Indone
sia [2009]).
Usaha penggusuran bahasa Melayu dalam tataran kenegaraan ini masih terus berlanjut hingga era kemerdekaan. Bangsa Indonesia yang sudah menerima bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan dipaksa untuk menerima slogan "ing ngarso sung tulodo, ing madyo mangun karso, tut wuri handayani" sebagai landasan pendidikan nasional. Padahal, bangsa Indonesia lebih mudah memahami kata "iman, ilmu, dan amal" sebagai slogan resmi pendidikan nasional.
Lapis pelitur
Menyadari potensi Islam sebagai faktor penting perlawanan terhadap misi Kristen dan penjajahan, para orientalis Belanda telah lama merumuskan teori "lapis pelitur". Adalah pakar sejarah Melayu Prof Syed Muhammad Naquib al-Attas yang mengungkap teori tersebut. Dianggap laksana "pelitur", kedatangan Islam di Indonesia dikatakan tidak meresap ke dalam kayu. Jasad kayu—yakni jati diri bangsa Indonesia—tetap Hindu, Buddha dan animis. Pandangan semacam itu, menurut al-Attas, "Tidak benar dan hanya berdasarkan wawasan sempit yang kurang dalam, lagi hanya merupakan angan-angan belaka" (SM Naquib al-Attas, Islam dalam Sejarah dan Kebudayaan Melayu, 1995: 41).
Buya Hamka menyebutkan, upaya membenturkan Islam dari keindonesiaan dilakukan dengan mengangkat tokoh-tokoh Hindu-Buddha sebagai simbol pemersatu bangsa. Dalam buku Dari Perbendaharaan Lama (Jakarta: Pustaka Panjimas, 1982), Hamka menyebutkan bahwa dalam pentas sejarah nasional Indonesia yang diajarkan di sekolah-sekolah, nama Sunan Ampel dan Sunan Giri tenggelam oleh nama Gajah Mada. Nama Raden Patah dan Pati Unus yang mencoba mengusir penjajah Portugis dari Malaka tenggelam oleh nama Raja Airlangga.
Upaya sistematis untuk memecah belah bangsa Indonesia yang mayoritasnya Muslim dilakukan dengan berbagai cara oleh penjajah Belanda. Salah satunya dengan menjauhkan Islam dari semangat kebangsaan Indonesia. Seolah-olah Indonesia adalah kelanjutan Kerajaan Majapahit, sedangkan Islam adalah kekuatan yang menghancurkan Majapahit. Maka, berbagai simbol keindonesiaan kemudian dijauhkan dari Islam. Indonesia disimbolkan dengan patung dan candi, bukan kitab dan masjid.
Bahkan, majalah Media Hindu edisi Oktober 2011 menurunkan laporan utama berjudul "Kembali ke Hindu, Bila Indonesia Ingin Berjaya Kembali Seperti Majapahit". Ditegaskan pada bahasan utama: "Kembali pada Hindu, sebagai satu-satunya langkah utama untuk mengantar Indonesia ini kembali menjadi negara adidaya."
Ditulis dalam majalah ini: "Namun atas dasar pendapat tersebut di atas, mustahil suatu bangsa menjadi maju apabila mayoritas rakyatnya masih menganut agama yang faktanya menggusur budaya dan nilai-nilai luhur bangsa. Oleh karena itu harus kembali ke agama yang dapat memelihara dan mengembangkan budaya bangsa, sebagai syarat mutlak untuk menjadi negara adidaya. Satu-satunya agama yang dapat menumbuhkembangkan budaya bangsa adalah Hindu, karena memang sejak dahulu kala bangsa ini beragama Hindu, yang kemudian menimbulkan budaya bangsa yang adiluhung ini."
Jadi, simpul Media Hindu: "Kembali menjadi Hindu adalah mutlak perlu bagi bangsa Indonesia apabila ingin menjadi negara adidaya ke depan, karena hanya Hindu satu-satunya agama yang dapat memelihara & mengembangkan jati diri bangsa sebagai modal dasar untuk menjadi negara maju."
Dengan cara pandang seperti ini, maka untuk menjadi Indonesia harus dilakukan dengan menjauhkan diri dari simbol-simbol Islam. Berikutnya, simbol tokoh pendidikan nasional dijauhkan dari sosok KH Hasyim Asy'ari dan KH Ahmad Dahlan. Simbol kemajuan wanita Indonesia dijauhkan dari sosok Ratu Syafiatuddin, Laksamana Malahayati, atau Ratu Siti Aisyah dari Bone. Walhasil, berbagai upaya untuk memisahkan antara Islam dan keindonesiaan masih terus berjalan hingga kini.
Padahal, menurut Buya Hamka, kebangsaan Indonesia justru makin kokoh jika disatukan dengan keislaman. "Maka dengan memakai paham Islam, dengan sendirinya kebangsaan dan kesatuan Indonesia terjamin. Tetapi dengan mengemukakan kebangsaan saja, tanpa Islam, orang harus kembali mengeruk, mengorek tambo lama, dan itulah pangkal bala dan bencana."
Begitulah paparan
Usaha penggusuran bahasa Melayu dalam tataran kenegaraan ini masih terus berlanjut hingga era kemerdekaan. Bangsa Indonesia yang sudah menerima bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan dipaksa untuk menerima slogan "ing ngarso sung tulodo, ing madyo mangun karso, tut wuri handayani" sebagai landasan pendidikan nasional. Padahal, bangsa Indonesia lebih mudah memahami kata "iman, ilmu, dan amal" sebagai slogan resmi pendidikan nasional.
Lapis pelitur
Menyadari potensi Islam sebagai faktor penting perlawanan terhadap misi Kristen dan penjajahan, para orientalis Belanda telah lama merumuskan teori "lapis pelitur". Adalah pakar sejarah Melayu Prof Syed Muhammad Naquib al-Attas yang mengungkap teori tersebut. Dianggap laksana "pelitur", kedatangan Islam di Indonesia dikatakan tidak meresap ke dalam kayu. Jasad kayu—yakni jati diri bangsa Indonesia—tetap Hindu, Buddha dan animis. Pandangan semacam itu, menurut al-Attas, "Tidak benar dan hanya berdasarkan wawasan sempit yang kurang dalam, lagi hanya merupakan angan-angan belaka" (SM Naquib al-Attas, Islam dalam Sejarah dan Kebudayaan Melayu, 1995: 41).
Buya Hamka menyebutkan, upaya membenturkan Islam dari keindonesiaan dilakukan dengan mengangkat tokoh-tokoh Hindu-Buddha sebagai simbol pemersatu bangsa. Dalam buku Dari Perbendaharaan Lama (Jakarta: Pustaka Panjimas, 1982), Hamka menyebutkan bahwa dalam pentas sejarah nasional Indonesia yang diajarkan di sekolah-sekolah, nama Sunan Ampel dan Sunan Giri tenggelam oleh nama Gajah Mada. Nama Raden Patah dan Pati Unus yang mencoba mengusir penjajah Portugis dari Malaka tenggelam oleh nama Raja Airlangga.
Upaya sistematis untuk memecah belah bangsa Indonesia yang mayoritasnya Muslim dilakukan dengan berbagai cara oleh penjajah Belanda. Salah satunya dengan menjauhkan Islam dari semangat kebangsaan Indonesia. Seolah-olah Indonesia adalah kelanjutan Kerajaan Majapahit, sedangkan Islam adalah kekuatan yang menghancurkan Majapahit. Maka, berbagai simbol keindonesiaan kemudian dijauhkan dari Islam. Indonesia disimbolkan dengan patung dan candi, bukan kitab dan masjid.
Bahkan, majalah Media Hindu edisi Oktober 2011 menurunkan laporan utama berjudul "Kembali ke Hindu, Bila Indonesia Ingin Berjaya Kembali Seperti Majapahit". Ditegaskan pada bahasan utama: "Kembali pada Hindu, sebagai satu-satunya langkah utama untuk mengantar Indonesia ini kembali menjadi negara adidaya."
Ditulis dalam majalah ini: "Namun atas dasar pendapat tersebut di atas, mustahil suatu bangsa menjadi maju apabila mayoritas rakyatnya masih menganut agama yang faktanya menggusur budaya dan nilai-nilai luhur bangsa. Oleh karena itu harus kembali ke agama yang dapat memelihara dan mengembangkan budaya bangsa, sebagai syarat mutlak untuk menjadi negara adidaya. Satu-satunya agama yang dapat menumbuhkembangkan budaya bangsa adalah Hindu, karena memang sejak dahulu kala bangsa ini beragama Hindu, yang kemudian menimbulkan budaya bangsa yang adiluhung ini."
Jadi, simpul Media Hindu: "Kembali menjadi Hindu adalah mutlak perlu bagi bangsa Indonesia apabila ingin menjadi negara adidaya ke depan, karena hanya Hindu satu-satunya agama yang dapat memelihara & mengembangkan jati diri bangsa sebagai modal dasar untuk menjadi negara maju."
Dengan cara pandang seperti ini, maka untuk menjadi Indonesia harus dilakukan dengan menjauhkan diri dari simbol-simbol Islam. Berikutnya, simbol tokoh pendidikan nasional dijauhkan dari sosok KH Hasyim Asy'ari dan KH Ahmad Dahlan. Simbol kemajuan wanita Indonesia dijauhkan dari sosok Ratu Syafiatuddin, Laksamana Malahayati, atau Ratu Siti Aisyah dari Bone. Walhasil, berbagai upaya untuk memisahkan antara Islam dan keindonesiaan masih terus berjalan hingga kini.
Padahal, menurut Buya Hamka, kebangsaan Indonesia justru makin kokoh jika disatukan dengan keislaman. "Maka dengan memakai paham Islam, dengan sendirinya kebangsaan dan kesatuan Indonesia terjamin. Tetapi dengan mengemukakan kebangsaan saja, tanpa Islam, orang harus kembali mengeruk, mengorek tambo lama, dan itulah pangkal bala dan bencana."
Begitulah paparan
dan imbauan Buya Hamka. Penyesalan dan dendam tentang pengislaman nusantara seyogianya tidak perlu dipelihara. Apalagi, kemudian mengikuti kemauan dan skenario penjajah untuk mengerdilkan peran Islam dan memosisikan Islam sebagai agama yang "antibudaya bangsa", sebab budaya bangsa sudah dipersepsikan identik dengan kehinduan atau kebuddhaan.
Hukum adat dan hukum sekuler warisan kolonial dianggap sebagai pemersatu bangsa, sebaliknya syariat Islam diposisikan sebagai pemecah belah bangsa. Kini, sebagian kalangan masih saja berpikir bahwa Islam bukanlah jati diri bangsa Indonesia. Islam dianggap tidak bersifat universal. Islam hanya untuk orang Islam. Yang bersifat universal adalah nilai-nilai sekuler di luar agama. Padahal, sekularisme adalah pengalaman lokal bangsa Eropa yang pernah mengalami trauma sejarah dominasi pemuka agama dalam kehidupan politik kenegaraan.
Islam dan Indonesia
Fakta sejarah menunjukkan, babak terpenting dalam perjalanan sejarah nusantara adalah masuk dan berkembangnya Islam di Indonesia. Atas jasa para ulama dan pendakwah Islam, berbagai suku di wilayah nusantara disatukan dengan agama Islam dan dengan bahasa Melayu.
Prof Naquib al-Attas menyebutkan, dalam perjalanan sejarah peradaban Melayu di wilayah nusantara, kedatangan Islam di wilayah kepulauan Melayu-Indonesia merupakan peristiwa terpenting dalam sejarah kepulauan tersebut (the coming of Islam seen from the perspective of modern times … was the most momentous event in the history of the Archipelago). Bahasa Melayu yang kemudian menjadi bahasa pengantar di kepulauan Melayu-Indonesia (the Malay-Indonesian archipelago) merupakan "bahasa Muslim" kedua terbesar (Syed Muhammad Naquib al-Attas, Islam and Secularism. Kuala Lumpur: ISTAC, 1993).
Sebab itu, Melayu kemudian menjadi identik dengan Islam. Sebab, agama Islam merupakan unsur terpenting dalam peradaban Melayu. Islam dan bahasa Melayu kemudian berhasil menggerakkan pemeluknya ke arah terbentuknya kesadaran nasional penduduk kawasan ini. Al-Attas mencatat masalah ini: "The coming of Islam constituted the inauguration of a new period in the history of the Malay-Indonesian Archipalego" (Ibid, hlm 178).
Karena itu, sepanjang sejarah perjuangan merebut dan mempertahankan kemerdekaan, umat Islam senantiasa menduduki garda terdepan. Indonesia adalah amanah dari Allah SWT. Ketika penjajah akan kembali ke Indonesia, 1945, maka KH Hasyim Asy'ari mengeluarkan fatwa jihad yang mewajibkan kaum Muslimin mempertahankan kemerdekaan Indonesia.
Jadi, bagi Muslim Indonesia, keislaman dan keindonesiaan telah menyatu. Jika seorang menjadi Muslim yang baik maka secara otomatis ia menjadi orang Indonesia yang baik. Dalam istilah Buya Hamka: "Saya akan berusaha hidup sebagai Muslim sejati, niscaya tidak dapat lain, saya akan menjadi Pancasilais sejati" (lihat, Hamka, Hak Asasi Manusia dalam Islam & Deklarasi PBB, Selangor, Pustaka Dini, 2005). (***)
Hukum adat dan hukum sekuler warisan kolonial dianggap sebagai pemersatu bangsa, sebaliknya syariat Islam diposisikan sebagai pemecah belah bangsa. Kini, sebagian kalangan masih saja berpikir bahwa Islam bukanlah jati diri bangsa Indonesia. Islam dianggap tidak bersifat universal. Islam hanya untuk orang Islam. Yang bersifat universal adalah nilai-nilai sekuler di luar agama. Padahal, sekularisme adalah pengalaman lokal bangsa Eropa yang pernah mengalami trauma sejarah dominasi pemuka agama dalam kehidupan politik kenegaraan.
Islam dan Indonesia
Fakta sejarah menunjukkan, babak terpenting dalam perjalanan sejarah nusantara adalah masuk dan berkembangnya Islam di Indonesia. Atas jasa para ulama dan pendakwah Islam, berbagai suku di wilayah nusantara disatukan dengan agama Islam dan dengan bahasa Melayu.
Prof Naquib al-Attas menyebutkan, dalam perjalanan sejarah peradaban Melayu di wilayah nusantara, kedatangan Islam di wilayah kepulauan Melayu-Indonesia merupakan peristiwa terpenting dalam sejarah kepulauan tersebut (the coming of Islam seen from the perspective of modern times … was the most momentous event in the history of the Archipelago). Bahasa Melayu yang kemudian menjadi bahasa pengantar di kepulauan Melayu-Indonesia (the Malay-Indonesian archipelago) merupakan "bahasa Muslim" kedua terbesar (Syed Muhammad Naquib al-Attas, Islam and Secularism. Kuala Lumpur: ISTAC, 1993).
Sebab itu, Melayu kemudian menjadi identik dengan Islam. Sebab, agama Islam merupakan unsur terpenting dalam peradaban Melayu. Islam dan bahasa Melayu kemudian berhasil menggerakkan pemeluknya ke arah terbentuknya kesadaran nasional penduduk kawasan ini. Al-Attas mencatat masalah ini: "The coming of Islam constituted the inauguration of a new period in the history of the Malay-Indonesian Archipalego" (Ibid, hlm 178).
Karena itu, sepanjang sejarah perjuangan merebut dan mempertahankan kemerdekaan, umat Islam senantiasa menduduki garda terdepan. Indonesia adalah amanah dari Allah SWT. Ketika penjajah akan kembali ke Indonesia, 1945, maka KH Hasyim Asy'ari mengeluarkan fatwa jihad yang mewajibkan kaum Muslimin mempertahankan kemerdekaan Indonesia.
Jadi, bagi Muslim Indonesia, keislaman dan keindonesiaan telah menyatu. Jika seorang menjadi Muslim yang baik maka secara otomatis ia menjadi orang Indonesia yang baik. Dalam istilah Buya Hamka: "Saya akan berusaha hidup sebagai Muslim sejati, niscaya tidak dapat lain, saya akan menjadi Pancasilais sejati" (lihat, Hamka, Hak Asasi Manusia dalam Islam & Deklarasi PBB, Selangor, Pustaka Dini, 2005). (***)
“Antara Jesus dan Jokowi”
(Catatan untuk Pastor Aloysius Budi Purnomo)
Oleh: Dr. Adian Husaini
Dukungan kalangan Kristen (Protestan dan Katolik) terhadap Jokowi untuk menjadi Presiden Indonesia 2014-2019 dilakukan secara terbuka, bahkan sangat menggebu-gebu, sehingga terkesan melampaui batas kepatutan. Pada 29 April 2014, Persekutuan Gereja-gereja Indonesia (PGI) yang merupakan induk gereja Protestan di Indonesia, bersama sejumlah LSM pengusung isu HAM, membuat pernyataan yang menolak pencapresan Prabowo Subianto. Dengan mengatasnamakan Gerakan Kebhinekaan untuk Pemilu Berkualitas (GKPB), mereka mengajak masyarakat Indonesia untuk tidak memilih Prabowo.
Dari kalangan Katolik, sebuah dukungan terbuka terhadap Jokowi disuarakan oleh pastor Aloysius Budi Purnomo, melalui artikel berjudul Jesus, Jokowi, dan Keselamatan Rakyat di Harian Sinar Harapan (http://sinarharapan.co/news/read/140417053/Jesus-Jokowi-dan-Keselamatan-Rakyat, 17/4/2014). Artikel Aloysius ini segera memicu kontroversi yang luas. Itu karena Aloysius membenarkan adanya sejumlah persamaan antara Jokowi dan Jesus, dengan menggunakan perspektif teologi Kristen.
Disebutkan, bahwa diantara persamaan antara Jesus dan Jokowi adalah: (1) keduanya sama-sama berinisial huruf J, (2) baik Jesus maupun Jokowi sama-sama anak tukang kayu, (3) keduanya sama-sama mencintai rakyat kecil, tersingkir, dan difabel, (4) sama seperti Jesus, Jokowi suka blusukan, menjumpai rakyat kecil, (5) konon keduanya sama-sama berasal dari Jawa Tengah, yang dalam hal ini terdapat perbedaan; Jokowi adalah orang Solo, sedangkan Jesus orang Kudus.
Meskipun persamaan itu bersumberkan pada guyonan, Aloysius menjelaskan: Guyonan itu hemat saya merupakan harapan. Kami umat Kristiani, terutama saya sebagai orang Katolik yang notabene juga seorang pastor, tidak merasa tersinggung dengan guyonan itu. Tidak masalah Jokowi disandingkan dengan Jesus. Itu bukan pelecehan, juga bukan penghinaan! Pastinya, Jesus akan tersenyum simpul membaca atau mendengar guyonan tersebut. Dipastikan pula Ia tidak marah.”
Lebih jauh ditulis oleh Aloysius: “Jangankan disamakan dengan Jokowi yang menjadi tokoh fenomenal dan kerinduan masyarakat kecil menjadikannya pemimpin masa depan, Jesus bahkan menyamakan diri dengan mereka yang lapar, haus, yang telanjang, terpenjara, sakit, dan orang asing (Matius 25:30). Jesus berkata, Apa pun yang kamu lakukan untuk salah satu dari saudaraku yang paling hina itu, kamu lakukan untuk Aku!
Sebagai seorang muslim, saya berasumsi, bahwa yang ditulis oleh teolog Katolik itu adalah hal yang sebenarnya, seperti yang ia pahami.; bukan untuk tujuan pencitraan Jokowi. Aloysius tentu memahami, bahwa munculnya Jokowi sebagai tokoh fenomenal sangat didukung oleh pencitraan media. Tanpa menafikan prestasi dan pribadinya yang sederhana, masyarakat Indonesia tidak akan mengenal Jokowi jika sejumlah media massa tidak mengangkat Jokowi begitu dahsyatnya, sehingga dicitrakan sebagai sosok juru selamat, termasuk apa yang dilakukan oleh Aloysius melalui artikelnya.
Dalam hal keberpihakan terhadap rakyat kecil ini, menyamakan antara Jesus dengan Jokowi juga perlu dipertanyakan. Dalam Bibel sendiri dijelaskan, bahwa Jesus justru melawan penguasa global dan penguasa agama (Yahudi) ketika itu. Fakta dan sejumlah manuver Jokowi justru menunjukkan, bagaimana kuatnya dukungan kaum berduit dan penguasa global saat ini. Dalam Matius 25:30 disebutkan: Dan campakkanlah hamba yang tidak berguna itu ke dalam kegelapan yang paling gelap. Di sanalah akan terdapat ratap dan kertak gigi. (Alkitab, versi LAI, tahun 2007).
Tentang Teologi Blusukan
Aloysius menulis bahwa ribuan tahun silam – sebelum Jokowi -- Jesus memang punya hobi blusukan. Kehadiran-Nya di dunia sebagai Sang Sabda yang menjadi manusia dan tinggal di antara kita (Yohanes 1:14) sudah merupakan blusukan perdana. Blusukan itulah yang disebut penjelmaan Sang Sabda menjadi manusia. Itulah teologi inkarnasi.
Masih menurut Aloysius, dalam perspektif iman Kristiani, Jesus disebut Putra Allah yang Mahatinggi, yang sejak awal mula bersama-s
(Catatan untuk Pastor Aloysius Budi Purnomo)
Oleh: Dr. Adian Husaini
Dukungan kalangan Kristen (Protestan dan Katolik) terhadap Jokowi untuk menjadi Presiden Indonesia 2014-2019 dilakukan secara terbuka, bahkan sangat menggebu-gebu, sehingga terkesan melampaui batas kepatutan. Pada 29 April 2014, Persekutuan Gereja-gereja Indonesia (PGI) yang merupakan induk gereja Protestan di Indonesia, bersama sejumlah LSM pengusung isu HAM, membuat pernyataan yang menolak pencapresan Prabowo Subianto. Dengan mengatasnamakan Gerakan Kebhinekaan untuk Pemilu Berkualitas (GKPB), mereka mengajak masyarakat Indonesia untuk tidak memilih Prabowo.
Dari kalangan Katolik, sebuah dukungan terbuka terhadap Jokowi disuarakan oleh pastor Aloysius Budi Purnomo, melalui artikel berjudul Jesus, Jokowi, dan Keselamatan Rakyat di Harian Sinar Harapan (http://sinarharapan.co/news/read/140417053/Jesus-Jokowi-dan-Keselamatan-Rakyat, 17/4/2014). Artikel Aloysius ini segera memicu kontroversi yang luas. Itu karena Aloysius membenarkan adanya sejumlah persamaan antara Jokowi dan Jesus, dengan menggunakan perspektif teologi Kristen.
Disebutkan, bahwa diantara persamaan antara Jesus dan Jokowi adalah: (1) keduanya sama-sama berinisial huruf J, (2) baik Jesus maupun Jokowi sama-sama anak tukang kayu, (3) keduanya sama-sama mencintai rakyat kecil, tersingkir, dan difabel, (4) sama seperti Jesus, Jokowi suka blusukan, menjumpai rakyat kecil, (5) konon keduanya sama-sama berasal dari Jawa Tengah, yang dalam hal ini terdapat perbedaan; Jokowi adalah orang Solo, sedangkan Jesus orang Kudus.
Meskipun persamaan itu bersumberkan pada guyonan, Aloysius menjelaskan: Guyonan itu hemat saya merupakan harapan. Kami umat Kristiani, terutama saya sebagai orang Katolik yang notabene juga seorang pastor, tidak merasa tersinggung dengan guyonan itu. Tidak masalah Jokowi disandingkan dengan Jesus. Itu bukan pelecehan, juga bukan penghinaan! Pastinya, Jesus akan tersenyum simpul membaca atau mendengar guyonan tersebut. Dipastikan pula Ia tidak marah.”
Lebih jauh ditulis oleh Aloysius: “Jangankan disamakan dengan Jokowi yang menjadi tokoh fenomenal dan kerinduan masyarakat kecil menjadikannya pemimpin masa depan, Jesus bahkan menyamakan diri dengan mereka yang lapar, haus, yang telanjang, terpenjara, sakit, dan orang asing (Matius 25:30). Jesus berkata, Apa pun yang kamu lakukan untuk salah satu dari saudaraku yang paling hina itu, kamu lakukan untuk Aku!
Sebagai seorang muslim, saya berasumsi, bahwa yang ditulis oleh teolog Katolik itu adalah hal yang sebenarnya, seperti yang ia pahami.; bukan untuk tujuan pencitraan Jokowi. Aloysius tentu memahami, bahwa munculnya Jokowi sebagai tokoh fenomenal sangat didukung oleh pencitraan media. Tanpa menafikan prestasi dan pribadinya yang sederhana, masyarakat Indonesia tidak akan mengenal Jokowi jika sejumlah media massa tidak mengangkat Jokowi begitu dahsyatnya, sehingga dicitrakan sebagai sosok juru selamat, termasuk apa yang dilakukan oleh Aloysius melalui artikelnya.
Dalam hal keberpihakan terhadap rakyat kecil ini, menyamakan antara Jesus dengan Jokowi juga perlu dipertanyakan. Dalam Bibel sendiri dijelaskan, bahwa Jesus justru melawan penguasa global dan penguasa agama (Yahudi) ketika itu. Fakta dan sejumlah manuver Jokowi justru menunjukkan, bagaimana kuatnya dukungan kaum berduit dan penguasa global saat ini. Dalam Matius 25:30 disebutkan: Dan campakkanlah hamba yang tidak berguna itu ke dalam kegelapan yang paling gelap. Di sanalah akan terdapat ratap dan kertak gigi. (Alkitab, versi LAI, tahun 2007).
Tentang Teologi Blusukan
Aloysius menulis bahwa ribuan tahun silam – sebelum Jokowi -- Jesus memang punya hobi blusukan. Kehadiran-Nya di dunia sebagai Sang Sabda yang menjadi manusia dan tinggal di antara kita (Yohanes 1:14) sudah merupakan blusukan perdana. Blusukan itulah yang disebut penjelmaan Sang Sabda menjadi manusia. Itulah teologi inkarnasi.
Masih menurut Aloysius, dalam perspektif iman Kristiani, Jesus disebut Putra Allah yang Mahatinggi, yang sejak awal mula bersama-s
ama dengan Allah dalam kesatuan kasih mesra. Namun karena begitu besar kasih Allah terhadap dunia, Allah berkenan mengutus Putra yang tunggal ke dunia agar setiap orang yang percaya kepada-Nya beroleh hidup kekal (bandingkan Yohanes 3:16). Percaya kepada-Nya tentu saja tidak boleh dipahami saklek harus menjadi Kristiani dan dibaptis formal.
“Karl Rahner berterminologi yang disebut baptis batin, yakni semua orang yang menerima keberadaan-Nya dan percaya Dialah Sang Juruselamat, mewujudkan sikap itu dalam setiap tindakan baik, benar, dan suci. Konsili Vatikan II, melalui dokumen Lumen Gentium (LG) dan Nostra Aetate (NA) menegaskan, Katolik tidak menolak apa pun yang serba benar, baik, dan suci, yang ada dalam setiap agama dan kebudayaan sebagai hal yang tidak berlawanan dengan Jesus Kristus (bandingkan LG 16 dan NA 2),” tulis Aloysius.
Begitulah opini yang dikembangkan Aloysius.
Menarik membaca tulisan Aloysius itu, bahwa pengertian percaya kepada Yesus sebagai Putra yang tunggal itu tidak harus menjadi Kristiani dan dibaptis secara formal. Ia mengenalkan istilah baptis batin yang katanya disebutkan oleh teolog Jerman Karl Rahner. Tidak jelas benar apa yang dimaksudkan oleh Aloysius dengan “babtis batin”. Sebab, Karl Rahner sendiri dikenal dengan gagasannya tentang anonymous Christianity (Kristen tanpa nama). Bahwa, orang-orang yang belum mengenal Jesus dapat dikategorikan sebagai Kristen tapi “tanpa nama, meskipun mereka sudah memeluk agama tertentu. Hanya saja, Rahner berpendapat, bahwa agama orang-orang itu tidak sah lagi jika misi Kristen sudah sampai pada mereka dan Bibel diterjemahkan ke dalam bahasa mereka.
Once a religion really confronts the gospel once the gospel is translated into the new culture and embodied in community than that religion loses its validity, tulis Karl Rahner seperti dikutip Paul F. Knitter dalam bukunya, No Other Name? A Critical Survey of Christian Attitudes toward the World Religion (London: SCM Press Ltd., 1985).
Jadi, dalam perspektif teologi inklusif model Karl Rahner, setelah agama Kristen disebarkan ke Indonesia, maka agama-agama selain Kristen sudah tidak sah lagi.
Dalam artikelnya, Aloysius juga menyebut, bahwa tokoh Hindu Mahatma Gandhi sangat mengagumi Jesus dan mengasihi-Nya. Ditulis oleh Aloysius: “Jesus Kristus itu unik sekaligus universal. Tak heran tokoh Hindu dan pemimpin India bernama Mahatma Gandhi sangat mengagumi Jesus dan mengasihi-Nya, terutama dengan ajaran ahimsa, mengasihi musuh. Tokoh politis India tersebut sangat menghayati sabda bahagia yang menjadi bagian dari khotbah di bukit yang disampaikan Jesus dan dicatat dalam Injil.
Benarkah Mahatma Gandhi bersikap simpatik terhadap Jesus seperti yang ditulis Aloysius itu? Tahun 2012, penerbit Media Hindu, menerbitkan buku berjudul Dialog Gandhi dengan Missionaris tentang Kristen dan Konversi. Buku ini aslinya berjudul Gandhi on Christianity (Maryknoll New York: Orbis Books, 1991). Buku ini memaparkan sikap kritis Gandhi terhadap kepercayaan kaum Kristen pada Jesus:
Saya menganggap Yesus sebagai seorang guru besar kemanusiaan, tapi saya tidak
menganggap dia sebagai satu-satunya anak yang dilahirkan Tuhan. Julukan itu dalam penafsiran materialnya tidak dapat diterima. Secara kiasan kita semua adalah anak-anak yang dilahirkan Tuhan, tapi untuk masing-masing kita mungkin ada anak-anak lain yang dilahirkan Tuhan dalam pengertian khusus... Saya percaya dengan kesempurnaan untuk menjadi sempurna dari hakikat manusia. Yesus telah menjadi sedekat mungkin pada kesempurnaan itu. Mengatakan bahwa dia sempurna sama dengan menolak superioritas Tuhan atas manusia... Saya juga tidak memerlukan ramalan-ramalan dan keajaiban-keajaiban untuk mengakui kebenaran Yesus sebagai seorang guru. Tidak ada yang lebih ajaib dari tiga tahun kependetaannya, Tidak ada keajaiban dalam sejarah manusia yang dihidupi dengan segenggam roti. Seorang tukang sulap dapat membuat ilusi (tipuan pandang) semacam itu. Tapi terkutuklah hari ketika seorang pesulap dihormati sebagai penyelamat kemanusiaan. (hal. 124-125).
Tentang keselamatan
“Karl Rahner berterminologi yang disebut baptis batin, yakni semua orang yang menerima keberadaan-Nya dan percaya Dialah Sang Juruselamat, mewujudkan sikap itu dalam setiap tindakan baik, benar, dan suci. Konsili Vatikan II, melalui dokumen Lumen Gentium (LG) dan Nostra Aetate (NA) menegaskan, Katolik tidak menolak apa pun yang serba benar, baik, dan suci, yang ada dalam setiap agama dan kebudayaan sebagai hal yang tidak berlawanan dengan Jesus Kristus (bandingkan LG 16 dan NA 2),” tulis Aloysius.
Begitulah opini yang dikembangkan Aloysius.
Menarik membaca tulisan Aloysius itu, bahwa pengertian percaya kepada Yesus sebagai Putra yang tunggal itu tidak harus menjadi Kristiani dan dibaptis secara formal. Ia mengenalkan istilah baptis batin yang katanya disebutkan oleh teolog Jerman Karl Rahner. Tidak jelas benar apa yang dimaksudkan oleh Aloysius dengan “babtis batin”. Sebab, Karl Rahner sendiri dikenal dengan gagasannya tentang anonymous Christianity (Kristen tanpa nama). Bahwa, orang-orang yang belum mengenal Jesus dapat dikategorikan sebagai Kristen tapi “tanpa nama, meskipun mereka sudah memeluk agama tertentu. Hanya saja, Rahner berpendapat, bahwa agama orang-orang itu tidak sah lagi jika misi Kristen sudah sampai pada mereka dan Bibel diterjemahkan ke dalam bahasa mereka.
Once a religion really confronts the gospel once the gospel is translated into the new culture and embodied in community than that religion loses its validity, tulis Karl Rahner seperti dikutip Paul F. Knitter dalam bukunya, No Other Name? A Critical Survey of Christian Attitudes toward the World Religion (London: SCM Press Ltd., 1985).
Jadi, dalam perspektif teologi inklusif model Karl Rahner, setelah agama Kristen disebarkan ke Indonesia, maka agama-agama selain Kristen sudah tidak sah lagi.
Dalam artikelnya, Aloysius juga menyebut, bahwa tokoh Hindu Mahatma Gandhi sangat mengagumi Jesus dan mengasihi-Nya. Ditulis oleh Aloysius: “Jesus Kristus itu unik sekaligus universal. Tak heran tokoh Hindu dan pemimpin India bernama Mahatma Gandhi sangat mengagumi Jesus dan mengasihi-Nya, terutama dengan ajaran ahimsa, mengasihi musuh. Tokoh politis India tersebut sangat menghayati sabda bahagia yang menjadi bagian dari khotbah di bukit yang disampaikan Jesus dan dicatat dalam Injil.
Benarkah Mahatma Gandhi bersikap simpatik terhadap Jesus seperti yang ditulis Aloysius itu? Tahun 2012, penerbit Media Hindu, menerbitkan buku berjudul Dialog Gandhi dengan Missionaris tentang Kristen dan Konversi. Buku ini aslinya berjudul Gandhi on Christianity (Maryknoll New York: Orbis Books, 1991). Buku ini memaparkan sikap kritis Gandhi terhadap kepercayaan kaum Kristen pada Jesus:
Saya menganggap Yesus sebagai seorang guru besar kemanusiaan, tapi saya tidak
menganggap dia sebagai satu-satunya anak yang dilahirkan Tuhan. Julukan itu dalam penafsiran materialnya tidak dapat diterima. Secara kiasan kita semua adalah anak-anak yang dilahirkan Tuhan, tapi untuk masing-masing kita mungkin ada anak-anak lain yang dilahirkan Tuhan dalam pengertian khusus... Saya percaya dengan kesempurnaan untuk menjadi sempurna dari hakikat manusia. Yesus telah menjadi sedekat mungkin pada kesempurnaan itu. Mengatakan bahwa dia sempurna sama dengan menolak superioritas Tuhan atas manusia... Saya juga tidak memerlukan ramalan-ramalan dan keajaiban-keajaiban untuk mengakui kebenaran Yesus sebagai seorang guru. Tidak ada yang lebih ajaib dari tiga tahun kependetaannya, Tidak ada keajaiban dalam sejarah manusia yang dihidupi dengan segenggam roti. Seorang tukang sulap dapat membuat ilusi (tipuan pandang) semacam itu. Tapi terkutuklah hari ketika seorang pesulap dihormati sebagai penyelamat kemanusiaan. (hal. 124-125).
Tentang keselamatan
universal baik bagi yang percaya atau yang tidak percaya kepada Ketuhanan Jesus -- Aloysius menulis: “Blusukan-Nya mendatangkan keselamatan universal bagi semua orang, yang mengimani Dia, maupun yang tidak mengimani-Nya, bahkan yang memusuhi-Nya. Itu karena Ia pun berdoa bagi orang-orang yang menyalibkan-Nya agar diampuni Allah, yang disebut-Nya Bapa, sebab mereka tidak tahu yang mereka perbuat (Lukas 23:34 dan paralelnya).”
Membaca tulisan Aloysius tersebut, kita dapat bertanya, benarkah orang yang tidak mengimani Yesus juga mendapatkan keselamatan, sebagaimana digambarkan oleh Pastor Aloysius? Masalah keselamatan universal ini telah menyita perdebatan panjang dalam internal Kristen. Benarkah ada keselamatan di luar gereja Katolik? Jika memang ada, untuk apa Gereja Katolik memerintahkan kaum Katolik untuk menjalankan misinya agar percaya kepada Yesus.
Dalam artikelnya, Aloysius mengenalkan diri sebagai rohaniwan, budayawan interreligius, dan Wakil Ketua FKUB Jawa Tengah. Sebagai rohaniwan Katolik, Aloysius tetunya sangat paham tentang perdebatan seputar wacana keselamatan di luar gereja Katolik. Sebelumnya, Gereja berpegang pada doktrin extra ecclesiam nulla salus (di luar Gereja tidak ada keselamatan). Kemudian, Konsili Vatikan II (1962-1965), menetapkan satu dokumen Nostra Aetate yang bersifat cukup simpatik terhadap agama lain, termasuk Islam. Tetapi, sejumlah dokumen Konsili Vatikan II juga mempertahankan sikap eksklusifitasnya dalam soal keselamatan.
Dekrit ad gentes mewajibkan aktivitas misi Katolik ke seluruh umat manusia: “Therefore, all must be converted to Him, made known by the Church's preaching, and all must be incorporated into Him by baptism and into the Church which is His body And hence missionary activity today as always retains its power and necessity.(Karena itu, haruslah semua orang dikonversikan kepada Dia, Yang dikenal lewat misi Gereja; semua manusia harus menjadi anggota Dia dan Anggota Gereja dengan pembaptisan, yang adalah Tubuhnya... Oleh sebab itu, aktivitas misi Kristen dewasa ini senantiasa tetap mempunyai kekuatannya dan tetap dibutuhkan).
Tahun 1990, induk Gereja Katolik di Indonesia, yaitu KWI (Konferensi Waligereja Indonesia) menerjemahkan dan menerbitkan naskah imbauan apostolik Paus Paulus VI tentang Karya Pewartaan Injil dalam Jaman Modern (Evangelii Nuntiandi), yang disampaikan 8 Desember 1975, yang menyebutkan: Pewartaan pertama juga ditujukan kepada bagian besar umat manusia yang memeluk agama-agama bukan Kristen.Agama-agama bukan kristen semuanya penuh dengan benih-benih Sabda yang tak terbilang jumlahnya dan dapat merupakan suatu persiapan bagi Injil yang benar... Kami mau menunjukkan, lebih-lebih pada zaman sekarang ini, bahwa baik penghormatan maupun penghargaan terhadap agama-agama tadi, demikian pula kompleksnya masalah-masalah yang muncul, bukan sebagai suatu alasan bagi Gereja untuk tidak mewartakan Yesus Kristus kepada orang-orang bukan Kristen. Sebaliknya Gereja berpendapat bahwa orang-orang tadi berhak mengetahui kekayaan misteri Kristus.
Dalam pidatonya pada 7 Desember 1990, yang bertajuk Redemptoris Missio (Tugas Perutusan Sang Penebus), yang diterbitan KWI tahun 2003, Paus Yohanes Paulus II mengatakan: Tugas perutusan Kristus Sang Penebus, yang dipercayakan kepada Gereja, masih sangat jauh dari penyelesaian. Tatkala Masa Seribu Tahun Kedua sesudah kedatangan Kristus hampir berakhir, satu pandangan menyeluruh atas umat manusia memperlihatkan bahwa tugas perutusan ini masih saja di tahap awal, dan bahwa kita harus melibatkan diri kita sendiri dengan sepenuh hatiKegiatan misioner yang secara khusus ditujukan kepada para bangsa (ad gentes) tampak sedang menyurut, dan kecenderungan ini tentu saja tidak sejalan dengan petunjuk-petunjuk Konsili dan dengan pernyataan-pernyataan Magisterium sesudahnya.
Menyimak sejumlah dokumen Gereja Katolik tentang kewajiban menjalankan misi Kristen untuk membaptis seluruh manusia, maka patut ditanyakan, apakah dukungan kaum Kristen kepada Jokowi merupakan bagian dari aktivitas misi tersebut? Bisanya, agak berbeda denga
Membaca tulisan Aloysius tersebut, kita dapat bertanya, benarkah orang yang tidak mengimani Yesus juga mendapatkan keselamatan, sebagaimana digambarkan oleh Pastor Aloysius? Masalah keselamatan universal ini telah menyita perdebatan panjang dalam internal Kristen. Benarkah ada keselamatan di luar gereja Katolik? Jika memang ada, untuk apa Gereja Katolik memerintahkan kaum Katolik untuk menjalankan misinya agar percaya kepada Yesus.
Dalam artikelnya, Aloysius mengenalkan diri sebagai rohaniwan, budayawan interreligius, dan Wakil Ketua FKUB Jawa Tengah. Sebagai rohaniwan Katolik, Aloysius tetunya sangat paham tentang perdebatan seputar wacana keselamatan di luar gereja Katolik. Sebelumnya, Gereja berpegang pada doktrin extra ecclesiam nulla salus (di luar Gereja tidak ada keselamatan). Kemudian, Konsili Vatikan II (1962-1965), menetapkan satu dokumen Nostra Aetate yang bersifat cukup simpatik terhadap agama lain, termasuk Islam. Tetapi, sejumlah dokumen Konsili Vatikan II juga mempertahankan sikap eksklusifitasnya dalam soal keselamatan.
Dekrit ad gentes mewajibkan aktivitas misi Katolik ke seluruh umat manusia: “Therefore, all must be converted to Him, made known by the Church's preaching, and all must be incorporated into Him by baptism and into the Church which is His body And hence missionary activity today as always retains its power and necessity.(Karena itu, haruslah semua orang dikonversikan kepada Dia, Yang dikenal lewat misi Gereja; semua manusia harus menjadi anggota Dia dan Anggota Gereja dengan pembaptisan, yang adalah Tubuhnya... Oleh sebab itu, aktivitas misi Kristen dewasa ini senantiasa tetap mempunyai kekuatannya dan tetap dibutuhkan).
Tahun 1990, induk Gereja Katolik di Indonesia, yaitu KWI (Konferensi Waligereja Indonesia) menerjemahkan dan menerbitkan naskah imbauan apostolik Paus Paulus VI tentang Karya Pewartaan Injil dalam Jaman Modern (Evangelii Nuntiandi), yang disampaikan 8 Desember 1975, yang menyebutkan: Pewartaan pertama juga ditujukan kepada bagian besar umat manusia yang memeluk agama-agama bukan Kristen.Agama-agama bukan kristen semuanya penuh dengan benih-benih Sabda yang tak terbilang jumlahnya dan dapat merupakan suatu persiapan bagi Injil yang benar... Kami mau menunjukkan, lebih-lebih pada zaman sekarang ini, bahwa baik penghormatan maupun penghargaan terhadap agama-agama tadi, demikian pula kompleksnya masalah-masalah yang muncul, bukan sebagai suatu alasan bagi Gereja untuk tidak mewartakan Yesus Kristus kepada orang-orang bukan Kristen. Sebaliknya Gereja berpendapat bahwa orang-orang tadi berhak mengetahui kekayaan misteri Kristus.
Dalam pidatonya pada 7 Desember 1990, yang bertajuk Redemptoris Missio (Tugas Perutusan Sang Penebus), yang diterbitan KWI tahun 2003, Paus Yohanes Paulus II mengatakan: Tugas perutusan Kristus Sang Penebus, yang dipercayakan kepada Gereja, masih sangat jauh dari penyelesaian. Tatkala Masa Seribu Tahun Kedua sesudah kedatangan Kristus hampir berakhir, satu pandangan menyeluruh atas umat manusia memperlihatkan bahwa tugas perutusan ini masih saja di tahap awal, dan bahwa kita harus melibatkan diri kita sendiri dengan sepenuh hatiKegiatan misioner yang secara khusus ditujukan kepada para bangsa (ad gentes) tampak sedang menyurut, dan kecenderungan ini tentu saja tidak sejalan dengan petunjuk-petunjuk Konsili dan dengan pernyataan-pernyataan Magisterium sesudahnya.
Menyimak sejumlah dokumen Gereja Katolik tentang kewajiban menjalankan misi Kristen untuk membaptis seluruh manusia, maka patut ditanyakan, apakah dukungan kaum Kristen kepada Jokowi merupakan bagian dari aktivitas misi tersebut? Bisanya, agak berbeda denga
n kaum Kristen evangelis yang menyampaikan misi dengan vulgar, Geraja Katolik menjalankan misinya dengan halus melalui program akulturasi atau kemanusiaan.
Jadi, apa sebenarnya misi kaum Kristen yang secara menggebu-gebu mendorong Jokowi sebagai calon Presiden RI? Wallahu alam.
Jokowi akan dikorbankan?
Aloysius menulis: Jesus menjadi tokoh ideal yang berpraksis bela rasa dan solider kepada korban, bukan kepada penguasa dan pemilik modal. Itulah buah teologi blusukan dan praksis dari pastoral blusukan Jesus. Akibatnya, Jesus dijatuhi hukuman mati, bahkan dianggap pemberontak. Tanda-tanda mukjizat dan buah-buah pastoral blusukan-Nya tidak dianggap. Dia justru dituduh menggunakan ilmu sihir dan menyesatkan rakyat. Begitulah, para pemuka agama dan politikus busuk yang memusuhi-Nya kemudian bersekongkol dengan prokurator Romawi bernama Pontius Pilatus. Jesus dijatuhi hukuman mati.”
Bagi kaum Kristen, babak terpenting dari episode kehidupan Jesus adalah penyaliban dan kebangkitan Jesus. Itulah inti agama Kristen (Christianity). Tidak ada agama Kristen tanpa adanya konsep penyaliban dan kebangkitan (crucifixion and resurrection) Jesus. Maka, kita patut bertanya, jika Jokowi disamakan dengan Jesus dalam perspektif Kristen, apakah pada akhirnya Jokowi juga akan disalib dan “dikorbankan” demi menebus dosa kaum tertentu?
Kaum Katolik Indonesia mengaku memiliki syahadat versi Katolik yang bunyinya: Kami percaya pada satu Allah, Bapa Yang Mahakuasa, Pencipta segala yang kelihatan maupun yang tidak kelihatan. Dan pada satu Tuhan Yesus Kristus, Putra Allah, Putra Tunggal yang dikandung dari Allah, yang berasal dari hakikat Bapa, Allah dari Allah, terang dari terang, Allah benar dari Allah Benar, dilahirkan tetapi tidak diciptakan, sehakikat dengan Bapa, melalui dia segala sesuatu menjadi ada (Lihat buku, Konsili-konsili Gereja karya Norman P. Tanner, hal. 36-37)
*****
Jokowi adalah muslim. Bahkan, sudah menunaikan ibada haji. Sebagai Muslim, ia sudah bersaksi, bahwa Tidak ada Tuhan selain Allah, dan Muhammad adalah utusan Allah. Jokowi pasti yakin, Allah tidak punya anak dan tidak diperanakkan. Ia juga yakin akan kebenaran al-Quran, yang menjelaskan bahwa Jesus (Isa a.s.) adalah manusia, seorang Nabi. Jesus bukan Tuhan atau anak Tuhan. Bahkan al-Quran dengan tegas menyatakan: Sungguh telah kafirlah orang-orang yang mengatakan, bahwa Allah itu sama dengan Isa Ibnu Maryam. Padahal, al-Masih Isa Ibnu Maryam berkata, wahai Bani Israil sembahlah Allah, Tuhanku dan Tuhan kalian. Sesungguhnya siapa yang menserikatkan Allah maka Allah akan mengharamkan sorga baginya, dan tempatnya di neraka. Dan orang-orang zalim itu tidak akan mendapatkan pertolongan. (QS 5:72).
Juga, disebutkan dalam al-Quran, sungguh kafirlah orang-orang yang mengatakan bahwa Isa adalah salah satu dari yang tiga (QS 5:73). Allah juga murka karena dituduh punya anak. Orang yang menuduh Allah punya anak, sungguh telah melakukan kejahatan besar di mata Allah (QS 19:88-91). Al-Quran pun membantah bahwa Nabi Isa a.s. telah mati di tiang salib. Tidak ada bukti yang meyakinkan tentang itu. (QS 4:157, QS 18:4-5). Menuduh Allah punya anak atau punya sekutu adalah tindakan syirik, dosa terbesar dalam pandangan Islam. Karena itu syirik disebut sebagai kezaliman besar. (QS 31:13). Nabi Muhammad saw ditugaskan oleh Allah untuk mengajak kaum Kristen agar mereka kembali kepada satu kata yang sama, yaitu hanya menyembah Allah dan tidak menyekutukan Allah dengan apa pun juga (misi Tauhid) (QS 3:64).
Dalam perspektif Islam, menyamakan antara Jesus dengan Jokowi bisa dikatakan sangat keliru dan sangat berlebihan. Kaum Muslim Indonesia tentu berharap, Haji Jokowi tidak mau disalib dan dikorbankan untuk dinobatkan sebagai juru selamat kaum tertentu di Indonesia. Tapi, itu terpulang kepada Pak Haji Jokowi, karena beliau sendiri yang akan bertanggung jawab kepada Allah: apakah ikut berjuang memperkuat misi seluruh Nabi dalam menegakkan Tauhid dan Rahmatan lil-alamin atau mendukung dan memperkuat kesesatan dan kemusyrikan di negeri tercinta ini. Sebagai rakyat, kita hanya me
Jadi, apa sebenarnya misi kaum Kristen yang secara menggebu-gebu mendorong Jokowi sebagai calon Presiden RI? Wallahu alam.
Jokowi akan dikorbankan?
Aloysius menulis: Jesus menjadi tokoh ideal yang berpraksis bela rasa dan solider kepada korban, bukan kepada penguasa dan pemilik modal. Itulah buah teologi blusukan dan praksis dari pastoral blusukan Jesus. Akibatnya, Jesus dijatuhi hukuman mati, bahkan dianggap pemberontak. Tanda-tanda mukjizat dan buah-buah pastoral blusukan-Nya tidak dianggap. Dia justru dituduh menggunakan ilmu sihir dan menyesatkan rakyat. Begitulah, para pemuka agama dan politikus busuk yang memusuhi-Nya kemudian bersekongkol dengan prokurator Romawi bernama Pontius Pilatus. Jesus dijatuhi hukuman mati.”
Bagi kaum Kristen, babak terpenting dari episode kehidupan Jesus adalah penyaliban dan kebangkitan Jesus. Itulah inti agama Kristen (Christianity). Tidak ada agama Kristen tanpa adanya konsep penyaliban dan kebangkitan (crucifixion and resurrection) Jesus. Maka, kita patut bertanya, jika Jokowi disamakan dengan Jesus dalam perspektif Kristen, apakah pada akhirnya Jokowi juga akan disalib dan “dikorbankan” demi menebus dosa kaum tertentu?
Kaum Katolik Indonesia mengaku memiliki syahadat versi Katolik yang bunyinya: Kami percaya pada satu Allah, Bapa Yang Mahakuasa, Pencipta segala yang kelihatan maupun yang tidak kelihatan. Dan pada satu Tuhan Yesus Kristus, Putra Allah, Putra Tunggal yang dikandung dari Allah, yang berasal dari hakikat Bapa, Allah dari Allah, terang dari terang, Allah benar dari Allah Benar, dilahirkan tetapi tidak diciptakan, sehakikat dengan Bapa, melalui dia segala sesuatu menjadi ada (Lihat buku, Konsili-konsili Gereja karya Norman P. Tanner, hal. 36-37)
*****
Jokowi adalah muslim. Bahkan, sudah menunaikan ibada haji. Sebagai Muslim, ia sudah bersaksi, bahwa Tidak ada Tuhan selain Allah, dan Muhammad adalah utusan Allah. Jokowi pasti yakin, Allah tidak punya anak dan tidak diperanakkan. Ia juga yakin akan kebenaran al-Quran, yang menjelaskan bahwa Jesus (Isa a.s.) adalah manusia, seorang Nabi. Jesus bukan Tuhan atau anak Tuhan. Bahkan al-Quran dengan tegas menyatakan: Sungguh telah kafirlah orang-orang yang mengatakan, bahwa Allah itu sama dengan Isa Ibnu Maryam. Padahal, al-Masih Isa Ibnu Maryam berkata, wahai Bani Israil sembahlah Allah, Tuhanku dan Tuhan kalian. Sesungguhnya siapa yang menserikatkan Allah maka Allah akan mengharamkan sorga baginya, dan tempatnya di neraka. Dan orang-orang zalim itu tidak akan mendapatkan pertolongan. (QS 5:72).
Juga, disebutkan dalam al-Quran, sungguh kafirlah orang-orang yang mengatakan bahwa Isa adalah salah satu dari yang tiga (QS 5:73). Allah juga murka karena dituduh punya anak. Orang yang menuduh Allah punya anak, sungguh telah melakukan kejahatan besar di mata Allah (QS 19:88-91). Al-Quran pun membantah bahwa Nabi Isa a.s. telah mati di tiang salib. Tidak ada bukti yang meyakinkan tentang itu. (QS 4:157, QS 18:4-5). Menuduh Allah punya anak atau punya sekutu adalah tindakan syirik, dosa terbesar dalam pandangan Islam. Karena itu syirik disebut sebagai kezaliman besar. (QS 31:13). Nabi Muhammad saw ditugaskan oleh Allah untuk mengajak kaum Kristen agar mereka kembali kepada satu kata yang sama, yaitu hanya menyembah Allah dan tidak menyekutukan Allah dengan apa pun juga (misi Tauhid) (QS 3:64).
Dalam perspektif Islam, menyamakan antara Jesus dengan Jokowi bisa dikatakan sangat keliru dan sangat berlebihan. Kaum Muslim Indonesia tentu berharap, Haji Jokowi tidak mau disalib dan dikorbankan untuk dinobatkan sebagai juru selamat kaum tertentu di Indonesia. Tapi, itu terpulang kepada Pak Haji Jokowi, karena beliau sendiri yang akan bertanggung jawab kepada Allah: apakah ikut berjuang memperkuat misi seluruh Nabi dalam menegakkan Tauhid dan Rahmatan lil-alamin atau mendukung dan memperkuat kesesatan dan kemusyrikan di negeri tercinta ini. Sebagai rakyat, kita hanya me
nyampaikan taushiyah, hanya sekedar mengingatkan. Wallahu alam bish-shawab. (Depok, 17 Mei 2014).
Adanya Fatwa MUI soal Atribut Natal, Karena Iman itu Penting Bagi Muslim
Cendekiawan Muslim dan mantan wartawan Istana, Adian Husaini mengatakan, sudah merupakan tugasnya Majelis Ulama Indonesia (MUI) untuk menyelamatkan iman umat Islam, termasuk dengan mengeluarkan fatwa larangan menggunakan atribut natal.
“Makanya kenapa MUI sampai mengeluarkan fatwa soal atribut Natal, karena itu persoalan serius yang berkaitan dengan iman,” ujarnya pada Ulasan Media Radio Dakta 107 FM, Selasa (20/12/2016).
Adian menjelaskan, di dunia ini seseorang tergantung apa yang dianggapnya penting. Kalau yang dianggap penting adalah jabatannya, maka jabatan yang jadi pikirannya.
“Kan ketahuan yang dianggap penting seseorang itu apa, kalau penguasa keliahatan dari kebijakannya. Kalau intelektual kelihatan dari pikirannya,” jelasnya.
“Makanya kenapa MUI sampai mengeluarkan fatwa soal atribut natal, karena itu persoalan serius yang berkaitan dengan iman. Itu penting,” tambah Adian.
Karenanya, Adian mengungkapkan, seharusnya Presiden Jokowi maupun Kapolri Tito sebagai Muslim bisa memahami dan sepatutnya faham perasaan dan tanggungjawab MUI.
“Ini yang harus dipahami,” tegas Peneliti Institute for the Study of Islamic Thought and Civilization (INSISTS) ini.
Adian juga menyampaikan, agar tidak terjadi sweeping oleh kalangan ormas, Kapolri perlu mengeluarkan edaran agar perusahaan-perusahaan tidak melakukan pemaksaan terhadap karyawan Muslim untuk mengenakan atribut Natal.*
http://m.hidayatullah.com/berita/nasional/read/2016/12/21/108134/adanya-fatwa-mui-soal-atribut-natal-karena-iman-itu-penting-bagi-muslim.html#.WFqHnTKTBFg.facebook
Cendekiawan Muslim dan mantan wartawan Istana, Adian Husaini mengatakan, sudah merupakan tugasnya Majelis Ulama Indonesia (MUI) untuk menyelamatkan iman umat Islam, termasuk dengan mengeluarkan fatwa larangan menggunakan atribut natal.
“Makanya kenapa MUI sampai mengeluarkan fatwa soal atribut Natal, karena itu persoalan serius yang berkaitan dengan iman,” ujarnya pada Ulasan Media Radio Dakta 107 FM, Selasa (20/12/2016).
Adian menjelaskan, di dunia ini seseorang tergantung apa yang dianggapnya penting. Kalau yang dianggap penting adalah jabatannya, maka jabatan yang jadi pikirannya.
“Kan ketahuan yang dianggap penting seseorang itu apa, kalau penguasa keliahatan dari kebijakannya. Kalau intelektual kelihatan dari pikirannya,” jelasnya.
“Makanya kenapa MUI sampai mengeluarkan fatwa soal atribut natal, karena itu persoalan serius yang berkaitan dengan iman. Itu penting,” tambah Adian.
Karenanya, Adian mengungkapkan, seharusnya Presiden Jokowi maupun Kapolri Tito sebagai Muslim bisa memahami dan sepatutnya faham perasaan dan tanggungjawab MUI.
“Ini yang harus dipahami,” tegas Peneliti Institute for the Study of Islamic Thought and Civilization (INSISTS) ini.
Adian juga menyampaikan, agar tidak terjadi sweeping oleh kalangan ormas, Kapolri perlu mengeluarkan edaran agar perusahaan-perusahaan tidak melakukan pemaksaan terhadap karyawan Muslim untuk mengenakan atribut Natal.*
http://m.hidayatullah.com/berita/nasional/read/2016/12/21/108134/adanya-fatwa-mui-soal-atribut-natal-karena-iman-itu-penting-bagi-muslim.html#.WFqHnTKTBFg.facebook
ISLAM, KOMUNIS DAN PANCASILA
Oleh: Dr. Adian Husaini
Sejarah perjalanan kehidupan bernegara di Indonesia mencatat satu babak tentang perebutan memaknai Pancasila antar berbagai kelompok ideologi di Indonesia. Pergulatan pemikiran itu secara intensif pernah terjadi dalam Majlis Konstituante, dimana kekuatan Islam dan sekulerisme kembali terlibat dalam perdebatan tentang Dasar Negara Indonesia. Kekuatan komunis pernah menggunakan Pancasila untuk memuluskan penerapan ideologi komunisme di Indonesia.
Mantan Wakil Kepala BIN, As'ad Said Ali, menulis dalam bukunya, Negara Pancasila, (hlm. 170-171), bahwa munculnya semangat para tokoh Islam untuk memperjuangkan Islam sebagai dasar negara, dalam Majelis Konstituante, antara lain juga didorong oleh masuknya kekuatan komunis (melalui Partai Komunis Indonesia/PKI) ke dalam blok pendukung Pancasila.
"Kalangan Islam langsung curiga. Muncul kekhawatiran Pancasila akan dipolitisasi oleh kelompok-kelompok komunis untuk selanjutnya diminimalisasi dimensi religiusitasnya. Kekhawatiran tersebut semakin mengkristal karena adanya peluang perubahan konstitusi sehubungan UUDS mengamanatkan perlunya dibentuk Majelis Konstituante yang bertugas merumuskan UUD yang definitif," tulis As'ad dalam bukunya tersebut.
Dalam pidatonya di Majelis Konstituante tanggal 13 November 1957, tokoh Islam Kasman Singodimedjo banyak mengkritisi pandangan dan sikap PKI terhadap Pancasila. Kasman menilai PKI hanya membonceng Pancasila untuk kemudian diubah sesuai paham dan ideologi komunisme. Ketika itu PKI bermaksud mengubah sila Ketuhanan Yang Maha Esa menjadi "kebebasan beragama". Termasuk dalam cakupan "kebebasan beragama" adalah "kebebasan untuk tidak beragama."
Mr. Kasman Singodimedjo adalah Jaksa Agung RI 1945-1946 dan Ketua Komite Nasional Indonesia Pusat (1945-1950). Ia juga dikenal sebagai tokoh Muhammadiyah. Dalam Sidang Konstituante itu mengingatkan: "Saudara ketua, sama-sama tokh kita mengetahui bahwa soko guru dari Pancasila itu adalah Ketuhanan Yang Maha Esa, dan sama-sama kita mengetahui bahwa Tuhan Yang Maha Esa itu justru telah mempunyai peraturan-peraturan yang tentu-tentu bagi umat manusia yang lazimnya dinamakan agama. Saudara ketua, sama-sama kita tahu, bahwa PKI dan komunis pada umum nya dan pada dasarnya justru anti Tuhan dan anti-Agama!." (Lihat buku Hidup Itu Berjuang, Kasman Singodimedjo 75 Tahun, hlm. 480-481).
Masuknya kaum komunis ke dalam blok pembela Pancasila kemudian dipandang oleh kubu Islam sebagai upaya membelokkan Pancasila dari prinsip dasar Ketuhanan Yang Maha Esa. Sebagai contoh, pada 20 Mei 1957, tokoh Partai Komunis Indonesia (PKI) Ir. Sakirman mendukung pandangan Fraksi Katolik yang menyatakan, bahwa "Rakyat Indonesia terdiri dari berbagai-bagai golongan dengan berbagai-bagai kepercayaan atau keyakinan masing-masing bersifat universal."
Karena itu Sakirman menyeru kepada golongan Islam: "Betapa pun universal, praktis dan objektifnya Islam, tetapi karena Islam hanya merupakan salah satu dari sekian banyak kepercayaan dan keyakinan, yang hidup dalam masyarakat Indonesia, maka Pancasila sebagai apa yang dinamakan oleh Partai Kristen Indonesia (Parkindo) suatu "grootste gemene deler" yang mempertemukan keyakinan dan kepercayaan kita semua, akan tetapi lebih praktis lebih objektif dan lebih universal dari pada Islam."
Dalam Sidang Konstituante tanggal 2 Desember 1957, Kasman mengkritik ucapan Nyoto dari PKI pada Sidang Konstituante 28 November 1957 yang menyatakan: "Pancasila itu bersegi banyak dan berpihak ke mana-mana." Kasman berkomentar: "Itu artinya, dan menurut kehendak dan tafsiran PKI, bahwa Pancasila itu dapat dan boleh saja bersegi ateis dan politeis, pun dapat/ boleh saja berpihak ke syaitan dan neraka." Begitulah sikap para tokoh Islam dalam sidang Konstituante yang memang merupakan forum untuk merumuskan dasar negara yang baru. Tapi, ketika forum itu di bubarkan dan dikeluarkan Dekrit pada 5 Juli 1959, Kasman dan para tokoh Islam lain nya, menerimanya karena telah sah secara konstitusional. (Hidup Itu Berjuang, Kasman Singodimedjo 75 Tahun, hlm. 536-540).
D
Oleh: Dr. Adian Husaini
Sejarah perjalanan kehidupan bernegara di Indonesia mencatat satu babak tentang perebutan memaknai Pancasila antar berbagai kelompok ideologi di Indonesia. Pergulatan pemikiran itu secara intensif pernah terjadi dalam Majlis Konstituante, dimana kekuatan Islam dan sekulerisme kembali terlibat dalam perdebatan tentang Dasar Negara Indonesia. Kekuatan komunis pernah menggunakan Pancasila untuk memuluskan penerapan ideologi komunisme di Indonesia.
Mantan Wakil Kepala BIN, As'ad Said Ali, menulis dalam bukunya, Negara Pancasila, (hlm. 170-171), bahwa munculnya semangat para tokoh Islam untuk memperjuangkan Islam sebagai dasar negara, dalam Majelis Konstituante, antara lain juga didorong oleh masuknya kekuatan komunis (melalui Partai Komunis Indonesia/PKI) ke dalam blok pendukung Pancasila.
"Kalangan Islam langsung curiga. Muncul kekhawatiran Pancasila akan dipolitisasi oleh kelompok-kelompok komunis untuk selanjutnya diminimalisasi dimensi religiusitasnya. Kekhawatiran tersebut semakin mengkristal karena adanya peluang perubahan konstitusi sehubungan UUDS mengamanatkan perlunya dibentuk Majelis Konstituante yang bertugas merumuskan UUD yang definitif," tulis As'ad dalam bukunya tersebut.
Dalam pidatonya di Majelis Konstituante tanggal 13 November 1957, tokoh Islam Kasman Singodimedjo banyak mengkritisi pandangan dan sikap PKI terhadap Pancasila. Kasman menilai PKI hanya membonceng Pancasila untuk kemudian diubah sesuai paham dan ideologi komunisme. Ketika itu PKI bermaksud mengubah sila Ketuhanan Yang Maha Esa menjadi "kebebasan beragama". Termasuk dalam cakupan "kebebasan beragama" adalah "kebebasan untuk tidak beragama."
Mr. Kasman Singodimedjo adalah Jaksa Agung RI 1945-1946 dan Ketua Komite Nasional Indonesia Pusat (1945-1950). Ia juga dikenal sebagai tokoh Muhammadiyah. Dalam Sidang Konstituante itu mengingatkan: "Saudara ketua, sama-sama tokh kita mengetahui bahwa soko guru dari Pancasila itu adalah Ketuhanan Yang Maha Esa, dan sama-sama kita mengetahui bahwa Tuhan Yang Maha Esa itu justru telah mempunyai peraturan-peraturan yang tentu-tentu bagi umat manusia yang lazimnya dinamakan agama. Saudara ketua, sama-sama kita tahu, bahwa PKI dan komunis pada umum nya dan pada dasarnya justru anti Tuhan dan anti-Agama!." (Lihat buku Hidup Itu Berjuang, Kasman Singodimedjo 75 Tahun, hlm. 480-481).
Masuknya kaum komunis ke dalam blok pembela Pancasila kemudian dipandang oleh kubu Islam sebagai upaya membelokkan Pancasila dari prinsip dasar Ketuhanan Yang Maha Esa. Sebagai contoh, pada 20 Mei 1957, tokoh Partai Komunis Indonesia (PKI) Ir. Sakirman mendukung pandangan Fraksi Katolik yang menyatakan, bahwa "Rakyat Indonesia terdiri dari berbagai-bagai golongan dengan berbagai-bagai kepercayaan atau keyakinan masing-masing bersifat universal."
Karena itu Sakirman menyeru kepada golongan Islam: "Betapa pun universal, praktis dan objektifnya Islam, tetapi karena Islam hanya merupakan salah satu dari sekian banyak kepercayaan dan keyakinan, yang hidup dalam masyarakat Indonesia, maka Pancasila sebagai apa yang dinamakan oleh Partai Kristen Indonesia (Parkindo) suatu "grootste gemene deler" yang mempertemukan keyakinan dan kepercayaan kita semua, akan tetapi lebih praktis lebih objektif dan lebih universal dari pada Islam."
Dalam Sidang Konstituante tanggal 2 Desember 1957, Kasman mengkritik ucapan Nyoto dari PKI pada Sidang Konstituante 28 November 1957 yang menyatakan: "Pancasila itu bersegi banyak dan berpihak ke mana-mana." Kasman berkomentar: "Itu artinya, dan menurut kehendak dan tafsiran PKI, bahwa Pancasila itu dapat dan boleh saja bersegi ateis dan politeis, pun dapat/ boleh saja berpihak ke syaitan dan neraka." Begitulah sikap para tokoh Islam dalam sidang Konstituante yang memang merupakan forum untuk merumuskan dasar negara yang baru. Tapi, ketika forum itu di bubarkan dan dikeluarkan Dekrit pada 5 Juli 1959, Kasman dan para tokoh Islam lain nya, menerimanya karena telah sah secara konstitusional. (Hidup Itu Berjuang, Kasman Singodimedjo 75 Tahun, hlm. 536-540).
D
alam bukunya, Renungan dari Tahanan, Kasman menulis: "… seluruh rakyat Indonesia, termasuk seluruh umat Islam yang meliputi mayoritas mutlak dari rakyat Indonesia itu kini harus mengindahkan Dekrit Presiden itu sepenuh-penuhnya." (Lihat, Kasman Singodimedjo, Renungan dari Tahanan, (Jakarta: Tintamas, 1967), hlm. 34).
Memang, Ir. Sakirman pernah berpidato dalam Majlis Kontituante dengan menyebutkan adanya rumusan sila kelima yang diajukan Bung Karno pada 1 Juni 1945, yang berbeda dengan rumusan risalah sidang BPUPK, yaitu (5) "Ke-Tuhanan yang berkebudayaan atau Ke-Tuhanan yang berbudi luhur atau Ke-Tuhanan yang hormat menghormati satu sama lain." Sakirman juga mengakui, bahwa PKI memang menginginkan agar sila Ketuhanan Yang Maha Esa diganti dengan sila "Kemerdekaan Beragama dan Berkeyakinan Hidup." (Pidato Ir. Sakirman dikutip dari buku Pancasila dan Islam: Perdebatan antar Parpol dalam Penyusunan Dasar Negara di Dewan Konstituante, editor: Erwien Kusuma dan Khairul (Jakarta: BAUR Publishing, 2008), hlm. 275.
Fakta komunisme
Tajamnya perbedaan antara Islam dan Komunisme, tidak menyurutkan usaha untuk menyatukan kekuatan agama dan komunisme. Tapi, sejarah kemudian mencatat, upaya penyatuan antara kelompok Nasionalis, Agama, dan Komunis, di bawah payung Pancasila mengalami kegagalan.
Golongan Islam melakukan perlawanan habis-habisan melawan komunisme. Dalam Muktamar Ulama se-Indonesia tanggal 8- 11 September 1957 di Palembang, para ulama memutuskan: (1) Ideologi/ajaran Komunisme adalah kufur hukumnya, dan haram bagi umat Islam menganutnya, (2)
Bagi orang yang menganut ideologi/ajaran Komunisme dengan keyakinan dan kesadaran, maka kafirlah dia dan tiada sah menikah dan menikahkan orang Islam, tiada pusaka-mempusakai dan haram hukumnya jenazahnya diselenggarakan secara Islam, (3) Bagi orang yang memasuki organisasi/Partai yang berideologi komunisme (PKI, Sobsi, Pemuda Rakyat dll; tidak dengan keyakinan dan kesadaran, sesatlah dia dan wajib bagi umat Islam menyeru mereka meninggalkan organisasi dan partai tersebut, (4) Walaupun Republik Indonesia belum menjadi negara Islam, namun haram hukumnya bagi umat Islam mengangkat/ memilih kepala negara yang berideologi Komunisme, (5) Memperingatkan kepada pemerintah RI agar bersikap waspada terhadap gerakan aksi subversif asing yang membantu perjuangan kaum Komunis/ Atheis Indonesia, (6) Mendesak kepada Presiden RI untuk mengeluarkan dekrit menyatakan PKI dan mantel organisasinya sebagai partai terlarang di Indonesia. (Lihat buku Muktamar Ulama se-Indonesia di Palembang tanggal 8-11 September 1957, yang disusun oleh H. Husin Abdul Mu'in, (Palembang: Panitia Kongres Alim Ulama Seluruh Indonesia, 1957).
Dalam sambutannya untuk Muktamar tersebut, mantan wakil Presiden RI Mohammad Hatta mengingatkan kepada para ulama, bahwa perkembangan Komunisme di Indonesia, terutama dihasilkan melalui kerja keras mereka dan kondisi kemiskinan rakyat. "Kemajuan PKI tidak disebabkan oleh kegiatan orang-orang komunis mengembangkan ideologi yang belum di mengerti oleh rakyat, melainkan dengan kegiatannya bekerja dalam kalangan rakyat serta janji-janjinya akan membagikan tanah dan memperbaiki hidup rakyat yang miskin… Apabila kaum Ulama kita tidak menilai masalah kemasyarakatan ini dengan ukuran yang tepat, Muktamar tidak akan dapat menyusun rencana yang tepat terhadap gerakan Atheisme," kata Hatta dalam sambutannya. Hatta mengajak agar Ulama berusaha menegakkan keadilan Islam. Kata Hatta lagi, "Apabila berlaku keadilan Islam di Indonesia, maka dengan sendirinya Komunisme akan lenyap dari bumi Indonesia.
Apabila berlaku keadilan Islam di bumi kita ini, tidak ada yang akan dituntut oleh Komunisme. Keadilan Islam adalah keadilan yang setinggi-tingginya, keadilan Ilahi. Keadilan Islam menumbuhkan rasa damai, rasa bahagia dan sejahtera."
Perjuangan melawan komunisme, dalam sejarah perjuangan umat Islam, bisa dikatakan sudah mendarah daging di berbagai penjuru dunia. Sebab, kekejaman komunisme di berbagai belahan dunia sudah terbukti. Di Indonesia, salah seorang sastrawan terkemuka yang aktif melawan komun
Memang, Ir. Sakirman pernah berpidato dalam Majlis Kontituante dengan menyebutkan adanya rumusan sila kelima yang diajukan Bung Karno pada 1 Juni 1945, yang berbeda dengan rumusan risalah sidang BPUPK, yaitu (5) "Ke-Tuhanan yang berkebudayaan atau Ke-Tuhanan yang berbudi luhur atau Ke-Tuhanan yang hormat menghormati satu sama lain." Sakirman juga mengakui, bahwa PKI memang menginginkan agar sila Ketuhanan Yang Maha Esa diganti dengan sila "Kemerdekaan Beragama dan Berkeyakinan Hidup." (Pidato Ir. Sakirman dikutip dari buku Pancasila dan Islam: Perdebatan antar Parpol dalam Penyusunan Dasar Negara di Dewan Konstituante, editor: Erwien Kusuma dan Khairul (Jakarta: BAUR Publishing, 2008), hlm. 275.
Fakta komunisme
Tajamnya perbedaan antara Islam dan Komunisme, tidak menyurutkan usaha untuk menyatukan kekuatan agama dan komunisme. Tapi, sejarah kemudian mencatat, upaya penyatuan antara kelompok Nasionalis, Agama, dan Komunis, di bawah payung Pancasila mengalami kegagalan.
Golongan Islam melakukan perlawanan habis-habisan melawan komunisme. Dalam Muktamar Ulama se-Indonesia tanggal 8- 11 September 1957 di Palembang, para ulama memutuskan: (1) Ideologi/ajaran Komunisme adalah kufur hukumnya, dan haram bagi umat Islam menganutnya, (2)
Bagi orang yang menganut ideologi/ajaran Komunisme dengan keyakinan dan kesadaran, maka kafirlah dia dan tiada sah menikah dan menikahkan orang Islam, tiada pusaka-mempusakai dan haram hukumnya jenazahnya diselenggarakan secara Islam, (3) Bagi orang yang memasuki organisasi/Partai yang berideologi komunisme (PKI, Sobsi, Pemuda Rakyat dll; tidak dengan keyakinan dan kesadaran, sesatlah dia dan wajib bagi umat Islam menyeru mereka meninggalkan organisasi dan partai tersebut, (4) Walaupun Republik Indonesia belum menjadi negara Islam, namun haram hukumnya bagi umat Islam mengangkat/ memilih kepala negara yang berideologi Komunisme, (5) Memperingatkan kepada pemerintah RI agar bersikap waspada terhadap gerakan aksi subversif asing yang membantu perjuangan kaum Komunis/ Atheis Indonesia, (6) Mendesak kepada Presiden RI untuk mengeluarkan dekrit menyatakan PKI dan mantel organisasinya sebagai partai terlarang di Indonesia. (Lihat buku Muktamar Ulama se-Indonesia di Palembang tanggal 8-11 September 1957, yang disusun oleh H. Husin Abdul Mu'in, (Palembang: Panitia Kongres Alim Ulama Seluruh Indonesia, 1957).
Dalam sambutannya untuk Muktamar tersebut, mantan wakil Presiden RI Mohammad Hatta mengingatkan kepada para ulama, bahwa perkembangan Komunisme di Indonesia, terutama dihasilkan melalui kerja keras mereka dan kondisi kemiskinan rakyat. "Kemajuan PKI tidak disebabkan oleh kegiatan orang-orang komunis mengembangkan ideologi yang belum di mengerti oleh rakyat, melainkan dengan kegiatannya bekerja dalam kalangan rakyat serta janji-janjinya akan membagikan tanah dan memperbaiki hidup rakyat yang miskin… Apabila kaum Ulama kita tidak menilai masalah kemasyarakatan ini dengan ukuran yang tepat, Muktamar tidak akan dapat menyusun rencana yang tepat terhadap gerakan Atheisme," kata Hatta dalam sambutannya. Hatta mengajak agar Ulama berusaha menegakkan keadilan Islam. Kata Hatta lagi, "Apabila berlaku keadilan Islam di Indonesia, maka dengan sendirinya Komunisme akan lenyap dari bumi Indonesia.
Apabila berlaku keadilan Islam di bumi kita ini, tidak ada yang akan dituntut oleh Komunisme. Keadilan Islam adalah keadilan yang setinggi-tingginya, keadilan Ilahi. Keadilan Islam menumbuhkan rasa damai, rasa bahagia dan sejahtera."
Perjuangan melawan komunisme, dalam sejarah perjuangan umat Islam, bisa dikatakan sudah mendarah daging di berbagai penjuru dunia. Sebab, kekejaman komunisme di berbagai belahan dunia sudah terbukti. Di Indonesia, salah seorang sastrawan terkemuka yang aktif melawan komun
isme, sejak zaman Orde Lama sampai zaman kini adalah Taufik Ismail. Berbagai buku yang menjelaskan bahaya dan kegagalan komunisme ditulis oleh Taufik Ismail, termasuk buku-buku saku yang disebarluaskan secara gratis kepada masyarakat luas.
Taufiq mengaku risau dengan generasi muda yang tidak lagi mengenal hakekat dan kekejaman kaum komunis. Dalam sebuah buku saku berjudul Tiga Dusta Raksasa Palu Arit Indonesia: Jejak Sebuah Ideologi Bangkrut di Pentas Jagad Raya, (Jakarta: Titik Infinitum, 2007), Taufiq menyajikan data yang menarik: Komunisme adalah ideologi penindas dan penggali kuburan massal terbesar di dunia. Dalam mengeliminasi lawan politik, kaum komunis telah membantai 120 juta manusia, dari tahun 1917 sampai 1991. Itu sama dengan pembunuhan terhadap 187 nyawa per jam, atau satu nyawa setiap 20 detik. Itu dilakukan selama ¾ abad (sekitar 75 tahun) di 76 negara. Karl marx (1818-1883) pernah berkata: "Bila waktu kita tiba, kita tak akan menutup-nutupi terorisme kita."
Vladimir Ilich Ullyanov Lenin (1870- 1924) juga menyatakan: "Saya suka mendengarkan musik yang merdu, tapi di tengah revolusi sekarang ini, yang perlu adalah membelah tengkorak, menjalankan keganasan dan berjalan dalam lautan darah." Satu lagi tulisannya: "Tidak jadi soal bila ¾ penduduk dunia habis, asal yang tinggal ¼ itu komunis. Untuk melaksanakan komunisme, kita tidak gentar berjalan di atas mayat 30 juta orang."
Lenin bukan menggertak sambal. Semasa berkuasa (1917-1923) ia membantai setengah juta bangsanya sendiri. Dilanjut kan Joseph Stalin (1925-1953) yang menjagal 46 juta orang; ditiru Mao Tse Tung (RRC) 50 juta (1947-1976); Pol Pot (Kamboja) 2,5 juta jiwa (1975-1979) dan Najibullah (Afghanistan) 1,5 juta nyawa (1978-1987). Buku saku lain tentang komunis me yang ditulis oleh Taufiq Ismail adalah Komunisme=Narkoba dan Komunis Bakubunuh Komunis, serta Karl Marx, Tukang Ramal Sial yang Gagal (Jakarta: Infinitum, 2007).
Sepatutnya, bangsa Indonesia mau belajar dari sejarah. Ketika agama dibuang; Tuhan disingkirkan, jadilah manusia laksana binatang. Anehnya, kini ada yang mulai berkampanye tentang perlunya "kebebasan beragama" harus mencakup juga "kebebasan untuk tidak beragama". Dalam kondisi seperti ini, Islam dan kekuatan anti-komunisme lainnya, diharapkan memainkan perannya yang signifikan. Jangan sampai elite-elite muslim lupa diri; sibuk memikirkan kepentingan diri dan kelompoknya; sibuk saling caci; tanpa sadar komunisme dalam kemasan baru semakin mendapat simpati masyarakat. Na'udzubillahi min dzalika.
Taufiq mengaku risau dengan generasi muda yang tidak lagi mengenal hakekat dan kekejaman kaum komunis. Dalam sebuah buku saku berjudul Tiga Dusta Raksasa Palu Arit Indonesia: Jejak Sebuah Ideologi Bangkrut di Pentas Jagad Raya, (Jakarta: Titik Infinitum, 2007), Taufiq menyajikan data yang menarik: Komunisme adalah ideologi penindas dan penggali kuburan massal terbesar di dunia. Dalam mengeliminasi lawan politik, kaum komunis telah membantai 120 juta manusia, dari tahun 1917 sampai 1991. Itu sama dengan pembunuhan terhadap 187 nyawa per jam, atau satu nyawa setiap 20 detik. Itu dilakukan selama ¾ abad (sekitar 75 tahun) di 76 negara. Karl marx (1818-1883) pernah berkata: "Bila waktu kita tiba, kita tak akan menutup-nutupi terorisme kita."
Vladimir Ilich Ullyanov Lenin (1870- 1924) juga menyatakan: "Saya suka mendengarkan musik yang merdu, tapi di tengah revolusi sekarang ini, yang perlu adalah membelah tengkorak, menjalankan keganasan dan berjalan dalam lautan darah." Satu lagi tulisannya: "Tidak jadi soal bila ¾ penduduk dunia habis, asal yang tinggal ¼ itu komunis. Untuk melaksanakan komunisme, kita tidak gentar berjalan di atas mayat 30 juta orang."
Lenin bukan menggertak sambal. Semasa berkuasa (1917-1923) ia membantai setengah juta bangsanya sendiri. Dilanjut kan Joseph Stalin (1925-1953) yang menjagal 46 juta orang; ditiru Mao Tse Tung (RRC) 50 juta (1947-1976); Pol Pot (Kamboja) 2,5 juta jiwa (1975-1979) dan Najibullah (Afghanistan) 1,5 juta nyawa (1978-1987). Buku saku lain tentang komunis me yang ditulis oleh Taufiq Ismail adalah Komunisme=Narkoba dan Komunis Bakubunuh Komunis, serta Karl Marx, Tukang Ramal Sial yang Gagal (Jakarta: Infinitum, 2007).
Sepatutnya, bangsa Indonesia mau belajar dari sejarah. Ketika agama dibuang; Tuhan disingkirkan, jadilah manusia laksana binatang. Anehnya, kini ada yang mulai berkampanye tentang perlunya "kebebasan beragama" harus mencakup juga "kebebasan untuk tidak beragama". Dalam kondisi seperti ini, Islam dan kekuatan anti-komunisme lainnya, diharapkan memainkan perannya yang signifikan. Jangan sampai elite-elite muslim lupa diri; sibuk memikirkan kepentingan diri dan kelompoknya; sibuk saling caci; tanpa sadar komunisme dalam kemasan baru semakin mendapat simpati masyarakat. Na'udzubillahi min dzalika.
ADAKAH KARAKTER PANCASILA?
Oleh: Dr. Adian Husaini.
Pada tanggal 24 Oktober 2013 lalu, saya bersyukur mendapatkan kesempatan berbicara dalam satu seminar tentang peradaban Islam di Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS). Seminar itu diadakan sebagai satu rangkaian kegiatan peringatan Dies Natalis ke-55 UMS. Bertindak sebagai keynote speaker adalah Prof. Malik Fadjar, mantan rektor UMS yang dikenal sebagai salah satu tokoh pendidikan di Indonesia. Pembicara lain adalah Dr. Gina Puspita, pakar aeoronotika, dosen Fakultas Teknik UMS, yang juga pendiri Klub Istri Taat Suami, serta Prof Dr. Heru Kurnianto Tjahjono, pakar manajemen dari Universitas Muhammadiyah Yogyakarta.
Tema yang diberikan kepada saya adalah Pendidikan Islam Membentuk Manusia Berkarater dan Beradab -- sama dengan judul salah satu buku yang saya tulis. Memang, diakui oleh banyak pakar pendidikan, bahwa salah satu kelemahan dari pendidikan kita selama ini adalah kurangnya penekanan pada pembentukan karakter unggulan anak didik. Prestasi belajar hanya diukur pada aspek kognitif. Padahal, karakter yang kuat adalah faktor penting dalam kemajuan suatu bangsa. Begitu yang biasa dipaparkan oleh para pakar pendidikan.
Apalagi, fakta juga menunjukkan, masih menonjolnya berbaga karakter negatif di tengah masyarakat, bahkan di kalangan para elite bangsa. Sejumlah karakter manusia Indonesia yang menonjol, seperti pernah diungkap oleh budayawan Mochtar Lubis (alm.), dalam ceramahnya di Taman Ismail Marzuki, Jakarta, 6 April 1977, adalah munafik, enggan bertanggung jawab, berjiwa feodal, masih percaya takhayul, lemah karakter, cenderung boros, dan suka jalan pintas. (Mochtar Lubis, Manusia Indonesia, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2001).
Karena mengakui kelemahan dalam karakter bangsa, akhirnya pemerintah merancang program pendidikan karakter. Kini, banyak program sedang dijalankan dengan tujuan membentuk karakter yang dianggap unggulan, seperti jujur, tanggung jawab, cinta kebersihan, kerja keras, toleransi, dan sebagainya. Pemerintah dan DPR bersepakat bahwa Pendidikan Karakter perlu diprioritaskan untuk membangun bangsa yang maju. Sekolah dianggap sebagai tempat yang strategis untuk penyemaian pendidikan karaker. Tahun 2011, Balitbang Kementerian Pendidikan Nasional (sekarang: Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan), mengeluarkan buku kecil berjudul “Panduan Pelaksanaan Pendidikan Karakter.
Dalam pengantar buku tersebut, Kabalitbang Kemmendiknas menulis: Pendidikan karakter ditempatkan sebagai landasan untuk mewujudkan visi pembangunan nasional, yaitu mewujudkan masyarakat berakhlak mulia, bermoral, beretika, berbudaya, dan beradab berdasarkan falsafah Pancasila. Hal ini sekaligus menjadi upaya untuk mendukung perwujudan cita-cita sebagaimana diamanatkan dalam Pancasila dan Pembukaan UUD 1945.
Sedangkan tujuan Pendidikan karakter adalah untuk mengembangkan nilai-nilai yang membentuk karakter bangsa yaitu Pancasila, meliputi : (1) mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia berhati baik, berpikiran baik, dan berprilaku baik; (2) membangun bangsa yang berkarakter Pancasila; (3) mengembangkan potensi warganegara agar memiliki sikap percaya diri, bangga pada bangsa dan negaranya serta mencintai umat manusia.
Disebutkan, bahwa dalam rangka lebih memperkuat pelaksanaan pendidikan karakter pada satuan pendidikan, telah teridentifikasi 18 nilai yang bersumber dari agama, Pancasila, budaya, dan tujuan pendidikan nasional, yaitu: (1) Religius, (2) Jujur, (3) Toleransi, (4) Disiplin, (5) Kerja keras, (6) Kreatif, (7) Mandiri, (8) Demokratis, (9) Rasa Ingin Tahu, (10) Semangat Kebangsaan, (11) Cinta Tanah Air, (12) Menghargai Prestasi, (13) Bersahabat/Komunikatif, (14) Cinta Damai, (15) Gemar Membaca, (16) Peduli Lingkungan, (17) Peduli Sosial, (18) Tanggung Jawab (Sumber: Pusat Kurikulum. Pengembangan dan Pendidikan Budaya dan Karakter Bangsa: Pedoman Sekolah. 2009:9-10).
Apresiasi dan kritik.
Seperti dikhawatirkan Mochtar Lubis, salah satu ciri menonjol pada manusia Indonesia adalah lemah karakternya. Jika karakter yang lemah seperti ini
Oleh: Dr. Adian Husaini.
Pada tanggal 24 Oktober 2013 lalu, saya bersyukur mendapatkan kesempatan berbicara dalam satu seminar tentang peradaban Islam di Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS). Seminar itu diadakan sebagai satu rangkaian kegiatan peringatan Dies Natalis ke-55 UMS. Bertindak sebagai keynote speaker adalah Prof. Malik Fadjar, mantan rektor UMS yang dikenal sebagai salah satu tokoh pendidikan di Indonesia. Pembicara lain adalah Dr. Gina Puspita, pakar aeoronotika, dosen Fakultas Teknik UMS, yang juga pendiri Klub Istri Taat Suami, serta Prof Dr. Heru Kurnianto Tjahjono, pakar manajemen dari Universitas Muhammadiyah Yogyakarta.
Tema yang diberikan kepada saya adalah Pendidikan Islam Membentuk Manusia Berkarater dan Beradab -- sama dengan judul salah satu buku yang saya tulis. Memang, diakui oleh banyak pakar pendidikan, bahwa salah satu kelemahan dari pendidikan kita selama ini adalah kurangnya penekanan pada pembentukan karakter unggulan anak didik. Prestasi belajar hanya diukur pada aspek kognitif. Padahal, karakter yang kuat adalah faktor penting dalam kemajuan suatu bangsa. Begitu yang biasa dipaparkan oleh para pakar pendidikan.
Apalagi, fakta juga menunjukkan, masih menonjolnya berbaga karakter negatif di tengah masyarakat, bahkan di kalangan para elite bangsa. Sejumlah karakter manusia Indonesia yang menonjol, seperti pernah diungkap oleh budayawan Mochtar Lubis (alm.), dalam ceramahnya di Taman Ismail Marzuki, Jakarta, 6 April 1977, adalah munafik, enggan bertanggung jawab, berjiwa feodal, masih percaya takhayul, lemah karakter, cenderung boros, dan suka jalan pintas. (Mochtar Lubis, Manusia Indonesia, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2001).
Karena mengakui kelemahan dalam karakter bangsa, akhirnya pemerintah merancang program pendidikan karakter. Kini, banyak program sedang dijalankan dengan tujuan membentuk karakter yang dianggap unggulan, seperti jujur, tanggung jawab, cinta kebersihan, kerja keras, toleransi, dan sebagainya. Pemerintah dan DPR bersepakat bahwa Pendidikan Karakter perlu diprioritaskan untuk membangun bangsa yang maju. Sekolah dianggap sebagai tempat yang strategis untuk penyemaian pendidikan karaker. Tahun 2011, Balitbang Kementerian Pendidikan Nasional (sekarang: Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan), mengeluarkan buku kecil berjudul “Panduan Pelaksanaan Pendidikan Karakter.
Dalam pengantar buku tersebut, Kabalitbang Kemmendiknas menulis: Pendidikan karakter ditempatkan sebagai landasan untuk mewujudkan visi pembangunan nasional, yaitu mewujudkan masyarakat berakhlak mulia, bermoral, beretika, berbudaya, dan beradab berdasarkan falsafah Pancasila. Hal ini sekaligus menjadi upaya untuk mendukung perwujudan cita-cita sebagaimana diamanatkan dalam Pancasila dan Pembukaan UUD 1945.
Sedangkan tujuan Pendidikan karakter adalah untuk mengembangkan nilai-nilai yang membentuk karakter bangsa yaitu Pancasila, meliputi : (1) mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia berhati baik, berpikiran baik, dan berprilaku baik; (2) membangun bangsa yang berkarakter Pancasila; (3) mengembangkan potensi warganegara agar memiliki sikap percaya diri, bangga pada bangsa dan negaranya serta mencintai umat manusia.
Disebutkan, bahwa dalam rangka lebih memperkuat pelaksanaan pendidikan karakter pada satuan pendidikan, telah teridentifikasi 18 nilai yang bersumber dari agama, Pancasila, budaya, dan tujuan pendidikan nasional, yaitu: (1) Religius, (2) Jujur, (3) Toleransi, (4) Disiplin, (5) Kerja keras, (6) Kreatif, (7) Mandiri, (8) Demokratis, (9) Rasa Ingin Tahu, (10) Semangat Kebangsaan, (11) Cinta Tanah Air, (12) Menghargai Prestasi, (13) Bersahabat/Komunikatif, (14) Cinta Damai, (15) Gemar Membaca, (16) Peduli Lingkungan, (17) Peduli Sosial, (18) Tanggung Jawab (Sumber: Pusat Kurikulum. Pengembangan dan Pendidikan Budaya dan Karakter Bangsa: Pedoman Sekolah. 2009:9-10).
Apresiasi dan kritik.
Seperti dikhawatirkan Mochtar Lubis, salah satu ciri menonjol pada manusia Indonesia adalah lemah karakternya. Jika karakter yang lemah seperti ini
dibiarkan dan tidak dilatih agar berangsur-angsur menjadi semakin kuat, maka masa depan bangsa juga mengkhawatirkan. Umat Islam, sebagai komponen terbesar bangsa Indonesia seharusnya menjadi umat yang paling menonjol kerakternya. Allah Berfirman, "Kamu adalah umat terbaik, yang dilahirkan untuk manusia. Kamu menyuruh kepada yang makruf dan mencegah dari yang munkar. Dan kamu beriman kepada Allah." (QS 3:110).
Umat Islam adalah umat yang mulia, jika mereka benar-benar beriman (QS 3:139). Umat Islam diserahi tugas mewujudkan rahmatan lil alamin, memakmurkan bumi dan mewujudkan keselamatan bagi manusia, di dunia dan akhirat. Umat Islam akan menjadi saksi atas manusia. Sebab kata Nabi s.a.w, Al Islamu ya'lu wal yu'la alaihi. Islam itu tinggi. Tidak ada yang lebih tinggi dari Islam. Karena itu, memang bisa dikatakan, masa depan umat Islam dan bangsa Indonesia, akan ditentukan oleh berhasil atau tidaknya pendidikan berbasis karakter atas mereka.
Akan tetapi, kita, warga bangsa yang Muslim, perlu bertanya, Pendidikan Karakter seperti Apa yang dimaui oleh pemerintah? Bagaimana pendidikan karakter itu dipandang dari perspektif pandangan alam Islam (Islamic worldview).
Bangsa Indonesia adalah bangsa yang mengaku berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa. Sesuai kesepakatan Bung Hatta dengan para tokoh Islam di Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI), makna Ketuhanan Yang Maha Esa adalah Tauhid. Karena itu, tidak sepatutnya bangsa Indonesia mengembangkan konsep Pendidikan Karakter yang ateis atau yang bersifat sekuler. (Tentang arti Pancasila, lihat Adian Husaini, Pancasila bukan untuk Menindas Hak Konstitusional Umat Islam, (Jakarta: Gema Insani Press, 2009).
Seyogyanya, pendidikan karakter yang dikembangkan di Indonesia, khususnya untuk umat Islam, haruslah pendidikan karakter berbasis Tauhid. Jika bangsa Cina, Jepang, AS, dan sebagainya, maju sebagai hasil pendidikan karakter, tentulah bangsa Indonesia harus memiliki karakter yang lebih baik, tanpa perlu menjadi komunis, ateis, atau sekuler.
Dalam perspektif Tauhid inilah, tampak sejumlah ketidakjelasan dan kerancuan dalam konsep Pendidikan karakter yang saat ini diajukan pemerintah. Misalnya, disebutkan, bahwa Pendidikan karakter ditempatkan sebagai landasan untuk mewujudkan visi pembangunan nasional, yaitu mewujudkan masyarakat berakhlak mulia, bermoral, beretika, berbudaya, dan beradab berdasarkan falsafah Pancasila. Hal ini sekaligus menjadi upaya untuk mendukung perwujudan cita-cita sebagaimana diamanatkan dalam Pancasila dan Pembukaan UUD 1945”
Jika ditanyakan, apa makna ungkapan akhlak mulia, moral, etika, adab, menurut falsafah Pancasila? Apakah Pancasila bisa dijadikan sebagai landasan untuk berakhlak mulia? Jika bisa, bagaimana kita harus berakhlak mulia sesuai Pancasila? Bisakah dijelaskan, bagaimana cara menggosok gigi yang baik menurut falsafah Pancasila?
Juga disebutkan dalam buku Panduan tersebut, bahwa tujuan Pendidikan karakter adalah untuk mengembangkan nilai-nilai yang membentuk karakter bangsa yaitu Pancasila, meliputi : (1) mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia berhati baik, berpikiran baik, dan berprilaku baik; (2) membangun bangsa yang berkarakter Pancasila; (3) mengembangkan potensi warganegara agar memiliki sikap percaya diri, bangga pada bangsa dan negaranya serta mencintai umat manusia.
Menjadikan Pancasila sebagai pedoman pembentukan karakter bangsa akan menimbulkan persoalan serius, karena akan membenturkan Pancasila dengan agama. Pancasila seyogyanya tidak dijadikan sebagai landasan amal, akhlak, atau karakter. Sebab, itu adalah wilayah agama. Jika Pancasila akan ditempatkan sebagai pedoman karakter atau moral, maka akan menjadi pedoman baru, yang berbenturan dengan posisi agama. Hal itu tidak akan berhasil, sebab Pancasila tidak memiliki sosok panutan ideal yang bisa dijadikan contoh dalam pembentukan karakter. Berbeda dengan Islam, yang memiliki suri tauladan yang jelas dan abadi, yaitu Nabi Muhammad saw.
Seharusnya, bangsa Indonesia mau belajar dari kegagalan Orde Baru dalam upaya penempatan Pancasil
Umat Islam adalah umat yang mulia, jika mereka benar-benar beriman (QS 3:139). Umat Islam diserahi tugas mewujudkan rahmatan lil alamin, memakmurkan bumi dan mewujudkan keselamatan bagi manusia, di dunia dan akhirat. Umat Islam akan menjadi saksi atas manusia. Sebab kata Nabi s.a.w, Al Islamu ya'lu wal yu'la alaihi. Islam itu tinggi. Tidak ada yang lebih tinggi dari Islam. Karena itu, memang bisa dikatakan, masa depan umat Islam dan bangsa Indonesia, akan ditentukan oleh berhasil atau tidaknya pendidikan berbasis karakter atas mereka.
Akan tetapi, kita, warga bangsa yang Muslim, perlu bertanya, Pendidikan Karakter seperti Apa yang dimaui oleh pemerintah? Bagaimana pendidikan karakter itu dipandang dari perspektif pandangan alam Islam (Islamic worldview).
Bangsa Indonesia adalah bangsa yang mengaku berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa. Sesuai kesepakatan Bung Hatta dengan para tokoh Islam di Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI), makna Ketuhanan Yang Maha Esa adalah Tauhid. Karena itu, tidak sepatutnya bangsa Indonesia mengembangkan konsep Pendidikan Karakter yang ateis atau yang bersifat sekuler. (Tentang arti Pancasila, lihat Adian Husaini, Pancasila bukan untuk Menindas Hak Konstitusional Umat Islam, (Jakarta: Gema Insani Press, 2009).
Seyogyanya, pendidikan karakter yang dikembangkan di Indonesia, khususnya untuk umat Islam, haruslah pendidikan karakter berbasis Tauhid. Jika bangsa Cina, Jepang, AS, dan sebagainya, maju sebagai hasil pendidikan karakter, tentulah bangsa Indonesia harus memiliki karakter yang lebih baik, tanpa perlu menjadi komunis, ateis, atau sekuler.
Dalam perspektif Tauhid inilah, tampak sejumlah ketidakjelasan dan kerancuan dalam konsep Pendidikan karakter yang saat ini diajukan pemerintah. Misalnya, disebutkan, bahwa Pendidikan karakter ditempatkan sebagai landasan untuk mewujudkan visi pembangunan nasional, yaitu mewujudkan masyarakat berakhlak mulia, bermoral, beretika, berbudaya, dan beradab berdasarkan falsafah Pancasila. Hal ini sekaligus menjadi upaya untuk mendukung perwujudan cita-cita sebagaimana diamanatkan dalam Pancasila dan Pembukaan UUD 1945”
Jika ditanyakan, apa makna ungkapan akhlak mulia, moral, etika, adab, menurut falsafah Pancasila? Apakah Pancasila bisa dijadikan sebagai landasan untuk berakhlak mulia? Jika bisa, bagaimana kita harus berakhlak mulia sesuai Pancasila? Bisakah dijelaskan, bagaimana cara menggosok gigi yang baik menurut falsafah Pancasila?
Juga disebutkan dalam buku Panduan tersebut, bahwa tujuan Pendidikan karakter adalah untuk mengembangkan nilai-nilai yang membentuk karakter bangsa yaitu Pancasila, meliputi : (1) mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia berhati baik, berpikiran baik, dan berprilaku baik; (2) membangun bangsa yang berkarakter Pancasila; (3) mengembangkan potensi warganegara agar memiliki sikap percaya diri, bangga pada bangsa dan negaranya serta mencintai umat manusia.
Menjadikan Pancasila sebagai pedoman pembentukan karakter bangsa akan menimbulkan persoalan serius, karena akan membenturkan Pancasila dengan agama. Pancasila seyogyanya tidak dijadikan sebagai landasan amal, akhlak, atau karakter. Sebab, itu adalah wilayah agama. Jika Pancasila akan ditempatkan sebagai pedoman karakter atau moral, maka akan menjadi pedoman baru, yang berbenturan dengan posisi agama. Hal itu tidak akan berhasil, sebab Pancasila tidak memiliki sosok panutan ideal yang bisa dijadikan contoh dalam pembentukan karakter. Berbeda dengan Islam, yang memiliki suri tauladan yang jelas dan abadi, yaitu Nabi Muhammad saw.
Seharusnya, bangsa Indonesia mau belajar dari kegagalan Orde Baru dalam upaya penempatan Pancasil
a sebagai pedoman amal. Upaya pemerintah Orde Baru untuk menempatkan Pancasila menjadi landasan moral dilakukan melalui sosialisasi dan indoktrinasi Pendidikan Moral Pancasila (PMP) dan Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P4). Tahun 1978, Partai Persatuan Pembangunan menolak pengesahan Tap MPR tentang P4. Tokoh Masyumi Sjafroedin Prawiranegara juga berkirim surat kepada Presiden Soeharto tanggal 7 Juli 1983, yang menyatakan, bahwa tidak ada yang namanya moralitas Pancasila, karena urusan moral sudah ada dalam agama masing-masing. Sjafroedin menekankan, bahwa Pancasila adalah asas negara dan landasan konstitusi. Prof. HM Rasjidi juga berpendapat, P4 membahayakan keberadaan Islam. Misalnya, ajaran tentang kerukunan beragama telah dipergunakan untuk membelenggu umat Islam supaya tidak menentang pemurtadan umat Islam oleh aliran kebatinan dan kristenisasi. Ada juga tokoh yang menulis bahwa P4 memberikan perlindungan terhadap aliran kepercayaan dan menyingkirkan kaitan historis kedudukan umat Islam dalam kerangka ideologi Pancasila. P4 dipandang sebagai manipulasi dan pemusatan penafsiran ideologi negara oleh penguasa tanpa mengaitkan asas-asas ajaran agama, terutama Islam. Memang, sejak tahun 1975, PMP wajib diajarkan di sekolah-sekolah. Dan sejak ditetapkan MPR, maka Penataran P4 diwajibkan untuk pegawai negara dan mahasiswa. Menurut Riswanda Imawan, penataran P4 dimaksudkan untuk mengurangi pentingnya ideologi Islam. Ada juga yang menyebut proses Pancasilaisasi mempunyai implikasi deislamisasi. Juga, menurut Leifer, salah satu fungsi Pancasila adalah untuk melindungi identitas budaya kelompok abangan. Muhammad Natsir menyebut diberlakukannya pelajaran PMP di sekolah-sekolah merupakan bentuk pendangkalan agama dan penyamaan agama dengan Pancasila. (M. Rusli Karim, Negara dan Peminggiran Islam Politik, hal. 179-180).
Jika pendidikan karakter didasarkan kepada falsafah Pancasila yang tidak dijelaskan maknanya, maka sudah barang tentu, pendidikan karakter itu berpijak di atas fondasi yang rapuh. Seharusnya, pendidikan karakter di Indonesia dilaksanakan khususnya bagi kaum Muslim dengan berdasarkan kepada konsep Tauhid. Itulah sebenarnya makna dan konsep yang paling tepat bagi pendidikan Karakter di Indonesia, sesuai dengan makna Ketuhanan Yang Maha Esa dan Kemanusiaan yang adil dan beradab.
Musyawarah Nasional (Munas) Alim Ulama Nahdlatul Ulama di Situbondo, Jawa Timur, 16 Rabiulawwal 1404 H/21 Desember 1983 memutuskan sebuah Deklarasi tentang Hubungan Pancasila dengan Islam, yang antara lain menegaskan: (1) Pancasila sebagai dasar dan falsafah negara Republik Indonesia bukanlah agama, tidak dapat menggantikan agama dan tidak dapat dipergunakan untuk menggantikan kedudukan agama. (2) Sila Ketuhanan Yang Maha Esa sebagai dasar Negara Republik Indonesia menurut pasal 29 ayat 1 Undang-undang Dasar (UUD) 1945, yang menjiwai sila yang lain, mencerminkan tauhid menurut pengertian keimanan dalam Islam. (3) Bagi Nahdlatul Ulama (NU) Islam adalah akidah dan syariah, meliputi aspek hubungan manusia dengan Allah dan hubungan antarmanusia. (Lihat, pengantar K.H. A. Mustofa Bisri berjudul Pancasila Kembali untuk buku Asad Said Ali, Negara Pancasila, Jalan Kemaslahatan Berbangsa, (Jakarta: LP3ES, 2009). Lihat juga, Munawar Fuad Noeh dan Mastuki HS (ed), Menghidupkan Pemikiran KH Achmad Siddiq, (Jakarta: Pustaka Gramedia Utama, 2002), hal. 118-145).
M. Ali Haidar, dalam bukunya, Nahdatul Ulama dan Islam di Indonesia, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1994), memberikan komentar terhadap keputusan Munas Alim Ulama tersebut: Penegasan ini sebenarnya bukannya tidak terduga. Seperti dikemukakan Hatta ketika bertemu dengan beberapa pemimpin Islam tanggal 18 Agustus 1945 menjelang sidang PPKI untuk mengesahkan UUD, mereka dapat menerima penghapusan tujuh kata yang tercantum dalam Piagam Jakarta, karena dua alasan. Pertama, bahwa Ketuhanan Yang Maha Esa mencerminkan monoteisme tauhid dalam Islam. Kedua, demi menjaga kesatuan dan keutuhan wilayah negara yang baru diproklamasikan sehari sebelumnya Salah seorang yang dipandang Hat
Jika pendidikan karakter didasarkan kepada falsafah Pancasila yang tidak dijelaskan maknanya, maka sudah barang tentu, pendidikan karakter itu berpijak di atas fondasi yang rapuh. Seharusnya, pendidikan karakter di Indonesia dilaksanakan khususnya bagi kaum Muslim dengan berdasarkan kepada konsep Tauhid. Itulah sebenarnya makna dan konsep yang paling tepat bagi pendidikan Karakter di Indonesia, sesuai dengan makna Ketuhanan Yang Maha Esa dan Kemanusiaan yang adil dan beradab.
Musyawarah Nasional (Munas) Alim Ulama Nahdlatul Ulama di Situbondo, Jawa Timur, 16 Rabiulawwal 1404 H/21 Desember 1983 memutuskan sebuah Deklarasi tentang Hubungan Pancasila dengan Islam, yang antara lain menegaskan: (1) Pancasila sebagai dasar dan falsafah negara Republik Indonesia bukanlah agama, tidak dapat menggantikan agama dan tidak dapat dipergunakan untuk menggantikan kedudukan agama. (2) Sila Ketuhanan Yang Maha Esa sebagai dasar Negara Republik Indonesia menurut pasal 29 ayat 1 Undang-undang Dasar (UUD) 1945, yang menjiwai sila yang lain, mencerminkan tauhid menurut pengertian keimanan dalam Islam. (3) Bagi Nahdlatul Ulama (NU) Islam adalah akidah dan syariah, meliputi aspek hubungan manusia dengan Allah dan hubungan antarmanusia. (Lihat, pengantar K.H. A. Mustofa Bisri berjudul Pancasila Kembali untuk buku Asad Said Ali, Negara Pancasila, Jalan Kemaslahatan Berbangsa, (Jakarta: LP3ES, 2009). Lihat juga, Munawar Fuad Noeh dan Mastuki HS (ed), Menghidupkan Pemikiran KH Achmad Siddiq, (Jakarta: Pustaka Gramedia Utama, 2002), hal. 118-145).
M. Ali Haidar, dalam bukunya, Nahdatul Ulama dan Islam di Indonesia, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1994), memberikan komentar terhadap keputusan Munas Alim Ulama tersebut: Penegasan ini sebenarnya bukannya tidak terduga. Seperti dikemukakan Hatta ketika bertemu dengan beberapa pemimpin Islam tanggal 18 Agustus 1945 menjelang sidang PPKI untuk mengesahkan UUD, mereka dapat menerima penghapusan tujuh kata yang tercantum dalam Piagam Jakarta, karena dua alasan. Pertama, bahwa Ketuhanan Yang Maha Esa mencerminkan monoteisme tauhid dalam Islam. Kedua, demi menjaga kesatuan dan keutuhan wilayah negara yang baru diproklamasikan sehari sebelumnya Salah seorang yang dipandang Hat
ta berpengaruh dalam kesepakatan ini ialah Wachid Hasjim, tokoh NU yang memiliki reputasi nasional ketika itu. Jadi rumusan deklarasi itu hakekatnya menegaskan kembali apa yang telah disepakati sejak negara ini baru dilahirkan tanggal 18 Agustus 1945 yang lalu. (hal. 285-286).
Sebenarnya, terlepas dari agama dan ideologi masing-masing, harusnya bangsa Indonesia mau bersikap jujur, bahwa rumusan Pancasila yang berlaku sekarang ini, tidaklah terpisahkan dari rumusan Pembukaan UUD 1945, yang kini berlaku kembali sebagai hasil Dekrit Presiden 5 Juli 1959. Dekrit itu menegaskan bahwa Piagam Jakarta adalah menjiwai dan merupakan satu kesatuan dengan UUD 1945. Karena itu, dalam memahami sila Pertama, misalnya, tidak boleh dilepaskan dari alinea ketiga Pembukaan UUD 1945: Atas berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa. Jadi, sila pertama, menurut berbagai tokoh organisasi Islam, bisa dikatakan sebagai penegasan konsep Tauhid dalam Islam, sebab dalam alinea ketiga jelas-jelas disebutkan nama Tuhan yang Esa yaitu Allah.
Dalam buku Hidup Itu Berjuang, Kasman Singodimedjo 75 Tahun, tokoh Muhammadiyah, Prof. Kasman Singodimedjo menegaskan: Dan segala tafsiran dari Ketuhanan Yang Maha Esa itu, baik tafsiran menurut historisnya maupun menurut artinya dan pengertiannya sesuai betul dengan tafsiran yang diberikan oleh Islam. (Lihat, Hidup Itu Berjuang, Kasman Singodimedjo 75 Tahun (Jakarta: Bulan Bintang, 1982), hal. 123-125).
Karena itu, sudah sepatutnya, pendidikan karakter di Indonesia memang didasarkan kepada konsep Tauhid, sehingga memiliki landasan, konsep, dan teladan (uswatun hasanah) yang jelas. Sebagai aplikasinya, misalnya, karakter toleransi, harus diberi batasan, bahwa umat Islam tidak boleh bertoleran terhadap kemusyrikan dan kemunkaran. Dalam tataran kebangsaan, sudah sepatutnya, negara tidak menfasilitasi berkembangnya paham-paham syirik yang bertentangan dengan konsep Tauhid. Maka, keliru, jika atas nama Pluralisme dan multikulturalisme, siswa diajarkan agar bertoleran terhadap segala bentuk aliran sesat yang jelas-jelas merupakan suatu kemungkaran.
Yang benar adalah, negara wajib melindungi segenap warganya, khususnya warga Muslim, agar tidak mengikuti paham syirik dan kemungkaran. Yang terangkit penyakit syirik, diupayakan agar bertobat. Bukan malah dikembangkan dengan alasan itu merupakan local wisdom. Anak-anak Muslim perlu ditanamkan untuk memiliki karakter yang kuat dalam bertoleransi, tetapi tanpa merusak keimanannya dan tetap didorong untuk aktif menjalankan kewajiban dakwah, yakni malaksanakan amar maruh nahi munkar.
Jadi, kita bisa menyimpulkan, bahwa sebenarnya tidak ada yang namanya karakter Pancasila. Pendidikan karakter di Indonesia sepatutnya dikembalikan kepada agama masing-masing. Serahkan pembentukan karakter anak-anak Muslim pada orang tua dan para guru yang muslim; menggunakan konsep pendidikan akhlak dalam Islam dan menjadikan Nabi Muhammad saw sebagai sosok teladan yang agung. Didiklah anak-anak Muslim agar mereka memiliki karakter mulia dalam Islam, seperti pemberani (syajaah), cinta pengorbanan, bermartabat, jujur, cinta kebersihan, cinta ilmu, cinta kerja keras, punya rasa malu, cinta sesama, dan sebagainya, dengan berdasar kepada ajaran Islam.
Dengan cara itu sebenarnya Pancasila sudah ditegakkan; tidak perlu ada yang namanya karakter Pancasila. Tidak akan ditemukan manusia Indonesia yang bisa mengamalkan Pancasila 100 persen, yang seluruh ucapan dan perbuatannya bisa dijadikan contoh keteladanan. Kita memerintahkan anak kita menolong fakir miskin, menyantuni anak yatim, karena itu perintah Allah SWT, sesuai ajaran Islam; bukan karena perintah Pancasila. Dan yakinlah kita, di akhirat nanti, tidak akan ditanya oleh Allah, apakah kita sudah mengamalkan Pancasila atau tidak! Wallahu alam. (Depok, 1 November 2013)
Sebenarnya, terlepas dari agama dan ideologi masing-masing, harusnya bangsa Indonesia mau bersikap jujur, bahwa rumusan Pancasila yang berlaku sekarang ini, tidaklah terpisahkan dari rumusan Pembukaan UUD 1945, yang kini berlaku kembali sebagai hasil Dekrit Presiden 5 Juli 1959. Dekrit itu menegaskan bahwa Piagam Jakarta adalah menjiwai dan merupakan satu kesatuan dengan UUD 1945. Karena itu, dalam memahami sila Pertama, misalnya, tidak boleh dilepaskan dari alinea ketiga Pembukaan UUD 1945: Atas berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa. Jadi, sila pertama, menurut berbagai tokoh organisasi Islam, bisa dikatakan sebagai penegasan konsep Tauhid dalam Islam, sebab dalam alinea ketiga jelas-jelas disebutkan nama Tuhan yang Esa yaitu Allah.
Dalam buku Hidup Itu Berjuang, Kasman Singodimedjo 75 Tahun, tokoh Muhammadiyah, Prof. Kasman Singodimedjo menegaskan: Dan segala tafsiran dari Ketuhanan Yang Maha Esa itu, baik tafsiran menurut historisnya maupun menurut artinya dan pengertiannya sesuai betul dengan tafsiran yang diberikan oleh Islam. (Lihat, Hidup Itu Berjuang, Kasman Singodimedjo 75 Tahun (Jakarta: Bulan Bintang, 1982), hal. 123-125).
Karena itu, sudah sepatutnya, pendidikan karakter di Indonesia memang didasarkan kepada konsep Tauhid, sehingga memiliki landasan, konsep, dan teladan (uswatun hasanah) yang jelas. Sebagai aplikasinya, misalnya, karakter toleransi, harus diberi batasan, bahwa umat Islam tidak boleh bertoleran terhadap kemusyrikan dan kemunkaran. Dalam tataran kebangsaan, sudah sepatutnya, negara tidak menfasilitasi berkembangnya paham-paham syirik yang bertentangan dengan konsep Tauhid. Maka, keliru, jika atas nama Pluralisme dan multikulturalisme, siswa diajarkan agar bertoleran terhadap segala bentuk aliran sesat yang jelas-jelas merupakan suatu kemungkaran.
Yang benar adalah, negara wajib melindungi segenap warganya, khususnya warga Muslim, agar tidak mengikuti paham syirik dan kemungkaran. Yang terangkit penyakit syirik, diupayakan agar bertobat. Bukan malah dikembangkan dengan alasan itu merupakan local wisdom. Anak-anak Muslim perlu ditanamkan untuk memiliki karakter yang kuat dalam bertoleransi, tetapi tanpa merusak keimanannya dan tetap didorong untuk aktif menjalankan kewajiban dakwah, yakni malaksanakan amar maruh nahi munkar.
Jadi, kita bisa menyimpulkan, bahwa sebenarnya tidak ada yang namanya karakter Pancasila. Pendidikan karakter di Indonesia sepatutnya dikembalikan kepada agama masing-masing. Serahkan pembentukan karakter anak-anak Muslim pada orang tua dan para guru yang muslim; menggunakan konsep pendidikan akhlak dalam Islam dan menjadikan Nabi Muhammad saw sebagai sosok teladan yang agung. Didiklah anak-anak Muslim agar mereka memiliki karakter mulia dalam Islam, seperti pemberani (syajaah), cinta pengorbanan, bermartabat, jujur, cinta kebersihan, cinta ilmu, cinta kerja keras, punya rasa malu, cinta sesama, dan sebagainya, dengan berdasar kepada ajaran Islam.
Dengan cara itu sebenarnya Pancasila sudah ditegakkan; tidak perlu ada yang namanya karakter Pancasila. Tidak akan ditemukan manusia Indonesia yang bisa mengamalkan Pancasila 100 persen, yang seluruh ucapan dan perbuatannya bisa dijadikan contoh keteladanan. Kita memerintahkan anak kita menolong fakir miskin, menyantuni anak yatim, karena itu perintah Allah SWT, sesuai ajaran Islam; bukan karena perintah Pancasila. Dan yakinlah kita, di akhirat nanti, tidak akan ditanya oleh Allah, apakah kita sudah mengamalkan Pancasila atau tidak! Wallahu alam. (Depok, 1 November 2013)
1001 Soal Kehidupan karya Buya Hamka. Harga 115rb. Pemesanan silahkan sms/whatsapp ke 087878147997.
Syukran...
Syukran...