dalah ‘kiblat’ untuk mencapai kemajuan. Abdullah Cevdet, seorang pendiri CUP, mengatakan, ‘Yang ada hanya satu peradaban, dan itu adalah peradaban Eropa. Karena itu, kita harus meminjam peradaban Barat, baik bunga mawar maupun durinya sekaligus.’
Dalam buku The Young Turk in Position yang diterbitkan Oxford Univeristy Press (1955), cendekiawan Turki M. Sukru Hanioglu mencatat bahwa kelompok ini berideologi positivesme, materialisme, dan nasionalisme. Hebatnya CUP juga memiliki kader-kader di tentara Ustmani, yang kemudian memegang kekuasaan Turki Modern. Salah satunya adalah Musthafa Kemal Ataturk.
Menurut Prof. Halil Inalcik, ‘Revolusi Kemal Atatturk’ mengambil konsep sosial Darwinsm. Karena itu, setelah berkuasa, Ataturk mem-Barat-kan Turki sepenuhnya, sampai soal-soal pakaian dan bahasa. Soal khilafah, Atatturk berpendapat, ‘Gagasan satu kekhalifahan, yang menjalankan otoritas religius bagi seluruh umat Islam, adalah gagasan yang diambil dari khayalan, bukan dai kenyataan.’
Gerakan SUP di akhir abad ke 19 dan awal abad ke 20 sangat penting dicermati, karena mereka mampu menggunakan ‘kata-kata’ untuk melumpuhkan :’kekuasaan’ Sultan Utsmani. Terutama, dengan kolaborasi dengan gerakan Zionis, setelah Kongfres Zionis Pertama (1897). Cevdet dan sejumlah aktivis CUP memang simpatisan Yahudi dan gerakan Zionis.
‘Freedom and Liberation’
Tokoh-tokoh CUP juga berkolaborasi dengan Freemansonry di Turki. Menurut Dr. Sukru Hanioglu, dosen Universitas Islambul, saat itu aktivis Freemansonry memiliki hubungan erat dengan kelompok The Ottoman Freedom Society (Osmanli Hurriet Cemiyati) yang dibentuk tahun 1906. Tokoh Freemanson, Celanthi Scalieri, adalah pendiri loji The Lights of the East (Envar-I Sarkiye) yang beranggotakan sejumlah politisi, jurnalis, dan agamawan terkemuka (seperti Ali Sefkati, pemimpin redaksi Koran Istiqlal, dan Pangeran Muhammad Ali Halim, pemimpin Freemansonry Mesir).
Di sinilah nucleus faksi Turki Muda lahir. Gagasan utamanya mengelaborasikan kata Freedom (kemerdekaan/kebebasan) dan Liberation (pembebasan). Gerakan Scalieri mendapat dukungan sejumlah negara kuat, terutama Inggris. Itu bias dipahami, karena sejak ratusan tahun, Utsmani dianggap sebagai ancaman bagi Kristen Barat. Pengaruh Freemansonry terhadap gerakan liberal dan kebebasan Turki sangat kuat, sehingga Sukltan pun tidak berdaya.
Gerakan pembebasan di Turki ini mendapat inspirasi kuat dari dua peristiwa besar, yaitu Revolusi Prancis dan kemerdekaan Amerika Serikat. A New Encyclopedia of Fremansonry (1996) mencatat bahwa George Washington, Thomas Jefferson, John Hancoc, dan Benjamin Franklin adalah aktivis Freemansonry. Begitu juga tokoh gerakan pembebasan Amerika Latin, Simon Bolivar, dan Jose Rizal di Filipina.
Ide pokok Freemansonry adalah ‘Liberty, Egality and Fraternity’. Di bawah jargon inilah, jutaan orang ‘tertarik’ untuk melakukan apa yang disebut sebagai ‘kemerdekaan sejati bagi seluruh rakyat dari tirani politik maupun tirani sistem kerohanian’.
Tampaknya waktu itu Sultan Abdul Hamid II diposisikan sebagai ‘kekuatan tiran’. Dalam konteks gerakan pembebasan pemikiran, yang diposisikan sebagai tirani sistem kerohanian adalah ‘teks-teks Al-Quran dan Sunnah’, juga khazanah-khazanah Islam klasik karya ulama Islam terkemuka. Masih ditelusuri lebih jauh, seberapa jauh hubungan antara gerakan liberal dalam konteks pemikiran Islam dengan gerakan Freemasonry. Yang jelas, Rene Guenon, guru Frithjof Schuon (pelopor gagasan pluralisme) misalnya, adalah aktivis Freemasonry.
Juga masih diselidiki, adakah misalnya pengaruh aktivitas Jamaluddin Al-Afghani di Freemasonry dengan pemikiran Muhammad Abduh atau tafsir al-Manar-nya Rasyid Ridla Yang jelas, jargon-jargon pembebasan dari ‘teks’, dan dekonstruksi tafsir Quran (lalu menggantinya dengan metode hermeneutika yang banyak digunakan dalam tradisi Bibel), cukup sering terungkap.
Bahkan, bagi Mohamed Arkoun misalnya, Mushaf Utsmani diposisikan sebagai ‘tiran’ yang perlu dipersoalkan. Kata Arkoun, ‘‘persoalannya, berkaitan dengan proses historis pengumpulan Al-Quran menjadi mushaf res
Dalam buku The Young Turk in Position yang diterbitkan Oxford Univeristy Press (1955), cendekiawan Turki M. Sukru Hanioglu mencatat bahwa kelompok ini berideologi positivesme, materialisme, dan nasionalisme. Hebatnya CUP juga memiliki kader-kader di tentara Ustmani, yang kemudian memegang kekuasaan Turki Modern. Salah satunya adalah Musthafa Kemal Ataturk.
Menurut Prof. Halil Inalcik, ‘Revolusi Kemal Atatturk’ mengambil konsep sosial Darwinsm. Karena itu, setelah berkuasa, Ataturk mem-Barat-kan Turki sepenuhnya, sampai soal-soal pakaian dan bahasa. Soal khilafah, Atatturk berpendapat, ‘Gagasan satu kekhalifahan, yang menjalankan otoritas religius bagi seluruh umat Islam, adalah gagasan yang diambil dari khayalan, bukan dai kenyataan.’
Gerakan SUP di akhir abad ke 19 dan awal abad ke 20 sangat penting dicermati, karena mereka mampu menggunakan ‘kata-kata’ untuk melumpuhkan :’kekuasaan’ Sultan Utsmani. Terutama, dengan kolaborasi dengan gerakan Zionis, setelah Kongfres Zionis Pertama (1897). Cevdet dan sejumlah aktivis CUP memang simpatisan Yahudi dan gerakan Zionis.
‘Freedom and Liberation’
Tokoh-tokoh CUP juga berkolaborasi dengan Freemansonry di Turki. Menurut Dr. Sukru Hanioglu, dosen Universitas Islambul, saat itu aktivis Freemansonry memiliki hubungan erat dengan kelompok The Ottoman Freedom Society (Osmanli Hurriet Cemiyati) yang dibentuk tahun 1906. Tokoh Freemanson, Celanthi Scalieri, adalah pendiri loji The Lights of the East (Envar-I Sarkiye) yang beranggotakan sejumlah politisi, jurnalis, dan agamawan terkemuka (seperti Ali Sefkati, pemimpin redaksi Koran Istiqlal, dan Pangeran Muhammad Ali Halim, pemimpin Freemansonry Mesir).
Di sinilah nucleus faksi Turki Muda lahir. Gagasan utamanya mengelaborasikan kata Freedom (kemerdekaan/kebebasan) dan Liberation (pembebasan). Gerakan Scalieri mendapat dukungan sejumlah negara kuat, terutama Inggris. Itu bias dipahami, karena sejak ratusan tahun, Utsmani dianggap sebagai ancaman bagi Kristen Barat. Pengaruh Freemansonry terhadap gerakan liberal dan kebebasan Turki sangat kuat, sehingga Sukltan pun tidak berdaya.
Gerakan pembebasan di Turki ini mendapat inspirasi kuat dari dua peristiwa besar, yaitu Revolusi Prancis dan kemerdekaan Amerika Serikat. A New Encyclopedia of Fremansonry (1996) mencatat bahwa George Washington, Thomas Jefferson, John Hancoc, dan Benjamin Franklin adalah aktivis Freemansonry. Begitu juga tokoh gerakan pembebasan Amerika Latin, Simon Bolivar, dan Jose Rizal di Filipina.
Ide pokok Freemansonry adalah ‘Liberty, Egality and Fraternity’. Di bawah jargon inilah, jutaan orang ‘tertarik’ untuk melakukan apa yang disebut sebagai ‘kemerdekaan sejati bagi seluruh rakyat dari tirani politik maupun tirani sistem kerohanian’.
Tampaknya waktu itu Sultan Abdul Hamid II diposisikan sebagai ‘kekuatan tiran’. Dalam konteks gerakan pembebasan pemikiran, yang diposisikan sebagai tirani sistem kerohanian adalah ‘teks-teks Al-Quran dan Sunnah’, juga khazanah-khazanah Islam klasik karya ulama Islam terkemuka. Masih ditelusuri lebih jauh, seberapa jauh hubungan antara gerakan liberal dalam konteks pemikiran Islam dengan gerakan Freemasonry. Yang jelas, Rene Guenon, guru Frithjof Schuon (pelopor gagasan pluralisme) misalnya, adalah aktivis Freemasonry.
Juga masih diselidiki, adakah misalnya pengaruh aktivitas Jamaluddin Al-Afghani di Freemasonry dengan pemikiran Muhammad Abduh atau tafsir al-Manar-nya Rasyid Ridla Yang jelas, jargon-jargon pembebasan dari ‘teks’, dan dekonstruksi tafsir Quran (lalu menggantinya dengan metode hermeneutika yang banyak digunakan dalam tradisi Bibel), cukup sering terungkap.
Bahkan, bagi Mohamed Arkoun misalnya, Mushaf Utsmani diposisikan sebagai ‘tiran’ yang perlu dipersoalkan. Kata Arkoun, ‘‘persoalannya, berkaitan dengan proses historis pengumpulan Al-Quran menjadi mushaf res
mi kian lama kian tidak masuk akal di bawah tekanan resmi khalifah, karena Al-Quran telah digunakan sejak permulaan negara Islam untuk melegitimasi kekuasaan dan menyatukan ummat.’
Kekuatan ‘kata’ dan ‘kasih’ terbukti ampuh dalam menaklukkan kekuatan-kekuatan Islam, yang biasanya disimbolkan dengan ungkapan tidak simpatik seperti ‘ortodoks’, ‘beku’, ‘berorientasi masa lalu’, dan ‘emosional’. Kolaborasi cendekiawan Turki, Kristen-Eropa, dan Zionis-Yahudi berhasil menggulung Turki Utsmani. Ironisnya, dua dari empat orang yang menyerahkan surat pemecatan Sultan Abdul Hamid II (1909) adalah non-Muslim. Salah satunya, Emmanuel Karasu (tokoh Yahudi).
Teror fisik seperti cluster bomb-nya Amerika dalam invasi di Iraq, mudah memancing reaksi besar. Ratusan ribu aktivis Islam turun ke jalan, menentang serangan AS ke Irak. Namun kalau menghadapi teror ‘kata’ berselubung ‘kasih’, kaum Muslimin biasanya terlambat sadar. Dampaknya pun biasanya memakan waktu lama. Ummat Islam akan tenang-tenang saja meskipun setiap detik diteror dengan kata-kata indah itu. Bisa melalui media massa, atau ucapan tokoh-tokoh ummat sendiri. Apakah sejarah masih akan berulang untuk kaum Muslim Indonesia’ Wallahu a’lam.* ( 25 Juni 2003).
Kekuatan ‘kata’ dan ‘kasih’ terbukti ampuh dalam menaklukkan kekuatan-kekuatan Islam, yang biasanya disimbolkan dengan ungkapan tidak simpatik seperti ‘ortodoks’, ‘beku’, ‘berorientasi masa lalu’, dan ‘emosional’. Kolaborasi cendekiawan Turki, Kristen-Eropa, dan Zionis-Yahudi berhasil menggulung Turki Utsmani. Ironisnya, dua dari empat orang yang menyerahkan surat pemecatan Sultan Abdul Hamid II (1909) adalah non-Muslim. Salah satunya, Emmanuel Karasu (tokoh Yahudi).
Teror fisik seperti cluster bomb-nya Amerika dalam invasi di Iraq, mudah memancing reaksi besar. Ratusan ribu aktivis Islam turun ke jalan, menentang serangan AS ke Irak. Namun kalau menghadapi teror ‘kata’ berselubung ‘kasih’, kaum Muslimin biasanya terlambat sadar. Dampaknya pun biasanya memakan waktu lama. Ummat Islam akan tenang-tenang saja meskipun setiap detik diteror dengan kata-kata indah itu. Bisa melalui media massa, atau ucapan tokoh-tokoh ummat sendiri. Apakah sejarah masih akan berulang untuk kaum Muslim Indonesia’ Wallahu a’lam.* ( 25 Juni 2003).
TANTANGAN ORIENTALISME
Oleh: Dr. Syamsuddin Arif
Pada hari Rabu, 12 Mei 2010 yang lalu, kampus International Institute of Islamic Thought and Civilization (ISTAC), Kuala Lumpur, meminta saya presentasi mengenai tantangan Orientalis dalam studi Islam dewasa ini: “Islamic Studies Today: The Challenge of Orientalists”.
Suasana diskusi di ruang seminar yang dingin itu lumayan hangat. Peserta yang hadir sebagian besar mahasiswa S2 dan S3 dari berbagai fakultas; studi Islam, hukum, pendidikan, ekonomi, dan sosial-politik di International Islamic University Malaysia (IIUM). Ada juga beberapa profesor, dosen senior, peneliti serta beberapa perwakilan lembaga swadaya masyarakat (NGO) yang tampak hadir. Ini adalah kali kedua dalam seri kuliah bulanan di ISTAC yang mengambil tema ”Islamic Thought after Post-Modernism”.
Istilah ‘Orientalis’ biasanya ditujukan kepada para Ilmuan Barat yang melakukan kajian terhadap Islam. Bidang kajian mereka tidak terbatas hanya soal agama Islam, tetapi mencakup budaya, bahasa, dan sejarah. Mereka juga memperluas kajiannya dalam peradaban-peradaban dunia yang lain seperti India, Cina, Mesopotamia, dan Mesir. Kepentingan mereka dalam mengkaji peradaban Timur juga didorong semangat zaman Pencerahan (Aufklärung) dengan semboyan terkenalnya “Ex Oriente Lux” (Dari Timur muncul cahaya).
Kecenderungan orang-orang Barat mengkaji Islam semakin besar terutama sesudah Perang Salib yang meletus pada abad kesebelas Masehi. Mulailah mereka terjemahkan buku-buku orang Islam dari bahasa Arab ke bahasa Latin. Pada tahun 1143 al-Qur’an selesai diterjemahkan ke dalam bahasa Latin oleh Robert of Ketton dengan judul ’Lex Mahumetis Pseudoprophete.’ Proyek ini diselesaikan di Spanyol atas bantuan Petrus Venerabilis, ketua biara Cluny di Perancis. Demikian pula dengan karya-karya intelektual Muslim seperti kitab al-Syifa (ilmu filsafat), al-Qanun fi at-Tibb (ilmu kedokteran), at-Tasrif (ilmu bedah atau chirurgy), dan kitab al-Zij (ilmu astronomi).
Dari gerakan penerjemahan, pada abad ke-16 mulailah universitas-universitas tua di Eropa mengajarkan bahasa Arab dan bahasa-bahasa Islam lainnya seperti Parsi dan Turki. Di Paris studi orientalis dibuka pada tahun 1535, di Leiden pada tahun 1613, diikuti Oxford dan Cambridge pada tahun 1636, sesudah Salamanca, Roma, dan Bologna.
Pada awalnya, orang-orang Barat belajar Islam dalam rangka kebangkitan kembali yang kemudian mereka sebut Renaissance. Namun, tujuan mereka tidak sekedar untuk itu, mereka juga mengekpresikan kejahatan agama Islam kepada publik yang mereka salahpahami dari ajaran-ajarannya.
Semangat mempelajari agama Islam tampak juga pada hubungannya dengan kolonialisasi. Hal ini bisa dilihat pada saat Napoleon Bonaparte datang ke Mesir (1789 M) dengan membawa pasukan dan para ilmuan yang ditugaskan mempelajari bahasa, agama, dan budaya orang-orang Mesir. Hubungan ini makin rapat pada saat penjajahan Belanda di Indonesia yang menjadikan studi Islam sebagai alat untuk menaklukkan daerah Aceh seperti diperlihatkan Snouck Hurgronje.
Hampir tak ada bidang yang luput dari kajian para orientalis. Pada abad ke-19 beberapa orientalis mulai melihat pentingnya metodologi yang telah diterapkan pada Bibel untuk diaplikasikan dalam studi Islam khususnya metode kritik sejarah. Berbagai teori kajian Islam dan sejarahnya juga dikenalkan kepada kaum Muslim, terutama pada cendekiawannya.
Muncul pelbagai teori yang kerap dipakai Orientalis, semisal teori pengaruh (theories of influece), teori asal-asul (theories of origins), teori peminjaman (theories of borrowing), teori evolusi (theories of evolution), dan teori perkembangan (theories of development). Teori-teori ini diterapkan oleh Orientalis sebagaimana tampak dalam karya-karya mereka. Contohnya A Literary History of the Arabs oleh Reynold Nicholson, Judaism in Islam oleh Abraham I. Katsch, Quranic Studies oleh John Wansbrough dan sebagainya. Bahkan metode mereka telah mempengaruhi segelintir intelektual Indonesia, contohnya yang hendak membuat Edisi Kritis al-Qur’an.
Oleh: Dr. Syamsuddin Arif
Pada hari Rabu, 12 Mei 2010 yang lalu, kampus International Institute of Islamic Thought and Civilization (ISTAC), Kuala Lumpur, meminta saya presentasi mengenai tantangan Orientalis dalam studi Islam dewasa ini: “Islamic Studies Today: The Challenge of Orientalists”.
Suasana diskusi di ruang seminar yang dingin itu lumayan hangat. Peserta yang hadir sebagian besar mahasiswa S2 dan S3 dari berbagai fakultas; studi Islam, hukum, pendidikan, ekonomi, dan sosial-politik di International Islamic University Malaysia (IIUM). Ada juga beberapa profesor, dosen senior, peneliti serta beberapa perwakilan lembaga swadaya masyarakat (NGO) yang tampak hadir. Ini adalah kali kedua dalam seri kuliah bulanan di ISTAC yang mengambil tema ”Islamic Thought after Post-Modernism”.
Istilah ‘Orientalis’ biasanya ditujukan kepada para Ilmuan Barat yang melakukan kajian terhadap Islam. Bidang kajian mereka tidak terbatas hanya soal agama Islam, tetapi mencakup budaya, bahasa, dan sejarah. Mereka juga memperluas kajiannya dalam peradaban-peradaban dunia yang lain seperti India, Cina, Mesopotamia, dan Mesir. Kepentingan mereka dalam mengkaji peradaban Timur juga didorong semangat zaman Pencerahan (Aufklärung) dengan semboyan terkenalnya “Ex Oriente Lux” (Dari Timur muncul cahaya).
Kecenderungan orang-orang Barat mengkaji Islam semakin besar terutama sesudah Perang Salib yang meletus pada abad kesebelas Masehi. Mulailah mereka terjemahkan buku-buku orang Islam dari bahasa Arab ke bahasa Latin. Pada tahun 1143 al-Qur’an selesai diterjemahkan ke dalam bahasa Latin oleh Robert of Ketton dengan judul ’Lex Mahumetis Pseudoprophete.’ Proyek ini diselesaikan di Spanyol atas bantuan Petrus Venerabilis, ketua biara Cluny di Perancis. Demikian pula dengan karya-karya intelektual Muslim seperti kitab al-Syifa (ilmu filsafat), al-Qanun fi at-Tibb (ilmu kedokteran), at-Tasrif (ilmu bedah atau chirurgy), dan kitab al-Zij (ilmu astronomi).
Dari gerakan penerjemahan, pada abad ke-16 mulailah universitas-universitas tua di Eropa mengajarkan bahasa Arab dan bahasa-bahasa Islam lainnya seperti Parsi dan Turki. Di Paris studi orientalis dibuka pada tahun 1535, di Leiden pada tahun 1613, diikuti Oxford dan Cambridge pada tahun 1636, sesudah Salamanca, Roma, dan Bologna.
Pada awalnya, orang-orang Barat belajar Islam dalam rangka kebangkitan kembali yang kemudian mereka sebut Renaissance. Namun, tujuan mereka tidak sekedar untuk itu, mereka juga mengekpresikan kejahatan agama Islam kepada publik yang mereka salahpahami dari ajaran-ajarannya.
Semangat mempelajari agama Islam tampak juga pada hubungannya dengan kolonialisasi. Hal ini bisa dilihat pada saat Napoleon Bonaparte datang ke Mesir (1789 M) dengan membawa pasukan dan para ilmuan yang ditugaskan mempelajari bahasa, agama, dan budaya orang-orang Mesir. Hubungan ini makin rapat pada saat penjajahan Belanda di Indonesia yang menjadikan studi Islam sebagai alat untuk menaklukkan daerah Aceh seperti diperlihatkan Snouck Hurgronje.
Hampir tak ada bidang yang luput dari kajian para orientalis. Pada abad ke-19 beberapa orientalis mulai melihat pentingnya metodologi yang telah diterapkan pada Bibel untuk diaplikasikan dalam studi Islam khususnya metode kritik sejarah. Berbagai teori kajian Islam dan sejarahnya juga dikenalkan kepada kaum Muslim, terutama pada cendekiawannya.
Muncul pelbagai teori yang kerap dipakai Orientalis, semisal teori pengaruh (theories of influece), teori asal-asul (theories of origins), teori peminjaman (theories of borrowing), teori evolusi (theories of evolution), dan teori perkembangan (theories of development). Teori-teori ini diterapkan oleh Orientalis sebagaimana tampak dalam karya-karya mereka. Contohnya A Literary History of the Arabs oleh Reynold Nicholson, Judaism in Islam oleh Abraham I. Katsch, Quranic Studies oleh John Wansbrough dan sebagainya. Bahkan metode mereka telah mempengaruhi segelintir intelektual Indonesia, contohnya yang hendak membuat Edisi Kritis al-Qur’an.
Perbedaan Studi Islam yang dilakukan Orientalis dan kaum Muslim dapat dilihat dari cara mereka berasumsi. Orientalis menjadikan Islam sebagai objek penelitian tanpa mempedulikan kebenaran yang ada di dalamnya. Mereka mengkaji sekadar untuk penelitian, tanpa mempertimbangkan orang-orang Islam yang memeluknya dan kebenaran yang diyakini dari agama ini. Selain itu, mereka juga melihat agama Islam sebagai fenomena sosial atau literatur yang layak dikaji melalui pendekatan budaya, sosiologi, antropologi, sejarah, politik dan perbandingan agama. Dengan begitu, mereka membagi Islam dalam dua kategori: ‘Islam normatif’ (yakni segala norma dan aturan keagamaan yang ditentukan oleh Allah), dan ‘Islam aktual’ (ajaran yang dilakukan oleh orang-orang Islam di berbagai tempat). Akibatnya muncul kategori-kategori aneh semacam Islam klasik, Islam Abad Pertengahan, Islam Fundamentalis, Islam Moderat, Islam Radikal, dan Islam liberal. Semua ini adalah cara pandang yang tidak betul.
Untuk membendung serbuan intelektual yang sangat masif dari kaum orientalis, kita memerlukan cendekiawan-cendekiawan Muslim dengan basis tradisi keilmuan Islam yang kuat, akan tetapi juga menguasai wacana dan strategi orientalis dalam studi Islam, punya rasa percaya diri sebagai Muslim dan mau bersikap kritis terhadap kajian orientalis. Orang-orang seperti Prof. Rasjidi almarhum, Prof. Mustafa al-Azami, atau Prof. Naquib al-Attas bisa disebut sebagai contoh dalam hal ini. Kini ditunggu munculnya sarjana-sarjana Muslim yang melanjutkan dan mengembangkan apa yang telah mereka rintis. (***)
Untuk membendung serbuan intelektual yang sangat masif dari kaum orientalis, kita memerlukan cendekiawan-cendekiawan Muslim dengan basis tradisi keilmuan Islam yang kuat, akan tetapi juga menguasai wacana dan strategi orientalis dalam studi Islam, punya rasa percaya diri sebagai Muslim dan mau bersikap kritis terhadap kajian orientalis. Orang-orang seperti Prof. Rasjidi almarhum, Prof. Mustafa al-Azami, atau Prof. Naquib al-Attas bisa disebut sebagai contoh dalam hal ini. Kini ditunggu munculnya sarjana-sarjana Muslim yang melanjutkan dan mengembangkan apa yang telah mereka rintis. (***)
Bagaimana Menerapkan Syariat Islam?
Oleh: Adian Husaini
Dalam tempo dua pekan lalu, saya menghadiri diskusi tentang masalah hukum di Fakultas Hukum Universitas Gajah Mada (UGM) dan Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY). Persoalan syariat atau hukum Islam memang masih terus menjadi diskusi di berbagai kalangan di Indonesia. Fenomena yang muncul di tengah masyarakat adalah bahwa gerakan penegakan syariat Islam di Indonesia banyak dimotori oleh para aktivis dari berbagai organisasi dan gerakan Islam. Gerakan itu tidak muncul, misalnya, dari Fakultas-fakultas syariah atau Fakultas Hukum suatu universitas Islam, juga misalnya dari kampus-kampus Islam secara umum.
Ketika diskusi di UGM, muncul pertanyaan yang menarik dari seorang mahasiswa, bagaimana sebenarnya strategi penerapan hukum Islam di Indonesia? Menurut dia, kesannya, selama ini syariat Islam banyak diteriakkan sebagai jargon, ketimbang sebagai suatu gerakan yang sistematis. Jika kesan seperti itu muncul pada mahasiswa fakultas hukum, barangkali kita perlu mencermatinya. Karena merupakan suatu kesan, maka kesan itu bisa salah atau bisa benar, tergantung informasi yang sampai pada si mahasiswa, karena kesan adalah persepsi.
Tentu saja, kesan itu perlu diperhatikan, karena soal penegakan syariat juga tidak lepas sama sekali dari masalah kesan atau imej. Sebenarnya, disamping para aktivis gerakan Islam, kita berharap yang tampil sebagai juru bicara penegakan syariat juga para profesor di bidang hukum Islam, atau suatu Fakultas Syariah tertentu. Para akademisi itulah yang harusnya berada pada jajaran paling depan dalam upaya penerapan syariat Islam. Apalagi, saat ini, isu syariat bukan merupakan isu yang tabu, tetapi isu yang biasa saja, karena berbagai kalangan, baik muslim maupun non-Muslim sudah terbiasa dengan bank syariah, ekonomi syariah, asuransi syariah, pegadaian syariah, obligasi syariah, dan sebagainya. Tampilnya para akademisi bidang hukum Islam dalam upaya penegakan syariat Islam sangat diperlukan agar isu ini tidak dianggap sebagai isu jalanan, tetapi juga merupakan isu akademis ilmiah. Bukankah tujuan kita mendidik ribuan sarjana syariah adalah untuk memperjuangkan syariat Islam? Tentu aneh, jika ada sarjana syariah justru menjadi anti-syariah; ada yang rajin belajar Islam tetapi justru anti-Islam.
Sebenarnya, saat ini, banyak fenomena yang menunjukkan keanehan-keanehan seputar hukum Barat yang dipaksakan kepada masyarakat Muslim dewasa ini. Dalam beberapa bulan belakangan ini ada sejumlah kasus hukum yang menarik perhatian masyarakat seputar konflik diantara beberapa selebriti Indonesia. Sejumlah selebritis terlibat konflik fisik. Pihak yang terluka kemudian melapor ke polisi. Pelakunya ditangkap dan dijebloskan ke penjara. Lalu, atas inisiatif berbagai pihak, terjadilah perdamaian; kedua pihak saling memaafkan. Tapi, kata pengacara kedua pihak, karena kasusnya sudah masuk ke pengadilan, maka peradilan itu tidak bisa dihentikan. Sebab, kata mereka, ini kasus pidana, bukan kasus perdata yang bisa diselesaikan secara damai berdasarkan kesepakatan.
Itulah hukum dan sistem paradilan yang berlaku di Indonesia. Unsur maaf dan perdamaian tidak diperhitungkan dalam penghentian kasusnya. Bandingkan hal itu dengan sistem qishas dalam Islam. Pembunuh pun bisa bebas, jika keluarga korban mengampuninya. Dalam sistem hukum Barat yang berlaku di Indonesia saat ini, hak pengampunan itu bukan diberikan kepada keluarga korban, tetapi justru kepada Presiden. Hukum mana yang lebih baik?
Kasus lain! Ketika itu seorang keluarga mantan Presiden Soeharto terlibat kasus penggunaan narkoba. Sesuai sanksi hukum di Indonesia, dia harus dijebloskan ke penjara. Konon, menurut para pakar hukum dan pejabat negara, sistem penjara itu diterapkan dengan tujuan untuk tujuan pendidikan. Setiap hari negara harus mengeluarkan dana besar untuk memberi makan dan menyediakan fasilitas untuk orang-orang kaya yang terlibat kejahatan sejenis narkoba.
Dalam sistem hukum Islam ada sanksi hukum berupa tazir yang sangat fleksibel untuk diterapkan terhadap pelaku k
Oleh: Adian Husaini
Dalam tempo dua pekan lalu, saya menghadiri diskusi tentang masalah hukum di Fakultas Hukum Universitas Gajah Mada (UGM) dan Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY). Persoalan syariat atau hukum Islam memang masih terus menjadi diskusi di berbagai kalangan di Indonesia. Fenomena yang muncul di tengah masyarakat adalah bahwa gerakan penegakan syariat Islam di Indonesia banyak dimotori oleh para aktivis dari berbagai organisasi dan gerakan Islam. Gerakan itu tidak muncul, misalnya, dari Fakultas-fakultas syariah atau Fakultas Hukum suatu universitas Islam, juga misalnya dari kampus-kampus Islam secara umum.
Ketika diskusi di UGM, muncul pertanyaan yang menarik dari seorang mahasiswa, bagaimana sebenarnya strategi penerapan hukum Islam di Indonesia? Menurut dia, kesannya, selama ini syariat Islam banyak diteriakkan sebagai jargon, ketimbang sebagai suatu gerakan yang sistematis. Jika kesan seperti itu muncul pada mahasiswa fakultas hukum, barangkali kita perlu mencermatinya. Karena merupakan suatu kesan, maka kesan itu bisa salah atau bisa benar, tergantung informasi yang sampai pada si mahasiswa, karena kesan adalah persepsi.
Tentu saja, kesan itu perlu diperhatikan, karena soal penegakan syariat juga tidak lepas sama sekali dari masalah kesan atau imej. Sebenarnya, disamping para aktivis gerakan Islam, kita berharap yang tampil sebagai juru bicara penegakan syariat juga para profesor di bidang hukum Islam, atau suatu Fakultas Syariah tertentu. Para akademisi itulah yang harusnya berada pada jajaran paling depan dalam upaya penerapan syariat Islam. Apalagi, saat ini, isu syariat bukan merupakan isu yang tabu, tetapi isu yang biasa saja, karena berbagai kalangan, baik muslim maupun non-Muslim sudah terbiasa dengan bank syariah, ekonomi syariah, asuransi syariah, pegadaian syariah, obligasi syariah, dan sebagainya. Tampilnya para akademisi bidang hukum Islam dalam upaya penegakan syariat Islam sangat diperlukan agar isu ini tidak dianggap sebagai isu jalanan, tetapi juga merupakan isu akademis ilmiah. Bukankah tujuan kita mendidik ribuan sarjana syariah adalah untuk memperjuangkan syariat Islam? Tentu aneh, jika ada sarjana syariah justru menjadi anti-syariah; ada yang rajin belajar Islam tetapi justru anti-Islam.
Sebenarnya, saat ini, banyak fenomena yang menunjukkan keanehan-keanehan seputar hukum Barat yang dipaksakan kepada masyarakat Muslim dewasa ini. Dalam beberapa bulan belakangan ini ada sejumlah kasus hukum yang menarik perhatian masyarakat seputar konflik diantara beberapa selebriti Indonesia. Sejumlah selebritis terlibat konflik fisik. Pihak yang terluka kemudian melapor ke polisi. Pelakunya ditangkap dan dijebloskan ke penjara. Lalu, atas inisiatif berbagai pihak, terjadilah perdamaian; kedua pihak saling memaafkan. Tapi, kata pengacara kedua pihak, karena kasusnya sudah masuk ke pengadilan, maka peradilan itu tidak bisa dihentikan. Sebab, kata mereka, ini kasus pidana, bukan kasus perdata yang bisa diselesaikan secara damai berdasarkan kesepakatan.
Itulah hukum dan sistem paradilan yang berlaku di Indonesia. Unsur maaf dan perdamaian tidak diperhitungkan dalam penghentian kasusnya. Bandingkan hal itu dengan sistem qishas dalam Islam. Pembunuh pun bisa bebas, jika keluarga korban mengampuninya. Dalam sistem hukum Barat yang berlaku di Indonesia saat ini, hak pengampunan itu bukan diberikan kepada keluarga korban, tetapi justru kepada Presiden. Hukum mana yang lebih baik?
Kasus lain! Ketika itu seorang keluarga mantan Presiden Soeharto terlibat kasus penggunaan narkoba. Sesuai sanksi hukum di Indonesia, dia harus dijebloskan ke penjara. Konon, menurut para pakar hukum dan pejabat negara, sistem penjara itu diterapkan dengan tujuan untuk tujuan pendidikan. Setiap hari negara harus mengeluarkan dana besar untuk memberi makan dan menyediakan fasilitas untuk orang-orang kaya yang terlibat kejahatan sejenis narkoba.
Dalam sistem hukum Islam ada sanksi hukum berupa tazir yang sangat fleksibel untuk diterapkan terhadap pelaku k
ejahatan. Tidak mesti harus berupa sanksi penjara atau denda. Ada sanksi tazir lain, bisa berupa kerja bakti, cambuk, denda, atau hukuman mati. Bisa disesuaikan dengan kondisi si terhukum. Jika dia pengguna narkoba dan tergolong mampu, maka yang lebih efektif bukanlah dengan sistem penjara, tetapi cukup dihukum cambuk di depan masjid usai shalat Jumat. Hukum cambuk adalah jenis hukuman yang murah meriah dan efektif. Tapi, konon, karena ada bau syariat maka oleh berbagai kalangan Islamofobia, maka hukum cambuk itu ditolak, dianggap dapat mengancam keutuhan NKRI. Padahal, di Malaysia dan Singapura, hukum ini diberlakukan.
Kita ingat, di awal Oktober 2003, sejumlah media, cetak dan elektronik ramai mempersoalkan sejumlah pasal kontroversial, khususnya pasal-pasal perzinaan dalam Rancangan Undang-undang Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RUU-KUHP). Majalah TEMPO edisi 6-12 Oktober 2003, menampilkan laporan utama dengan judul Rancangan KUHP: KITAB YANG SEMAKIN MENAKUTKAN. Ketika itu, TEMPO menulis soal pasal-pasal Zina dalam RUU KUHP ini dengan satu judul naskah: Jeratan Buat Para Pezina. Ditulis di sini: Makna zina dalam RUU KUHP diperluas, membuka peluang aparat ke ruang pribadi. AROMA HUKUM ISLAM, MINUS SANKSI.
Sejumlah contoh pasal RUU KUHP tentang perzinaan yang dihebohkan, misalnya, pasal 419 yang menyatakan, bahwa akan dipidana dengan pidana penjara lima tahun: (a). Laki-laki yang berada dalam ikatan perkawinan melakukan persetubuhan dengan perempuan yang bukan istrinya. (b). Perempuan yang berada dalam ikatan perkawinan melakukan persetubuhan dengan laki-laki yang bukan suaminya. (c) Laki-laki yang tidak dalam ikatan perkawinan melakukan persetubuhan dengan perempuan, padahal diketahui bahwa perempuan tersebut berada dalam ikatan perkawinan, atau perempuan yang tidak dalam ikatan perkawinan melakukan persetubuhan dengan laki-laki, padahal diketahui laki-laki tersebut berada dalam ikatan perkawinan.
Pasal 420 RUU KUHP menyatakan: Laki-laki dan perempuan yang masing-masing tidak terikat perkawinan yang sah melakukan persetubuhan, dan karenanya mengganggu perasaan kesusilaan masyarakat setempat, dipidana dengan penjara paling lama satu tahun atau denda dalam kategori II (Rp 750 ribu). Kumpul kebo pun diancam hukuman pidana. Ini diatur dalam pasal 422: Seorang yang melakukan hidup bersama sebagai suami istri di luar perkawinan yang sah karenanya menganggu perasaan kesusilaan masyarakat setempat dipidana penjara dua tahun. Tidak dilakukan penuntutan kecuali atas pengaduan keluarga salah seorang sampai derajat ketiga, kepala adat atau oleh kepala desa atau lurah setempat. Hubungan seks sejenis (homoseksual atau lesbian) pun tak luput dari sanksi pidana, seperti diatur pasal 427: Setiap orang yang melakukan perbuatan cabul dengan orang lain yang sama jenis kelaminnya yang diketahui atau patut diduga belum berumur 18 tahun dipidana paling singkat satu tahun penjara dan paling lama tujuh tahun.
Draft revisi KUHP itu kemudian direvisi lagi oleh Depkumham, dan pada 25 Mei 2005, keluar revisi yang baru. Pada draft RUU KUHP yang baru ini, pasal 484 (2) disebutkan, bahwa berbagai jenis perzinahan yang melibatkan orang yang sudah menikah tidak dilakukan penuntutan kecuali atas pengaduan suami, istri, atau pihak ketiga yang tercemar. Dan pada ayat 4 dikatakan, pengaduan dapat ditarik kembali selama pemeriksaan di sidang pengadilan belum dimulai. Pada pasal 486 disebutkan, bahwa kumpul kebo diganjar hukuman penjara paling lama 5 tahun. Sementara pasal 487 menyebutkan, pelacur yang berkeliaran di jalan diancam hukuman denda maksimal Rp 1,5 juta.
Namun, draft itu pun belum tentu akan mulus bergulir menjadi KUHP yang baru. KUHP yang disusun di zaman penjajahan Belanda masih tampak begitu kokoh untuk digoyahkan. Apalagi dalam soal pidana. Hegemoni paradigma Barat dalam hukum pidana masih begitu kuat. Bagi masyarakat Barat, zina bukan dianggap kejahatan, karena itu para pezina banyak yang menduduki posisi yang mulia di tengah masyarakat. Di Indonesia, pengaruh itu mulai terasa. Orang yang mengumumkan perzinahannya di depan
Kita ingat, di awal Oktober 2003, sejumlah media, cetak dan elektronik ramai mempersoalkan sejumlah pasal kontroversial, khususnya pasal-pasal perzinaan dalam Rancangan Undang-undang Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RUU-KUHP). Majalah TEMPO edisi 6-12 Oktober 2003, menampilkan laporan utama dengan judul Rancangan KUHP: KITAB YANG SEMAKIN MENAKUTKAN. Ketika itu, TEMPO menulis soal pasal-pasal Zina dalam RUU KUHP ini dengan satu judul naskah: Jeratan Buat Para Pezina. Ditulis di sini: Makna zina dalam RUU KUHP diperluas, membuka peluang aparat ke ruang pribadi. AROMA HUKUM ISLAM, MINUS SANKSI.
Sejumlah contoh pasal RUU KUHP tentang perzinaan yang dihebohkan, misalnya, pasal 419 yang menyatakan, bahwa akan dipidana dengan pidana penjara lima tahun: (a). Laki-laki yang berada dalam ikatan perkawinan melakukan persetubuhan dengan perempuan yang bukan istrinya. (b). Perempuan yang berada dalam ikatan perkawinan melakukan persetubuhan dengan laki-laki yang bukan suaminya. (c) Laki-laki yang tidak dalam ikatan perkawinan melakukan persetubuhan dengan perempuan, padahal diketahui bahwa perempuan tersebut berada dalam ikatan perkawinan, atau perempuan yang tidak dalam ikatan perkawinan melakukan persetubuhan dengan laki-laki, padahal diketahui laki-laki tersebut berada dalam ikatan perkawinan.
Pasal 420 RUU KUHP menyatakan: Laki-laki dan perempuan yang masing-masing tidak terikat perkawinan yang sah melakukan persetubuhan, dan karenanya mengganggu perasaan kesusilaan masyarakat setempat, dipidana dengan penjara paling lama satu tahun atau denda dalam kategori II (Rp 750 ribu). Kumpul kebo pun diancam hukuman pidana. Ini diatur dalam pasal 422: Seorang yang melakukan hidup bersama sebagai suami istri di luar perkawinan yang sah karenanya menganggu perasaan kesusilaan masyarakat setempat dipidana penjara dua tahun. Tidak dilakukan penuntutan kecuali atas pengaduan keluarga salah seorang sampai derajat ketiga, kepala adat atau oleh kepala desa atau lurah setempat. Hubungan seks sejenis (homoseksual atau lesbian) pun tak luput dari sanksi pidana, seperti diatur pasal 427: Setiap orang yang melakukan perbuatan cabul dengan orang lain yang sama jenis kelaminnya yang diketahui atau patut diduga belum berumur 18 tahun dipidana paling singkat satu tahun penjara dan paling lama tujuh tahun.
Draft revisi KUHP itu kemudian direvisi lagi oleh Depkumham, dan pada 25 Mei 2005, keluar revisi yang baru. Pada draft RUU KUHP yang baru ini, pasal 484 (2) disebutkan, bahwa berbagai jenis perzinahan yang melibatkan orang yang sudah menikah tidak dilakukan penuntutan kecuali atas pengaduan suami, istri, atau pihak ketiga yang tercemar. Dan pada ayat 4 dikatakan, pengaduan dapat ditarik kembali selama pemeriksaan di sidang pengadilan belum dimulai. Pada pasal 486 disebutkan, bahwa kumpul kebo diganjar hukuman penjara paling lama 5 tahun. Sementara pasal 487 menyebutkan, pelacur yang berkeliaran di jalan diancam hukuman denda maksimal Rp 1,5 juta.
Namun, draft itu pun belum tentu akan mulus bergulir menjadi KUHP yang baru. KUHP yang disusun di zaman penjajahan Belanda masih tampak begitu kokoh untuk digoyahkan. Apalagi dalam soal pidana. Hegemoni paradigma Barat dalam hukum pidana masih begitu kuat. Bagi masyarakat Barat, zina bukan dianggap kejahatan, karena itu para pezina banyak yang menduduki posisi yang mulia di tengah masyarakat. Di Indonesia, pengaruh itu mulai terasa. Orang yang mengumumkan perzinahannya di depan
khalayak, justru makin terkenal. Sebaliknya, bagi masyarakat Barat, poligami dipandang sebagai kejahatan, sehingga Aa Gym banyak dicemooh oleh media massa, karena berpoligami.
Karena itu, bagi kaum Muslim, dalam soal hukum, yang diperlukan saat ini adalah penyadaran akan makna dan posisi hukum itu sendiri. Persoalan yang lebih mendasar justru berada di luar wilayah hukum itu sendiri. Selama kaum Muslim tidak memiliki pandangan hidup Islam (Islamic worldview) yang benar tentang hukum Islam, maka akan sangat sulit mereka untuk menerima hukum Islam. Bagi seorang Muslim, pandangan terhadap hukum Islam adalah bagian dari konsep pandangan hidup Islam (Islamic worldview). Pandangan hidup Islam terbentuk dari serangkaian pemahaman tentang konsep-konsep pokok dalam Islam, seperti konsep Tuhan, konsep kenabian, konsep agama, konsep wahyu, konsep manusia, konsep alam, dan konsep ilmu. Seluruh elemen itu terkait satu dengan lainnya, dan konsep Tuhan menjadi landasan bagi konsep-konsep lainnya.
Pandangan seorang terhadap konsep Islamic worldview, bahwa Islam adalah satu-satunya agama wahyu, akan sangat menentukan dalam memandang masalah hukum Islam. Ini akan sangat berbeda dengan orang yang melihat agama termasuk Islam sebagai gejala budaya, dimana Islam diletakkan sebagai sebagai historical and cultural religion’, sebagaimana agama-agama lain. Dengan karakteristik Islam sebagai agama wahyu, yang secara ketat berpegang kepada wahyu Allah al-Quran dan al-Sunnah Rasulullah saw dalam semua aspek kehidupan, maka umat Islam pun memandang bahwa pelaksanaan hukum Islam adalah bagian dari kewajiban mereka untuk mengikuti Sunnah Rasulullah. Sebab, Nabi Muhammad saw adalah uswatun hasanah dalam seluruh aspek kehidupan. Umat Islam tetap memegang teguh konsep uswatun hasanah terhadap seorang Nabi. Mulai bangun tidur hingga tidur lagi, umat Islam berusaha meneladani Nabi Muhammad saw, karena beliau memang contoh teladan yang lengkap dan paripurna. Konsep uswah hasanah Islam ini tidak mungkin diikuti oleh kaum Yahudi, Kristen, Hindu, Budha, komunis, atau kaum sekular Barat. Karena itu, meskipun orang-orang Barat beragama Kristen, mereka menetapkan sistem hukum, politik, ekonomi, sosial, budaya, bukan berdasarkan kepada Bibel, atau menjadikan Yesus sebagai teladan dalam seluruh aspek kehidupan. Begitu juga dengan kaum komunis. Mereka tidak bisa menjadikan Karl Marx sebagai suri tauladan dalam seluruh aspek kehidupan mereka. Orang komunis tidak akan mencontoh seluruh perilaku Karl Marx, yang memang dikenal sebagai seorang pemabok dan jarang mandi. (Paul Johnson, dalam bukunya, Intellectuals, (New York: Harper&Row Publisher, 1988), menulis sebuah artikel berjudul Karl Marx: Howling Gigantic Curse. Dia menggambarkan sosok Marx: His angry egoism had physical as as psychological roots. He led a peculiarity unhelthy life, took very little exercise, ate highly spiced food, often in large quantities, smoked heavily, drank a lot, especially strong ale, and as result had constant trouble with his liver. He rarely took baths or washed much at all. (hal. 73)).
Saat ini, para akademisi Muslim, khususnya yang bergelut di bidang hukum Islam, perlu merumuskan strategi yang matang dalam penegakan syariat. Masih banyak masyarakat yang tidak paham tentang syariat Islam. Mereka membayangkan, syariat itu hanya berkaitan dengan dengan soal pidana. Padahal, yang sangat mendesak untuk diterapkan saat ini adalah syariat di bidang keadilan social-ekonomi. Sebagai contoh, bagaimana mengatur anggaran Negara yang sesuai syariat. Adalah tidak syariy, misalnya, menggunakan anggaran Negara untuk jalan-jalan anggota DPR ke luar negeri, membangun monumen, membuat patung, dan sebagainya, sementara masih banyak rakyat yang tidak dapat memenuhi kebutuhan pokoknya (sandang, pangan, papan, kesehatan, pendidikan). Adalah tidak syariy menggunakan uang rakyat untuk membayar utang luar negeri yang tidak pernah dinikmati oleh rakyat. Kita melihat fenonema aneh dari gerakan reformasi. Mereka menumbangkan rezim Orde Baru, tetapi justru rela mewarisi utang-utang rezim Orde Baru,
Karena itu, bagi kaum Muslim, dalam soal hukum, yang diperlukan saat ini adalah penyadaran akan makna dan posisi hukum itu sendiri. Persoalan yang lebih mendasar justru berada di luar wilayah hukum itu sendiri. Selama kaum Muslim tidak memiliki pandangan hidup Islam (Islamic worldview) yang benar tentang hukum Islam, maka akan sangat sulit mereka untuk menerima hukum Islam. Bagi seorang Muslim, pandangan terhadap hukum Islam adalah bagian dari konsep pandangan hidup Islam (Islamic worldview). Pandangan hidup Islam terbentuk dari serangkaian pemahaman tentang konsep-konsep pokok dalam Islam, seperti konsep Tuhan, konsep kenabian, konsep agama, konsep wahyu, konsep manusia, konsep alam, dan konsep ilmu. Seluruh elemen itu terkait satu dengan lainnya, dan konsep Tuhan menjadi landasan bagi konsep-konsep lainnya.
Pandangan seorang terhadap konsep Islamic worldview, bahwa Islam adalah satu-satunya agama wahyu, akan sangat menentukan dalam memandang masalah hukum Islam. Ini akan sangat berbeda dengan orang yang melihat agama termasuk Islam sebagai gejala budaya, dimana Islam diletakkan sebagai sebagai historical and cultural religion’, sebagaimana agama-agama lain. Dengan karakteristik Islam sebagai agama wahyu, yang secara ketat berpegang kepada wahyu Allah al-Quran dan al-Sunnah Rasulullah saw dalam semua aspek kehidupan, maka umat Islam pun memandang bahwa pelaksanaan hukum Islam adalah bagian dari kewajiban mereka untuk mengikuti Sunnah Rasulullah. Sebab, Nabi Muhammad saw adalah uswatun hasanah dalam seluruh aspek kehidupan. Umat Islam tetap memegang teguh konsep uswatun hasanah terhadap seorang Nabi. Mulai bangun tidur hingga tidur lagi, umat Islam berusaha meneladani Nabi Muhammad saw, karena beliau memang contoh teladan yang lengkap dan paripurna. Konsep uswah hasanah Islam ini tidak mungkin diikuti oleh kaum Yahudi, Kristen, Hindu, Budha, komunis, atau kaum sekular Barat. Karena itu, meskipun orang-orang Barat beragama Kristen, mereka menetapkan sistem hukum, politik, ekonomi, sosial, budaya, bukan berdasarkan kepada Bibel, atau menjadikan Yesus sebagai teladan dalam seluruh aspek kehidupan. Begitu juga dengan kaum komunis. Mereka tidak bisa menjadikan Karl Marx sebagai suri tauladan dalam seluruh aspek kehidupan mereka. Orang komunis tidak akan mencontoh seluruh perilaku Karl Marx, yang memang dikenal sebagai seorang pemabok dan jarang mandi. (Paul Johnson, dalam bukunya, Intellectuals, (New York: Harper&Row Publisher, 1988), menulis sebuah artikel berjudul Karl Marx: Howling Gigantic Curse. Dia menggambarkan sosok Marx: His angry egoism had physical as as psychological roots. He led a peculiarity unhelthy life, took very little exercise, ate highly spiced food, often in large quantities, smoked heavily, drank a lot, especially strong ale, and as result had constant trouble with his liver. He rarely took baths or washed much at all. (hal. 73)).
Saat ini, para akademisi Muslim, khususnya yang bergelut di bidang hukum Islam, perlu merumuskan strategi yang matang dalam penegakan syariat. Masih banyak masyarakat yang tidak paham tentang syariat Islam. Mereka membayangkan, syariat itu hanya berkaitan dengan dengan soal pidana. Padahal, yang sangat mendesak untuk diterapkan saat ini adalah syariat di bidang keadilan social-ekonomi. Sebagai contoh, bagaimana mengatur anggaran Negara yang sesuai syariat. Adalah tidak syariy, misalnya, menggunakan anggaran Negara untuk jalan-jalan anggota DPR ke luar negeri, membangun monumen, membuat patung, dan sebagainya, sementara masih banyak rakyat yang tidak dapat memenuhi kebutuhan pokoknya (sandang, pangan, papan, kesehatan, pendidikan). Adalah tidak syariy menggunakan uang rakyat untuk membayar utang luar negeri yang tidak pernah dinikmati oleh rakyat. Kita melihat fenonema aneh dari gerakan reformasi. Mereka menumbangkan rezim Orde Baru, tetapi justru rela mewarisi utang-utang rezim Orde Baru,
MAKNA NATAL BAGI KRISTEN INDONESIA
Oleh: Dr. Adian Husaini
Seperti tahun-tahun sebelumnya, menjelang perayaan Natal tahun 2014, induk kaum Protestan Indonesia yakni Persekutuan Gereja-Gereja Indonesia (PGI) dan induk kaum Katolik Indonesia, yakni Konferensi Waligereja Indonesia (KWI), mengeluarkan seruan Natal Bersama. Berikut ini petikan seruan tersebut:
“Natal merupakan sukacita bagi keluarga karena Sumber Sukacita memilih hadir di dunia melalui keluarga. Sang Putera Allah menerima dan menjalani kehidupan seorang manusia dalam suatu keluarga. Melalui keluarga itu pula, Ia tumbuh dan berkembang sebagai manusia yang taat pada Allah sampai mati di kayu salib. Di situlah Allah yang selalu beserta kita turut merasakan kelemahan-kelemahan kita dan kepahitan akibat dosa walaupun ia tidak berdosa (bdk. Ibr. 4:15)…
“… Natal: Undangan Berjumpa dengan Allah dalam Keluarga. Natal adalah saat yang mengingatkan kita akan kehadiran Allah melalui Yesus dalam keluarga…. Dalam keluarga di mana Yesus hadir, yang letih disegarkan, yang lemah dikuatkan, yang
sedih mendapat penghiburan, dan yang putus asa diberi harapan…
“Marilah kita menghadirkan Allah dan menjadikan keluarga kita sebagai tempat layak untuk kelahiran Sang Juru Selamat. Di situlah keluarga kita menjadi rahmat dan berkat bagi setiap orang; kabar sukacita bagi dunia.”
Menyimak Pesan Natal PGI dan KWI tersebut, jelaslah bahwa Perayaan Natal adalah acara keagamaan yang sarat dengan ajaran pokok kekristenan, yaitu pengakuan Yesus sebagai Tuhan. Natal bukan sekedar perayaan sosial dan budaya. Kaum Kristen meyakini bahwa Yesus Kristus adalah anak Tuhan yang menjelma menjadi manusia, seperti mereka katakan: “Sang Putera Allah menerima dan menjalani kehidupan seorang manusia dalam suatu keluarga. Melalui keluarga itu pula, Ia tumbuh dan berkembang sebagai manusia yang taat pada Allah sampai mati di kayu salib.”
Itulah makna Natal bagi kaum Kristen di Indonesia. Jadi, perayaan Natal secara terbuka dan besar-besaran di mana-mana, sejatinya adalah penyiaran dan kampanye ajaran Kristen, bahwa Yesus adalah Putra Tuhan. Bahwa, Tuhan mempunyai anak, yaitu Yesus Kristus. Dokumen Konstitusi Dogmatik tentang Gereja (Lumen Gentium, 14) yang disahkan pada 21 November 1964, dalam Konsili Vatikan II, di Roma, menegaskan:
”Karena satu-satunya Perantara dan jalan keselamatan adalah Kristus, yang hadir di antara kita di dalam Tubuhnya yaitu Gereja... Oleh karenanya tidak dapat diselamatkan orang-orang itu, yang walaupun tahu bahwa Gereja Katolik didirikan oleh Allah dengan perantaraan Yesus Kristus, sebagai sesuatu yang diperlukan, toh tidak mau masuk ke dalamnya atau tidak mau bertahan di dalamnya.” (Terjemah oleh Dr. J. Riberu, Dokpen MAWI, 1983).
Inti ajaran Kristen adalah konsep “Pemyaliban” dan “Kebangkitan” Yesus. Manusia yang tidak mengakui Yesus sebagai Tuhan atau anak Tuhan, harus disadarkan dan diusahakan untuk dibaptis. Dokumen Ad Gentes juga mendesak Konsili Vatikan II mendesak:
“Landasan karya misioner ini diambil dari kehendak Allah, Yang “menginginkan bahwa semua manusia diselamatkan dan mengakui kebenaran. Karena Allah itu esa dan esa pula Perantara antara Allah dengan menusia yaitu Manusia Kristus Yesus, Yang menyerahkan diri-Nya sebagai tebusan bagi semua orang (1 Tim 2:4-6), “dan tidak ada keselamatan selain Dia” (Kisah 4:12). Maka haruslah semua orang berbalik kepada Dia, Yang dikenal lewat pewartaan Injil, lalu menjadi anggota Dia dan Anggota Gereja, yang adalah Tubuhnya, melalui pemandian… Oleh sebab itu, karya misioner dewasa ini seperti juga selalu, tetap mempunyai keampuhannya dan tetap diperlukan seutuhnya). (Lihat, Walter M. Abbott (gen.ed.), The Documents of Vatican II, hal. 593. Naskah terjemah di kutip dari Tonggak Sejarah Pedoman Arah: Dokumen Konsili Vatikan II, hal. 377-478).
Dalam pidato tanggal 7 Desember 1990, yang berjudul Redemptoris Missio (Tugas Perutusan Sang Penebus), yang diterbitan KWI tahun 2003, Paus Yohanes Paulus II mengatakan:
“Tugas perutusan Kristus Sang Penebus, yang dipercayakan kepada Gereja, masih sangat jauh dari penyelesaian.
Oleh: Dr. Adian Husaini
Seperti tahun-tahun sebelumnya, menjelang perayaan Natal tahun 2014, induk kaum Protestan Indonesia yakni Persekutuan Gereja-Gereja Indonesia (PGI) dan induk kaum Katolik Indonesia, yakni Konferensi Waligereja Indonesia (KWI), mengeluarkan seruan Natal Bersama. Berikut ini petikan seruan tersebut:
“Natal merupakan sukacita bagi keluarga karena Sumber Sukacita memilih hadir di dunia melalui keluarga. Sang Putera Allah menerima dan menjalani kehidupan seorang manusia dalam suatu keluarga. Melalui keluarga itu pula, Ia tumbuh dan berkembang sebagai manusia yang taat pada Allah sampai mati di kayu salib. Di situlah Allah yang selalu beserta kita turut merasakan kelemahan-kelemahan kita dan kepahitan akibat dosa walaupun ia tidak berdosa (bdk. Ibr. 4:15)…
“… Natal: Undangan Berjumpa dengan Allah dalam Keluarga. Natal adalah saat yang mengingatkan kita akan kehadiran Allah melalui Yesus dalam keluarga…. Dalam keluarga di mana Yesus hadir, yang letih disegarkan, yang lemah dikuatkan, yang
sedih mendapat penghiburan, dan yang putus asa diberi harapan…
“Marilah kita menghadirkan Allah dan menjadikan keluarga kita sebagai tempat layak untuk kelahiran Sang Juru Selamat. Di situlah keluarga kita menjadi rahmat dan berkat bagi setiap orang; kabar sukacita bagi dunia.”
Menyimak Pesan Natal PGI dan KWI tersebut, jelaslah bahwa Perayaan Natal adalah acara keagamaan yang sarat dengan ajaran pokok kekristenan, yaitu pengakuan Yesus sebagai Tuhan. Natal bukan sekedar perayaan sosial dan budaya. Kaum Kristen meyakini bahwa Yesus Kristus adalah anak Tuhan yang menjelma menjadi manusia, seperti mereka katakan: “Sang Putera Allah menerima dan menjalani kehidupan seorang manusia dalam suatu keluarga. Melalui keluarga itu pula, Ia tumbuh dan berkembang sebagai manusia yang taat pada Allah sampai mati di kayu salib.”
Itulah makna Natal bagi kaum Kristen di Indonesia. Jadi, perayaan Natal secara terbuka dan besar-besaran di mana-mana, sejatinya adalah penyiaran dan kampanye ajaran Kristen, bahwa Yesus adalah Putra Tuhan. Bahwa, Tuhan mempunyai anak, yaitu Yesus Kristus. Dokumen Konstitusi Dogmatik tentang Gereja (Lumen Gentium, 14) yang disahkan pada 21 November 1964, dalam Konsili Vatikan II, di Roma, menegaskan:
”Karena satu-satunya Perantara dan jalan keselamatan adalah Kristus, yang hadir di antara kita di dalam Tubuhnya yaitu Gereja... Oleh karenanya tidak dapat diselamatkan orang-orang itu, yang walaupun tahu bahwa Gereja Katolik didirikan oleh Allah dengan perantaraan Yesus Kristus, sebagai sesuatu yang diperlukan, toh tidak mau masuk ke dalamnya atau tidak mau bertahan di dalamnya.” (Terjemah oleh Dr. J. Riberu, Dokpen MAWI, 1983).
Inti ajaran Kristen adalah konsep “Pemyaliban” dan “Kebangkitan” Yesus. Manusia yang tidak mengakui Yesus sebagai Tuhan atau anak Tuhan, harus disadarkan dan diusahakan untuk dibaptis. Dokumen Ad Gentes juga mendesak Konsili Vatikan II mendesak:
“Landasan karya misioner ini diambil dari kehendak Allah, Yang “menginginkan bahwa semua manusia diselamatkan dan mengakui kebenaran. Karena Allah itu esa dan esa pula Perantara antara Allah dengan menusia yaitu Manusia Kristus Yesus, Yang menyerahkan diri-Nya sebagai tebusan bagi semua orang (1 Tim 2:4-6), “dan tidak ada keselamatan selain Dia” (Kisah 4:12). Maka haruslah semua orang berbalik kepada Dia, Yang dikenal lewat pewartaan Injil, lalu menjadi anggota Dia dan Anggota Gereja, yang adalah Tubuhnya, melalui pemandian… Oleh sebab itu, karya misioner dewasa ini seperti juga selalu, tetap mempunyai keampuhannya dan tetap diperlukan seutuhnya). (Lihat, Walter M. Abbott (gen.ed.), The Documents of Vatican II, hal. 593. Naskah terjemah di kutip dari Tonggak Sejarah Pedoman Arah: Dokumen Konsili Vatikan II, hal. 377-478).
Dalam pidato tanggal 7 Desember 1990, yang berjudul Redemptoris Missio (Tugas Perutusan Sang Penebus), yang diterbitan KWI tahun 2003, Paus Yohanes Paulus II mengatakan:
“Tugas perutusan Kristus Sang Penebus, yang dipercayakan kepada Gereja, masih sangat jauh dari penyelesaian.
Tatkala Masa Seribu Tahun Kedua sesudah kedatangan Kristus hampir berakhir, satu pandangan menyeluruh atas umat manusia memperlihatkan bahwa tugas perutusan ini masih saja di tahap awal, dan bahwa kita harus melibatkan diri kita sendiri dengan sepenuh hati…Kegiatan misioner yang secara khusus ditujukan “kepada para bangsa” (ad gentes) tampak sedang menyurut, dan kecenderungan ini tentu saja tidak sejalan dengan petunjuk-petunjuk Konsili dan dengan pernyataan-pernyataan Magisterium sesudahnya. Kesulitan-kesulitan baik yang datang dari dalam maupun yang datang dari luar, telah memperlemah daya dorong karya misioner Gereja kepada orang-orang non-Kristen, suatu kenyataan yang mestinya membangkitkan kepedulian di antara semua orang yang percaya kepada Kristus. Sebab dalam sejarah Gereja, gerakan misioner selalu sudah merupakan tanda kehidupan, persis sebagaimana juga kemerosotannya merupakan tanda krisis iman.”
Berdasarkan Dokumen-dokumen Resmi Gereja tersebut, jelas terlihat besarnya tugas yang diemban kaum Kristen dalam menjalankan misinya kepada orang-orang non-Kristen. Itulah yang ditegaskan oleh Paus Paulus VI dalam imbauan apostolik, Karya Pewartaan Injil dalam Jaman Modern (Evangelii Nuntiandi), pada 8 Desember 1975, yang diterbitkan KWI tahun 1990:
“Pewartaan pertama juga ditujukan kepada bagian besar umat manusia yang memeluk agama-agama bukan Kristen….Agama-agama bukan kristen semuanya penuh dengan “benih-benih Sabda” yang tak terbilang jumlahnya dan dapat merupakan suatu “persiapan bagi Injil” yang benar... Kami mau menunjukkan, lebih-lebih pada zaman sekarang ini, bahwa baik penghormatan maupun penghargaan terhadap agama-agama tadi, demikian pula kompleksnya masalah-masalah yang muncul, bukan sebagai suatu alasan bagi Gereja untuk tidak mewartakan Yesus Kristus kepada orang-orang bukan Kristen. Sebaliknya Gereja berpendapat bahwa orang-orang tadi berhak mengetahui kekayaan misteri Kristus.”
Keyakinan Islam
Keyakinan dan propaganda kaum Kristen bahwa Yesus adalah Tuhan dan anak Tuhan– dalam pandangan Islam – merupakan tuduhan yang tidak mendasar kepada Allah, Tuhan Yang Maha Esa. Sebab, Allah adalah SATU (Ahad); Allah tidak beranak dan tidak diperanakkan. Yesus, atau Isa a.s. adalah Nabi, adalah manusia biasa. Ia adalah utusan Allah, bukan Tuhan dan bukan anak Tuhan. Dalam surat Maryam disebutkan, memberikan sifat bahwa Allah punya anak, adalah satu “Kejahatan besar” (syaian iddan). Dan Allah berfirman dalam al-Quran (Terj.): “Hampir-hampir langit runtuh dan bumi terbelah serta gunung-gunung hancur. Bahwasanya mereka mengklaim bahwa al-Rahman itu mempunyai anak.” (QS 19:90-91).
Umat Islam adalah umat yang diajarkan untuk hidup dalam pluralitas. Sejak di Madinah, Rasulullah saw sudah membangun masyarakat yang plural, terdiri atas berbagai agama. Umat Islam diminta bersikap tegas dalam soal aqidah dan ibadah. Tidak mencampuradukkan dan meremehkan. Sebab, aqidah menjadi landasan kehidupan paling hakiki bagi umat Islam. Karena itulah, meskipun bersikap sangat baik terhadap kaum Yahudi dan Nasrani dalam hubungan sosial kemasyarakatan, Rasulullah saw mengajarkan sikap tegas dalam soal aqidah dan ibadah. Termasuk dalam masalah Perayaan Hari Besar Agama.
Dalam sebuah hadits Qudsy, dari Abu Hurairah, Nabi saw bersabda: “Allah berfirman: “Anak manusia telah mendustakan dan mencela-Ku. Padahal ia tidak patut melakukan itu. Ada pun pendustaannya pada-Ku adalah ucapannya, “Dia tidak akan membangkitkanku (di Akhirat) seperti semula”. Bukankah membangkitkannya kembali jauh lebih mudah bagi-Ku dari pada menciptakannya pertama kali? Ada pun celaannya pada-Ku adalah ucapannya, “Allah telah mengambil seorang anak”. Padahal Aku adalah Yang Maha Satu dan tempat bergantung (berdiri sendiri). Aku tidak melahirkan dan tidak dilahirkan dan tidak ada seorangpun yang setara dengan-Ku”. (HR Bukhari).
Sebagian orang mungkin memandan Perayaan Natal sekedar acara sosial-budaya sehingga tidak terkait langsung dengan dasar-dasar kepercayaan Kristen. Karena itu, mereka memandang tidak ada masalah jika seorang Muslim terlibat dala
Berdasarkan Dokumen-dokumen Resmi Gereja tersebut, jelas terlihat besarnya tugas yang diemban kaum Kristen dalam menjalankan misinya kepada orang-orang non-Kristen. Itulah yang ditegaskan oleh Paus Paulus VI dalam imbauan apostolik, Karya Pewartaan Injil dalam Jaman Modern (Evangelii Nuntiandi), pada 8 Desember 1975, yang diterbitkan KWI tahun 1990:
“Pewartaan pertama juga ditujukan kepada bagian besar umat manusia yang memeluk agama-agama bukan Kristen….Agama-agama bukan kristen semuanya penuh dengan “benih-benih Sabda” yang tak terbilang jumlahnya dan dapat merupakan suatu “persiapan bagi Injil” yang benar... Kami mau menunjukkan, lebih-lebih pada zaman sekarang ini, bahwa baik penghormatan maupun penghargaan terhadap agama-agama tadi, demikian pula kompleksnya masalah-masalah yang muncul, bukan sebagai suatu alasan bagi Gereja untuk tidak mewartakan Yesus Kristus kepada orang-orang bukan Kristen. Sebaliknya Gereja berpendapat bahwa orang-orang tadi berhak mengetahui kekayaan misteri Kristus.”
Keyakinan Islam
Keyakinan dan propaganda kaum Kristen bahwa Yesus adalah Tuhan dan anak Tuhan– dalam pandangan Islam – merupakan tuduhan yang tidak mendasar kepada Allah, Tuhan Yang Maha Esa. Sebab, Allah adalah SATU (Ahad); Allah tidak beranak dan tidak diperanakkan. Yesus, atau Isa a.s. adalah Nabi, adalah manusia biasa. Ia adalah utusan Allah, bukan Tuhan dan bukan anak Tuhan. Dalam surat Maryam disebutkan, memberikan sifat bahwa Allah punya anak, adalah satu “Kejahatan besar” (syaian iddan). Dan Allah berfirman dalam al-Quran (Terj.): “Hampir-hampir langit runtuh dan bumi terbelah serta gunung-gunung hancur. Bahwasanya mereka mengklaim bahwa al-Rahman itu mempunyai anak.” (QS 19:90-91).
Umat Islam adalah umat yang diajarkan untuk hidup dalam pluralitas. Sejak di Madinah, Rasulullah saw sudah membangun masyarakat yang plural, terdiri atas berbagai agama. Umat Islam diminta bersikap tegas dalam soal aqidah dan ibadah. Tidak mencampuradukkan dan meremehkan. Sebab, aqidah menjadi landasan kehidupan paling hakiki bagi umat Islam. Karena itulah, meskipun bersikap sangat baik terhadap kaum Yahudi dan Nasrani dalam hubungan sosial kemasyarakatan, Rasulullah saw mengajarkan sikap tegas dalam soal aqidah dan ibadah. Termasuk dalam masalah Perayaan Hari Besar Agama.
Dalam sebuah hadits Qudsy, dari Abu Hurairah, Nabi saw bersabda: “Allah berfirman: “Anak manusia telah mendustakan dan mencela-Ku. Padahal ia tidak patut melakukan itu. Ada pun pendustaannya pada-Ku adalah ucapannya, “Dia tidak akan membangkitkanku (di Akhirat) seperti semula”. Bukankah membangkitkannya kembali jauh lebih mudah bagi-Ku dari pada menciptakannya pertama kali? Ada pun celaannya pada-Ku adalah ucapannya, “Allah telah mengambil seorang anak”. Padahal Aku adalah Yang Maha Satu dan tempat bergantung (berdiri sendiri). Aku tidak melahirkan dan tidak dilahirkan dan tidak ada seorangpun yang setara dengan-Ku”. (HR Bukhari).
Sebagian orang mungkin memandan Perayaan Natal sekedar acara sosial-budaya sehingga tidak terkait langsung dengan dasar-dasar kepercayaan Kristen. Karena itu, mereka memandang tidak ada masalah jika seorang Muslim terlibat dala
m acara-acara Perayaan Natal, apa pun bentuknya. Yang penting bukan acara ritualnya, seperti mengikuti misa di Gereja, dan sejenisnya. Malah, beberapa tokoh berani menyatakan secara terbuka, bahwa mengikuti acara sejenis Perayaan Natal Bersama tidaklah apa-apa. Setiap orang akan bertanggung jawab terhadap pendapatnya. Apalagi jika ia tokoh, dan pendapatnya dikutip dan disebarkan di sana-sini.
Seorang Muslim pasti meyakini, bahwa zina adalah sebuah kejahatan, meskipun dilakukan suka sama suka. Muslim pasti juga akan keberatan jika ada kampenye besar-besaran di media massa tentang bolehnya melakukan zina bagi pasangan remaja, yang penting bisa menjaga diri dari kehamilan yang tidak dikehendaki. Maka, tanyakan pada si Muslim, bagaimana pendapatnya jika ada kampanye besar-besaran tentang paham kemusyrikan di media massa. Bukankah dalam pandangan Islam, dosa syirik adalah dosa terbesar yang tak terampuni oleh Allah?!
Karena memandang begitu seriusnya kekeliruan paham syirik itu, maka para sahabat Nabi saw dan para ulama Islam bersikap sangat berhati-hati dalam soal kemusyrikan ini. Sebab, ini menyangkut soal iman. Jika iman rusak, maka amal perbuatan manusia tiada nilainya, laksana fatamorgana. (QS 24:39). Bagi para pemuja paham pluralisme, yang menganut pandangan kesetaraan tauhid dan kemusyrikan, maka soal iman dipandang tidak lebih penting dari soal kemanusiaan. Sampai-sampai di zaman ini ada manusia yang berani menyatakan, bahwa meskipun kafir, yang penting ia tidak korupsi. Padahal, tidak korupsi itu baik. Tetapi, tidak korupsi menjadi tiada berarti jika ia kafir dan tidak beriman. Sebab, amalnya tiada guna, laksana debu yang dihamburkan. Sebagian lagi, ada yang berpikir sinkretis-pragmatis dengan cara mengikuti semua perayaan hari besar agama apa saja, agar dipandang sebagai manusia toleran dan diterima dimana-mana.
Terhadap gagasan mencampuradukkan Perayaan Hari Besar agama, Buya Hamka menyebutkan, bahwa tradisi mencampur-campurkan Perayaan Hari Besar Agama Bersama bukan menyuburkan kerukunan umat beragama atau membangun toleransi, tetapi justru menyuburkan kemunafikan. Di akhir tahun 1960-an, Hamka menulis tentang usulan perlunya diadakan perayaan Natal dan Idul Fithri bersama, karena waktunya berdekatan:
“Si orang Islam diharuskan dengan penuh khusyu’ bahwa Tuhan Allah beranak, dan Yesus Kristus ialah Allah. Sebagaimana tadi orang-orang Kristen disuruh mendengar tentang Nabi Muhammad saw dengan tenang, padahal mereka diajarkan oleh pendetanya bahwa Nabi Muhammad bukanlah nabi, melainkan penjahat. Dan al-Quran bukanlah kitab suci melainkan buku karangan Muhammad saja. Kedua belah pihak, baik orang Kristen yang disuruh tafakur mendengarkan al-Quran, atau orang Islam yang disuruh mendengarkan bahwa Tuhan Allah itu ialah satu ditambah dua sama dengan satu, semuanya disuruh mendengarkan hal-hal yang tidak mereka percayai dan tidak dapat mereka terima… Pada hakekatnya mereka itu tidak ada yang toleransi. Mereka kedua belah pihak hanya menekan perasaan, mendengarkan ucapan-ucapan yang dimuntahkan oleh telinga mereka. Jiwa, raga, hati, sanubari, dan otak, tidak bisa menerima. Kalau keterangan orang Islam bahwa Nabi Muhammad saw adalah Nabi akhir zaman, penutup sekalian Rasul, jiwa raga orang Kristen akan mengatakan bahwa keterangan orang Islam ini harus ditolak, sebab kalau diterima kita tidak Kristen lagi. Dalam hal kepercayaan tidak ada toleransi. Sementara sang pastor dan pendeta menerangkan bahwa dosa waris Nabi Adam, ditebus oleh Yesus Kristus di atas kayu palang, dan manusia ini dilahirkan dalam dosa, dan jalan selamat hanya percaya dan cinta dalam Yesus.”
Demikian kutipan tulisan Prof. Hamka yang ia beri judul: “Toleransi, Sekulerisme, atau Sinkretisme.” (Lihat, buku Hamka, Dari Hati ke Hati, (Jakarta: Pustaka Panjimas, 2002).
Saat terjadi benturan dengan pemerintah dalam soal fatwa “Haram Mengikuti Perayaan Natal Bersama”, Hamka menulis kolom berjudul ”Bisakah Suatu Fatwa Dicabut?” di rubrik “Dari Hati ke Hati” Majalah Panji Masyarakat No 324 tahun 1981. Baiklah kita kutip kembali sebagian isi tu
Seorang Muslim pasti meyakini, bahwa zina adalah sebuah kejahatan, meskipun dilakukan suka sama suka. Muslim pasti juga akan keberatan jika ada kampenye besar-besaran di media massa tentang bolehnya melakukan zina bagi pasangan remaja, yang penting bisa menjaga diri dari kehamilan yang tidak dikehendaki. Maka, tanyakan pada si Muslim, bagaimana pendapatnya jika ada kampanye besar-besaran tentang paham kemusyrikan di media massa. Bukankah dalam pandangan Islam, dosa syirik adalah dosa terbesar yang tak terampuni oleh Allah?!
Karena memandang begitu seriusnya kekeliruan paham syirik itu, maka para sahabat Nabi saw dan para ulama Islam bersikap sangat berhati-hati dalam soal kemusyrikan ini. Sebab, ini menyangkut soal iman. Jika iman rusak, maka amal perbuatan manusia tiada nilainya, laksana fatamorgana. (QS 24:39). Bagi para pemuja paham pluralisme, yang menganut pandangan kesetaraan tauhid dan kemusyrikan, maka soal iman dipandang tidak lebih penting dari soal kemanusiaan. Sampai-sampai di zaman ini ada manusia yang berani menyatakan, bahwa meskipun kafir, yang penting ia tidak korupsi. Padahal, tidak korupsi itu baik. Tetapi, tidak korupsi menjadi tiada berarti jika ia kafir dan tidak beriman. Sebab, amalnya tiada guna, laksana debu yang dihamburkan. Sebagian lagi, ada yang berpikir sinkretis-pragmatis dengan cara mengikuti semua perayaan hari besar agama apa saja, agar dipandang sebagai manusia toleran dan diterima dimana-mana.
Terhadap gagasan mencampuradukkan Perayaan Hari Besar agama, Buya Hamka menyebutkan, bahwa tradisi mencampur-campurkan Perayaan Hari Besar Agama Bersama bukan menyuburkan kerukunan umat beragama atau membangun toleransi, tetapi justru menyuburkan kemunafikan. Di akhir tahun 1960-an, Hamka menulis tentang usulan perlunya diadakan perayaan Natal dan Idul Fithri bersama, karena waktunya berdekatan:
“Si orang Islam diharuskan dengan penuh khusyu’ bahwa Tuhan Allah beranak, dan Yesus Kristus ialah Allah. Sebagaimana tadi orang-orang Kristen disuruh mendengar tentang Nabi Muhammad saw dengan tenang, padahal mereka diajarkan oleh pendetanya bahwa Nabi Muhammad bukanlah nabi, melainkan penjahat. Dan al-Quran bukanlah kitab suci melainkan buku karangan Muhammad saja. Kedua belah pihak, baik orang Kristen yang disuruh tafakur mendengarkan al-Quran, atau orang Islam yang disuruh mendengarkan bahwa Tuhan Allah itu ialah satu ditambah dua sama dengan satu, semuanya disuruh mendengarkan hal-hal yang tidak mereka percayai dan tidak dapat mereka terima… Pada hakekatnya mereka itu tidak ada yang toleransi. Mereka kedua belah pihak hanya menekan perasaan, mendengarkan ucapan-ucapan yang dimuntahkan oleh telinga mereka. Jiwa, raga, hati, sanubari, dan otak, tidak bisa menerima. Kalau keterangan orang Islam bahwa Nabi Muhammad saw adalah Nabi akhir zaman, penutup sekalian Rasul, jiwa raga orang Kristen akan mengatakan bahwa keterangan orang Islam ini harus ditolak, sebab kalau diterima kita tidak Kristen lagi. Dalam hal kepercayaan tidak ada toleransi. Sementara sang pastor dan pendeta menerangkan bahwa dosa waris Nabi Adam, ditebus oleh Yesus Kristus di atas kayu palang, dan manusia ini dilahirkan dalam dosa, dan jalan selamat hanya percaya dan cinta dalam Yesus.”
Demikian kutipan tulisan Prof. Hamka yang ia beri judul: “Toleransi, Sekulerisme, atau Sinkretisme.” (Lihat, buku Hamka, Dari Hati ke Hati, (Jakarta: Pustaka Panjimas, 2002).
Saat terjadi benturan dengan pemerintah dalam soal fatwa “Haram Mengikuti Perayaan Natal Bersama”, Hamka menulis kolom berjudul ”Bisakah Suatu Fatwa Dicabut?” di rubrik “Dari Hati ke Hati” Majalah Panji Masyarakat No 324 tahun 1981. Baiklah kita kutip kembali sebagian isi tu
lisan Hamka tersebut:
Bolehkah orang Islam bersama orang Kristen merayakan Hari Natal? Demi kerukunan hidup beragama? Dan tentu ada orang yang ingin bertanya: Bolehkah orang Kristen-demi kerukunan hidup beragama merayakan pula hari Raya ’Idul Fitri dan Idul ’Adha dengan ummat Islam?
Kalau direnungi lebih dalam, hari Natal bagi orang Kristen ialah memperingati dan memuliakan kelahiran Yesus Kristus yang menurut kepercayaan Kristen Yesus itu adalah Tuhan dan anak Tuhan. Dia adalah SATU dari TIGA TUHAN atau TRINITAS. Bila orang Islam turut sama-sama merayakannya, bukanlah berarti meyakini pula bahwa Yesus itu adalah Tuhan, atau satu dalam yang bertiga, atau tiga oknum dalam satu.... Sekarang keluar FATWA dari ulama-ulama, bukan dari Majelis Ulama saja, melainkan disetujui juga oleh wakil-wakil dari Muhammadiyah, Nahdlatul Ulama, dan perkumpulan-perkumpulan Islam lainnya, bahkan juga dari Majelis Da’wah Islam (yang berafiliasi dengan Golkar) dalam pertemuan itu timbul kesatuan pendapat bahwa orang Islam yang turut dalam perayaan Natal itu adalah mencampuradukkan ibadat, menyetujui aqidah Kristen, menyatakan Nabi Isa Almasih ’alaihissalam sebagai Tuhan.
Dan di dalam logika tentunya sudah dapat dipahami, bahwa hadir di sana ialah menyatakan persetujuan pada ’amalan iu, apatah lagi jika turut pula membakar lilin, sebagai yang mereka bakar, atau makan roti yang menurut `aqidah Kristen jadi daging Yesus, dan air yang diminum menjadi darah Yesus! Maka orang Islam yang menghadirinya itu oleh ayat: (Barangsiapa menyatakan persetujuan dengan mereka, termasuklah dia dalam golongan mereka) (Al-Maidah: 51).
Apakah konklusi hukum dari yang demikian itu, kalau bukan haram? Maka bertindaklah ”Komisi fatwa, dari Majelis Ulama Indonesia, salah seorang ketua Al Fadhil H.Syukuri Gazali merumuskan pendapat itu dan dapatlah kesimpulan bahwa turut merayakan Hari Hatal adalah Haram!” Masih lunak. Karena kalau diperhatikan isi ayat Al-Maidah 51 itu, bukan lagi haram, bahkan kafir.
Oleh karena saat ini benar-benar mengenai aqidah, tidaklah soal ini didiamkan. Tanggung jawab sebagai ulama menyebabkan para ulama merasa berdosa kalau hal ini didiamkan saja.... Penulis teringat ketika Majelis Ulama Indonesia mulai didirikan (Juli 1975) seorang muballigh muda H. Hasyim Adnan bertanya: ”Apa sanksinya kalau pemerintah nanti tidak mau menjalankan suatu keputusan dari Majelis Ulama?”
Saya jawab: ”Tidak ada sanksi yang dapat kita pergunakan. Kita sebagai ulama hanya berkewajiban melakukan amar ma’ruf nahi munkar. Kewajiban kita di hadapan Allah hanya menyampaikan dengan jujur apa yang kita yakini. Ulama menerima waris dari Nabi-nabi. Sebab itu kita warisi juga dari Nabi-nabi itu penderitaan dan penghinaan. Sanksi orang yang menolak kebenaran yang kita ketengahkan bukanlah dari kita. Kita ini hanya manusia yang lemah. Yang memegang sanksi adalah Allah Ta’ala sendiri.”
Demikian cetusan hati dan pikiran Buya Hamka dalam masalah Perayaan Natal. Pada tanggal 19 Mei 1981, sebagai rasa tanggung jawabnya terhadap umat, maka Buya Hamka kemudian meletakkan jabatan sebagai Ketua Umum MUI. Pada tanggal 23 Mei 1981, Buya Hamka menulis kolom Dari Hati ke-Hati di Majalah Panjimas, No. 325, yang dia beri judul Niat Yang Tulus. Kata Hamka: “Meskipun usia sudah 73 tahun, sedikit pun tidak terfikirkan bahwa saya telah melepaskan diri dari beban yang berat, kemudian bersantai-santai menjelang ajal. Husnul khatimah, itulah cita-cita terakhir hidup di dunia ini.”
Begitulah penegasan Buya Hamka menjelang akhir hayatnya. Semoga kita dapat mengambil pelajaran dari beliau. Dan, yang terpenting, terjaga pula iman kita dan iman keluarga kita. Amin. (Bogor, 26 Desember 2014).
Bolehkah orang Islam bersama orang Kristen merayakan Hari Natal? Demi kerukunan hidup beragama? Dan tentu ada orang yang ingin bertanya: Bolehkah orang Kristen-demi kerukunan hidup beragama merayakan pula hari Raya ’Idul Fitri dan Idul ’Adha dengan ummat Islam?
Kalau direnungi lebih dalam, hari Natal bagi orang Kristen ialah memperingati dan memuliakan kelahiran Yesus Kristus yang menurut kepercayaan Kristen Yesus itu adalah Tuhan dan anak Tuhan. Dia adalah SATU dari TIGA TUHAN atau TRINITAS. Bila orang Islam turut sama-sama merayakannya, bukanlah berarti meyakini pula bahwa Yesus itu adalah Tuhan, atau satu dalam yang bertiga, atau tiga oknum dalam satu.... Sekarang keluar FATWA dari ulama-ulama, bukan dari Majelis Ulama saja, melainkan disetujui juga oleh wakil-wakil dari Muhammadiyah, Nahdlatul Ulama, dan perkumpulan-perkumpulan Islam lainnya, bahkan juga dari Majelis Da’wah Islam (yang berafiliasi dengan Golkar) dalam pertemuan itu timbul kesatuan pendapat bahwa orang Islam yang turut dalam perayaan Natal itu adalah mencampuradukkan ibadat, menyetujui aqidah Kristen, menyatakan Nabi Isa Almasih ’alaihissalam sebagai Tuhan.
Dan di dalam logika tentunya sudah dapat dipahami, bahwa hadir di sana ialah menyatakan persetujuan pada ’amalan iu, apatah lagi jika turut pula membakar lilin, sebagai yang mereka bakar, atau makan roti yang menurut `aqidah Kristen jadi daging Yesus, dan air yang diminum menjadi darah Yesus! Maka orang Islam yang menghadirinya itu oleh ayat: (Barangsiapa menyatakan persetujuan dengan mereka, termasuklah dia dalam golongan mereka) (Al-Maidah: 51).
Apakah konklusi hukum dari yang demikian itu, kalau bukan haram? Maka bertindaklah ”Komisi fatwa, dari Majelis Ulama Indonesia, salah seorang ketua Al Fadhil H.Syukuri Gazali merumuskan pendapat itu dan dapatlah kesimpulan bahwa turut merayakan Hari Hatal adalah Haram!” Masih lunak. Karena kalau diperhatikan isi ayat Al-Maidah 51 itu, bukan lagi haram, bahkan kafir.
Oleh karena saat ini benar-benar mengenai aqidah, tidaklah soal ini didiamkan. Tanggung jawab sebagai ulama menyebabkan para ulama merasa berdosa kalau hal ini didiamkan saja.... Penulis teringat ketika Majelis Ulama Indonesia mulai didirikan (Juli 1975) seorang muballigh muda H. Hasyim Adnan bertanya: ”Apa sanksinya kalau pemerintah nanti tidak mau menjalankan suatu keputusan dari Majelis Ulama?”
Saya jawab: ”Tidak ada sanksi yang dapat kita pergunakan. Kita sebagai ulama hanya berkewajiban melakukan amar ma’ruf nahi munkar. Kewajiban kita di hadapan Allah hanya menyampaikan dengan jujur apa yang kita yakini. Ulama menerima waris dari Nabi-nabi. Sebab itu kita warisi juga dari Nabi-nabi itu penderitaan dan penghinaan. Sanksi orang yang menolak kebenaran yang kita ketengahkan bukanlah dari kita. Kita ini hanya manusia yang lemah. Yang memegang sanksi adalah Allah Ta’ala sendiri.”
Demikian cetusan hati dan pikiran Buya Hamka dalam masalah Perayaan Natal. Pada tanggal 19 Mei 1981, sebagai rasa tanggung jawabnya terhadap umat, maka Buya Hamka kemudian meletakkan jabatan sebagai Ketua Umum MUI. Pada tanggal 23 Mei 1981, Buya Hamka menulis kolom Dari Hati ke-Hati di Majalah Panjimas, No. 325, yang dia beri judul Niat Yang Tulus. Kata Hamka: “Meskipun usia sudah 73 tahun, sedikit pun tidak terfikirkan bahwa saya telah melepaskan diri dari beban yang berat, kemudian bersantai-santai menjelang ajal. Husnul khatimah, itulah cita-cita terakhir hidup di dunia ini.”
Begitulah penegasan Buya Hamka menjelang akhir hayatnya. Semoga kita dapat mengambil pelajaran dari beliau. Dan, yang terpenting, terjaga pula iman kita dan iman keluarga kita. Amin. (Bogor, 26 Desember 2014).
Piagam Jakarta dan Sikap Kristen
Oleh: Adian Husaini
Tanggal 22 Juni biasanya dikenang oleh umat Muslim Indonesia sebagai hari kelahiran Piagam Jakarta. Tetapi, tampaknya, kaum Kristen di Indonesia masih tetap menjadikan Piagam Jakarta sebagai momok yang menakutkan. Padahal, Piagam Jakarta bukanlah barang haram di negara ini. Bahkan, dalam Dekritnya pada 5 Juli 1959, Presiden Soekarno dengan tegas mencantumkan, bahwa “Piagam Jakarta tertanggal 22 Juni 1945 menjiwai dan merupakan suatu rangkaian kesatuan dengan konstitusi tersebut.”
Tapi, entah kenapa, kaum Kristen di Indonesia begitu alergi dan ketakutan dengan Piagam Jakarta. Sebagai contoh, Tabloid Kristen REFORMATA edisi 103/Tahun VI/16-31 Maret 2009 menurunkan laporan utama berjudul “RUU Halal dan Zakat: Piagam Jakarta Resmi Diberlakukan?” Dalam pengantar redaksinya, tabloid Kristen yang terbit di Jakarta ini menulis bahwa dia mengemban tugas mulia untuk mengamankan Negara Kesatuan Republik Indonesia yang pluralis, sebagaimana diperjuangkan oleh para pahlawan bangsa.
“Hal ini perlu terus kita ingatkan sebab akhir-akhir ini kelihatannya makin gencar saja upaya orang-orang yang ingin merongrong negara kita yang berfalsafah Pancasila, demi memaksakan diberlakukannya syariat agama tertentu dalam seluruh aspek kehidupan berbangsa dan bernegara. Sebagaimana kita saksikan, sudah banyak produk perundang-undangan maupun peraturan daerah (perda) yang diberlakukan di berbagai tempat, sekalipun banyak rakyat yang menentangnya. Para pihak yang memaksakan kehendaknya ini, dengan dalih membawa aspirasi kelompok mayoritas, saat ini telah berpesta pora di atas kesedihan kelompok masyarakat lain, karena ambisi mereka, satu demi satu berhasil dipaksakan. Entah apa jadinya negara ini nanti, hanya Tuhan yang tahu,” demikian kutipan sikap Redaksi Tabloid Kristen tersebut.
Cornelius D. Ronowidjojo, Ketua Umum DPP PIKI (Persekutuan Inteligensia Kristen Indonesia), seperti dikutip tabloid Reformata menyatakan, bahwa Piagam Jakarta sekarang sudah dilaksanakan dalam realitas ke-Indonesian melalui Perda dan UU. “Sekarang tujuh kata yang telah dihapus itu, bukan hanya tertulis, tapi sungguh nyata sekarang,” tegasnya. Yang menggemaskan, demikian Cornelius, yang melakukan hal itu, bukan lagi para pejuang ekstrim kanan, tapi oknum-oknum di pemerintahan dan DPR. “Ini kecelakaan sejarah. Harusnya penyelenggara negara itu bertobat, dalam arti kembali ke Pancasila secara murni dan konsekuen,” kata Cornelius lagi. Bahkan, tegasnya, “Saya mengatakan bahwa mereka sekarang sedang berpesta di tengah puing-puing keruntuhan NKRI.”
Bagi umat Islam Indonesia, sikap antipati kaum Kristen terhadap syariat Islam tentulah bukan hal baru. Mereka – sebagaimana sebagian kaum sekular – berpendapat, bahwa penerapan syariat Islam di Indonesia bertentangan dengan Pancasila. Pada era 1970-1980-an, logika semacam ini sering kita jumpai. Para siswi yang berjilbab di sekolahnya, dikatakan anti Pancasila. Pegawai negeri yang tidak mau menghadiri perayaan Natal Bersama, juga bisa dicap anti Pancasila. Pejabat yang enggan menjawab tes mental, bahwa ia tidak setuju untuk menikahkan anaknya dengan orang yang berbeda, juga bisa dicap anti-Pancasila. Kini, di era reformasi, sebagian kalangan juga kembali menggunakan senjata Pancasila untuk membungkam aspirasi keagamaan kaum Muslim.
Rumusan Pancasila yang sekarang adalah: 1. Ketuhanan Yang Maha Esa, 2. Kemanusiaan yang adil dan beradab, 3. Persatuan Indonesia, 4. Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan, dan 5. Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Rumusan Pancasila tersebut adalah yang tercantum dalam Pembukaan UUD 1945 yang merupakan hasil dekrit Presiden 5 Juli 1959, yang dengan tegas menyatakan: “Bahwa kami berkeyakinan bahwa Piagam Jakarta tertanggal 22 Juni 1945 menjiwai dan merupakan suatu rangkaian kesatuan dengan konstitusi tersebut.”
Jadi, Dekrit Presiden Soekarno itulah yang menempatkan Piagam Jakarta sebagai bagian yang sah dan tak terpisahkan dari Konstitusi Negara NKRI, UUD 1945. Dekrit itulah yang kembali membe
Oleh: Adian Husaini
Tanggal 22 Juni biasanya dikenang oleh umat Muslim Indonesia sebagai hari kelahiran Piagam Jakarta. Tetapi, tampaknya, kaum Kristen di Indonesia masih tetap menjadikan Piagam Jakarta sebagai momok yang menakutkan. Padahal, Piagam Jakarta bukanlah barang haram di negara ini. Bahkan, dalam Dekritnya pada 5 Juli 1959, Presiden Soekarno dengan tegas mencantumkan, bahwa “Piagam Jakarta tertanggal 22 Juni 1945 menjiwai dan merupakan suatu rangkaian kesatuan dengan konstitusi tersebut.”
Tapi, entah kenapa, kaum Kristen di Indonesia begitu alergi dan ketakutan dengan Piagam Jakarta. Sebagai contoh, Tabloid Kristen REFORMATA edisi 103/Tahun VI/16-31 Maret 2009 menurunkan laporan utama berjudul “RUU Halal dan Zakat: Piagam Jakarta Resmi Diberlakukan?” Dalam pengantar redaksinya, tabloid Kristen yang terbit di Jakarta ini menulis bahwa dia mengemban tugas mulia untuk mengamankan Negara Kesatuan Republik Indonesia yang pluralis, sebagaimana diperjuangkan oleh para pahlawan bangsa.
“Hal ini perlu terus kita ingatkan sebab akhir-akhir ini kelihatannya makin gencar saja upaya orang-orang yang ingin merongrong negara kita yang berfalsafah Pancasila, demi memaksakan diberlakukannya syariat agama tertentu dalam seluruh aspek kehidupan berbangsa dan bernegara. Sebagaimana kita saksikan, sudah banyak produk perundang-undangan maupun peraturan daerah (perda) yang diberlakukan di berbagai tempat, sekalipun banyak rakyat yang menentangnya. Para pihak yang memaksakan kehendaknya ini, dengan dalih membawa aspirasi kelompok mayoritas, saat ini telah berpesta pora di atas kesedihan kelompok masyarakat lain, karena ambisi mereka, satu demi satu berhasil dipaksakan. Entah apa jadinya negara ini nanti, hanya Tuhan yang tahu,” demikian kutipan sikap Redaksi Tabloid Kristen tersebut.
Cornelius D. Ronowidjojo, Ketua Umum DPP PIKI (Persekutuan Inteligensia Kristen Indonesia), seperti dikutip tabloid Reformata menyatakan, bahwa Piagam Jakarta sekarang sudah dilaksanakan dalam realitas ke-Indonesian melalui Perda dan UU. “Sekarang tujuh kata yang telah dihapus itu, bukan hanya tertulis, tapi sungguh nyata sekarang,” tegasnya. Yang menggemaskan, demikian Cornelius, yang melakukan hal itu, bukan lagi para pejuang ekstrim kanan, tapi oknum-oknum di pemerintahan dan DPR. “Ini kecelakaan sejarah. Harusnya penyelenggara negara itu bertobat, dalam arti kembali ke Pancasila secara murni dan konsekuen,” kata Cornelius lagi. Bahkan, tegasnya, “Saya mengatakan bahwa mereka sekarang sedang berpesta di tengah puing-puing keruntuhan NKRI.”
Bagi umat Islam Indonesia, sikap antipati kaum Kristen terhadap syariat Islam tentulah bukan hal baru. Mereka – sebagaimana sebagian kaum sekular – berpendapat, bahwa penerapan syariat Islam di Indonesia bertentangan dengan Pancasila. Pada era 1970-1980-an, logika semacam ini sering kita jumpai. Para siswi yang berjilbab di sekolahnya, dikatakan anti Pancasila. Pegawai negeri yang tidak mau menghadiri perayaan Natal Bersama, juga bisa dicap anti Pancasila. Pejabat yang enggan menjawab tes mental, bahwa ia tidak setuju untuk menikahkan anaknya dengan orang yang berbeda, juga bisa dicap anti-Pancasila. Kini, di era reformasi, sebagian kalangan juga kembali menggunakan senjata Pancasila untuk membungkam aspirasi keagamaan kaum Muslim.
Rumusan Pancasila yang sekarang adalah: 1. Ketuhanan Yang Maha Esa, 2. Kemanusiaan yang adil dan beradab, 3. Persatuan Indonesia, 4. Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan, dan 5. Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Rumusan Pancasila tersebut adalah yang tercantum dalam Pembukaan UUD 1945 yang merupakan hasil dekrit Presiden 5 Juli 1959, yang dengan tegas menyatakan: “Bahwa kami berkeyakinan bahwa Piagam Jakarta tertanggal 22 Juni 1945 menjiwai dan merupakan suatu rangkaian kesatuan dengan konstitusi tersebut.”
Jadi, Dekrit Presiden Soekarno itulah yang menempatkan Piagam Jakarta sebagai bagian yang sah dan tak terpisahkan dari Konstitusi Negara NKRI, UUD 1945. Dekrit itulah yang kembali membe
rlakukan Pancasila yang sekarang. Prof. Kasman Singodimedjo, yang terlibat dalam lobi-lobi tanggal 18 Agustus 1945 di PPKI, menyatakan, bahwa Dekrit 5 Juli 1959 bersifat “einmalig”, artinya berlaku untuk selama-lamanya (tidak dapat dicabut). “Maka, Piagam Jakarta sejak tanggal 5 Juli 1959 menjadi sehidup semati dengan Undang-undang Dasar 1945 itu, bahkan merupakan jiwa yang menjiwai Undang-undang Dasar 1945 tersebut,” tulis Kasman dalam bukunya, Hidup Itu Berjuang, Kasman Singodimedjo 75 Tahun (Jakarta: Bulan Bintang, 1982).
Karena itu, adalah sangat aneh jika masih saja ada pihak-pihak tertentu di Indonesia yang alergi dengan Piagam Jakarta. Dr. Roeslan Abdulgani, tokoh utama PNI, selaku Wakil Ketua DPA dan Ketua Pembina Jiwa Revolusi, menulis: “Tegas-tegas di dalam Dekrit ini ditempatkan secara wajar dan secara histories-jujur posisi dan fungsi Jakarta Charter tersebut dalam hubungannya dengan UUD Proklamasi dan Revolusi kita yakni: Jakarta Charter sebagai menjiwai UUD ’45 dan Jakarta Charter sebagai merupakan rangkaian kesatuan dengan UUD ’45.” (Dikutip dari Endang Saifuddin Anshari, Piagam Jakarta 22 Juni 1945: Sebuah Konsensus Nasional Tentang Dasar Negara Republik Indonesia (1945-1949), (Jakarta: GIP, 1997), hal. 130).
Dalam pidatonya pada hari peringatan Piagam Jakarta tanggal 29 Juni 1968 di Gedung Pola Jakarta, KHM Dahlan, tokoh NU, yang juga Menteri Agama ketika itu mengatakan: “Bahwa di atas segala-galanya, memang syariat Islam di Indonesia telah berabad-abad dilaksanakan secra konsekuen oleh rakyat Indonesia, sehingga ia bukan hanya sumber hukum, malahan ia telah menjadi kenyataan, di dalam kehidupan rakyat Indonesia sehari-hari yang telah menjadi adat yang mendarah daging. Hanya pemerintah kolonial Belandalah yang tidak mau menformilkan segala hukum yang berlaku di kalangan rakyat kita itu, walaupun ia telah menjadi ikatan-ikatan hukum dalam kehidupan mereka sehari-hari.” (Ibid, hal. 135).
Meskipun Piagam Jakarta adalah bagian yang sah dan tidak terpisahkan dari UUD 1945, tetapi dalam sejarah perjalanan bangsa, senantiasa ada usaha keras untuk menutup-nutupi hal ini. Di zaman Orde Lama, sebelum G-30S/PKI, kalangan komunis sangat aktif dalam upaya memanipulasi kedudukan Piagam Jakarta. Ajip Rosidi, sastrawan terkenal menulis dalam buku, Beberapa Masalah Umat Islam Indonesia (1970): “Pada zaman pra-Gestapu, PKI beserta antek-anteknyalah yang paling takut kalau mendengar perkataan Piagam Jakarta… Tetapi agaknya ketakutan akan Piagam Jakarta, terutama ke-7 patah kata itu bukan hanya monopoli PKI dan antek-anteknya saja. Sekarang pun setelah PKI beserta antek-anteknya dinyatakan bubar, masih ada kita dengar tanggapan yang aneh terhadapnya.” (Ibid, hal. 138).
Jadi, sikap alergi terhadap Piagam Jakarta jelas-jelas bertentangan dengan Konstitusi Negara RI, UUD 1945. Meskipun secara verbal “tujuh kata” (dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya) telah terhapus dari naskah Pembukaan UUD 1945, tetapi kedudukan Piagam Jakarta sangatlah jelas, sebagaimana ditegaskan dalam Dekrit Presiden 5 Juli 1959. Setelah itu, Piagam Jakarta juga merupakan sumber hukum yang hidup. Sejumlah peraturan perundang-undangan yang dikeluarkan setelah tahun 1959 merujuk atau menjadikan Piagam Jakarta sebagai konsideran.
Sebagai contoh, penjelasan atas Penpres 1/1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama, dibuka dengan ungkapan: “Dekrit Presiden tanggal 5 Juli 1959 yang menetapkan Undang-undang Dasar 1945 berlaku lagi bagi segenap bangsa Indonesia ia telah menyatakan bahwa Piagam Jakarta tertanggal 22 Juni 1945 menjiwai dan merupakan suatu rangkaian kesatuan dengan konstitusi tersebut.”
Dalam Peraturan Presiden No 11 tahun 1960 tentang Pembentukan Institut Agama Islam Negeri (IAIN), juga dicantumkan pertimbangan pertama: “bahwa sesuai dengan Piagam Djakarta tertanggal 22 Djuni 1945, yang mendjiwai Undang-undang Dasar 1945 dan merupakan rangkaian kesatuan dengan Konstitusi tersebut…”.
Sebuah buku yang cukup komprehensif tentang Piagam Jakarta ditulis oleh sejarawan Ridwan Saidi, berjudul Status
Karena itu, adalah sangat aneh jika masih saja ada pihak-pihak tertentu di Indonesia yang alergi dengan Piagam Jakarta. Dr. Roeslan Abdulgani, tokoh utama PNI, selaku Wakil Ketua DPA dan Ketua Pembina Jiwa Revolusi, menulis: “Tegas-tegas di dalam Dekrit ini ditempatkan secara wajar dan secara histories-jujur posisi dan fungsi Jakarta Charter tersebut dalam hubungannya dengan UUD Proklamasi dan Revolusi kita yakni: Jakarta Charter sebagai menjiwai UUD ’45 dan Jakarta Charter sebagai merupakan rangkaian kesatuan dengan UUD ’45.” (Dikutip dari Endang Saifuddin Anshari, Piagam Jakarta 22 Juni 1945: Sebuah Konsensus Nasional Tentang Dasar Negara Republik Indonesia (1945-1949), (Jakarta: GIP, 1997), hal. 130).
Dalam pidatonya pada hari peringatan Piagam Jakarta tanggal 29 Juni 1968 di Gedung Pola Jakarta, KHM Dahlan, tokoh NU, yang juga Menteri Agama ketika itu mengatakan: “Bahwa di atas segala-galanya, memang syariat Islam di Indonesia telah berabad-abad dilaksanakan secra konsekuen oleh rakyat Indonesia, sehingga ia bukan hanya sumber hukum, malahan ia telah menjadi kenyataan, di dalam kehidupan rakyat Indonesia sehari-hari yang telah menjadi adat yang mendarah daging. Hanya pemerintah kolonial Belandalah yang tidak mau menformilkan segala hukum yang berlaku di kalangan rakyat kita itu, walaupun ia telah menjadi ikatan-ikatan hukum dalam kehidupan mereka sehari-hari.” (Ibid, hal. 135).
Meskipun Piagam Jakarta adalah bagian yang sah dan tidak terpisahkan dari UUD 1945, tetapi dalam sejarah perjalanan bangsa, senantiasa ada usaha keras untuk menutup-nutupi hal ini. Di zaman Orde Lama, sebelum G-30S/PKI, kalangan komunis sangat aktif dalam upaya memanipulasi kedudukan Piagam Jakarta. Ajip Rosidi, sastrawan terkenal menulis dalam buku, Beberapa Masalah Umat Islam Indonesia (1970): “Pada zaman pra-Gestapu, PKI beserta antek-anteknyalah yang paling takut kalau mendengar perkataan Piagam Jakarta… Tetapi agaknya ketakutan akan Piagam Jakarta, terutama ke-7 patah kata itu bukan hanya monopoli PKI dan antek-anteknya saja. Sekarang pun setelah PKI beserta antek-anteknya dinyatakan bubar, masih ada kita dengar tanggapan yang aneh terhadapnya.” (Ibid, hal. 138).
Jadi, sikap alergi terhadap Piagam Jakarta jelas-jelas bertentangan dengan Konstitusi Negara RI, UUD 1945. Meskipun secara verbal “tujuh kata” (dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya) telah terhapus dari naskah Pembukaan UUD 1945, tetapi kedudukan Piagam Jakarta sangatlah jelas, sebagaimana ditegaskan dalam Dekrit Presiden 5 Juli 1959. Setelah itu, Piagam Jakarta juga merupakan sumber hukum yang hidup. Sejumlah peraturan perundang-undangan yang dikeluarkan setelah tahun 1959 merujuk atau menjadikan Piagam Jakarta sebagai konsideran.
Sebagai contoh, penjelasan atas Penpres 1/1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama, dibuka dengan ungkapan: “Dekrit Presiden tanggal 5 Juli 1959 yang menetapkan Undang-undang Dasar 1945 berlaku lagi bagi segenap bangsa Indonesia ia telah menyatakan bahwa Piagam Jakarta tertanggal 22 Juni 1945 menjiwai dan merupakan suatu rangkaian kesatuan dengan konstitusi tersebut.”
Dalam Peraturan Presiden No 11 tahun 1960 tentang Pembentukan Institut Agama Islam Negeri (IAIN), juga dicantumkan pertimbangan pertama: “bahwa sesuai dengan Piagam Djakarta tertanggal 22 Djuni 1945, yang mendjiwai Undang-undang Dasar 1945 dan merupakan rangkaian kesatuan dengan Konstitusi tersebut…”.
Sebuah buku yang cukup komprehensif tentang Piagam Jakarta ditulis oleh sejarawan Ridwan Saidi, berjudul Status
Piagam Jakarta: Tinjauan Hukum dan Sejarah (Jakarta: Mahmilub, 2007). Ridwan menulis, bahwa hukum Islam adalah hukum yang hidup di tengah masyarakat Muslim. Tanpa UUD atau tanpa negara pun, umat Islam akan menjalankan syariat Islam. Karena itu, Piagam Jakarta, sebenarnya mengakui hak orang Islam untuk menjalankan syariatnya. Dan itu telah diatur dalam Dekrit Presiden 5 Juli 1959 yang dituangkan dalam Keppres No. 150/tahun 1959 sebagaimana ditempatkan dalam Lembaran Negara No. 75/tahun 1959.
Hukum Islam telah diterapkan di bumi Indonesia ini selama ratusan tahun, jauh sebelum kauh penjajah Kristen datang ke negeri ini. Selama beratus-ratus tahun pula, penjajah Kristen Belanda berusaha menggusur hukum Islam dari bumi Indonesia. C. van Vollenhoven dan Christian Snouck Hurgronje, misalnya, tercatat sebagai sarjana Belanda yang sangat gigih dalam menggusur hukum Islam. Tapi, usaha mereka tidak berhasil sepenuhnya. Hukum Islam akhirnya tetap diakui sebagai bagian dari sistem hukum di wilayah Hindia Belanda. Melalui RegeeringsReglement, disingkat RR, biasa diterjemahkan sebagai Atoeran Pemerintahan Hindia Belanda (APH), pasal 173 ditentukan bahwa: “Tiap-tiap orang boleh mengakui hukum dan aturan agamanya dengan semerdeka-merdekanya, asal pergaulan umum (maatschappij) dan anggotanya diperlindungi dari pelanggaran undang-undang umum tentang hukum hukuman (strafstrecht).” (Ridwan Saidi, Status Piagam Jakarta hal. 96).
Jadi, meskipun sudah berusaha sekuat tenaga, Belanda akhirnya tidak berhasil sepenuhnya menggusur syariat Islam dari bumi Indonesia. Ridwan menulis: “Sampai dengan berakhirnya masa VOC tahun 1799, VOC terus berkutat untuk melakukan unifikasi hukum dengan sedapat mungkin menyingkirkan hukum Islam, tetapi sampai munculnya Pemerintah Hindia Belanda usaha itu sia-sia belaka.” (Ibid, hal. 94).
Kegagalan penjajah Kristen Belanda untuk menggusur syariat Islam, harusnya menjadi pelajaran berharga bagi kaum Kristen di Indonesia. Mereka harusnya menyadari bahwa kedudukan syariat Islam bagi kaum Muslim sangat berbeda dengan kedudukan hukum Taurat bagi Kristen. Dengan mengikuti ajaran Paulus, kaum Kristen memang kemudian berlepas diri dari hukum Taurat dengan berbagai pertimbangan.
Dalam bukunya yang berjudul Syariat Taurat atau Kemerdekaan Injil? (Mitra Pustaka, 2008), Pendeta Herlianto menguraikan bagaimana kedudukan hukum Taurat bagi kaum Kristen saat ini. Dalam konsep Kristen, menurut Herlianto, keselamatan dan kebenaran bukanlah tergantung dari melakukan perbuatan hukum-hukum Taurat, melainkan karena Iman dan Kasih Karunia dengan menjalankan hukum Kasih. Jadi, hukum Kasih itulah yang kemudian dipegang kaum Kristen. Hukum sunat (khitan), misalnya, meskipun jelas-jelas disyariatkan dalam Taurat, tetapi tidak lagi diwajibkan bagi kaum Kristen. ‘Sunat’ yang dimaksud, bukan lagi syariat sunat sebagaimana dipahami umat-umat para Nabi sebelumnya, tetapi ditafsirkan sebagai “sunat rohani”. (Rm. 2:29). (Herlianto, Syariat Taurat atau Kemerdekaan Injil? Hal. 16-17).
Babi, misalnya, juga secara tegas diharamkan dalam Kitab Imamat, 11:7-8. Tetapi, teks Bibel versi Indonesia tentang babi itu sendiri memang sangat beragam, meskipun diterbitkan oleh Lembaga Alkitab Indonesia (LAI). Dalam Alkitab versi LAI, tahun 1968 ditulis: “dan lagi babi, karena sungguh pun kukunya terbelah dua, ia itu bersiratan kukunya, tetapi dia tiada memamah biak, maka haramlah ia kepadamu. Djanganlah kamu makan daripada dagingnya dan djangan pula kamu mendjamah bangkainya, maka haramlah ia kepadamu.” (Dalam Alkitab versi LAI tahun 2007, kata babi berubah menjadi babi hutan: “Demikian juga babi hutan, karena memang berkuku belah, yaitu kukunya bersela panjang, tetapi tidak memamah biak, haram itu bagimu. Daging binatang-binatang itu janganlah kamu makan dan bangkainya janganlah kamu sentuh; haram semuanya itu bagimu.”). Pada tahun yang sama, 2007, LAI juga menerbitkan Alkitab dalam Bahasa Indonesia Masa Kini, yang menulis ayat tersebut: “Jangan makan babi. Binatang itu haram, karena walaupun kukunya terbelah, ia tidak memamah biak. Dagingnya tak boleh dimaka
Hukum Islam telah diterapkan di bumi Indonesia ini selama ratusan tahun, jauh sebelum kauh penjajah Kristen datang ke negeri ini. Selama beratus-ratus tahun pula, penjajah Kristen Belanda berusaha menggusur hukum Islam dari bumi Indonesia. C. van Vollenhoven dan Christian Snouck Hurgronje, misalnya, tercatat sebagai sarjana Belanda yang sangat gigih dalam menggusur hukum Islam. Tapi, usaha mereka tidak berhasil sepenuhnya. Hukum Islam akhirnya tetap diakui sebagai bagian dari sistem hukum di wilayah Hindia Belanda. Melalui RegeeringsReglement, disingkat RR, biasa diterjemahkan sebagai Atoeran Pemerintahan Hindia Belanda (APH), pasal 173 ditentukan bahwa: “Tiap-tiap orang boleh mengakui hukum dan aturan agamanya dengan semerdeka-merdekanya, asal pergaulan umum (maatschappij) dan anggotanya diperlindungi dari pelanggaran undang-undang umum tentang hukum hukuman (strafstrecht).” (Ridwan Saidi, Status Piagam Jakarta hal. 96).
Jadi, meskipun sudah berusaha sekuat tenaga, Belanda akhirnya tidak berhasil sepenuhnya menggusur syariat Islam dari bumi Indonesia. Ridwan menulis: “Sampai dengan berakhirnya masa VOC tahun 1799, VOC terus berkutat untuk melakukan unifikasi hukum dengan sedapat mungkin menyingkirkan hukum Islam, tetapi sampai munculnya Pemerintah Hindia Belanda usaha itu sia-sia belaka.” (Ibid, hal. 94).
Kegagalan penjajah Kristen Belanda untuk menggusur syariat Islam, harusnya menjadi pelajaran berharga bagi kaum Kristen di Indonesia. Mereka harusnya menyadari bahwa kedudukan syariat Islam bagi kaum Muslim sangat berbeda dengan kedudukan hukum Taurat bagi Kristen. Dengan mengikuti ajaran Paulus, kaum Kristen memang kemudian berlepas diri dari hukum Taurat dengan berbagai pertimbangan.
Dalam bukunya yang berjudul Syariat Taurat atau Kemerdekaan Injil? (Mitra Pustaka, 2008), Pendeta Herlianto menguraikan bagaimana kedudukan hukum Taurat bagi kaum Kristen saat ini. Dalam konsep Kristen, menurut Herlianto, keselamatan dan kebenaran bukanlah tergantung dari melakukan perbuatan hukum-hukum Taurat, melainkan karena Iman dan Kasih Karunia dengan menjalankan hukum Kasih. Jadi, hukum Kasih itulah yang kemudian dipegang kaum Kristen. Hukum sunat (khitan), misalnya, meskipun jelas-jelas disyariatkan dalam Taurat, tetapi tidak lagi diwajibkan bagi kaum Kristen. ‘Sunat’ yang dimaksud, bukan lagi syariat sunat sebagaimana dipahami umat-umat para Nabi sebelumnya, tetapi ditafsirkan sebagai “sunat rohani”. (Rm. 2:29). (Herlianto, Syariat Taurat atau Kemerdekaan Injil? Hal. 16-17).
Babi, misalnya, juga secara tegas diharamkan dalam Kitab Imamat, 11:7-8. Tetapi, teks Bibel versi Indonesia tentang babi itu sendiri memang sangat beragam, meskipun diterbitkan oleh Lembaga Alkitab Indonesia (LAI). Dalam Alkitab versi LAI, tahun 1968 ditulis: “dan lagi babi, karena sungguh pun kukunya terbelah dua, ia itu bersiratan kukunya, tetapi dia tiada memamah biak, maka haramlah ia kepadamu. Djanganlah kamu makan daripada dagingnya dan djangan pula kamu mendjamah bangkainya, maka haramlah ia kepadamu.” (Dalam Alkitab versi LAI tahun 2007, kata babi berubah menjadi babi hutan: “Demikian juga babi hutan, karena memang berkuku belah, yaitu kukunya bersela panjang, tetapi tidak memamah biak, haram itu bagimu. Daging binatang-binatang itu janganlah kamu makan dan bangkainya janganlah kamu sentuh; haram semuanya itu bagimu.”). Pada tahun yang sama, 2007, LAI juga menerbitkan Alkitab dalam Bahasa Indonesia Masa Kini, yang menulis ayat tersebut: “Jangan makan babi. Binatang itu haram, karena walaupun kukunya terbelah, ia tidak memamah biak. Dagingnya tak boleh dimaka
n dan bangkainya pun tak boleh disentuh karena binatang itu haram.”
Jika dibaca secara literal, maka jelaslah, harusnya babi memang diharamkan. Tetapi, kaum Kristen mempunyai cara tersendiri dalam memahami kitabnya. Menurut Herlianto, Rasul Paulus telah memberikan pengertian hukum Taurat dengan jelas: “Tetapi sekarang kita telah dibebaskan dari hukum Taurat, sebab kita telah mati bagi dia, yang mengurung kita, sehingga kita sekarang melayani dalam keadaan baru dan bukan dalam keadaan lama menurut hukum-hukum Taurat.” (Rm. 7:6). (Herlianto, Syariat Taurat atau Kemerdekaan Injil? Hal. 20).
Pandangan kaum Kristen terhadap hukum Taurat tentu saja sangat berbeda dengan pandangan dan sikap umat Islam terhadap syariat Islam. Sampai kiamat, umat Islam tetap menyatakan, bahwa babi adalah haram. Teks al-Quran yang mengharamkan babi juga tidak pernah berubah sepanjang zaman, sampai kiamat. Hingga kini, tidak ada satu pun umat Islam yang menolak syariat khitan, dan menggantikannya dengan “khitan ruhani”. Sebab, umat Islam bukan hanya menerima ajaran, tetapi juga mempunyai contoh dalam pelaksanaan syariat, yaitu Nabi Muhammad saw. Karena sifatnya yang final dan universal, maka syariat Islam berlaku sepanjang zaman dan untuk semua umat manusia. Apa pun latar belakang budayanya, umat Islam pasti mengharamkan babi dan mewajibkan shalat lima waktu. Apalagi, dalam pandangan Islam, syariat Islam itu mencakup seluruh aspek kehidupan manusia; mulai tata cara mandi sampai mengatur perekonomian.
Pandangan dan sikap umat Islam terhadap syariat Islam semacam ini harusnya dipahami dan dihormati oleh kaum Kristen. Sangat disayangkan, tampaknya, kaum Kristen di Indonesia masih saja melihat syariat Islam dalam perspektif yang sama dengan penjajah Kristen Belanda, dahulu. Padahal. sudah bukan zamannya lagi menuduh kaum Muslimin yang melaksanakan ajaran Islam sebagai “anti-Pancasila”, “anti-NKRI”, dan sebagainya. [Depok, 16 Juni 2009]
Jika dibaca secara literal, maka jelaslah, harusnya babi memang diharamkan. Tetapi, kaum Kristen mempunyai cara tersendiri dalam memahami kitabnya. Menurut Herlianto, Rasul Paulus telah memberikan pengertian hukum Taurat dengan jelas: “Tetapi sekarang kita telah dibebaskan dari hukum Taurat, sebab kita telah mati bagi dia, yang mengurung kita, sehingga kita sekarang melayani dalam keadaan baru dan bukan dalam keadaan lama menurut hukum-hukum Taurat.” (Rm. 7:6). (Herlianto, Syariat Taurat atau Kemerdekaan Injil? Hal. 20).
Pandangan kaum Kristen terhadap hukum Taurat tentu saja sangat berbeda dengan pandangan dan sikap umat Islam terhadap syariat Islam. Sampai kiamat, umat Islam tetap menyatakan, bahwa babi adalah haram. Teks al-Quran yang mengharamkan babi juga tidak pernah berubah sepanjang zaman, sampai kiamat. Hingga kini, tidak ada satu pun umat Islam yang menolak syariat khitan, dan menggantikannya dengan “khitan ruhani”. Sebab, umat Islam bukan hanya menerima ajaran, tetapi juga mempunyai contoh dalam pelaksanaan syariat, yaitu Nabi Muhammad saw. Karena sifatnya yang final dan universal, maka syariat Islam berlaku sepanjang zaman dan untuk semua umat manusia. Apa pun latar belakang budayanya, umat Islam pasti mengharamkan babi dan mewajibkan shalat lima waktu. Apalagi, dalam pandangan Islam, syariat Islam itu mencakup seluruh aspek kehidupan manusia; mulai tata cara mandi sampai mengatur perekonomian.
Pandangan dan sikap umat Islam terhadap syariat Islam semacam ini harusnya dipahami dan dihormati oleh kaum Kristen. Sangat disayangkan, tampaknya, kaum Kristen di Indonesia masih saja melihat syariat Islam dalam perspektif yang sama dengan penjajah Kristen Belanda, dahulu. Padahal. sudah bukan zamannya lagi menuduh kaum Muslimin yang melaksanakan ajaran Islam sebagai “anti-Pancasila”, “anti-NKRI”, dan sebagainya. [Depok, 16 Juni 2009]
DEBAT POLIGAMI MENJELANG KEMERDEKAAN RI
Oleh: Dr. Adian Husaini
Pada tahun 1937, seorang cendekiawan Muslim Indonesia bernama Mr. Yusuf Wibisono, menulis sebuah buku berjudul "Monogami atau Poligami: Masalah Sepanjang Masa". Aslinya, buku ini ditulis dalam bahasa Belanda dan diterjemahkan dalam bahasa Indonesia oleh Soemantri Mertodipuro pada tahun 1954. Karena tidak memiliki biaya, baru pada tahun 1980, buku Mr. Yusuf Wibisono ini diterbitkan.
Yusuf Wibisono sendiri tidak berpoligami. Ia adalah seorang tokoh Masyumi, tokoh ekonomi, keuangan dan perbankan. Dia pernah menjadi menteri keuangan pada 1951-1952 dan direktur sejumlah bank di Jakarta dan Yogya. Sebagai tokoh pers, dia adalah pemimpin redaksi Mimbar Indonesia. Jabatan penting lain yang pernah dipegangnya adalah rektor Universitas Muhammadiyah dan Universitas Tjokroaminoto. Tapi, hidupnya sangat bersahaja. Hingga istrinya meninggal, dia tidak memiliki rumah pribadi.
Meskipun buku ini ditulis Yusuf Wibisono saat menjadi mahasiswa di zaman penjajahan, buku ini tampak memiliki kualitas ilmiah yang tinggi, dan memberikan penjelasan yang komprehensif tentang masalah poligami, bukan hanya dari sudut pandang hukum Islam, tetapi juga memuat pandangan banyak ilmuwan Barat tentang poligami. Yusuf juga memberikan kritik-kritik terhadap sebagian ilmuwan dari kalangan Muslim, seperti Ameer Ali, yang menolak hukum poligami. Selain buku-buku berbahasa Belanda, Yusuf juga merujuk buku-buku berbahasa Inggris, Perancis, dan Jerman.
Beberapa tahun sebelumnya, pada 1932, seorang wanita bernama Soewarni Pringgodigdo, menulis satu artikel tentang poligami di Koran 'Suluh Indonesia Muda' yang memberikan kritikan keras terhadap poligami. Menurut Soewarni, poligami adalah hal yang nista bagi wanita, dan bahwasanya Indonesia merdeka tak akan bisa sempurna, selama rakyatnya masih menyukai lembaga poligami.
Mr. Yusuf Wibisono memberikan bukti-bukti ilmiah tentang keunggulan pandangan Islam yang membuka pintu poligami dengan syarat-syarat tertentu. Sistem ini merupakan 'jalan tengah' dari sistem perkawinan kuno yang tidak memberi batasan poligami atau sistem Barat yang menutup pintu poligami sama sekali. Dalam pengantarnya untuk edisi Indonesia, tahun 1980, Yusuf Wibisono menulis bahwa, "Saya rasa umat manusia akhirnya akan dihadapkan kepada dua pilihan yang tidak bisa dihindari yakni poligami legal atau poligami tidak legal (gelap). Islam memilih poligami legal, dengan pembatasan-pembatasan yang mencegah penyalahgunaan kekuasaan kaum pria, sehingga lembaga poligami ini betul-betul merupakan kebahagiaan bagi masyarakat manusia, di mana dia sungguh-sungguh diperlukan."
Salah seorang ilmuwan yang dikutip pendapatnya tentang poligami oleh Yusuf Wibisono adalah Georges Anquetil, pakar sosiologi Perancis, yang menulis buku setebal 460 halaman, berjudul "La maitresse legimitime".
Anquetil menulis dalam bukunya:
"Suatu pertimbangan yang sudah cukup terlukis harus diingat-ingat dan diperkembangkan, yakni, mengapa semua orang-orang besar adalah penyokong poligami, seperti yang dinyatakan secara kritis oleh seorang pengarang dari buku Inggris : "History and philosophy of marriege." Bahkan, mereka yang hidup di bawah kekuasaan kemunafikan monogami, tidak mau tunduk kepadanya, tak pula mau taat kepada undang-undang yang bersifat melawan kodrat; baik mereka itu filsuf, seperti Plato, Aristoteles, Bacon, Auguste Comte, atau perajurit seperti Alexander, Cesar, Napoleon, atau Nelson, atau penyair-penyair seperti Goethe, Burns, Byron, Hugo, Verlaine, Chateaubriand atau Catulie Mendes, maupun negarawan-negarawan seperti Pericles, Augustus, Buckingham, Mirabeau atau Gambetta. Apakah hasil daripada sistem yang munafik ini bagi orang-orang besar ini ? Mereka dipaksa untuk selama-lamanya menyembunyikan perasaan-perasaannya, selalu berdusta, baik terhadap istrinya sendiri maupun terhadap dunia yang mewajibkan mereka itu menyembunyikan anak-anaknya dan kurang menghormati mereka yang hanya merupakan maitressenya. Sebenarnya ialah, bahwasanya poligami yang semata-mata sesuai dengan hukum alam telah d
Oleh: Dr. Adian Husaini
Pada tahun 1937, seorang cendekiawan Muslim Indonesia bernama Mr. Yusuf Wibisono, menulis sebuah buku berjudul "Monogami atau Poligami: Masalah Sepanjang Masa". Aslinya, buku ini ditulis dalam bahasa Belanda dan diterjemahkan dalam bahasa Indonesia oleh Soemantri Mertodipuro pada tahun 1954. Karena tidak memiliki biaya, baru pada tahun 1980, buku Mr. Yusuf Wibisono ini diterbitkan.
Yusuf Wibisono sendiri tidak berpoligami. Ia adalah seorang tokoh Masyumi, tokoh ekonomi, keuangan dan perbankan. Dia pernah menjadi menteri keuangan pada 1951-1952 dan direktur sejumlah bank di Jakarta dan Yogya. Sebagai tokoh pers, dia adalah pemimpin redaksi Mimbar Indonesia. Jabatan penting lain yang pernah dipegangnya adalah rektor Universitas Muhammadiyah dan Universitas Tjokroaminoto. Tapi, hidupnya sangat bersahaja. Hingga istrinya meninggal, dia tidak memiliki rumah pribadi.
Meskipun buku ini ditulis Yusuf Wibisono saat menjadi mahasiswa di zaman penjajahan, buku ini tampak memiliki kualitas ilmiah yang tinggi, dan memberikan penjelasan yang komprehensif tentang masalah poligami, bukan hanya dari sudut pandang hukum Islam, tetapi juga memuat pandangan banyak ilmuwan Barat tentang poligami. Yusuf juga memberikan kritik-kritik terhadap sebagian ilmuwan dari kalangan Muslim, seperti Ameer Ali, yang menolak hukum poligami. Selain buku-buku berbahasa Belanda, Yusuf juga merujuk buku-buku berbahasa Inggris, Perancis, dan Jerman.
Beberapa tahun sebelumnya, pada 1932, seorang wanita bernama Soewarni Pringgodigdo, menulis satu artikel tentang poligami di Koran 'Suluh Indonesia Muda' yang memberikan kritikan keras terhadap poligami. Menurut Soewarni, poligami adalah hal yang nista bagi wanita, dan bahwasanya Indonesia merdeka tak akan bisa sempurna, selama rakyatnya masih menyukai lembaga poligami.
Mr. Yusuf Wibisono memberikan bukti-bukti ilmiah tentang keunggulan pandangan Islam yang membuka pintu poligami dengan syarat-syarat tertentu. Sistem ini merupakan 'jalan tengah' dari sistem perkawinan kuno yang tidak memberi batasan poligami atau sistem Barat yang menutup pintu poligami sama sekali. Dalam pengantarnya untuk edisi Indonesia, tahun 1980, Yusuf Wibisono menulis bahwa, "Saya rasa umat manusia akhirnya akan dihadapkan kepada dua pilihan yang tidak bisa dihindari yakni poligami legal atau poligami tidak legal (gelap). Islam memilih poligami legal, dengan pembatasan-pembatasan yang mencegah penyalahgunaan kekuasaan kaum pria, sehingga lembaga poligami ini betul-betul merupakan kebahagiaan bagi masyarakat manusia, di mana dia sungguh-sungguh diperlukan."
Salah seorang ilmuwan yang dikutip pendapatnya tentang poligami oleh Yusuf Wibisono adalah Georges Anquetil, pakar sosiologi Perancis, yang menulis buku setebal 460 halaman, berjudul "La maitresse legimitime".
Anquetil menulis dalam bukunya:
"Suatu pertimbangan yang sudah cukup terlukis harus diingat-ingat dan diperkembangkan, yakni, mengapa semua orang-orang besar adalah penyokong poligami, seperti yang dinyatakan secara kritis oleh seorang pengarang dari buku Inggris : "History and philosophy of marriege." Bahkan, mereka yang hidup di bawah kekuasaan kemunafikan monogami, tidak mau tunduk kepadanya, tak pula mau taat kepada undang-undang yang bersifat melawan kodrat; baik mereka itu filsuf, seperti Plato, Aristoteles, Bacon, Auguste Comte, atau perajurit seperti Alexander, Cesar, Napoleon, atau Nelson, atau penyair-penyair seperti Goethe, Burns, Byron, Hugo, Verlaine, Chateaubriand atau Catulie Mendes, maupun negarawan-negarawan seperti Pericles, Augustus, Buckingham, Mirabeau atau Gambetta. Apakah hasil daripada sistem yang munafik ini bagi orang-orang besar ini ? Mereka dipaksa untuk selama-lamanya menyembunyikan perasaan-perasaannya, selalu berdusta, baik terhadap istrinya sendiri maupun terhadap dunia yang mewajibkan mereka itu menyembunyikan anak-anaknya dan kurang menghormati mereka yang hanya merupakan maitressenya. Sebenarnya ialah, bahwasanya poligami yang semata-mata sesuai dengan hukum alam telah d
ilakukan pada setiap zaman karena hukum alam itu tetap saja, tetapi pikiran manusia dibuat demikian rupa, dan sangat suka kepada serba berbelit-belit, sehingga bukannya ia memilih sistem yang semata-mata menguntungkan, akan tetapi justru memilih sistem yang penuh dengan dusta dan penipuan, yang membuat berputus asanya berjuta-juta wanita dan yang memaksanya hidup dalam kesedihan, kekacauan, atau dosa-dosa sebagai akibat dari hidup sengsara, terjerumus hidupnya dalam kemunafikan hewani, dan bahwa semua drama percintaan melahirkan turunan-turunan yang diliputi oleh perasaan iri hati yang pandir dan penuh kebencian, yang jumlahnya setiap harinya bertambah-tambah saja."
Salah satu keuntungan poligami yang dijelaskan oleh Anquetil adalah: "Poligami akan memungkinkan berjuta-juta wanita melaksanakan haknya akan kecintaan dan keibuan, yang kalau tidak, akan terpaksa hidup tak bersuami karena sistem monogami."
Yusuf Wibisono juga mengutip tulisan seorang ilmuwan bernama Leonard yang menulis: "In a great measure polygamy is much more a theoretical than a practical institution. Not one on twenty Moslems has even two wives. In any case it is not the proper and legitimate practice of polygamy, but in the abuse of it that the evil lies." (Pada umumnya poligami lebih merupakan lembaga teoritis daripada praktis. Tidak ada satu dari duapuluh orang Islam beristri bahkan lebih dari seorang. Setidak-tidaknya keburukannya tak terletak dalam berpoligami menurut hukum, akan tetapi dalam penyelahgunaan poligami).
Mr. Yusuf Wibisono kemudian menunjukkan bukti-bukti statistik perkawinan di berbagai negara Islam pada tahun-tahun itu. Di India, misalnya, 95 persen kaum Muslim tetap bermonogami. Di Iran, 98 persennya tetap memilih bermonogami. Di Aljazair tahun 1869, dari 18.282 perkawinan Islam, 17.319 adalah monogami, 888 bigami, dan hanya 75 orang Muslim yang mempunyai lebih dari dua orang istri. Di Indonesia -- menurut data statistik Indische Verlag tahun 1935 -- dalam tahun 1930 ada 11.418.297 orang bermonogami dan hanya 75 orang Muslim mempunyai lebih dari dua orang istri.
Buku Mr. Yusuf Wibisono ini menjadi lebih menarik karena pada tahun 1937 sudah diberi kata pengantar oleh H. Agus Salim, seorang cendekiawan dan diplomat genius yang sangat dikagumi di dunia internasional.
Kiranya ada baiknya kita mengutip agak panjang pengantar H. Agus Salim tersebut:
"Tidak bisa disangkal, pokok karangan ini aktuil. Tidak saja karena tindakan-tindakan luas di lapangan ini, yang dipertimbangkan oleh Pemerintah dan sebagian bahkan sudah dilaksanakan, akan tetapi terutama sekali juga karena adanya propaganda - baik yang terpengaruh oleh sikap anti-Islam, maupun yang tidak - yang dilancarkan oleh beberapa fihak. Mereka ini menganjurkan agar kepada perundang-undangan perkawinan bagi bangsa Indonesia dan kepada anggapan-anggapan tentang perkawinan pada umumnya diberi corak Barat.
Namun, bukannya tak diperlukan keberanian untuk memasuki lapangan ini dalam suasana yang penuh dengan anggapan-anggapan tersebut. Anggapan-anggapan Barat ini terutama sekali merajalela di kalangan kaum intelektuil yang nasionalistis. Dan di lapangan ini tradisi dan sentimen Barat, yang "dus beradab" masih selalu berhasil mencekik kesaksian fakta-fakta serta suara hati nurani dan nalar yang wajar (logika).
Bahkan oleh karena inilah penulis patut mendapat penghargaan dan sokongan, sebab berdasarkan fakta-fakta yang telah ditetapkan oleh ilmu pengatahuan serta teori-teori yang kuat, ia berusaha menunjukkan kepalsuan moral seksuil dan etika perkawinan yang munafik, seperti yang dianut oleh masyarakat Barat, dan membela anggapan-anggapan tentang perkawinan maupun perundang-undangan perkawinan menurut agama Islam, tanpa memperindahkannya melebihi kenyataannya.
Terutama sekali yang tersebut terakhir inilah yang patut dihargai. Akhir-akhir ini terlalu banyak dilancarka propaganda agama Islam yang bersifat menonjolkan "persetujuan" pihak Islam terhadap moral dan etika Barat, malahan moral dan etika yang terang-terangan bernada "Kristen", seperti yang lazim dianut di kalangan m
Salah satu keuntungan poligami yang dijelaskan oleh Anquetil adalah: "Poligami akan memungkinkan berjuta-juta wanita melaksanakan haknya akan kecintaan dan keibuan, yang kalau tidak, akan terpaksa hidup tak bersuami karena sistem monogami."
Yusuf Wibisono juga mengutip tulisan seorang ilmuwan bernama Leonard yang menulis: "In a great measure polygamy is much more a theoretical than a practical institution. Not one on twenty Moslems has even two wives. In any case it is not the proper and legitimate practice of polygamy, but in the abuse of it that the evil lies." (Pada umumnya poligami lebih merupakan lembaga teoritis daripada praktis. Tidak ada satu dari duapuluh orang Islam beristri bahkan lebih dari seorang. Setidak-tidaknya keburukannya tak terletak dalam berpoligami menurut hukum, akan tetapi dalam penyelahgunaan poligami).
Mr. Yusuf Wibisono kemudian menunjukkan bukti-bukti statistik perkawinan di berbagai negara Islam pada tahun-tahun itu. Di India, misalnya, 95 persen kaum Muslim tetap bermonogami. Di Iran, 98 persennya tetap memilih bermonogami. Di Aljazair tahun 1869, dari 18.282 perkawinan Islam, 17.319 adalah monogami, 888 bigami, dan hanya 75 orang Muslim yang mempunyai lebih dari dua orang istri. Di Indonesia -- menurut data statistik Indische Verlag tahun 1935 -- dalam tahun 1930 ada 11.418.297 orang bermonogami dan hanya 75 orang Muslim mempunyai lebih dari dua orang istri.
Buku Mr. Yusuf Wibisono ini menjadi lebih menarik karena pada tahun 1937 sudah diberi kata pengantar oleh H. Agus Salim, seorang cendekiawan dan diplomat genius yang sangat dikagumi di dunia internasional.
Kiranya ada baiknya kita mengutip agak panjang pengantar H. Agus Salim tersebut:
"Tidak bisa disangkal, pokok karangan ini aktuil. Tidak saja karena tindakan-tindakan luas di lapangan ini, yang dipertimbangkan oleh Pemerintah dan sebagian bahkan sudah dilaksanakan, akan tetapi terutama sekali juga karena adanya propaganda - baik yang terpengaruh oleh sikap anti-Islam, maupun yang tidak - yang dilancarkan oleh beberapa fihak. Mereka ini menganjurkan agar kepada perundang-undangan perkawinan bagi bangsa Indonesia dan kepada anggapan-anggapan tentang perkawinan pada umumnya diberi corak Barat.
Namun, bukannya tak diperlukan keberanian untuk memasuki lapangan ini dalam suasana yang penuh dengan anggapan-anggapan tersebut. Anggapan-anggapan Barat ini terutama sekali merajalela di kalangan kaum intelektuil yang nasionalistis. Dan di lapangan ini tradisi dan sentimen Barat, yang "dus beradab" masih selalu berhasil mencekik kesaksian fakta-fakta serta suara hati nurani dan nalar yang wajar (logika).
Bahkan oleh karena inilah penulis patut mendapat penghargaan dan sokongan, sebab berdasarkan fakta-fakta yang telah ditetapkan oleh ilmu pengatahuan serta teori-teori yang kuat, ia berusaha menunjukkan kepalsuan moral seksuil dan etika perkawinan yang munafik, seperti yang dianut oleh masyarakat Barat, dan membela anggapan-anggapan tentang perkawinan maupun perundang-undangan perkawinan menurut agama Islam, tanpa memperindahkannya melebihi kenyataannya.
Terutama sekali yang tersebut terakhir inilah yang patut dihargai. Akhir-akhir ini terlalu banyak dilancarka propaganda agama Islam yang bersifat menonjolkan "persetujuan" pihak Islam terhadap moral dan etika Barat, malahan moral dan etika yang terang-terangan bernada "Kristen", seperti yang lazim dianut di kalangan m
asyarakat Barat. Terlalu sering pula orang berusaha menyembunyikan ajaran-ajaran Islam yang tak cocok dengan anggapan Barat dengan jalan "Umdeutung", dengan menggunakan tafsiran yang dicari-cari. Ya, bahkan menghukum ajaran-ajaran itu sebagai bid'ah dan kufur. Itulah caranya mereka mencoba supaya Islam bisa diterima kaum muda yang meskipun berasal dari keluarga Islam, tapi karena pendidikan Barat dan simpati-simpati serta kecenderungannya yang ke-Barat-baratan menjadi terasing dari agama Islam. Selain dari pada itu, propaganda itu ditujukan pula kepada orang-orang yang tidak beragama Islam.
Akan tetapi agama Islam sangat menyangsikan keuntungan yang diperoleh dengan menggunakan cara-cara semacam itu. Sebab dengan jalan "menyesuaikan" agama Islam dengan anggapan-anggapan yang lazim dan berlaku dalam dunia Barat yang umumnya bersifat prinsipil anti Islam, yaitu dunia Barat yang mendasarkan "keunggulannya" kepada hal-hal yang berbeda dengan Islam - antara lain perundang-undangan perkawinan berdasarkan monogami - maka hilanglah pula tujuan tertinggi agama Islam. Padahal, untuk inilah Nabi terakhir diutus oleh TUHAN, untuk membimbing umat manusia dari kegelapan ke arah cahaya pengetahuan dan kebenaran. Dengan demikian, bukanlah anggapan-anggapan yang ada yang diuji dan disesuaikan dengan Islam, akan tetapi sebaliknya : Anggapan-anggapan itulah yang dipandangnya benar dan agama Islam diperiksa dari sudut anggapan-anggapan itu."
Kata-kata Haji Agus Salim tersebut sangat mendasar untuk direnungkan. Apalagi, saat ini, begitu banyak kalangan yang berani menentang dan melecehkan Islam, juga dengan menggunakan ayat-ayat Al-Quran. Padahal, yang terpenting dalam memahami Al-Quran adalah soal 'anggapan-anggapan' atau cara pandang serta metodologi penafsiran yang digunakan. Jika Al-Quran dipahami dari perspektif Marxisme dan gender equality yang bersemangat 'dendam' terhadap laki-laki, maka yang muncul adalah pemikiran-pemikiran yang bersemangat pemberontakan terhadap laki-laki, dalam segala hal. Orang-orang seperti ini akan mencari-cari ayat dan menafsirkannya sesuai dengan 'anggapan' nya sendiri.
Seorang sarjana satu perguruan tinggi Islam di Jakarta menceritakan pengalaman menariknya dimaki-maki wanita teman kuliahnya, hanya karena ia mempersilakan si wanita menempati tempat duduknya dalam bus kota. Si wanita mengaku terhina karena dianggap sebagai makhluk yang lemah. Bagi seorang wanita yang menolak hak kepemimpinan laki-laki dalam rumah tangga, maka dia bisa menganggap tindakan menyuguhkan minuman bagi suaminya adalah satu bentuk pelecehan dan penghinaan.
Amina Wadud misalnya menganggap penempatan shaf wanita di belakang laki-laki saat shalat adalah satu bentuk pelecehan terhadap wanita. Tentu cara pandang ini sangat berbeda dengan Muslimah yang mengakui konsep pengabdian dan ketaatan kepada suami.
Dalam soal poligami sama saja. Seorang wanita Muslimah yang memahami posisinya dalam konsep Islam, akan melihat poligami dengan pandangan yang sangat berbeda dengan kaum feminis sekular. Sebagai wanita mandiri, si Muslimah akan melihat suaminya sebagai partner dalam menggapai ridho Allah; bukan sebagai milik pribadinya.
Dia secara pribadi bisa keberatan dengan poligami terhadap dirinya, tanpa menolak hukum poligami. Dia bisa mengingatkan suaminya, bahwa poligami memerlukan kemampuan dan tanggung jawab yang tidak ringan, dunia akhirat.
Sebaliknya, bagi laki-laki, poligami bukanlah hanya semata-mata hak, tetapi juga melekat tanggung jawab dunia dan akhirat. Selain dituntut kemampuan berlaku adil secara materi, juga dituntut kemampuan menjaga seluruh keluarganya dari api neraka. Tentu saja menjaga 4 istri lebih berat daripada menjaga 1 istri; menjaga 20 anak tentu lebih berat ketimbang 2 anak.
Karena itu, bagi seorang yang memiliki pandangan berdimensi akhirat, poligami adalah sesuatu yang berat, yang perlu berpikir serius sebelum mempraktikkannya. Islam mengizinkan dan mengatur soal poligami. Islam membuka jalan, dan tidak menutup jalan itu. Islam adalah agama wasathiyah, yang tidak bersifat ekstrim. Tidak melarang poligami
Akan tetapi agama Islam sangat menyangsikan keuntungan yang diperoleh dengan menggunakan cara-cara semacam itu. Sebab dengan jalan "menyesuaikan" agama Islam dengan anggapan-anggapan yang lazim dan berlaku dalam dunia Barat yang umumnya bersifat prinsipil anti Islam, yaitu dunia Barat yang mendasarkan "keunggulannya" kepada hal-hal yang berbeda dengan Islam - antara lain perundang-undangan perkawinan berdasarkan monogami - maka hilanglah pula tujuan tertinggi agama Islam. Padahal, untuk inilah Nabi terakhir diutus oleh TUHAN, untuk membimbing umat manusia dari kegelapan ke arah cahaya pengetahuan dan kebenaran. Dengan demikian, bukanlah anggapan-anggapan yang ada yang diuji dan disesuaikan dengan Islam, akan tetapi sebaliknya : Anggapan-anggapan itulah yang dipandangnya benar dan agama Islam diperiksa dari sudut anggapan-anggapan itu."
Kata-kata Haji Agus Salim tersebut sangat mendasar untuk direnungkan. Apalagi, saat ini, begitu banyak kalangan yang berani menentang dan melecehkan Islam, juga dengan menggunakan ayat-ayat Al-Quran. Padahal, yang terpenting dalam memahami Al-Quran adalah soal 'anggapan-anggapan' atau cara pandang serta metodologi penafsiran yang digunakan. Jika Al-Quran dipahami dari perspektif Marxisme dan gender equality yang bersemangat 'dendam' terhadap laki-laki, maka yang muncul adalah pemikiran-pemikiran yang bersemangat pemberontakan terhadap laki-laki, dalam segala hal. Orang-orang seperti ini akan mencari-cari ayat dan menafsirkannya sesuai dengan 'anggapan' nya sendiri.
Seorang sarjana satu perguruan tinggi Islam di Jakarta menceritakan pengalaman menariknya dimaki-maki wanita teman kuliahnya, hanya karena ia mempersilakan si wanita menempati tempat duduknya dalam bus kota. Si wanita mengaku terhina karena dianggap sebagai makhluk yang lemah. Bagi seorang wanita yang menolak hak kepemimpinan laki-laki dalam rumah tangga, maka dia bisa menganggap tindakan menyuguhkan minuman bagi suaminya adalah satu bentuk pelecehan dan penghinaan.
Amina Wadud misalnya menganggap penempatan shaf wanita di belakang laki-laki saat shalat adalah satu bentuk pelecehan terhadap wanita. Tentu cara pandang ini sangat berbeda dengan Muslimah yang mengakui konsep pengabdian dan ketaatan kepada suami.
Dalam soal poligami sama saja. Seorang wanita Muslimah yang memahami posisinya dalam konsep Islam, akan melihat poligami dengan pandangan yang sangat berbeda dengan kaum feminis sekular. Sebagai wanita mandiri, si Muslimah akan melihat suaminya sebagai partner dalam menggapai ridho Allah; bukan sebagai milik pribadinya.
Dia secara pribadi bisa keberatan dengan poligami terhadap dirinya, tanpa menolak hukum poligami. Dia bisa mengingatkan suaminya, bahwa poligami memerlukan kemampuan dan tanggung jawab yang tidak ringan, dunia akhirat.
Sebaliknya, bagi laki-laki, poligami bukanlah hanya semata-mata hak, tetapi juga melekat tanggung jawab dunia dan akhirat. Selain dituntut kemampuan berlaku adil secara materi, juga dituntut kemampuan menjaga seluruh keluarganya dari api neraka. Tentu saja menjaga 4 istri lebih berat daripada menjaga 1 istri; menjaga 20 anak tentu lebih berat ketimbang 2 anak.
Karena itu, bagi seorang yang memiliki pandangan berdimensi akhirat, poligami adalah sesuatu yang berat, yang perlu berpikir serius sebelum mempraktikkannya. Islam mengizinkan dan mengatur soal poligami. Islam membuka jalan, dan tidak menutup jalan itu. Islam adalah agama wasathiyah, yang tidak bersifat ekstrim. Tidak melarang poligami
sama sekali, dan tidak membebaskannya sama sekali.
Jika pintu poligami ditutup sama sekali, maka tidak sedikit wanita yang menjadi korban. Sepanjang zaman, banyak wanita yang ikhlas dan siap menjadi istri ke-2, ke-3 atau ke-4. Tidak percaya? Andaikan suatu ketika, pihak istana negara BBM mengumumkan, Sang Presiden yang gagah perkasa membuka lowongan bagi istri ke-2, ke-3, dan ke-4, bisa diduga, dalam beberapa jam saja, ribuan wanita dengan ikhlas akan antri mendaftar.
Maka, bagi seorang wanita Muslimah sejati, yang menyadari kemampuan suaminya untuk berpoligami, tentu tidak sulit mengizinkan suaminya menikah lagi. Yang banyak terjadi saat ini, ternyata banyak suami yang tidak berpoligami, karena takut terhadap istri. Wallahu a'lam. (Depok, 15 Desember 2006).
Jika pintu poligami ditutup sama sekali, maka tidak sedikit wanita yang menjadi korban. Sepanjang zaman, banyak wanita yang ikhlas dan siap menjadi istri ke-2, ke-3 atau ke-4. Tidak percaya? Andaikan suatu ketika, pihak istana negara BBM mengumumkan, Sang Presiden yang gagah perkasa membuka lowongan bagi istri ke-2, ke-3, dan ke-4, bisa diduga, dalam beberapa jam saja, ribuan wanita dengan ikhlas akan antri mendaftar.
Maka, bagi seorang wanita Muslimah sejati, yang menyadari kemampuan suaminya untuk berpoligami, tentu tidak sulit mengizinkan suaminya menikah lagi. Yang banyak terjadi saat ini, ternyata banyak suami yang tidak berpoligami, karena takut terhadap istri. Wallahu a'lam. (Depok, 15 Desember 2006).