MUSTANIR ONLINE
3.18K subscribers
865 photos
163 videos
56 files
900 links
Sharing audio, tulisan karya Dr Adian Husaini, Dr Hamid Fahmy Zarkasyi serta pemikir muslim kontemporer lainnya.
Download Telegram
ndidikan dalam Islam, dan juga dalam ketentuan UUD 1945 serta UU Pendidikan Tinggi (UU No 12 tahun 2012) adalah pengembangan potensi mahasiswa agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa dan berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, terampil, kompeten, dan berbudaya untuk kepentingan bangsa.

UUD 1945 pasal 31 (c) pun menegaskan: “Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional, yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, yang diatur dengan undang-undang.”

Jadi, merujuk kepada UUD 1945 dan UU Pendidikan Tinggi, aspek iman, taqwa, dan akhlak mulia sepatutnya menjadi tekanan utama proses pendidikan di seluruh Perguruan Tinggi di Indonesia, khususnya di PTI. Itu tataran normatifnya. Maka, sepatutnya, tujuan pendidikan itu dijabarkan dalam kurikulum, program pendidikan, dan evaluasi pendidikan. PTI sepatutnya menjadi pelopor dalam hal ini.

Mahasiswa muslim PTI yang akan ujian skripsi, misalnya, harus diuji aspek iman, taqwa, dan akhlaknya. Bukan hanya diuji kualitas akademiknya. Lucu, jika ada mahasiswa muslim lulus sarjana dari suatu PTI, tetapi tidak bisa membaca al-Quran dengan baik. Lebih parah, jika ia lulus sarjana, tetapi tidak disiplin dalam menjalankan salat lima waktu, atau jahat akhlaknya. Padahal, PTI tersebut memasang slogan-slogan indah dalam bentuk perumusan visi-misi kampus yang ideal.

Peringatan Allah Subhanahu Wata’ala dalam al-Quran sangat keras: “Wahai orang-orang yang beriman, mengapa kamu mengatakan sesuatu yang tidak kamu lakukan? (Itu) sangatlah dibenci oleh Allah, jika kamu mengatakan apa yang tidak kamu lakukan!” (QS 61:2-3).

Era 25 tahun kedua

Menyusul era 25 tahun pertama, berupa Kebangkitan Pendidikan Islam di peringkat dasar dan menengah, maka saya pikir, perlu dicanangkan sebuah tekad mulia untuk mencanangkan 2020-2045 sebagai era Kebangkitan Perguruan Tinggi Islam (PTI) di Indonesia. Itulah era 25 Tahun Kedua Kebangkitan Pendidikan Indonesia.

Kebangkitan itu harus berpijak pada landasan dan konsep yang kokoh dalam pendidikan Islam, yakni penanaman adab dan pencapaian ilmu yang gemilang. Proses penanaman nilai-nilai keimanan, ketaqwaan, dan akhlak mulia, dalam tradisi pendidikan Islam disebut sebagai proses penanaman adab (inculcation of adab). Itulah hakikat dan inti pendidikan dalam Islam, sebagaimana dipaparkan oleh Prof. Syed Muhammad Naquib al-Attas dalam Konferensi Pendidikan Islam Internasional pertama di Makkah, 1977.

Pada 13 November 2017, gagasan al-Attas itu digaungkan lagi oleh Dr. Muhammad Ardiansyah, dalam bentuk disertasi doktor bidang Pendidikan Islam di Universitas Ibn Khaldun Bogor. Disertasinya berjudul “Konsep Adab Syed Muhammad Naquib al-Attas dan Aplikasinya di Perguruan Tinggi”.

Melalui disertasinya, Ardiansyah membuktikan, bahwa konsep adab yang dirumuskan oleh Prof. al-Attas bersifat unik, penting, mendasar, dan aplikatif. Al-Attas bukan saja berhasil membuat rumusan konsep adab yang komprehensif, tetapi al-Attas juga telah membuktikan bahwa konsepnya bisa diterapkan di dunia pendidikan modern, khususnya di Perguruan Tinggi.

Menurut Ardiansyah, konsep adab sendiri bukanlah hal baru dalam ajaran Islam. Para ulama Islam telah menekankan penting dan strategisnya konsep ini. Itu bisa dilihat dari pernyataan para ulama seperti Umar ibn al-Khattab r.a. yang menyatakan taadabû tsumma ta‘allamû (beradablah kalian, kemudian pelajari ilmu). (Lihat, Syekh Abdul Qadir al-Jilani, al-Ghunyah li Thâlibî Tharîq al-Haq, (Beirut:al-Maktabat al-Sya’biyah, tanpa tahun), hlm. 54).

Konsep adab ini bukan konsep baru. Sejak dulu para ulama sudah membahas dan mengaplikasikannya. Beberapa ulama telah menyampaikan makna adab. Abu al-Qasim al-Qusyairy (w 465 H) menyatakan dalam al-Risalat al-Qusyairiyah, bahwa esensi adab adalah gabungan semua sikap yang baik (ijtimâ’ jamî’ khisâl al-khair). Oleh karena itu orang yang beradab adalah orang yang terhimpun sikap yang baik di dalam dirinya.

Dalam disertasinya, Ardiansyah menawarkan enam langkah aplikasi
konsep adab di Perguruan Tinggi: Pertama, mensosialisaikan tujuan pendidikan sebagai proses menanamkan adab yang diawali dengan tazkiyatun nafs. Kedua, menyusun kurikulum pendidikan secara hirarkis dengan klasifikasi ilmu-ilmu fardhu ‘ain dan ilmu-ilmu fardhu kifayah. Ketiga, menyiapkan program dan metode pendidikan berdasarkan prinsip al-taadub tsumma al-ta’allum melalui kajian adab, penguatan keimanan, pembiasaan, keteladanan dan kedisiplinan. Keempat, mengoptimalkan peran dosen sebagai muaddib yang peduli dan menjadi teladan. Kelima, merumuskan evaluasi pendidikan berdasarkan adab dan ilmu. Dan keenam, menyiapkan sarana pendukung yang berkualitas.

Melalui enam langkah inilah, tujuan pendidikan tinggi untuk membentuk manusia yang baik (good man), yakni manusia beradab (insan adabi), atau manusia yang beriman, bertakwa, dan berakhlak mulia, dapat terwujud. Itulah manusia terbaik, yang mampu menjadi pemimpin dalam berbagai bidang kehidupan.

Jadi, sesuai konsep ini, proses pendidikan di universitas atau perguruan tinggi, bukan sekedar proses pengajaran, tetapi yang utama adalah proses penanaman nilai-nilai kebaikan. Proses ini memerlukan keteladanan pimpinan dan dosen, pembiasaan penerapan nilai-nilai kebaikan, dan juga penegakan aturan.

Konsep “taadabû tsumma ta‘allamû” juga lazim diterapkan dalam proses pendidikan para ulama di masa lalu. Al-Laits Ibn Sa’ad memberi nasehat kepada para ahli hadits: “Ta’allamul hilm qablal ‘ilmi!” Belajarkah sikap penyayang sebelum belajar ilmu!

Di Perguruan Tinggi, konsep ini bisa diterapkan dalam bentuk matrikulasi di awal perkuliahan. Dalam kurun waktu tertentu, para mahasiswa baru hanya belajar dan mengamalkan adab dan ibadah. Hanya mereka yang terbukti adab, ibadah, dan akhlaknya baik, yang boleh melanjutkan pelajaran, menekuni bidang ilmu tertentu di Fakultas. Dengan cara ini, insyaAllah terhindar lahirnya ilmuwan-ilmuwan yang tidak beradab (be-adab).

Pendidikan jiwa

Sesuai dengan konsep pendidikan berbasis adab tersebut, maka inti dari seluruh proses pendidikan adalah proses pensucian jiwa (takiyatun nafs). Inilah awal perubahan diri manusia. Jiwanya yang harus berubah menjadi semakin suci. Tidak keliru jika para siswa dan mahasiswa rajin menggemakan lagu Indonesia Raya: “Bangunlah jiwanya, bangunlah badannya!”

Kampus seyogyanya menjadi tempat ideal bagi proses pensucian jiwa tersebut, dengan dimotori para pejabat dan pimpinannya. Jangan sampai pimpinan kampus justru mempertontonkan – misalnya – perilaku cinta dan serakah jabatan. Sebab, cinta dunia adalah pangkal segala kerusakan. Pimpinan kampus yang sehat jiwanya adalah yang memandang jabatan sebagai amanah yang berat, yang akan mereka pertanggungjawabkan di hadapan Satu-satunya Hakim Yang Maha Adil di Hari Akhir.

Rasululullah Shalallahu ‘Alaihi Wassallam bersabda: “al-Mujaahidu man jaahada nafsahu”. Bahwa, seorang mujahid adalah orang yang berjihad melawan hawa nafsunya. (HR Tirmidzi). Proses pensucian jiwa adalah perjuangan yang berat. Dan hanya orang yang mensucikan jiwanya yang akan beruntung dan meraih kemenangan. Dengan kata lain, kampus ideal bukan menjadi tempat untuk mengumbar hawa nafsu.

Tentu saja, untuk meraih jiwa yang suci atau jiwa yang tenang (muthmainnah) tersebut, perlu jalan terjal dan mendaki. Imam al-Ghazali dalam Minhajul Abidin, menggambarkan kesukaran jalan menuju bahagia tersebut: “Ternyata ini jalan yang amat sukar. Banyak tanjakan dan pendakiannya. Sangat payah dan jauh perjalanannya. Besar bahayanya. Tidak sedikit pula halangan dan rintangannya. Samar dimana tempat celaka dan akan binasanya. Banyak lawan dan penyamunnya. Sedikit teman dan penolongnya.”

Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wassallam sudah bersabda: “Ingatlah, sorga itu dikepung oleh segala macam kesukaran atau hal-hal yang tidak disukai (al-makaarih); dan neraka itu dikepung oleh hal-hal yang disukai manusia (al-syahawaat).” (HR Thabrani, shahih).

Sebagai contoh, kampus ideal, sepatutnya memiliki orientasi utama kehidupan akhirat; bukan hanya berhenti pada tujuan-tujuan duniawi. Para dosen dan mahasiswa menyadari pentingnya men
gejar kebahagiaan (sa’adah) dunia dan akhirat. Penetapan ranking universitas di Indonesia, seharusnya juga memasukkan kriteria iman, taqwa, dan akhlak mulia; bukan hanya aspek formalitas dan manajerial kampus.

Untuk mewujudkan gerakan kebangkitan Perguruan Tinggi, maka Perguruan Tinggi Islam (PTI) harus menjadi contoh yang baik (uswah hasanah) bagi Perguruan Tinggi lainnya. Perguruan Tinggi Islam bersungguh-sungguh dalam melahirkan alumni yang ideal. PTI harus unggul dalam kualitas iman, taqwa, akhlak mulia, dan profesionalitas lulusan nya. Jangan sampai lulusan PTI sama atau bahkan lebih buruk dari Perguruan Tinggi Umum.

Ini adalah gerakan mulia dan pekerjaan besar. Diperlukan kerja keras, kerja ikhlas, dan kerja cerdas untuk mewujudkannya. Jika ini dilakukan dengan sungguh-sungguh, insyaAllah, dalam waktu singkat, PTI akan menjadi mimpi dan tujuan utama tempat kuliah bagi para lulusan SMA terbaik di Indonesia. Dengan begitu, maka era 2020-2045 benar-benar menjadi era kepemimpinan Perguruan Tinggi Islam. InsyaAllah. (Depok, 13 Februari 2018).*
Perilaku, akhlak, dan sikap hidup seseorang berkaitan erat dengan keimanannya pada Tuhan. Semakin tinggi iman seseorang pada Tuhan semakin baik perilaku, akhlak dan sikapnya dalam hidup.
-Dr. Hamid Fahmy Zarkasyi-
Jika kita sempat tergoda Iblis atau setan, terjebak dalam tipudayanya, segeralah kita ingat Allah, bertobat! Manusia yang baik, bukan tidak pernah salah dan dosa, tetapi manusia yang segera sadar akan kessalahannya. Itulah yang dilakukan oleh Adam a.s. Jangan seperti Iblis! Sudah berbuat salah, tidak mengaku salah, tapi malah membangkang dan berani menantang Tuhan.
-Dr. Adian Husaini-
Al-Quran (al-Anam:112) mengingatkan, bahwa sesungguhnya musuh para nabi adalah setan dari jenis manusia dan setan dari jenis jin, yang pekerjaan mereka adalah menyebarkan kata-kata indah (zukhrufal qawli) dengan tujuan untuk menipu manusia. Malik Bin Dinar, seorang ulama terkenal (m. 130 H/748 M) pernah berkata: Sesungguhnya setan dari golongan manusia lebih berat bagiku daripada setan dari golongan jin. Sebab, setan dari golongan jin, jika aku telah membaca taawudz, maka dia langsung menyingkir dariku, sedangkan setan dari golongan manusia dapat mendatangiku untuk menyeretku melakukan berbagai kemaksiatan secara terang-terangan. (dikutip dari Imam al-Qurthubi, 7/68 oleh Dr. Abdul Aziz bin Shalih al-Ubaid, Menangkal Teror Setan (Jakarta: Griya Ilmu, 2004), hal. 88).

Setan baik dari golongan manusia maupun dari golongan jin memiliki ambisi utama untuk menyesatkan manusia, seluruhnya. Dan mereka membantah dengan (alasan) yang batil untuk melenyapkan kebenaran dengan yang batil itu. (QS al-Ghafir:5).

Jadi mudah sekali mengenali logika setan. Yakni, siapa saja yang menjadi pendukung kebatilan dan kemunkaran, pasti ia telah menggunakan logika setan. Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengikuti langkah-langkah setan. Barangsiapa yang mengikuti langkah-langkah setan, maka sesungguhnya setan itu menyuruh mengerjakan perbuatan yang keji dan munkar. (QS an-Nur: 21; lihat juga QS al-Baqarah: 168-169).
-Dr. Adian Husaini-
KETIKA PKI MENEKAN ULAMA MEMINJAM TANGAN NEGARA
Oleh: Prof. Dr. Ing. H Fahmi Amhar

Saya lahir ketika Orde Baru sedang mulai berkuasa,
yang saya tahu, saat itu PKI, anggota, keluarga dan pengikutnya,
sedang dikejar-kejar dari lubang semut sampai lubang buaya.
Tetangga saya di-pulau-Buru-kan sepuluh tahun lamanya.
Padahal di tahun 1960an, dia hanya orang-orang sederhana,
yang karena takut pada PKI lalu ikut menjadi penggembira acaranya.

Memang ada jutaan orang yang di masa Orde Baru terdholimi,
baik yang masa lalunya dengan PKI membuat mereka dipersekusi.
Atau juga orang-orang kritis lain yang dengan asal dituduh subversi.
Sejatinya, kejahatan Orde Baru tidak berarti memutihkan dosa-dosa PKI.

Karena, jauh sebelum Orde Baru mengejar-ngejar PKI,
justru PKI sudah biasa menekan dan membantai ulama di sana dan di sini,
baik secara langsung, atau meminjam tangan negara dengan keji !!!

Zaman itu PKI juga sudah menyalahgunakan dasar negara.
Para ulama yang anti komunis, dituduh Anti Pantjasila.
Partai seberang, dibubarkan meminjam tangan penguasa.
Para pemimpinnya dipenjarakan, tanpa pengadlan tentu saja,
dan para pengikutnya dimusuhi dan dikejar sampai desa-desa.

Dan berikut ini adalah kesaksian tokoh ulama anti komunis di zaman itu, yang dipenjarakan sekian lama, PROF. BUYA HAMKA:

----------------------------------------------------------------------------------

Mari kita segarkan kembali ingatan kita, bahwa menegakkan kebenaran itu selalu penuh tantangan. Belum tentu yang tampak diikuti secara gegap gempita dengan segala kebesarannya adalah hal yang benar. Ulama sejati tidak boleh mundur menyuarakan kebenaran sekalipun kesesatan tampak bagai gelombang besar di hadapannya.

Pada tanggal 17 Agustus 1958, dengan suara yang gegap gempita, Presiden Soekarno telah mencela dengan sangat keras Muktamar (Konferensi) para Alim Ulama Indonesia yang berlangsung di Palembang tahun 1957. Berteriaklah Presiden bahwa konferensi itu adalah “komunis phobia” dan suatu perbuatan yang amoral.

Pidato yang berapi-api itu disambut dengan gemuruh oleh massa yang mendengarkan, terdiri dari parpol dan ormas yang menyebut dirinya revolusioner dan tidak terkena penyakit komunis phobia. Sebagaimana biasa pidato itu kemudian dijadikan sebagai bagian dari ajaran-ajaran Pemimpin Besar Revolusi, semua golongan berbondong-bondong menyatakan mendukung pidato itu tanpa reserve (tanpa syarat).

Malanglah nasib alim-ulama yang berkonferensi di Palembang itu, karena dianggap sebagai orang-orang yang kontra revolusi, bagai telah tercoreng arang. “Nasibnya telah tercoreng di dahinya”, demikian peringatan Presiden. Banyak orang yang tidak tahu apa gerangan yang dihasilkan oleh alim-ulama yang berkonferensi itu, karena disebabkan kurangnya publikasi (atau tidak ada yang berani) yang mendukung konferensi alim-ulama itu, publikasi-publikasi pembela Soekarno dan surat-surat kabar komunis telah mencacimaki alim-ulama kita.

Perlulah kiranya resolusi Muktamar Alim-Ulama ini kita siarkan kembali agar menyegarkan ingatan umat Islam dan membandingkannya dengan Keputusan Sidang MPRS ke IV yang berlangsung bulan Juli 1966 lalu.

Muktamar yang berlangsung pada tanggal 8 – 11 September 1957 di Palembang telah memutuskan bahwa :
1. Ideologi-ajaran komunisme adalah kufur hukumnya dan haram bagi umat Islam menganutnya
2. Bagi orang yang menganut ideologi-ajaran komunisme dengan keyakinan dan kesadaran, kafirlah dia dan tidak sah menikah dan menikahkan orang Islam, tiada pusaka mempusakai dan haram jenazahnya diselenggarakan (tata-cara pengurusan) secara Islam.
3. Bagi orang yang memasuki organisasi atau partai-partai berideologi komunisme, PKI, SOBSI (Sentral Organisasi Buruh Seluruh Indonesia), Pemuda Rakyat dan lain-lain tiada dengan keyakinan dan kesadaran, sesatlah dia dan wajib bagi umat Islam menyeru mereka meninggalkan organisasi dan partai tersebut.

Demikian bunyi resolusi yang diputuskan oleh Muktamar Alim-Ulama Seluruh Indonesia di Palembang itu. Resolusi yang ditandatangani oleh Ketua K.H. M. Isa Anshary dan Sekretaris Ghazali Hassan. Karena resolusi yang demikian
itulah para ulama kita yang bermuktamar itu dikatakan oleh Presidennya sebagai amoral (tidak bermoral/kurangajar).

Akibat dari keputusan Muktamar tersebut, alim-ulama kita yang sejati langsung dituduh sebagai orang-orang tidak bermoral, komunis phobia, musuh revolusi dan sebagainya. Maka K.H. M. Isa Anshary sebagai ketua yang menandatangani resolusi itu pada tahun 1962 dipenjarakan tanpa proses pengadilan selama kurang lebih 4 tahun. Dan banyak lagi alim-ulama yang terpaksa menderita dibalik jeruji besi karena dianggap kontra revolusi.

Terbengkalai nasib keluarga, habis segala harta-benda bahkan banyak di antara mereka memiliki anak yang masih kecil-kecil. Semua itu tidak menjadi pikiran Soekarno. Di samping itu, ada “ulama” lain yang karena berbagai sebab memilih tunduk tanpa reserve pada Soekarno dengan ajaran-ajaran yang penuh maksiat itu, bermesra-mesra dengan komunis di bawah panji Nasakom.

Bertahun lamanya masa kemesraan dengan komunis itu berlangsung di negara kita, dalam indoktrinasi, pidato-pidato Nasakom dipuji-puji sebagai ajaran paling tinggi di dunia. Dan ulama yang dipandang kontra revolusi yag telah memutuskan komunis sebagai paham kafir yang harus diperangi, dihina dan setiap pidato dan dalam setiap tulisan. Meskipun sang ulama sudah meringkuk dalam tahanan, namun namanya tetap terus dicela sebagai orang paling jahat karena anti Soekarno dan anti komunis.

Nasehat dan fatwa ulama yang didasarkan kepada ajaran-ajaran Al Qur’an, dikalahkan dengan ajaran-ajaran Soekarno melalui kekerasan ala komunis.

Rupanya Allah hendak memberi dulu cobaan bagi rakyat Indonesia. Kejahatan komunis akhirnya terbukti dengan Gestapu-nya. Allah mencoba dulu rakyat Indonesia sebelum Dia membuktikan kebenaran apa yang dikatakan oleh alim-ulama itu hampir sepuluh tahun lalu.

Sidang MPRS ke IV pun telah mengambil keputusan mengenai komunis dan ajaran-ajarannya sebagai berikut :
“Setiap kegiatan di Indonesia untuk menyebarkan atau mengembangkan paham atau ajaran Komunisme/Marxisme/Leninisme dalam segala bentuk dan manifestasinya, dan penggunaan segala macam aparatur serta media bagi penyebaran atau pengembangan paham atau ajaran tersebut adalah DILARANG”.

Dengan keputusan MPRS tersebut, apa yang mau dikata tentang alim-ulama kita yang dulu dikatakan amoral oleh Soekarno? Insya Allah para alim-ulama kita dapat melupakan semua penghinaan dan penderitaan yang dilemparkan kepada mereka. Dan sebagai ulama mereka tidak akan pernah bimbang walau perjuangan menegakkan kebenaran dan keadilan itu pasti akan beroleh ujian yang berat dari Tuhan.

Watak ulama adalah sabar dalam penderitaan dan bersyukur dalam kemenangan.

Ulama yang berani itu telah menyadarkan dirinya sendiri bahwa mereka itu adalah ahli waris para nabi.

Nabi-nabi banyak yang dibuang dari negeri kelahirannya atau seperti yang dialami Nabi Ibrahim a.s. yang dipanggan dalam api unggun yang besar bernyala-nyala, seperti Nabi Zakariya a.s. yang gugur karena digergaji dan lain-lain nabi utusan Allah.

Hargailah putusan Muktamar Alim-Ulama di Palembang itu, karena akhirnya kita semua telah membenarkannya. Bersyukurlah kita kepada Tuhan bahwa pelajaran ini dapat kita petika bukan dari menggali perbendaharaan ulama-ulama lama tapi hanya dalam sejarah 10 tahun yang lalu.

(Disarikan dari Kumpulan Rubrik Dari Hati ke Hati, Majalah Panji Mas dari 1967 – 1981, terbitan Pustaka Panji Mas hal 319)
Tafsir ibn Katsir yang di tahqiq & ta'liq oleh Syekh Mustafa al Adawi.

Penerbit: dar fawaid & dar ibn rojab.
15 jilid, 18kg. Harga Rp 1.687.000,-

Pemesanan silahkan sms/wa ke 087878147997.

Syukran.
RELIGIOUS-HUMANIS
Oleh: Dr. Hamid Fahmy Zarkasyi

“Percuma menjadi religius kalau tidak manusiawi”, “Daripada beragama tapi jahat lebih baik berperikemanusiaan meski tidak beragama”. Itulah logika geram para pembenci agama dan pengusung humanisme. Logikanya begitu humanis tapi justru seperti ateis. Dan ternyata “jimat” atau aji-aji pamungkas orang sekular-liberal dan bahkan ateis untuk menyerang agama adalah dalih humanisme.

Sejarahnya, memang di Barat telah terjadi perubahan orientasi masyarakat dari teosentris (Tuhan sebagai pusat) menjadi antroposentris (manusia sebagai pusat). Perubahan itu dianggap sangat revolusioner yang selalu mengiringi perjalanan kebudayaan Barat modern hingga postmodern.

Argumentasi mereka begitu mudah diterima. Dengan doktrin empirisisme Tuhan dianggap tidak riil, sedangkan manusia begitu riil dan kasat mata. Membela Tuhan, mementingkan Tuhan, menghormati Tuhan atau menyucikan Tuhan dianggap sia-sia dan tidak ada gunanya. Dalilnya “Tuhan tidak perlu dibela karena sudah Maha Kuasa”. Seperti membela Tuhan tapi sejatinya membuka jalan bagi blasphemy.

Bukti orientasi antroposentrisme sudah terwakili oleh doktrin kematian Tuhan ala Nietzsche. Dari situ penistaan agama, Tuhan dan kebenaran menjadi absah. Tapi benih yang ditabur Nietzsche tahun 1948 telah menjadi buah masak yang berbentuk Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM). Ini adalah standarisasi kemanusiaan yang formal dan disepakati banyak Negara pendukung humanisme. Maka dari itu hak-hak asasi manusia benar-benar dominan dan agama-agama tidak lagi diberi ruang.

Karena penyusunan Deklarasi ini tidak melibatkan agama-agama maka banyak hal yang menjadikannya tidak universal. Terbukti banyak agama yang tidak puas. Pada bulan Juli tahun 1993 di New York diadakan Peluncuran acara Project on Religion and Human Right. Acara ini merupakan reaksi agama-agama terhadap DUHAM dan merupakan prakarsa untuk merevisinya.

Bukan hanya itu, pada ulang tahun ke 50 DUHAM dan ulang tahun ke 50 Fakultas Religious Studies universitas McGill, Montreal, Canada, upaya merevisi DUHAM itu pun terulang lagi. Revisi itu menghasilkan dokumen yang disebut Universal Deklaration of Human Right by the World Religions.

Setelah itu berturut-turut acara saling merevisi berlanjut di berbagai tempat seperti di California, New York, Durban, Barcelona, Paris dan Terakhir di Genting Highland, Malaysia pada bulan November 2002. Anehnya, acara ini disaksikan oleh pihak UNESCO. Resmilah sudah bukti perseteruan antara kaum humanis dan kaum religius.

Terpisah dari respon agama-agama, di kalangan umat Islam Negara-negara Islam seperti Sudan, Iran, Saudi Arabia, Mesir dan sebagainya, juga turut menyadari dominasi humanisme dalam DUHAM.

Mereka menganggap DUHAM gagal memasukkan pertimbangan konteks kultural dan religius dari Negara-negara non-Barat. Utusan Negara Iran di PBB tahun 1981, Said Rajaie-Khorassani malah menyatakan bahwa “DUHAM adalah hasil pemahaman sekuler dari tradisi Yahudi Kristen yang tidak dapat diterapkan kedalam Islam”.

Tiga tahun lebih awal dari acara di New York, umat Islam mengeluarkan Deklarasi tandingan yang disebut Cairo Declaration on Human Rights in Islam (CDHRI). Deklarasi yang diadakan oleh Organisasi Konferensi Islam (OKI) pada 5 Agustus 1990 ini diikuti 45 menlu Negara OKI. Intinya memberi gambaran hak-hak asasi manusia menurut Islam yang sumber satu-satunya adalah syariah Islam.

Jika logika sekuler, liberal dan ateis diatas benar, maka isi Deklarasi Cairo itu mestinya hanya menyucikan Tuhan belaka dan menginjak-injak kemanusiaan. Tapi ternyata tidak dan logika sekuler liberal ateis itu salah.

Bahkan deklarasi Cairo itu tidak eksklusif untuk umat Islam. Dalam salah satu pasalnya mencatatkan “Diskriminasi berdasarkan ras, warna, bahasa, kepercayaan, seks, agama, afiliasi politik, status sosial atau pertimbangan lainnya adalah dilarang”.

Bahkan perlindungan jiwa manusia adalah kewajiban syariat. Maka dalam situasi perang, mereka yang tidak terlibat perang seperti orang tua, wanita dan anak-anak, yang terluka, sakit dan juga tawanan perang, berhak
untuk diberi makan, tempat tinggal dan keamanan serta pelayanan kesehatan.

CDHRI juga memberikan hak kepada laki-laki dan wanita untuk menikah tanpa mempertimbangkan ras, warna kulit atau kebangsaan, tapi tetap mempertimbangkan agama. Selain itu wanita juga diberi penghargaan dan penghormatan yang sama sebagai manusia, hak untuk menjalankan pekerjaannya, hak-hak sipil, kemandirian finansial, dan hak untuk mempertahankan nama dan kekeluargaannya, meski tidak sama dalam segala hal.

Dalam pasal ke 10 disebutkan bahwa Islam adalah agama yang sempurna. Melakukan segala bentuk pemaksaan terhadap manusia atau mengeksploitir kemiskinan atau kebodohan untuk mengonversikan seseorang dari satu agama ke agama lain atau ateisme adalah dilarang. Masih banyak lagi pasal-pasal yang membela manusia, tapi tidak serta merta menistakan agama apalagi Tuhan.

Baca misalnya pasal 22 yang berbunyi: a) Setiap orang memiliki hak untuk mengekspresikan pendapatnya secara bebas dengan cara yang tidak akan bertentangan dengan prinsip-prinsip syariah. b) Setiap orang berhak untuk membela yang benar, dan mendakwahkan yang baik, serta memperingatkan hal-hal yang salah dan mungkar sesuai dengan norma-norma syariah Islam. c) Informasi adalah kebutuhan vital bagi masyarakat. Ia tidak boleh dieksploitir atau disalahgunakan sehingga menodai kesucian dan penghormatan terhadap Nabi, merendahkan nilai-nilai moral dan etika, atau memecah, merusak atau membahayakan masyarakat atau melemahkan keimanan. d) Memicu kebencian yang bersumber dari kebangsaan atau doktrin keagamaan atau melakukan sesuatu yang mungkin memprovokasi segala bentuk diskriminasi ras adalah dilarang.

Dari pasal 22 diatas terbukti bahwa memberi tempat pada agama tidak berarti menistakan manusia. Sebab syariah adalah sumber segala perlakuan terhadap manusia, Dalam syariah terdapat maslahat yang telah didesain oleh Tuhan melalui wahyu. Tapi tidak semua yang dianggap maslahat manusia dapat dibenarkan syariat. Pelacuran, homoseks, lesbianisme, nikah beda agama bagi pembenci agama adalah maslahat, tapi tidak dibenarkan syariat.

Jadi logikanya yang benar semakin religius seseorang justru ia semakin manusiawi, tapi semakin humanis seseorang justru semakin ateis. Innal insana layatgha an ra’ahustaghna.
Ustadz Adian Husaini: “Orang Biadab Dikasih Ilmu Malah Akan Tambah Biadab”

sharia.co.id, Bogor- Ustadz DR. Adian Husaini menyatakan keprihatinannya akan hilangnya adab dari umat dan lembaga pendidikan Islam. Hal itu disampaikan pada Pengajian Sabtu Pagi di Masjid Nurul Irmi, Jl. Merdeka, Bogor.

“Adab itu agak berbeda dari sopan santun, karena kalau sopan santun landasannya budaya, tetapi kalau adab landasananya wahyu (Al-Qur’an dan Sunnah). Masalahnya dalam paradigma pendidikan saat ini wahyu tidak diakui sebagai ilmiah, yang diakui sebagai ilmiah hanya yang rasional dan empiris,” terang Pak Adian, panggilan akrabnya.

Alumni doktoral bidang peradaban Islam ini menjelaskan pula bahwa pendidikan adab adalah yang menuntut manusia untuk menjadi adil, untuk menjadi good man (manusia yang baik).

Ustadz Adian memaparkan jika lembaga-lembaga pendidikan saat ini sama sekali mengabaikan adab dan perkembangannya.

“Seharusnya ketika sudah di perguruan tinggi, dilihat dulu apakah adabnya sudah tinggi, jika nanti akan ke jenjang yang lebih tinggi, adabnya juga nanti harus lebih tinggi, biar tahu mana salah mana besar, tahu bagaimana bersikap yang benar,” ujar peneliti INSIST yang telah menghasilkan berbagai buku terkenal ini.

“Ironinya (adab) ini tidak dipakai di berbagai lembaga pendidikan Islam, sekarang yang memprihatinkan adalah lembaga-lembaga yang berlabel Islam, justru melahirkan manusia-manusia yang tidak beradab karena kekacauan ilmu, tidak tahu mana ilmu yang fardhu ain dan fardhu kifayah, tidak tahu ia thalabul ilmi itu harus bagaimana,” jelas Ustadz Adian.

Keprihatinan itu terlihat dari fakta para ilmuwan dan akademisi yang sudah kehilangan adab justru akan menjadi orang yang berbahaya, baik berbahaya dalam arti mengancam aqidah maupun tidak menjadi manusia yang baik. Dikarenakan yang diketahui hanya menjadi warga negara yang baik dan pekerja yang produktif.

“Sekarang orang biadab (tidak beradab) dikasih ilmu ya akan tambah biadab ia dengan ilmunya, sekarang pendidikan kita bukan hanya mengarahkan manusia menjadi sekular, tetapi diarah pada sekular yang picik, sudah sekular picik lagi,” imbuhnya yang diselingi tawa puluhan hadirin.
Beda antara Adam dengan Iblis. Adam bersalah, lalu sadar dan bertobat. Sementara Iblis jelas-jelas melakukan kesalahan, tetapi bersikap sombong, angkuh, tetap membangkang kepada Allah, dan bangga menjadi kafir.
Dr. Adian Husaini.