MUSTANIR ONLINE
3.21K subscribers
865 photos
163 videos
56 files
900 links
Sharing audio, tulisan karya Dr Adian Husaini, Dr Hamid Fahmy Zarkasyi serta pemikir muslim kontemporer lainnya.
Download Telegram
“Memahami Ahlu Sunnah wal-Jamaah”
Dr. Adian Husaini

Jurnal Islamia-Republika, Kamis (16/2/2012), menurunkan laporan tentang Ahlu Sunnah wal-Jamaah (Aswaja). Pemahaman tentang Aswaja ini sangat penting, sebab saat ini umat Islam dihadapkan dengan berbagai tantangan pemikiran aliran. Ada sejumlah artikel menarik dan penting yang dibahas dalam Jurnal yang terbit atas kerjasama Harian Republika dan Institute for the Study of Islamic Thought and Civilizations (Insists).

Dalam tulisannya yang berjudul “Prinsip dan Ukhuwah Ahlu Sunnah wal-Jamaah”, Dr. Khalif Muammar memberikan definisi dan tantangan Aswaja. Abd al-Qahir al-Baghdadi (m. 429H/1037M), dalam kitabnya, al-Farq Bayn al-Firaq, Ahlus Sunnah wal-Jamaah menjelaskan, bahwa Aswaja terdiri atas delapan (8) kelompok: (i). Mutakallimun, atau Ahli ilmu Tawhid, (ii). Ahli Fiqh aliran al-Ra’y dan al-Hadith, (iii). Ahli Hadis,(iv). Ahli Ilmu Bahasa, (v). Ahli Qiraat dan Tafsir, (vi). Ahli Tasawwuf, (vii) Para Mujahidin, dan (viii). Masyarakat awam yang mengikut pegangan Ahlus Sunnah wal-Jama’ah.

Berdasarkan penjelasan tersebut,bisa dipahami, konsep Aswaja bukan hanya khusus kepada golongan Asya’irah atau Hanabilah dalam pengertian yang sempit, tetapi mencakup siapa saja dari golongan mana saja yang berpegang kepada prinsip-prinsip aqidah yang telah dirumuskan dan diperturunkan dari generasi al-Salaf al-Salih.

Selama ini, para ulama Aswaja telah merumuskan prinsip-prinsip yang menjadi pegangan mayoritas umat Islam, yang dikenal sebagai tek-teks aqidah, seperti ‘Aqa’id al-Nasafi, al-Aqidah al-Tahawiyyah, al-‘Aqidah al-Sanusiyyah dan sebagainya. Di samping itu para Imam besar juga telah menulis rumusan masing-masing seperti al-Fiqh al-Akbar oleh Imam Abu Hanifah, al-Iqtisad fi al-I’tiqad oleh Abu Hamid al-Ghazali, dan al-‘Aqidah al-Wasitiyyah oleh Ibn Taymiyyah.

Prinsip pertama yang ditegaskan dalam rumusan-rumusan tersebut adalah mengenai persoalan ‘Ilmu’ dan ‘Kebenaran’. Aswaja menegaskan bahwa kebenaran adalah sesuatu yang tetap dan tidak berubah-rubah. Kebenaran dapat dicapai oleh manusia apabila manusia memperolehnya dengan cara yang betul dan tidak melampaui batas-batasnya.

Karena itu ulama Aswaja menolak pandangan kaum Sofis (Sufastha’iyyah, Sophists) yang mengatakan bahwa kebenaran itu tidak dapat dicapai oleh manusia (al-la adriyyah), atau kebenaran itu bergantung kepada orang yang mengatakannya (al-‘indiyyah), atau ada yang mengatakan bahwa tidak ada manusia yang tahu (al-‘inadiyyah). Kaum Sofis juga menolak otoritas siapa pun termasuk para nabi dan rasul.

Di era sekarang, prinsip Aswaja yang menolak sofisme ini sangat relevan dan dapat memberi panduan dalam menghadapi golongan skeptik dan agnostik dari aliran modernisme, atau kaum subjektivis dan nihilis dari aliran posmodernisme, yang banyak diusung kaum liberal. Bisanya kaum Sofis suka mengusung ungkapan, bahwa “semua pemikiran manusia adalah relative, sehingga manusia tidak boleh memutlakkan pendapatnya, dengan menyatakan, bahwa yang lain adalah salah atau benar.” Atau, dengan menyatakan, “Hanya Tuhan yang mutlak dan yang tahu kebenaran.”

Demikianlah paparan Dr. Khalif Muammar, dosen dan pakar pemikiran Islam dari Center for Advanced Studies on Islam, Science, and Civilization (CASIS) -- Universiti Teknologi Malaysia. Sepanjang sejarahnya, konsep Aswaja juga menolak pemahaman-pemahaman yang diusung kelompok Muktazilah, Khawarij, dan Syiah.

****

Dr. Amal Fathullah, dosen Institut Studi Islam Darussalam, Gontor Ponorogo, dalam artikelnya yang berjudul “Aswaja: Salaf dan Khalaf”, mencatat, bahwa golongan Aswaja adalah golongan yang selamat. Istilah sunnah pada Ahlus Sunnah wal-Jamaah (Aswaja), merujuk pada petunjuk Rasulullah SAW, sahabat-sahabatnya, baik ilmu, aqidah, perkataan dan amalan, yaitu Sunnah yang harus dipedomani. (Lihat buku al-Wasiyah al-Kubra fi Aqidah Ahl Sunnah wal Jama’ah, h 23, Syarh Aqidah al Tahawiyah karangan Abu al-‘izzi al-Hanafi h. 33).

Istilah Jama’ah merujuk pada umat terdahulu dari para Sahabat dan Tabi’in, siapa yang mengikuti mereka sampai hari kiamat; mereka ber
pegang teguh kepada al-Kitab dan Sunnah dan terhadap imam mereka; mereka yang berpedoman kepada petunjuk Nabi SAW, sahabatnya dan pengikutnya sampai hari kiamat. (Lihat buku al-I’tisam karangan al-Syatibi, Jilid I h. 28.)

Maka istilah Ahl Sunnah wal Jama’ah adalah mereka yang berpegang teguh kepada sunnah Rasulullah SAW; mereka yang bersepakat dalam hal itu. Mereka adalah para Sahabat dan Tabi’in, para imam yang diberi hidayah dan yang mengikuti mereka, dan siapa yang berjalan mengikuti jejak mereka dalam aqidah, perkataan dan perbuatan sampai hari kiamat. (Abu al-‘izzi al-Hanafi, Op Cit, h.330)

Pengertian perpecahan yang dimaksudkan oleh hadis Nabi adalah perpecahan dalam hal pokok-pokok akidah, dan bukan dalam hal syariah furuiyah. Mereka yang berpegang teguh kepada sunnah Rasulullah dan para Sahabatnya adalah golongan yang selamat. Dan bagi mereka yang menyalahi sunnah Rasulullah dan para Sahabatnya akan menemui kehancuran.

Al Imam Bayhaqi (Wafat 458 H) yang mempopulerkan istilah Ahl Sunnah wal Jam’ah dalam bukunya yang berjudul “ al-I’tiqad ‘ala madhab al-Salaf Ahl Sunnah Wal Jama’ah”, Penerbit al Salam al ‘Alamiyah, Cairo, 1984, dan Dr. Abdul Halim al-Jundi dalam bukunya yang berjudul “ Ahmad bin Hambal : Imam Ahl Sunnah” Dar al- Ma’arif, Cairo 1977. Kemudian Dr. Ali Abd al-Fattah al-Maghribi menulis buku yang berjudul “ Imam Ahl Sunnah wal Jama’ah:Abu Mansur al-Maturidi wa Arauhu al-Kalamiyah, Maktabah Wahbah, Cairo, 1985.

Jadi, Ahlus Sunnah wal Jama’ah sebagai mazhab agama adalah mazhab yang didirikan oleh Shahibul Syariah Nabi Muhammad SAW, kemudian diteruskan kepada para sahabat dan Tabiin dan Tabi’u tabi’in sampai hari kiamat. Dari sini kemudian terkenal istilah mazhab Salaf. Pengertian Salaf dari segi sejarah adalah mereka yang terdiri dari: Sahabah, Tabi’in dan Tabi’u al-Tabi’in dari ketiga abad (generasi) pertama hijrah, sedangkan mazhab Salaf adalah mazhab ketiga generasi tersebut, dan mereka yang mengikuti mereka, terdiri dari para imam seperti imam yang empat, Sofyan Tsauri, Sofyan bin Ayyinah, al-Layth bin sa’ad. Abdullah bin al-Mubarak, al-Bukhari Muslim, dan seluruh Ashabul sunnan, yang mengkuti jalan (metode) orang-orang terdahulu generasi per generasi. Dikecualikan dari mereka disebut sebagai golongan bid’ah seperti Muktazilah, Khawarij. Qadariyah, Jabriyah, Murji’ah dan Syi’ah. (Ahmad bin al-hajar , al-‘Aqaid al-Salafiyah, J 1, Beirut,1971, h.11. Mustofa Hilmy, Qawaid al-Manhaj al-Salafi, cet.1, Dar al-Dakwah. Iskandariyah, 1980, h. 253)

Demikian paparan Dr. Amal Fathullah, yang menulis disertasi doktornya tentang pemikiran aqidah Ibnu Taymiyah di Universiti Malaya Kuala Lumpur.

****

Konsep Ahlu Sunnah wal-Jamaah (Aswaja) juga sudah baratus-ratus tahun tersebar dan tertanam di wilayah Indonesia. Hal itu misalnya, bisa disimak dari pemikiran seorang ulama besar di Aceh, yaitu Syeikh Nuruddin Muhammad Jailani ibn Ali Ibn Hasanji Ibn Muhammad Hamid al-Raniri (m.1068 H/1658 M). Ulama yang dikenal dengan nama Syekh Nuruddin al-Raniri ini adalah seorang ulama terkemuka di Kerajaan Aceh Darussalam. Nuruddin al-Raniri pernah menjadi mufti kerajaan dan Shaykh al-Islam yang terkenal di zamannya. Karya-karyanya berpengaruh besar dalam tradisi pemikiran Melayu-Nusantara.

Al-Raniri dilantik menjadi Mufti Besar Aceh oleh Sultan Iskandar Tsani (1637-1641 M). Ia dikenal juga sebagai ulama yang sangat produktif dalam menulis. Lebih 25 kitab telah ditulisnya. Diantaranya adalah: (1). Durr al-Fara’id bi Sharh al-‘Aqa’id (2) Hidayat al-Habib fi al-Targhib wa al-Tarhib (1635), (3) Lata’if al-Asrar (4) Asrar al-Insan fi Ma‘rifat al-Ruh wa al-Rahman (4) at-Tibyan fi Ma‘rifat al-Adyan (4). Akhbar al-Akihrah fi Ahwal al-Qiyamah (5) Jawahir al-‘Ulum fi Kashf al-Ma‘lum (6) Hujjat al-Siddiq li Daf‘ al-Zindiq (7) Fath al-Mubin ‘ala al-Mulhidin (8) Al-Lama‘an fi Takfir man Qala bi Khalq al-Qur’an
(9) Sawarim al-Siddiq li Qat‘i al-Zindiq, dan sebagainya.

Prof. Dr. Wan Mohd Nor Wan Daud dan Dr. Khalif Muammar telah melakukan kajian mendalam terhadap salah satu karya terkenal al-Ranir
i, yaitu Durr al-Fara’id bi Sharh al-‘Aqa’id. Kajian itu dituangkan dalam satu naskah berjudul “Kerangka Komprehensif Pemikiran Melayu Abad ke-17 M, Berdasarkan Manuskrip Durr al-Fara’id Karangan Sheikh Nurudin al-Raniri”. (International Journal of the Malay World and Civilisation, 2009). Menurut kedua sarjana tersebut, Durr al-Fara’id, besar kemungkinan mulai ditulis oleh al-Raniri saat dia berada di Pahang sebelum bertugas ke Aceh.

Durr al-Fara’id adalah karya mengenai akidah umat Islam. Kitab ini secara khusus membahas asas-asas keyakinan dan metafisika umat Islam termasuk juga epistemologi, ilmu kalam, dan falsafah kepimpinan, dan sebagainya. yang meliputi perbincangan hakikat ilmu, alam, sifat-sifat Allah, al-Qur’an, dosa besar, konsep iman, perkara-perkara yang menyebabkan seseorang kufur, mukjizat, para rasul, malaikat, kitab-kitab, Mi’raj Rasulullah, karamah, khilafah, imamah, tanda-tanda kiamat, azab kubur, surga dan neraka, kedudukan orang beriman dan lain-lain. Kebanyakan persoalan-persoalan tersebut dan hal-hal yang berkaitan dengannya dijelaskan dengan panjang lebar dan mendalam dalam Durr al-Fara’id sehingga membentuk dan menggambarkan kerangka pemikiran komprehensif seorang Muslim.

“Oleh (karena) itu buku ini dapat dikatakan sebagai salah satu sumber utama pandangan alam (worldview) orang Melayu pada masa itu yang memiliki banyak persamaan dengan orang Islam di tempat lain,” tulis Prof. Wan Mohd Nor dan Dr Khalif Muammar.

Sebagaimana diketahui, aliran akidah yang berkembang di alam Melayu adalah aliran Asya‘irah yang dinisbahkan kepada Imam Abu Hasan al-Asy‘ari (m.324H/935M). Aliran Asya‘irah ini adalah aliran yang dominan dalam kelompok Ahli Sunnah wa al-Jama‘ah. Namun
demikian fakta yang menarik adalah karya al-Nasafi dan al-Taftazani yang menjadi sumber utama pembahasan Durr al-Fara’id beraliran Maturidiyyah yang juga bagian Ahlus Sunnah wa al-Jama‘ah. “Ini menunjukkan bahwa terdapat keluwesan dan keterbukaan di kalangan ulama Ahli Sunnah. Walaupun al-Raniri menegaskan pilihan mazhab dan alirannya namun beliau tidak sesekali menafikan kebenaran mazhab dan aliran lain, dalam kelompok Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah,” tulis kedua sarjana tersebut.

Al-Raniri memulai kajian kitabnya ini dengan menerangkan sebuah konsep dasar dalam falsafah ilmu (epistemologi), dengan menulis: “Kata segala orang yang beriktikad sebenarnya: hakikat segala sesuatu itu teguh jua, ertinya kebenaran segala sesuatu itu tetap dan teguh jua adanya,dan pada pengetahuan akan dia sebenarnya, ertinya kita iktikadkan bahawa segala yang dilihat seperti langit dan bumi dan barang yang dalam keduanya itu iaitu jua pada penglihatan dan pada pengetahuan demikianlah sama jua pada iktikad”.

Dengan ungkapan tersebut, menurut Prof. Wan Mohd Nor dan Dr. Khalif Muammar, para ulama ini membezakan golongan yang benar, yang disebut sebagai ahl al-haq, dengan golongan yang salah (yang disebut ahl al-batil). Golongan benar, Ahl al-Sunnah wa al-Jama‘ah, ini dapat dilihat telah bersepakat terhadap banyak perkara dan menentang penyelewengan
yang dilakukan oleh golongan lain, baik itu golongan Sofis, Mu’tazilah, Khawarij, Jahmiyyah, Syi’ah dan sebagainya.

Prinsip ini juga sangat berbeda dengan prinsip pluralisme yang berpendapat bahwa kebenaran tidak dapat dicapai seseorang manusia dengan pasti. Ilmu yang dimiliki manusia selamanya relatif. Sedangkan bagi golongan Ahl al-Sunnah wa al-Jama‘ah, sesuai dengan pandangan Islam, manusia dapat mencapai kepastian tentang sesuatu hakikat. Kepastian itu dapat diraih melalui pancaindera, wahyu, atau akal.

“Sudah tentu kebenaran yang dicapai melalui wahyu yang benar akan lebih autoritatif kerana ia diberikan oleh Allah Yang Maha Mengetahui. Dengan wujudnya wahyu ini maka pemisahan mutlak antara ilmu Tuhan dan ilmu manusia tidak terjadi. Sebahagian daripada ilmu Tuhan telah diberikan kepada manusia melalui nabi dan rasul. Maka ilmu manusia yang dibenarkan oleh wahyu ini pasti atau mutlak sifatnya.”

Selanjutnya, al-Raniri menjelaskan kesesatan golongan Sofis (Sophists) yang meragukan dan mengin
gkari wujudnya hakikat bagi segala sesuatu: “Adapun pada i‘tiqad Sufasta’iyyah bersalahan dengan demikian itu, tetapi kata mereka itu cita–cita dan wahm dan khayal sia-sia jua. Dan lagi pula katanya segala suatu itu mengikut pada i‘tiqad jika di i‘tiqadkan pada suatu itu kekal maka iaitu kekal jua dan jika di i‘tiqadkan baharu maka baharu jua. Dan lagi pula katanya segala suatu itu dalam syak jua dan yang syak itu tiada berputusan ertinya segala suatu itu bukannya iaitu, demikianlah i‘tiqad Sufasta’iyyah yang amat sesat itu”.

Kitab Durr al-Fara’id, ini juga membahas secara mendalam tentang sumber-sumber ilmu. Dipaparkan tentang tiga sumber ilmu: yaitu pancaindera, khabar Sadiq (wahyu, berita yang benar) dan akal. Akal, menurut Al-Raniri, dapat menjadi sumber ilmu bagi manusia. Dengan akal yang sehat, seseorang dapat mencapai keyakinan akan kewujudan Tuhan. Al-Raniri membuat paparan logika yang kuat bagaimana manusia bisa menemukan kewujudan Tuhan dengan akalnya.

Jadi, simpul Prof Wan Mohd Nor dan Dr. Khalif Muammar, jelas bahwa pemikiran Islam yang dikembangkan oleh para ulama masa silam yang berwibawa, baik di negeri-negeri Arab maupun di alam Melayu, adalah pemikiran yang rasional dan saintifik. Mereka tidak sekali pun menanamkan pemikiran yang tidak rasional seperti mitos dan legenda. Epistemologi Islam yang mereka paparkan, yang merangkum khabar Shadiq (wahyu), pancaindera dan akal rasional membuktikan bahwa dalam Islam tidak ada pemisahan mutlak antara wahyu dan akal, Justeru keduanya dapat berfungsi dalam usaha manusia untuk maju dan membangun peradaban yang tinggi. Wallahu a’lam bil-shawab.

Berdasarkan berbagai penjelasan tentang konsep Ahlu Sunnah wak-Jamaah, bisa disimpulkan, bahwa golongan yang selamat ini menolak paham-paham Muktazilah, Khawarij, Syiah dan juga liberal. Wallahu a’lam bil-shawab. (Depok, 20 Februari 2012)
MENGETAHUI
Oleh: Dr Hamid Fahmy Zarkasyi

Suatu ketika al-Ghazzali melakukan perjalanan panjang. Dalam perjalanannya itu ia membawa serta seluruh buku bacaannya. Konon di tengah jalan tiba-tiba datang segerombolan orang merampok seluruh bawaan al-Ghazzali, termasuk buku-bukunya. Padahal ia belum membaca seluruh isi buku itu. Yang telah ia baca pun belum seluruhnya dihafal.

Kejadian itu benar-benar telah menyadarkan al-Ghazzali, bahwa ilmu itu ada di dalam dada dan bukan dalam tulisan (al-‘ilm fi-s-sudur la fi-s-sutur). Sejak kejadian itu al-Ghazzali bertekad untuk selalu mengingat apa yang telah ia baca. Yang menarik tentu bukan peristiwa perampokannya, tapi kesimpulan al-Ghazzali tentang letak ilmu. Benarkah mengetahui dan pengetahuan itu ada di dalam dada? Apa bedanya ilmu dari ma’rifah.

Bicara ilmu adalah bicara obyeknya (realitas atau wujud) dan luas obyek ilmu adalah seluas realitas atau wujud. Maka dari itu realitas bagi Ghazzali dan juga para ulama adalah empiris dan non-empiris. Realitas empiris pun dibagi sekurangnya menjadi tiga : realitas individual, realitas pembicaraan, dan realitas pikiran. Yang pertama adalah wujud yang riel dan empiris, yang kedua adalah wujud dalam pembicaraan yang bersifat verbal dan indikatif, dan yang ketiga adalah wujud dalam pikiran yang bersifat kognitif dan formal. Diatas dari segala realitas tersebut diatas adalah Realitas Mutlak atau Wujud Mutlak.

Lalu bagaimana proses mengetahuinya? Bagi al-Ghazzali untuk realitas empiris dimulai dari kajian terhadap hal-hal yang khusus yang dapat dipahami dan dikomunikasikan dengan bahasa. Ketika wujud individual difahami oleh akal kita, bentuk (surah) dari realitas individual tersebut tercetak dalam mata, lalu pada imaginasi kita dan kemudian menjadi wujud dalam pikiran kita. Ketika bentuk realitas atau wujud individual itu hadir dalam pikiran, ia menjadi ilmu, sebab obyek yang diketahui berhubungan dengan representasi dalam pikiran tersebut, persis seperti bayangan kita yang tercermin dalam kaca.

Jadi proses mengetahui mengharuskan adanya tiga hal yaitu: obyek ilmu pengetahuan, penerima dan proses kognisinya yang melibatkan penginderaan. Ketika realitas atau wujud empiris ada dalam pikiran ia tetap bernama realitas. Demikian pula keimanan yang tidak empiris di dalam dada itu dapat disebut realitas juga. Jika realitas empiris – melalui proses – dapat tercermin dalam pikiran, maka Realitas Mutlak atau Wujud Mutlak, yaitu Tuhan dapat pula tercermin dalam diri manusia.

Dengan jalan empiris saja manusia telah dapat mengetahui dirinya sendiri, alam semesta dan Tuhannya. Wujud Tuhan dapat diketahui secara indukif dari ciptaanNya. Ilmu-ilmu empiris itu tentang ciptaan Tuhan itu merupakan aspek-aspek yang saling berhubungan dan membentuk kesatuan. Pada maqam yang tertinggi orang akan sampai pada pandangan bahwa realitas dan kebenaran itu hanya satu dan tidak plural. Artinya dalam akalnya hanya ada satu realitas atau wujud, yaitu Wujud Mutlak, Aktor (fa’il) dari segala wujud yang plural yang nisbi.

Jikapun tidak dengan jalan empiris Tuhan dapat diketahui dengan mata hati. Sebab dalam diri manusia telah terdapat naluri (fitrah) mengenal tuhan (ma’rifatullah). Naluri itu diciptakan oleh Tuhan sebelum manusia lahir melalui syahadah awal (mithaq). Syahadah inilah bekal manusia memperoleh ma’rifah. Nietzsche menuduh fitrah ini hanya pikiran dan khayalan. Dan khayalan itu, menurutnya, harus dibunuh agar orang dapat berfikir saintifik. God is dead artinya fitrah itu telah mati. Memang pengetahuan tentang ini bagi al-Ghazzali tidak dimiliki orang awam, termasuk Nietzsche. Pengetahuan tentang Tuhan dengan jalan non-empiris dicapai dengan mata hati yang penuh cinta. Dalam Ihya ia menyatakan:”…metode terbaik untuk memperoleh kebenaran dan sekaligus kecintaan pada Allah adalah dengan metode deduktif dari ma’rifah tentang Allah kepada pengetahuan tentang realitas. Tapi ini adalah metode yang rumit dan tidak difahami orang awam” (Ihya’ hal. 2619, vol. IV).

Jadi ternyata tempat ‘ilm dan ma’rifah adalah sama, yaitu di dalam hati, di dada. Berarti temp
at aktifitas zikir, fikir, ‘ilm, iman, amal, cinta dan akhlaq adalah sama. Jika semua aktifitas itu seimbang maka sampailah seseorang itu kederajat yaqin. Bangunan trilogi iman, ilmu amal adalah paradigm keilmuan Islam yang kuat. Karena itu ilmu dalam Islam berdimensi amal dan amal berdimensi ilmu, keduanya bersumber pada iman. Maka al-Ghazzali tegas “ilmu tanpa amal adalah gila dan amal tanpa ilmu adalah sombong”. Jadi, Muslim yang mengatakan “hatinya di Mekkah otaknya di Jerman atau di New York”, berarti imannya tanpa ilmu, ilmunya tanpa iman. Hatinya berzikir tapi pikirannya - boleh jadi – sekuler-liberal. Wallahu a’lam.
Diabolisme Intelektual
Oleh: Dr. Syamsuddin Arif

Diábolos adalah Iblis dalam bahasa Yunani kuno, menurut A. Jeffery dalam bukunya the Foreign Vocabulary of the Qur’an, cetakan Baroda 1938, hlm. 48. Maka istilah “diabolisme” berarti pemikiran, watak dan perilaku ala Iblis ataupun pengabdian padanya. Dalam kitab suci al-Qur’an dinyatakan bahwa Iblis termasuk bangsa jin (18:50), yang diciptakan dari api (15:27). Sebagaimana kita ketahui, ia dikutuk dan dihalau karena menolak perintah Tuhan untuk bersujud kepada Adam. Apakah Iblis atheist? Tidak. Apakah ia agnostik? Tidak. Iblis tidak mengingkari adanya Tuhan. Iblis tidak meragukan wujud maupun ketunggalan-Nya. Iblis bukan tidak kenal Tuhan. Ia tahu dan percaya seratus persen. Lalu mengapa ia dilaknat dan disebut ‘kafir’? Di sinilah letak persoalannya.

Kenal dan tahu saja, tidak cukup. Percaya dan mengakui saja, tidak cukup. Mereka yang kafir dari kalangan Ahli Kitab pun kenal dan tahu persis siapa dan bagaimana terpercayanya Rasulullah SAW, sebagaimana orangtua mengenali anak kandungnya sendiri (ya’rifunahu kama ya’rifuna abna’ahum). Namun tetap saja mereka enggan masuk Islam.

Jelaslah bahwa pengetahuan, kepercayaan, dan pernyataan harus disertai dengan kepatuhan dan ketundukan, harus diikuti dengan kesediaan dan kemauan untuk merendah, menurut dan melaksanakan perintah. “Knowledge and recognition should be followed by acknowledgement and submission, ” tegas Profesor Naquib al-Attas.

Kesalahan Iblis bukan karena ia tak tahu atau tak berilmu. Kesalahannya karena ia membangkang (aba, QS 2:34, 15:31, 20:116), menganggap dirinya hebat (istakbara, QS 2:34, 38:73, 38:75), dan melawan perintah Tuhan (fasaqa ?an amri rabbihi, QS 18:50). Dalam hal ini, Iblis tidak sendirian. Sudah banyak orang yang berhasil direkrut sebagai staf dan kroninya, berpikiran dan berprilaku seperti yang dicontohkannya.

Iblis adalah ‘prototype’ intelektual ‘keblinger’. Sebagaimana dikisahkan dalam al-Qur’an, sejurus setelah ia divonis, Iblis mohon agar ajalnya ditangguhkan. Dikabulkan dan dibebaskan untuk sementara waktu, ia pun bersumpah untuk menyeret orang lain ke jalannya, dengan segala cara.

“Hasutlah siapa saja yang kau bisa dari kalangan mereka dengan seruanmu. Kerahkan seluruh pasukanmu, kavalri maupun infantri. Menyusuplah dalam urusan keuangan dan keluarga mereka. Janjikan mereka [kenikmatan dan keselamatan]!” Demikian difirmankan kepada Iblis (QS 17:64).

Maka Iblis pun bertekad: “Sungguh akan kuhalangi mereka dari jalan-Mu yang lurus. Akan kudatangi mereka dari arah depan dan belakang, dari sebelah kanan dan kiri mereka!” (QS 7:16-17). Maksudnya, menurut Ibnu ‘Abbas ra, Iblis bertekad untuk menyesatkan orang dengan menebar keraguan, membuat orang ragu dan lupa pada akhirat, alergi dan anti terhadap kebaikan dan kebenaran, gandrung dan tergila-gila pada dunia, hobi dan cuek berbuat dosa, ragu dan bingung soal agama (Lihat: Ibn Katsir, Tafsir al-Qur’an al-?Az?im, cetakan Beirut, al-Maktabah al-?As?riyyah, 1995, vol. 2, hlm. 190).

Tidak sulit untuk mengidentifikasi cendekiawan bermental Iblis. Sebab, ciri-cirinya telah cukup diterangkan dalam al-Qur’an sebagai berikut. Pertama, selalu membangkang dan membantah (6:121). Meskipun ia kenal, tahu dan faham, namun tidak akan pernah mau menerima kebenaran. Seperti ingkarnya Fir’aun berikut hulu-balangnya, zulman wa ‘uluwwan, meskipun dan padahal hati kecilnya mengakui dan meyakini (wa istayqanat-ha anfusuhum).

Maka selalu dicarinya argumen untuk menyanggah dan menolak kebenaran demi mempertahankan opininya. Sebab, yang penting baginya bukan kebenaran, akan tetapi pembenaran. Jadi, bukan karena ia tak tahu mana yang benar, tetapi karena ia memang tidak mau mengikuti dan tunduk pada kebenaran itu. Jadi jangan heran bila selalu saja ada cendekiawan yang meskipun nota bene Muslim, namun sifatnya seperti itu. Ideologi dan opini pemikirannya yang liar lebih ia pentingkan dan ia pertahankan ketimbang kebenaran dan aqidah Islamnya.

Dalam tradisi keilmuan Islam, sikap membangkang semacam ini disebut juga al-‘inadiyyah (Lihat: Abu Hafs Najmuddin Umar ib
n Muhammad an-Nasafi (w. 537 H/1142 M), al-‘Aqa’id, dalam Majmu’ min Muhimmat al-Mutun, Kairo: al-Matba’ah al-Khayriyyah, 1306 H, hlm. 19).

Kedua, intelektual diabolik bersikap takabbur (sombong, angkuh, congkak, arrogans). Pengertian takabbur ini dijelaskan dalam hadis Nabi SAW yang diriwayatkan oleh Imam Muslim (no.147): “Sombong ialah menolak yang haq dan meremehkan orang lain (al-kibru batarul-haqq wa ghamtu n-nas)”.

Akibatnya, orang yang mengikuti kebenaran sebagaimana dinyatakan dalam al-Qur’an atau hadis Nabi SAW dianggapnya dogmatis, literalis, logosentris, fundamentalis, konservatif dan lain sebagainya.

Sebaliknya, orang yang berpikiran liberal, berpandangan relativistik dan skeptis, menghujat al-Qur’an maupun Hadis, meragukan dan menolak kebenarannya, justru disanjung sebagai intelektual kritis, reformis dan sebagainya, meskipun terbukti zindiq, heretik dan bermental Iblis.

Mereka bermuka dua, menggunakan standar ganda (2:14). Mereka menganggap orang beriman itu bodoh, padahal merekalah yang bodoh dan dungu (sufaha’). Intelektual semacam inilah yang diancam Allah dalam al-Qur’an : “Akan Aku palingkan mereka yang arogan tanpa kebenaran itu dari ayat-ayat-Ku. Sehingga, meskipun menyaksikan setiap ayat, tetap saja mereka tidak akan mempercayainya. Dan kalaupun melihat jalan kebenaran, mereka tidak akan mau menempuhnya. Namun jika melihat jalan kesesatan, mereka justru menelusurinya” (7:146).

Ciri yang ketiga ialah mengaburkan dan menyembunyikan kebenaran (talbis wa kitman al-haqq). Cendekiawan diabolik bukan tidak tahu mana yang benar dan mana yang salah. Namun ia sengaja memutarbalikkan data dan fakta. Yang batil dipoles dan dikemas sedemikian rupa sehingga nampak seolah-olah haq.

Sebaliknya, yang haq digunting dan di’preteli’ sehingga kelihatan seperti batil. Ataupun dicampur-aduk dua-duanya sehingga tidak jelas lagi beda antara yang benar dan yang salah. Strategi semacam ini memang sangat efektif untuk membuat orang lain bingung dan terkecoh.

Contohnya seperti yang dilakukan oleh para pengasong gagasan inklusivisme dan pluralisme agama. Mereka mengutip ayat-ayat al-Qur’an (2:62 dan 5:69) untuk menjustifikasi pemikiran liarnya, untuk mengatakan semua agama adalah sama, tanpa mempedulikan konteks siyaq, sibaq dan lihaq maupun tafsir bi l-ma’tsur dari ayat-ayat tersebut.

Sama halnya yang dilakukan oleh para orientalis Barat dalam kajian mereka terhadap al-Qur’an dan Hadis. Mereka mempersoalkan dan membesar-besarkan perkara-perkara kecil, mengutak-atik yang sudah jelas dan tuntas, sambil mendistorsi dan memanipulasi (tahrif) sumber-sumber yang ada. Hal ini tidak terlalu mengejutkan, mengingat kebanyakan mereka adalah Yahudi dan Nasrani yang karakternya telah dijelaskan dalam al-Qur’an 3:71, “Ya ahla l-kitab lima talbisuna l-haqq bi l-batil wa taktumu l-haqq wa antum ta’lamun?” Yang sangat mengherankan ialah ketika hal yang sama dilakukan oleh mereka yang zahirnya Muslim.

Karena watak dan peran yang dilakoninya itu, Iblis disebut juga Setan (syaitan), kemungkinan dari bahasa Ibrani ‘syatan’, yang artinya lawan atau musuh (Lihat: W. Gesenius, Lexicon Manuale Hebraicum et Chaldaicum in Veteris Testamenti Libros). Dalam al-Qur’an memang ditegaskan bahwa setan adalah musuh nyata manusia (12:5, 17:53 dan 35:6). Selain pembangkang (‘asiyy), setan berwatak jahat, liar, dan kurang ajar (marid dan marid). Untuk menggelincirkan (istazalla), menjerumuskan (yughwi) dan menyesatkan (yudillu) orang, setan juga memakai strategi. Caranya dengan menyusup dan mempengaruhi (yatakhabbat), merasuk dan merusak (yanzagh), menaklukkan (istahwa) dan menguasai (istah’wadza), menghalang-halangi (yasudd) dan menakut-nakuti (yukhawwif), merekomendasi (sawwala) dan menggiring (ta’uzz), menyeru (yad’u) dan menjebak (yaftin), menciptakan imej positif untuk kebatilan (zayyana lahum a’malahum), membisikkan hal-hal negatif ke dalam hati dan pikiran seseorang (yuwaswis), menjanjikan dan memberikan iming-iming (ya’iduhum wa yumannihim), memperdaya dengan tipu muslihat (dalla bi-ghurur), membuat orang lupa dan lalai (yunsi), menyulut konflik da
n kebencian (yuqi’u l-‘adawah wa l-baghda’), menganjurkan perbuatan maksiat dan amoral (ya’mur bi l-fahsya’ wa l-munkar) serta menyuruh orang supaya kafir (qala li l-insani-kfur).

Nah, trik-trik inilah yang juga dipraktekan oleh antek-antek dan konco-konconya dari kalangan cendekiawan dan ilmuwan. Mereka disebut awliya’ al-syaytan (4:76), ikhwan al-syaytan (3:175), hizb al-syaytan (58:19) dan junudu Iblis (26:94). Mereka menikam agama dan mempropagandakan pemikiran liar atas nama hak asasi manusia (HAM), kebebasan berekspresi, demokrasi, pembaharuan, pencerahan ataupun penyegaran.

Semua ini sebenarnya bukan sesuatu yang baru atau pertama kali terjadi, seperti segera diketahui oleh setiap orang yang membaca sejarah pemikiran Islam. Semuanya merupakan repetisi dan reproduksi belaka. History repeats itself, kata pepatah bule. Hanya pelakonnya yang beda, namun karakter dan perannya sama saja. Ada Fir’aun dan ada Musa as. Muncul Suhrawardi al-Maqtul, tetapi ada Ibn Taymiyyah. Lalu lahir Hamzah Fansuri, namun datang ar-Raniri, dan seterusnya.

Al-Qur’an pun telah mensinyalir: “Memang ada manusia-manusia yang kesukaannya berargumentasi, menghujat Allah tanpa ilmu, dan menjadi pengikut setan yang durhaka. Telah ditetapkan atasnya, bahwa siapa saja yang menjadikannya sebagai kawan, maka akan disesatkan olehnya dan dibimbingnya ke neraka” (22:3-4). Maka kaum beriman diingatkan agar senantiasa menyadari bahwa “sesungguhnya setan-setan itu mewahyukan kepada kroninya untuk menyeret kalian ke dalam pertengkaran. Jika dituruti, kalian akan menjadi orang-orang yang musyrik” (6:121). Ini tidak berarti kita dilarang berpikir atau berijtihad. Berpendapat boleh saja, asal dengan ilmu dan adab. Wallahu a’lam.*
Channel photo updated
This media is not supported in your browser
VIEW IN TELEGRAM
DARI PERBENDAHARAAN LAMA. Penulis: Buya Hamka. Harga 85rb belum ongkir. Pemesanan silahkan sms/whatsapp ke 087878147997. Syukran...
ADAB
Oleh: Dr. Hamid F. Zarkasyi

Belalang menjadi burung elang.
Kutu menjadi kura-kura, dan
Ulat berubah menjadi naga.

Itulah syair pujangga Abdullah Abdul Qadir al-Munsyi, ditulis pertengahan abad 19. Sekilas ia seperti sedang bicara evolusi Darwin, atau cerita bim salabim ala Herry Porter. Tapi sejatinya ia sedang bicara tentang perubahan yang aneh. Perubahan tentang bangsanya yang kehilangan adab.

Metafora ini mudah diterima oleh bangsa Melayu, tapi tidak bagi orang Jawa. Orang Jawa lebih mudah faham dengan dagelan Petruk jadi ratu. Ya dagelan, sebab ada perubahan status secara tidak alami atau tidak syarie. Bukan gambaran diskriminatif, bukan pula rasial, tapi loncatan status yang abnormal.

Munsyi tentu faham belalang mustahil jadi burung elang, kutu jadi kura-kura. Ia juga faham mengapa Tuhan mengizinkan kepompong bisa jadi kupu-kupu yang cantik. Tapi, yang ia gelisahkan mengapa ini bisa terjadi di dunia manusia. Semua orang berhak mencapai sukses, tapi mengapa sukses dicapai dengan mengorbankan moral. Kita menjadi lebih faham setelah membaca bait berikutnya:

“Bahkan seorang yang hina dan bodoh dapat pandai dan terhormat,
jika memiliki harta. Sedangkan orang miskin
tidak dipandang walaupun pandai dan terhormat”.

Munsyi seperti sedang memberi tugas kita untuk menjawab. Dimana letak kesalahannya. Yang dengan cerdas menjawab adalah SM Naquib al-Attas, ulama yang juga pakar sejarah Melayu. Letak kesalahannya, katanya, ada pada lembaga pendidikan kita. Pendidikan kita tidak menanamkan adab. Adab adalah ilmu yang berdimensi iman, ilmu yang mendorong amal dan yang bermuatan moral.

Sumbernya ada dua: faktor eksternal dan internal. Yang pertama, karena besarnya pengaruh pemikiran sosial, politik, ekonomi dan kebudayaan Barat. Yang kedua, karena lemahnya daya tahan tubuh umat Islam. Pendidikan kita tidak menanamkan adab. Ritual pendidikan memang terus berjalan, tapi maqasid-nya tidak tercapai. Lembaga pendidikan umat Islam bisa menghasilkan SDM bidang tehnik, ekonomi, kedokteran, manajemen, tapi tidak menghasilkan peradaban Islam.

Tanda-tanda alpanya adab sekurangnya ada 3: kezaliman, kebodohan dan kegilaan. Zalim kebalikan adil artinya tidak dapat meletakkan sesuatu pada tempatnya. Dalam adab kesopanan orang Jawa disebut tidak empan papan. Jelasnya tidak bisa memahami dan menerapkan konsep secara proporsional. Artinya mencampur dua atau tiga konsep yang saling bertentangan. Seperti mencapur keimanan dengan kemusyirikan. Mewarnai amal dengan kemaksiatan dan kesombongan. Tauhid dengan faham dikotomis-dualistis, dsb.

Bodoh atau dalam bahasa al-Ghazzali hamaqah bukan jahil dan buta aksara. Bodoh tentang cara mencapai tujuan. Karena tidak tahu apa tujuan hidupnya, seseorang jadi bodoh tentang cara mencapainya.Anda harus bisa kaya dengan segala cara” adalah bisikan Machiaveli yang diterima dengan sukarela. Korupsi, menipu, manipulasi, dan sebagainya pun bisa menjadi cara meniti karir. Anda bisa jual diri asal bisa jadi selebriti. Anda bisa jadi pejabat asal mahir menjilat dan berkhianat. Itulah mengapa Islam datang menawarkan jalan dan cara mencapai tujuan yang disebut syariah.

Gila artinya salah tujuan, salah menentukan arah dan tujuan hidup, salah arah perjuangan. Akarnya tentunya adalah hamaqah atau kebodohan; yang bodoh akan negeri impian akan bingung kemana akan mendayung sampan; yang bodoh akan arti hidup tidak akan tahu apa tujuan hidup; yang jahil tentang arti ibadah tidak akan pernah tahu apa gunanya ibadah dalam kehidupan ini. Akibatnya, aktivitas demi kepentingan pribadi (linnafsi), kehormatan diri (lil jah), harta (lil mal) tiba-tiba diklaim menjadi Demi Allah, (Lillah).

Jika pendidikan kita benar-benar menanamkan adab, mengapa peradaban Islam tidak kokoh berdiri. Mengapa kita begitu gengsi pada hutang luar negeri, tapi bangga memungut konsep-konsep pinjaman dari luar Islam. Mengapa kita hanya mampu menjustifikasi konsep-konsep asing dan tidak mampu membangun konsep sendiri?

Orang Barat begitu percaya diri dengan konsep ciptaannya, tapi mengapa kita tidak. Cardinal John Newman, misalnya,
begitu yakin tentang gambaran universitas humanisme Kristen dalam The Idea of University, Defined and Illustrated. Karl Jasper dalam The Idea of University tegas menggambarkan konsep universitas humanis-eksistensialis. J Douglas Brown dalam The Liberal University-nya bisa menggambarkan dengan jelas pelbagai peran universitas dalam mencetak “manusia sempurna” ala Barat. Tapi mengapa identitas Islam pada universitas Muslim tidak nampak jelas. Mengapa Muslim malu-malu memerankan universitas Islam dalam membangun peradaban Islam.

Universitas Islam harus berani membangun konsep ekonomi Islam, politik Islam, sosiologi Islam, sains Islam, budaya Islam dan sebagainya. Universitas Islam harus bisa mencerminkan bangunan pandangan hidup Islam. Universitas Islam tidak hanya menjadi pusat pengembangan ilmu, tapi juga merupakan sumber gerakan moral dan sosial serta agen perubahan. Universitas harus menjadi pelopor dalam menciptakan manusia-manusia yang adil dan beradab agar dapat membangun peradaban yang bermartabat. (***)
This media is not supported in your browser
VIEW IN TELEGRAM
DI BAWAH LINDUNGAN KA'BAH
Penulis: Buya Hamka

Harga Rp. 38.000,-
Pemesanan silahkan sms/whatsapp ke 087878147997.

Syukran....
MELURUSKAN SEJARAH INDONESIA
Oleh: Dr. Adian Husaini


Tidak ada yang tidak setuju, bahwa sejarah adalah hal penting dalam kehidupan manusia. Untuk melihat masa depannya, seseorang perlu memahami masa lalunya. Al-Quran dipenuhi oleh berbagai cerita umat-umat terdahulu. Dan umat Islam diminta bisa mengambil hikmah dari kisah-kisah masa lalu, untuk menjadi bekal dalam menyongsong masa depannya. Maka, jangan heran, jika setiap bangsa senantiasa merumuskan sejarah masa lalunya. Sejarah juga sangat penting bagi kebangkitan suatu bangsa atau peradaban. Muhammad Asad (Leopold Weiss) dalam bukunya, Islam at the Crossroads, menulis: No civilization can prosper or even exist, after having lost this pride and the connection with its own past

Menyadari arti penting sejarah, kaum penjajah juga secara serius merekayasa sejarah Indonesia. Khususnya yang menyangkut peran Islam dalam sejarah Indonesia. Pakar sejarah Melayu, Prof. Naquib al-Attas sudah lama mengingatkan adanya upaya yang sistematis dari orientalis Belanda untuk memperkecil peran Islam dalam sejarah Kepulauan Nusantara. Dalam bukunya, Islam dalam Sejarah dan Kebudayaan Melayu (1990), Prof. Naquib al-Attas menulis tentang masalah ini: Kecenderungan ke arah memperkecil peranan Islam dalam sejarah Kepulauan ini, sudah nyata pula, misalnya dalam tulisan-tulisan Snouck Hurgronje pada akhir abad yang lalu. Kemudian hampir semua sarjana-sarjana yang menulis selepas Hurgronje telah terpengaruh kesan pemikirannya yang meluas dan mendalam di kalangan mereka, sehingga tidak mengherankan sekiranya pengaruh itu masih berlaku sampai dewasa ini.

Dalam kasus hukum, misalnya, sudah menjadi kenyataan, hukum Islam merupakan hukum yang hidup di tengah masyarakat. Bahkan, para pejuang Islam di Indonesia, sejak dulu sudah bercita-cita dan sudah menerapkan hukum Islam. Dalam disertasi doktornya di Universitas Indonesia, Dr. Rifyal Kabah mencatat, bahwa sebelum kedatangan penjajah Belanda, Islam telah memperkenalkan tradisi hukum baru di Indonesia. Ia menawarkan dasar-dasar tingkah laku sosial baru yang lebih sama rata dibanding dengan yang berlaku sebelumnya. Islam juga menyumbangkan konsepsi baru di bidang hukum untuk Indonesia. Islam telah mengubah ikatan yang bersifat kesukuan dan kedaerahan menjadi ikatan yang bersifat universal. Mengutip Daniel S. Lev, Rifyal mencatat bahwa Islam telah membentuk sebuah konsepsi sosial-politik supralokal sebelum Belanda dapat menyatukan Nusantara dalam sebuah administrasi pemerintahan.

Sebuah buku yang ditulis F.V.A. Ridder de Stuers, Gedenkschrift van den Orloog op Java (1847), mengisahkan memoar seorang Letnan Kolonel Belanda yang menulis, bahwa Perang Diponegoro (1825-1830) sebenarnya adalah perjuangan menegakkan hukum Islam bagi orang Jawa. Kepada William Stavers, ketua delegasi Belanda yang datang ke pedalaman Salatiga, pembantu dekat Pangeran Diponegoro, Kyai Mojo, menyampaikan pesan, Pangeran Diponegoro mencitakan hukum Islam seluruhnya berlaku untuk orang Jawa. Persengketaan orang Jawa dengan orang Eropa diputus menurut hukum Islam. Sedangkan persengketaan antar orang Eropa diselesaikan dengan hukum Eropa.

Sejak zaman VOC, Belanda pun mengakui hukum Islam di Indonesia. Dengan adanya Regerings Reglemen, mulai tahun 1855 Belanda mempertegas pengakuannya terhadap hukum Islam di Indonesia. Pengakuan ini diperkuat lagi oleh Lodewijk Willem Christian yang mengemukakan teori receptio in complexu. Teori ini pada intinya menyatakan, bahwa untuk orang Islam berlaku hukum Islam. Hingga abad ke-19, teori ini masih berlaku. Snouck Hurgronje mulai mengubah teori ini dengan teori receptie, yang menyatakan, hukum Islam baru diberlakukan untuk orang Indonesia, bila diterima oleh hukum adat. Pakar hukum adat dan hukum Islam UI, Prof. Hazairin menyebut teori receptie Snouck Hurgronje ini sebagai teori Iblis. (Lihat, Rifyal Kabah, Hukum Islam di Indonesia (Jakarta: Yarsi, 1999).

Islam, memang telah menjadi bagian integral dan tak terpisahkan dari masyarakat Melayu-Nusantara. Dalam buku klasik-nya, Islam and Secularism, Prof. Syed Muhammad Naquib al-
Attas bahkan mencatat, bahwa dalam perjalanan sejarah peradaban Melayu, kedatangan Islam di wilayah kepulauan Melayu-Indonesia merupakan peristiwa terpenting dalam sejarah kepulauan tersebut. (the coming of Islam seen from the perspective of modern times was the most momentous event in the history of the Archipelago). Bahasa Melayu yang kemudian menjadi bahasa pengantar di kepulauan Melayu-Indonesia (the Malay-Indonesian archipelago) merupakan bahasa Muslim kedua terbesar yang digunakan oleh umat Islam.

Sebab itu, tulis al-Attas, Melayu kemudian menjadi identik dengan Islam. Sebab, agama Islam merupakan unsur terpenting dalam peradaban Melayu. Islam dan bahasa Melayu kemudian berhasil menggerakkan ke arah terbentuknya kesadaran nasional. Al-Attas mencatat: Together with the historical factor, the religious and language factors began setting in motion the process towards a national consciousness.

Upaya untuk memisahkan Islam dengan peradaban Melayu-Indonesia ini sejak lama dilakukan oleh kaum orientalis Belanda yang kemudian diikuti oleh kaum Islamofobia di Indonesia pasca penjajahan. Sejak dulu, kekuatan penjajah berusaha keras mendidik kaum terpelajar dan elite bangsa ini agar bersikap anti-pati terhadap segala sesuatu yang berbau Islam. Mereka ketakutan jika Islam sampai digunakan sebagi ideologi atau sumber tatatan hukum dan budaya bangsa.

Tahun 1938, M. Natsir pernah menulis sebuah artikel berjudul: Suara Azan dan Lonceng Gereja. Artikel ini mengomentari hasil Konferensi Zending Kristen di Amsterdam pada 25-26 Oktober 1938, yang juga menyinggung petingnya peran pendidikan Barat dalam menjauhkan kaum Muslim dari agamanya. Natsir mengutip ungkapan Prof. Snouck Hurgronje, dalam bukunya Nederland en de Islam, Opvoeding en onderwijs zijn in staat, de Moslims van het Islamstelsel te emancipeeren. (Pendidikan dan pelajaran dapat melepaskan orang Muslimin dari genggaman Islam).

Melalui bukunya, Snouck Hurgronje en Islam (Diindonesiakan oleh Girimukti Pusaka, dengan judul Snouck Hurgronje dan Islam, tahun 1989), P.SJ. Van Koningsveld memaparkan sosok dan kiprah Snouck Hurgronje dalam upaya membantu penjajah Belanda untuk menaklukkan Islam. Mengikuti jejak orientalis Yahudi, Ignaz Goldziher, yang menjadi murid para Syaikh al-Azhar Kairo, Snouck sampai merasa perlu untuk menyatakan diri sebagai seorang muslim (1885) dan mengganti nama menjadi Abdul Ghaffar. Dengan itu dia bisa diterima menjadi murid para ulama Mekkah. Menurut Van Koningsveld, pemerintah kolonial mengerti benar sepak terjang Snouck dalam penyamarannya sebagai Muslim. Snouck dianggap oleh kaum Muslim di Nusantara ini sebagai ulama, bahkan ada yang menyebutnya sebagai Mufti Hindia Belanda.

Padahal, Snouck sendiri menulis tentang Islam: Sesungguhnya agama ini meskipun cocok untuk membiasakan ketertiban kepada orang-orang biadab, tetapi tidak dapat berdamai dengan peradaban modern, kecuali dengan suatu perubahan radikal, namun tidak sesuatu pun memberi kita hak untuk mengharapkannya.

Prof. Snouck Hurgronje memang telah tiada. Namun, jalan pikirannya tetap ada yang melanjutkan. Upaya memisahkan dan menjauhkan Islam dari Indonesia terus dilakukan. Islam dicitrakan sebagai barang rongsokan yang harus di-Baratkan, agar menjadi liberal dan modern. Islam juga dicitrakan sebagai unsur asing dari bangsa ini. Bukan hanya dalam aspek hukum, tetapi dalam aspek pendidikan dan budaya pun, unsur-unsur liberalisme Barat dan nativisme dibangkitkan untuk menggusur Islam.

Kasus lain yang menggambarkan adanya rekayasa penjajah Belanda untuk mengarahkan sejarah Indonesia sesuai dengan keinginan Belanda, dapat dilihat pada kasus penokohan RA Kartini sebagai tokoh wanita Indonesia. Pada tahun 1970-an, di saat kuat-kuatnya pemerintahan Orde Baru, guru besar Universitas Indonesia, Prof. Dr. Harsja W. Bachtiar pernah menggugat masalah ini. Ia mengkritik 'pengkultusan' R.A. Kartini sebagai pahlawan nasional Indonesia.

Dalam buku Satu Abad Kartini (1879-1979), (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1990, cetakan ke-4), Harsja W. Bahtiar menulis sebuah artikel berjudul Kartini d
an Peranan Wanita dalam Masyarakat Kita. Tulisan ini bernada gugatan terhadap penokohan Kartini. Kita mengambil alih Kartini sebagai lambang emansipasi wanita di Indonesia dari orang-orang Belanda. Kita tidak mencipta sendiri lambang budaya ini, meskipun kemudian kitalah yang mengembangkannya lebih lanjut, tulis Harsja W. Bachtiar, yang menamatkan doktor sosiologinya di Harvard University.

Harsja juga menggugat dengan halus, mengapa harus Kartini yang dijadikan sebagai simbol kemajuan wanita Indonesia. Ia menunjuk dua sosok wanita yang hebat dalam sejarah Indonesia. Pertama, Sultanah Seri Ratu Tajul Alam Safiatuddin Johan Berdaulat dari Aceh dan kedua, Siti Aisyah We Tenriolle dari Sulawesi Selatan. Anehnya, tulis Harsja, dua wanita itu tidak masuk dalam buku Sejarah Setengah Abad Pergerakan Wanita Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka, 1978), terbitan resmi Kongres Wanita Indonesia (Kowani). Tentu saja Kartini masuk dalam buku tersebut.

Padahal, papar Harsja, kehebatan dua wanita itu sangat luar biasa. Sultanah Safiatudin dikenal sebagai sosok yang sangat pintar dan aktif mengembangkan ilmu pengatetahuan. Selain bahasa Aceh dan Melayu, dia menguasai bahasa Arab, Persia, Spanyol dan Urdu. Di masa pemerintahannya, ilmu dan kesusastraan berkembang pesat. Ketika itulah lahir karya-karya besar dari Nuruddin ar-Raniry, Hamzah Fansuri, dan Abdur Rauf. Ia juga berhasil menampik usaha-usaha Belanda untuk menempatkan diri di daerah Aceh. VOC pun tidak berhasil memperoleh monopoli atas perdagangan timah dan komoditi lainnya. Sultanah memerintah Aceh cukup lama, yaitu 1644-1675. Ia dikenal sangat memajukan pendidikan, baik untuk pria maupun untuk wanita.

Tokoh wanita kedua yang disebut Harsja Bachriar adalah Siti Aisyah We Tenriolle. Wanita ini bukan hanya dikenal ahli dalam pemerintahan, tetapi juga mahir dalam kesusastraan. B.F. Matthes, orang Belanda yang ahli sejarah Sulawesi Selatan, mengaku mendapat manfaat besar dari sebuah epos La-Galigo, yang mencakup lebih dari 7.000 halaman folio. Ikhtisar epos besar itu dibuat sendiri oleh We Tenriolle. Pada tahun 1908, wanita ini mendirikan sekolah pertama di Tanette, tempat pendidikan modern pertama yang dibuka baik untuk anak-anak pria maupun untuk wanita.

Penelusuran Prof. Harsja W. Bachtiar terhadap penokohan Kartini akhirnya menemukan kenyataan, bahwa Kartini memang dipilih oleh orang Belanda untuk ditampilkan ke depan sebagai pendekar kemajuan wanita pribumi di Indonesia. Mula-mula Kartini bergaul dengan Asisten-Residen Ovink suami istri. Adalah Cristiaan Snouck Hurgronje, penasehat pemerintah Hindia Belanda, yang mendorong J.H. Abendanon, Direktur Departemen Pendidikan, Agama dan Kerajinan, agar memberikan perhatian pada Kartini tiga bersaudara.

Harsja menulis tentang kisah ini: Abendanon mengunjungi mereka dan kemudian menjadi semacam sponsor bagi Kartini. Kartini berkenalan dengan Hilda de Booy-Boissevain, istri ajudan Gubernur Jendral, pada suatu resepsi di Istana Bogor, suatu pertemuan yang sangat mengesankan kedua belah pihak.
Ringkasnya, Kartini kemudian berkenalan dengan Estella Zeehandelaar, seorang wanita aktivis gerakan Sociaal Democratische Arbeiderspartij (SDAP). Wanita Belanda ini kemudian mengenalkan Kartini pada berbagai ide modern, terutama mengenai perjuangan wanita dan sosialisme. Tokoh sosialisme H.H. van Kol dan penganjur Haluan Etika C.Th. van Deventer adalah orang-orang yang menampilkan Kartini sebagai pendekar wanita Indonesia.

Lebih dari enam tahun setelah Kartini wafat pada umur 25 tahun, pada tahun 1911, Abendanon menerbitkan kumpulan surat-surat Kartini dengan judul Door Duisternis tot Lich. Kemudian terbit juga edisi bahasa Inggrisnya dengan judul Letters of a Javaness Princess. Beberapa tahun kemudian, terbit terjemahan dalam bahasa Indonesia dengan judul Habis Gelap Terbitlah Terang: Boeah Pikiran (1922).

Dua tahun setelah penerbitan buku Kartini, Hilda de Booy-Boissevain mengadakan prakarsa pengumpulan dana yang memungkinkan pembiayaan sejumlah sekolah di Jawa Tengah. Tanggal 27 Juni 1913, didirikan Komite Kartini Fonds, yan
g diketuai C.Th. van Deventer. Usaha pengumpulan dana ini lebih memperkenalkan nama Kartini, serta ide-idenya pada orang-orang di Belanda. Harsja Bachtriar kemudian mencatat: Orang-orang Indonesia di luar lingkungan terbatas Kartini sendiri, dalam masa kehidupan Kartini hampir tidak mengenal Kartini dan mungkin tidak akan mengenal Kartini bilamana orang-orang Belanda ini tidak menampilkan Kartini ke depan dalam tulisan-tulisan, percakapan-percakapan maupun tindakan-tindakan mereka.

Karena itulah, simpul guru besar UI tersebut: Kita mengambil alih Kartini sebagai lambang emansipasi wanita di Indonesia dari orang-orang Belanda. Kita tidak mencipta sendiri lambang budaya ini, meskipun kemudian kitalah yang mengembangkannya lebih lanjut.

Harsja mengimbau agar informasi tentang wanita-wanita Indonesia yang hebat-hebat dibuka seluas-luasnya, sehingga menjadi pengetahuan suri tauladan banyak orang. Ia secara halus berusaha meruntuhkan mitos Kartini: Dan, bilamana ternyata bahwa dalam berbagai hal wanita-wanita ini lebih mulia, lebih berjasa daripada R.A. Kartini, kita harus berbangga bahwa wanita-wanita kita lebih hebat daripada dikira sebelumnya, tanpa memperkecil penghargaan kita pada RA Kartini.

Memang, banyak wanita lain yang telah berbuat untuk Indonesia. Bukan sekedar bercita-cita. Dewi Sartika (1884-1947), misalnya, bukan hanya berwacana tentang pendidikan kaum wanita. Ia bahkan berhasil mendirikan sekolah yang belakangan dinamakan Sakola Kautamaan Istri (1910) yang berdiri di berbagai tempat di Bandung dan luar Bandung. Rohana Kudus (1884-1972) melakukan hal yang sama di kampung halamannya. Selain mendirikan Sekolah Kerajinan Amal Setia (1911) dan Rohana School (1916), Rohana Kudus bahkan menjadi jurnalis sejak di Koto Gadang sampai saat ia mengungsi ke Medan. Ia tercatat sebagai jurnalis wanita pertama di negeri ini.

Kalau Kartini hanya menyampaikan ide-idenya dalam surat, mereka sudah lebih jauh melangkah: mewujudkan ide-ide dalam tindakan nyata. Jika Kartini dikenalkan oleh Abendanon yang berinisiatif menerbitkan surat-suratnya, Rohana menyebarkan idenya secara langsung melalui koran-koran yang ia terbitkan sendiri sejak dari Sunting Melayu (Koto Gadang, 1912), Wanita Bergerak (Padang), Radio (padang), hingga Cahaya Sumatera (Medan).

Bahkan kalau melirik kisah-kisah Cut Nyak Dien, Tengku Fakinah, Cut Mutia, Pecut Baren, Pocut Meurah Intan, dan Cutpo Fatimah dari Aceh, klaim-klaim keterbelakangan kaum wanita di negeri pada masa Kartini hidup ini harus segera digugurkan. Mereka adalah wanita-wanita hebat yang turut berjuang mempertahankan kemerdekaan Aceh dari serangan Belanda. Tengku Fakinah, selain ikut berperang juga adalah seorang ulama-wanita. Di Aceh, kisah wanita ikut berperang atau menjadi pemimpin pasukan perang bukan sesuatu yang aneh. Bahkan jauh-jauh hari sebelum era Cut Nyak Dien dan sebelum Belanda datang ke Indonesia, Kerajaan Aceh sudah memiliki Panglima Angkatan Laut wanita pertama, yakni Malahayati.

Jadi, ada baiknya bangsa Indonesia bisa berpikir lebih jernih: Mengapa Kartini? Mengapa bukan Rohana Kudus? Mengapa bukan Cut Nyak Dien? Mengapa Abendanon memilih Kartini? Dan mengapa kemudian bangsa Indonesia juga mengikuti kebijakan itu? Cut Nyak Dien tidak pernah mau tunduk kepada Belanda. Ia tidak pernah menyerah dan berhenti menentang penjajahan Belanda atas negeri ini.

Meskipun aktif berkiprah di tengah masyarakat, Rohana Kudus juga memiliki visi keislaman yang tegas. Perputaran zaman tidak akan pernah membuat wanita menyamai laki-laki. Wanita tetaplah wanita dengan segala kemampuan dan kewajibannya. Yang harus berubah adalah wanita harus mendapat pendidikan dan perlakukan yang lebih baik. Wanita harus sehat jasmani dan rohani, berakhlak dan berbudi pekerti luhur, taat beribadah yang kesemuanya hanya akan terpenuhi dengan mempunyai ilmu pengetahuan, begitu kata Rohana Kudus.

Seperti diungkapkan oleh Prof. Harsja W. Bachtiar dan Tiar Anwar Bahtiar, penokohan Kartini tidak terlepas dari peran Belanda. Harsja W. Bachtiar bahkan menyinggung nama Snouck Hurgronje dalam rangkaian pe
nokohan Kartini oleh Abendanon. Padahal, Snouck adalah seorang orientalis Belanda yang memiliki kebijakan sistematis untuk meminggirkan Islam dari bumi Nusantara.

Apa hubungan Kartini dengan Snouck Hurgronje? Dalam sejumlah suratnya kepada Ny. Abendanon, Kartini memang beberapa kali menyebut nama Snouck. Tampaknya, Kartini memandang orientalis-kolonialis Balanda itu sebagai orang hebat yang sangat pakar dalam soal Islam. Dalam suratnya kepada Ny. Abendanon tertanggal 18 Februari 1902, Kartini menulis:
Salam, Bidadariku yang manis dan baik!... Masih ada lagi suatu permintaan penting yang hendak saya ajukan kepada Nyonya. Apabila Nyonya bertemu dengan teman Nyonya Dr. Snouck Hurgronje, sudikah Nyonya bertanya kepada beliau tentang hal berikut: Apakah dalam agama Islam juga ada hukum akil balig seperti yang terdapat dalam undang-undang bangsa Barat? Ataukah sebaiknya saya memberanikan diri langsung bertanya kepada beliau? Saya ingin sekali mengetahui sesuatu tentang hak dan kewajiban perempuan Islam serta anak perempuannya. (Lihat, buku Kartini: Surat-surat kepada Ny. R.M. Abendanon-Mandri dan Suaminya, (penerjemah: Sulastin Sutrisno), (Jakarta: Penerbit Djambatan, 2000), hal. 234-235).

Melalui bukunya, Snouck Hurgronje en Islam (Diindonesiakan oleh Girimukti Pusaka, dengan judul Snouck Hurgronje dan Islam, tahun 1989), P.SJ. Van Koningsveld memaparkan sosok dan kiprah Snouck Hurgronje dalam upaya membantu penjajah Belanda untuk menaklukkan Islam. Mengikuti jejak orientalis Yahudi, Ignaz Goldziher, yang menjadi murid para Syaikh al-Azhar Kairo, Snouck sampai merasa perlu untuk menyatakan diri sebagai seorang muslim (1885) dan mengganti nama menjadi Abdul Ghaffar. Dengan itu dia bisa diterima menjadi murid para ulama Mekkah. Posisi dan pengalaman ini nantinya memudahkan langkah Snouck dalam menembus daerah-daerah Muslim di berbagai wilayah di Indonesia.

Menurut Van Koningsveld, pemerintah kolonial mengerti benar sepak terjang Snouck dalam penyamarannya sebagai Muslim. Snouck dianggap oleh banyak kaum Muslim di Nusantara ini sebagai ulama. Bahkan ada yang menyebutnya sebagai Mufti Hindia Belanda. Juga ada yang memanggilnya Syaikhul Islam Jawa. Padahal, Snouck sendiri menulis tentang Islam: Sesungguhnya agama ini meskipun cocok untuk membiasakan ketertiban kepada orang-orang biadab, tetapi tidak dapat berdamai dengan peradaban modern, kecuali dengan suatu perubahan radikal, namun tidak sesuatu pun memberi kita hak untuk mengharapkannya. (hal. 116).

Snouck Hurgronje (lahir: 1857) adalah adviseur pada Kantoor voor Inlandsche zaken pada periode 1899-1906. Kantor inilah yang bertugas memberikan nasehat kepada pemerintah kolonial dalam masalah pribumi. Dalam bukunya, Politik Islam Hindia Belanda, (Jakarta: LP3ES, 1985), Dr. Aqib Suminto mengupas panjang lebar pemikiran dan nasehat-nasehat Snouck Hurgronje kepada pemerintah kolonial Belanda. Salah satu strateginya, adalah melakukan pembaratan kaum elite pribumi melalui dunia pendidikan, sehingga mereka jauh dari Islam. Menurut Snouck, lapisan pribumi yang berkebudayaan lebih tinggi relatif jauh dari pengaruh Islam. Sedangkan pengaruh Barat yang mereka miliki akan mempermudah mempertemukannya dengan pemerintahan Eropa. Snouck optimis, rakyat banyak akan mengikuti jejak pemimpin tradisional mereka. Menurutnya, Islam Indonesia akan mengalami kekalahan akhir melalui asosiasi pemeluk agama ini ke dalam kebudayaan Belanda. Dalam perlombaan bersaing melawan Islam bisa dipastikan bahwa asosiasi kebudayaan yang ditopang oleh pendidikan Barat akan keluar sebagai pemenangnya. Apalagi, jika didukung oleh kristenisasi dan pemanfaatan adat. (hal. 43).

Aqib Suminto mengupas beberapa strategi Snouck Hurgronje dalam menaklukkan Islam di Indonesia: Terhadap daerah yang Islamnya kuat semacam Aceh misalnya, Snouck Hurgronje tidak merestui dilancarkan kristenisasi. Untuk menghadapi Islam ia cenderung memilih jalan halus, yaitu dengan menyalurkan semangat mereka kearah yang menjauhi agamanya (Islam) melalui asosiasi kebudayaan. (hal. 24).

Itulah strategi dan taktik penjajah untuk menak
lukkan Islam. Kita melihat, strategi dan taktik itu pula yang sekarang masih banyak digunakan untuk menaklukkan Islam. Bahkan, jika kita cermati, strategi itu kini semakin canggih dilakukan. Kader-kader Snouck dari kalangan pribumi Muslim sudah berjubel. Biasanya, berawal dari perasaan minder sebagai Muslim dan silau dengan peradaban Barat, banyak anak didik Snouck langsung atau pun tidak yang sibuk menyeret Islam ke bawah orbit peradaban Barat.

Dan akhirnya, seperti dikatakan oleh Muhammad Asad, umat Islam di wilayah Melayu-Indonesia tidak akan pernah mengalami kebangkitan, ketika mereka sudah kehilangan kebanggaannya terhadap peradabannya sendiri, dan terputus dari serahnya. Ketika itulah, umat Islam hanya akan menjadi satelit dan pengekor pada peradaban lain. Untuk itulah, kaum Muslim perlu sangat serius melihat sejarahnya sendiri dan juga sejarah bangsanya. (***)