kan pendekatan pemahaman Islam secara utuh dan universal’. Pemikiran Nasution tentang Islam sebagai agama yang dinamik dikandung dalam buku yang bersangkutan berjudul Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya (1977). Buku ini merintis jalan untuk penelitian Islam secara ‘akademik’ lewat metode yang dipakai oleh penelitian ilmu sosial pada umumnya.”
Padahal, dalam buku “Refleksi Pembaharuan Pemikiran Islam: 70 Tahun Harun Nasution” (Jakarta : LSAF, 1989), disebutkan, ungkapan Harun Nasution: ”Sejak itu harapanku cuma satu: pemikiran Asy’ariyah mesti diganti dengan pemikiran-pemikiran Muktazilah, pemikiran para filosof atau pemikiran rasional. Atau dalam istilah sekarang, metodologi rasional Muktazilah. Sebaliknya, metodologi tradisional Asy’ariyah harus diganti…”.
Jika mengikuti tradisi Kalam Asy’ari, Fiqih Syafii dan Tasawuf al-Ghazali, maka tidak akan lahir pemikiran-pemikiran yang mempromosikan paham syirik Pluralisme Agama dan menolak syariat Islam. Jika mengamalkan Tasawuf al-Ghazali, maka tidak ada rebutan jabatan rektor dan dekan di kampus-kampus Islam. Sebab, jabatan itu amanah yang berat, dunia-akhirat.
Karena itu, apa pun kondisinya, kita berharap, ada pengembangan keilmuan Islam yang serius di kampus-kampus Islam, untuk membangun tradisi ilmu yang sehat, yang mendorong para dosen dan mahasiswa semakin dekat dan semakin beradab kepada Allah dan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wassallam. Wallahu A’lam bish-shawab. (Depok, 1 September 2015).*
-------
Untuk versi pdf silahkan download via link berikut:
https://www.dropbox.com/s/v3pu5i23i7fie2n/KHASANAH%20ISLAM%20DI%20NUSANTARA.pdf?dl=0
Padahal, dalam buku “Refleksi Pembaharuan Pemikiran Islam: 70 Tahun Harun Nasution” (Jakarta : LSAF, 1989), disebutkan, ungkapan Harun Nasution: ”Sejak itu harapanku cuma satu: pemikiran Asy’ariyah mesti diganti dengan pemikiran-pemikiran Muktazilah, pemikiran para filosof atau pemikiran rasional. Atau dalam istilah sekarang, metodologi rasional Muktazilah. Sebaliknya, metodologi tradisional Asy’ariyah harus diganti…”.
Jika mengikuti tradisi Kalam Asy’ari, Fiqih Syafii dan Tasawuf al-Ghazali, maka tidak akan lahir pemikiran-pemikiran yang mempromosikan paham syirik Pluralisme Agama dan menolak syariat Islam. Jika mengamalkan Tasawuf al-Ghazali, maka tidak ada rebutan jabatan rektor dan dekan di kampus-kampus Islam. Sebab, jabatan itu amanah yang berat, dunia-akhirat.
Karena itu, apa pun kondisinya, kita berharap, ada pengembangan keilmuan Islam yang serius di kampus-kampus Islam, untuk membangun tradisi ilmu yang sehat, yang mendorong para dosen dan mahasiswa semakin dekat dan semakin beradab kepada Allah dan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wassallam. Wallahu A’lam bish-shawab. (Depok, 1 September 2015).*
-------
Untuk versi pdf silahkan download via link berikut:
https://www.dropbox.com/s/v3pu5i23i7fie2n/KHASANAH%20ISLAM%20DI%20NUSANTARA.pdf?dl=0
PROMO BUKU-BUKU TERBAIK KARYA BUYA HAMKA.
- 1001 Soal Kehidupan Rp. 115.000,-
- Pandangan Hidup Muslim Rp. 65.000,-
- Kesepaduan Ilmu dan Amal Saleh Rp. 50.000,-
- Dari Hati ke Hati Rp. 65.000,-
- Dari Lembah Cita-Cita Rp. 43.000,-
- Tafsir Al Azhar Juz Amma Rp. 130.000,-
- Bohong Di Dunia Rp. 43.000,-
- Ghirah: Cemburu Karena Allah 38.000,-
- Sejarah Umat Islam Rp. 230.000,-
- Angkatan Baru Rp. 37.000,-
- Buya Hamka Berbicara Perempuan Rp. 45.000,-
- Pribadi Hebat Rp. 45.000,-
- Keadilan Sosial dalam Islam Rp. 50.000,-
- Falsafah Ketuhanan Rp. 55.000,-
Pemesanan silahkan SMS/Whatsapp ke 087878147997.
-Admin-
- 1001 Soal Kehidupan Rp. 115.000,-
- Pandangan Hidup Muslim Rp. 65.000,-
- Kesepaduan Ilmu dan Amal Saleh Rp. 50.000,-
- Dari Hati ke Hati Rp. 65.000,-
- Dari Lembah Cita-Cita Rp. 43.000,-
- Tafsir Al Azhar Juz Amma Rp. 130.000,-
- Bohong Di Dunia Rp. 43.000,-
- Ghirah: Cemburu Karena Allah 38.000,-
- Sejarah Umat Islam Rp. 230.000,-
- Angkatan Baru Rp. 37.000,-
- Buya Hamka Berbicara Perempuan Rp. 45.000,-
- Pribadi Hebat Rp. 45.000,-
- Keadilan Sosial dalam Islam Rp. 50.000,-
- Falsafah Ketuhanan Rp. 55.000,-
Pemesanan silahkan SMS/Whatsapp ke 087878147997.
-Admin-
Assalamu'alaikum wrwb.
Kepada segenap kaum Muslimin Indonesia. Menyambut 100 tahun Indonesia, 2045, kita punya waktu 28 tahun untuk mewujudkan cita-cita mulia; memperkasa negara kita, Indonesia -- negeri muslim terbesar --menjadi negara adidaya. Kebangkitan satu bangsa mustilah diawali dari bangkitnya budaya ilmu, untuk membentuk generasi unggul. Itu artinya kita harus berani melakukan perubahan yang berarti dalam Pendidikan kita. Itulah reformasi institusi dan sistem Pendidikan. Mulai diri, keluarga, masjid, sekolah, pesantren, dan kampus kita. Sekaranglah saatnya! Jangan tunda lagi! Allahu Akbar! Merdeka!
Selamat membaca buku REFORMASI PENDIDIKAN menuju NEGARA ADIDAYA 2045 ini. Semoga bersabar dan meraih hikmah. Wassalamu'alaikum wrwb.
Depok, 17 Agustus 2017.
(Dr Adian Husaini).
http://www.ponpes-attaqwa.com/reformasi-pendidikan-menuju-negara-adidaya-2045/
Kepada segenap kaum Muslimin Indonesia. Menyambut 100 tahun Indonesia, 2045, kita punya waktu 28 tahun untuk mewujudkan cita-cita mulia; memperkasa negara kita, Indonesia -- negeri muslim terbesar --menjadi negara adidaya. Kebangkitan satu bangsa mustilah diawali dari bangkitnya budaya ilmu, untuk membentuk generasi unggul. Itu artinya kita harus berani melakukan perubahan yang berarti dalam Pendidikan kita. Itulah reformasi institusi dan sistem Pendidikan. Mulai diri, keluarga, masjid, sekolah, pesantren, dan kampus kita. Sekaranglah saatnya! Jangan tunda lagi! Allahu Akbar! Merdeka!
Selamat membaca buku REFORMASI PENDIDIKAN menuju NEGARA ADIDAYA 2045 ini. Semoga bersabar dan meraih hikmah. Wassalamu'alaikum wrwb.
Depok, 17 Agustus 2017.
(Dr Adian Husaini).
http://www.ponpes-attaqwa.com/reformasi-pendidikan-menuju-negara-adidaya-2045/
Ponpes-Attaqwa
REFORMASI PENDIDIKAN MENUJU NEGARA ADIDAYA 2045 | AT-TAQWA QUR’ANIC SCHOOL
Dalam rangka semarak Kemerdekaan RI ke-72. Sebagai bentuk rasa syukur kami turut serta dalam pembangunan dan mencerdaskan kehidupan berbangsa dan bernegara,
MENJADI GURU BERADAB
Oleh: Dr. Adian Husaini
Dalam pandangan Islam, guru adalah ilmuwan dan muaddib (pendidik), karena tugas guru memang menanamkan adab dan berbagi ilmu. Dunia pendidikan sudah maklum, bahwa sukses dan gagalnya pendidikan bergantung kepada kualitas guru. Sebuah mahfudhat yang terkenal menyatakan: ‘... wal-ustādzu ahammu min al-tharīqah, wa rūhul ustadz ahammu min al-ustadz.” (... guru lebih penting daripada metode; dan jiwa guru lebih penting dari pada guru itu sendiri).
Ungkapan tersebut menekankan, bahwa perbaikan pendidikan memang harus dimulai dari perbaikan jiwa guru, yakni dari pola pikir dan amaliahnya. Dan itu harus dimulai dari pendidikan guru yang benar. Tidak mengherankan, jika para ulama begitu banyak menulis kitab tentang guru dan bagaimana menjadi guru yang baik. Salah satu ulama yang memberikan perhatian dalam masalah konsep adab yang memuat juga tentang adab guru adalah Ibn Jama’ah.
Nama lengkap beliau adalah Muhammad bin Ibrahim bin Sa’dullah bin Jama’ah bin Ali bin Jama’ah bin Hazim bin Shakhr, lahir di Ham‘ah tahun 639 H). Kitab beliau yang terkenal adalah “Tadzikrah al-Sami’ wa al-Mutakkalim Fî Adab al-‘Ilm wa al-Muta’allim”. Berikut ini adalah petikan adab ilmuwan (guru) yang diringkas oleh Dr. Akhmad Alim (seorang ulama muda dan dosen Universitas Ibn Khaldun Bogor) dari Kitab Ibnu Jamaah tersebut:
(a) Adab Ilmuwan Terhadap Dirinya Sendiri (Adab al-‘Alim fī Nafsihī)
Seorang ilmuwan harus syarat dengan adab. Tanpa adab, dirinya akan terjatuh dalam celaan, dan ilmu yang ada pada dirinya tidak membawa manfaat. Oleh karena itu, adab merupakan hal yang amat penting yang harus diperhatikan oleh setiap ilmuwan, agar ilmu yang dimilikinya menjadi penghias kebaikan, dan teladan bagi kehidupan. Adab ini secara keseluruhan akan menjadi pilar, yang mengantarkan ilmuwan ke dalam derajat keagungan, sebagaimana yang telah ditegaskan oleh Allah dalam QS.Al-Mujadilah : 11
يَرْفَعِ اللَّهُ الَّذِينَ آمَنُوا مِنْكُمْ وَالَّذِينَ أُوتُوا الْعِلْمَ دَرَجَاتٍ
“Allah mengangkat orang beriman dan berilmu beberapa derajat di antaramu beberapa derajat…” (Q.S. Al-Mujadalah : 11)
Dalam Kitab Tadzkirah Al-Sami’ Wa Al-Mutakallim disebutkan bahwa ada dua belas butir adab personal yang harus dimiliki oleh setiap ilmuwan, sehingga dengan adab tersebut akan lahir dari setiap ilmuan kepribadian yang patut untuk dicontoh dan dijadikan teladan dalam kehidupan. Adab tersebut adalah sebagaimana berikut :
1. Senantiasa mendekatkan diri kepada Allah dan merasa diawasi oleh-Nya (muraqabatullah), baik ketika sendirian, maupun di keramaian. Dengan demikian, akhlaknya akan tetap terjaga, baik lisannya, perbuatannya, pemikirannya, dan pemahamannya, serta amanah keilmuaannya.
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَخُونُوا اللَّهَ وَالرَّسُولَ وَتَخُونُوا أَمَانَاتِكُمْ وَأَنتُمْ تَعْلَمُونَ
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengkhianati Allah dan Rasul (Muhammad) dan (juga) janganlah kamu mengkhianati amanat-amanat yang dipercayakan kepadamu, sedang kamu mengetahui.” (QS. Al-Anfal : 27)
Ayat ini ditafsirkan oleh Ibn Jama’ah, bahwa dengan muraqabatullah seorang ilmuan tidak akan berperilaku khianat atas ilmu yang diamanahkan kepadanya, karena khianat ilmu berarti sama dengan menghianati Allah dan Rasul-Nya. Ibn Jama’ah berdalil bahwa ilmuan (ulama) adalah pewaris para Nabi dan Rasul, “para ulama adalah pewaris Nabi, dan para Nabi tidak mewariskan dinar ataupun dirham, mereka hanya mewariskan ilmu, maka barang siapa mengambilnya maka ia telah mengambil bagian yang banyak.“ (HR. Tirmizi).
2. Hendaknya setiap ilmuan memelihara ilmunya, sebagaimana para ulama salaf memeliharanya. Artinya, ia senantiasa menjaga ilmunya agar tidak jatuh ke dalam-hal yang rendah dan hina. Seperti menukar ilmu dengan segala hal yang sifatnya materi duniawi, sehingga dirinya terhalang dalam menyampaikan kebenaran, karena kebenaran yang ada pada ilmunya telah tergadaikan dengan dunia.
3. Hendaknya setiap ilmuan berperilaku zuhud dalam urusan duniawi. Artinya, dirinya tidak menggantungkan ilmunya pada kepentingan duniawi. Dunia ha
Oleh: Dr. Adian Husaini
Dalam pandangan Islam, guru adalah ilmuwan dan muaddib (pendidik), karena tugas guru memang menanamkan adab dan berbagi ilmu. Dunia pendidikan sudah maklum, bahwa sukses dan gagalnya pendidikan bergantung kepada kualitas guru. Sebuah mahfudhat yang terkenal menyatakan: ‘... wal-ustādzu ahammu min al-tharīqah, wa rūhul ustadz ahammu min al-ustadz.” (... guru lebih penting daripada metode; dan jiwa guru lebih penting dari pada guru itu sendiri).
Ungkapan tersebut menekankan, bahwa perbaikan pendidikan memang harus dimulai dari perbaikan jiwa guru, yakni dari pola pikir dan amaliahnya. Dan itu harus dimulai dari pendidikan guru yang benar. Tidak mengherankan, jika para ulama begitu banyak menulis kitab tentang guru dan bagaimana menjadi guru yang baik. Salah satu ulama yang memberikan perhatian dalam masalah konsep adab yang memuat juga tentang adab guru adalah Ibn Jama’ah.
Nama lengkap beliau adalah Muhammad bin Ibrahim bin Sa’dullah bin Jama’ah bin Ali bin Jama’ah bin Hazim bin Shakhr, lahir di Ham‘ah tahun 639 H). Kitab beliau yang terkenal adalah “Tadzikrah al-Sami’ wa al-Mutakkalim Fî Adab al-‘Ilm wa al-Muta’allim”. Berikut ini adalah petikan adab ilmuwan (guru) yang diringkas oleh Dr. Akhmad Alim (seorang ulama muda dan dosen Universitas Ibn Khaldun Bogor) dari Kitab Ibnu Jamaah tersebut:
(a) Adab Ilmuwan Terhadap Dirinya Sendiri (Adab al-‘Alim fī Nafsihī)
Seorang ilmuwan harus syarat dengan adab. Tanpa adab, dirinya akan terjatuh dalam celaan, dan ilmu yang ada pada dirinya tidak membawa manfaat. Oleh karena itu, adab merupakan hal yang amat penting yang harus diperhatikan oleh setiap ilmuwan, agar ilmu yang dimilikinya menjadi penghias kebaikan, dan teladan bagi kehidupan. Adab ini secara keseluruhan akan menjadi pilar, yang mengantarkan ilmuwan ke dalam derajat keagungan, sebagaimana yang telah ditegaskan oleh Allah dalam QS.Al-Mujadilah : 11
يَرْفَعِ اللَّهُ الَّذِينَ آمَنُوا مِنْكُمْ وَالَّذِينَ أُوتُوا الْعِلْمَ دَرَجَاتٍ
“Allah mengangkat orang beriman dan berilmu beberapa derajat di antaramu beberapa derajat…” (Q.S. Al-Mujadalah : 11)
Dalam Kitab Tadzkirah Al-Sami’ Wa Al-Mutakallim disebutkan bahwa ada dua belas butir adab personal yang harus dimiliki oleh setiap ilmuwan, sehingga dengan adab tersebut akan lahir dari setiap ilmuan kepribadian yang patut untuk dicontoh dan dijadikan teladan dalam kehidupan. Adab tersebut adalah sebagaimana berikut :
1. Senantiasa mendekatkan diri kepada Allah dan merasa diawasi oleh-Nya (muraqabatullah), baik ketika sendirian, maupun di keramaian. Dengan demikian, akhlaknya akan tetap terjaga, baik lisannya, perbuatannya, pemikirannya, dan pemahamannya, serta amanah keilmuaannya.
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَخُونُوا اللَّهَ وَالرَّسُولَ وَتَخُونُوا أَمَانَاتِكُمْ وَأَنتُمْ تَعْلَمُونَ
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengkhianati Allah dan Rasul (Muhammad) dan (juga) janganlah kamu mengkhianati amanat-amanat yang dipercayakan kepadamu, sedang kamu mengetahui.” (QS. Al-Anfal : 27)
Ayat ini ditafsirkan oleh Ibn Jama’ah, bahwa dengan muraqabatullah seorang ilmuan tidak akan berperilaku khianat atas ilmu yang diamanahkan kepadanya, karena khianat ilmu berarti sama dengan menghianati Allah dan Rasul-Nya. Ibn Jama’ah berdalil bahwa ilmuan (ulama) adalah pewaris para Nabi dan Rasul, “para ulama adalah pewaris Nabi, dan para Nabi tidak mewariskan dinar ataupun dirham, mereka hanya mewariskan ilmu, maka barang siapa mengambilnya maka ia telah mengambil bagian yang banyak.“ (HR. Tirmizi).
2. Hendaknya setiap ilmuan memelihara ilmunya, sebagaimana para ulama salaf memeliharanya. Artinya, ia senantiasa menjaga ilmunya agar tidak jatuh ke dalam-hal yang rendah dan hina. Seperti menukar ilmu dengan segala hal yang sifatnya materi duniawi, sehingga dirinya terhalang dalam menyampaikan kebenaran, karena kebenaran yang ada pada ilmunya telah tergadaikan dengan dunia.
3. Hendaknya setiap ilmuan berperilaku zuhud dalam urusan duniawi. Artinya, dirinya tidak menggantungkan ilmunya pada kepentingan duniawi. Dunia ha
nya sebagai sarana penunjang keilmuannya, bukan tujuan akhir dalam kehidupannya.
4. Hendaknya setiap ilmuan tidak menjadikan ilmunya sebagai alat untuk mencapai kepentingan-kepentingan duniawi, berupa jabatan, kekayaan, popularitas, atau untuk bersaing dengan orang lain. Dengan demikian, dirinya akan terhindar dari sifat tamak terhadap dunia, yang semua itu akan menjatuhkannya dalam kehinaan.
5. Hendaknya setiap ilmuan menghindari segala profesi, atau tempat-tempat yang secara syari’at dan adat dipandang kurang bermartabat. Hal itu, untuk menghindari praduga-praduga negatif yang menjatuhkan martabat (muru’ah) ilmuan.
6. Hendaknya setiap ilmuan menjaga syi’ar-syi’ar keislaman. Seperti melazimkan shalat secara berjama’ah di masjid, menyebarkan salam, beramar ma’ruf nahi munkar, sabar dan santun dalam bersikap. Demikian juga termasuk bagian syi’ar adalah berpegang teguh terhadap sunnah dalam bersikap, dan menjauhi segala macam bid’ah. Semua itu, akan melahirkan citra posisif terhadap diri ilmuan dan ilmu yang diembannya.
7. Hendaknya setiap ilmuan menjaga amalan-amalan sunah, baik yang berupa ucapan maupun perbuatan. Seperti, rutinitas membaca Al-Qur’an beserta renungan maknanya, menjaga shalat-shalat sunat, puasa-puasa sunat, qiyamul lail, berdzikir, bershalawat, bertasbih. Demikian itu akan menambah kekuatan ruhani pada diri ilmuwan, sehingga teguh pendiriannya dalam mengemban amanah ilmunya.
8. Hendaknya setiap ilmuan memiliki loyalitas yang tinggi terhadap masyarakat, memperlakukan mereka dengan akhlak yang mulia. Seperti, berwajah ceria saat berjumpa orang lain, menyebarkan salam, peduli sosial, membatu orang yang sedang kesusahan, pandai berterimakasih, membela orang yang tertindas, lemah lembut terhadap fakir miskin, dan bekerjasama dalam kebajikan.
9. Hendaknya setiap ilmuan mensucikan dirinya dari segala bentuk akhlak tercela, dan menghiasi dirinya dengan akhlak terpuji, baik lahir maupun batin. Oleh karenanya seorang ilmuan harus mengosongkan dirinya dari sifat iri hati, pemarah, menipu, takabur, pamer, mencari popularitas (sum’ah), persaingan duniawi, dusta, kikir. Kemudian mengisi dirinya dengan sifat qana’ah, pemaaf, jujur, tawadhu’, ikhlas, sidiq, amanah, dermawan.
10. Hendaknya setiap ilmuan rajin menambah wawasan keilmuannya, dengan cara memperbanyak membaca, menghapal, menganalisa, mengkaji masalah, meneliti, dan menuangkannya dalam bentuk karya ilmiyah. Hal ini sebagaimana yang dicontohkan oleh Imam Syafii, dimana menurut salah satu muridnya yang bernama Ar-Rabi’, bahwa Imam Syafii jarang makan pada siang harinya, dan jarang tidur pada malam harinya, karena disibukkan dengan mengkaji banyak masalah-masalah keilmuan dan membukukannya.
11. Hendaknya setiap ilmuan tidak segan untuk belajar kepada orang yang berada di bawahnya, baik secara usia, kedudukan, maupun nasab. Hal itu dikarenakan, ilmu dan hikmah adalah barang yang hilang dari dari tangan orang mukmin, yang harus diraih kembali kepangkuannya.
12. Hendaknya setiap ilmuan memiliki keahlian dalam dunia tulis menulis, khususnya dalam bidang yang ditekuninya. Hal itu dimaksudkan sebagai wahana untuk menyalurkan ilmunya di tengah-tengah masyarakat luas, dan pengembangan dunia akademik.
-BERSAMBUNG-
4. Hendaknya setiap ilmuan tidak menjadikan ilmunya sebagai alat untuk mencapai kepentingan-kepentingan duniawi, berupa jabatan, kekayaan, popularitas, atau untuk bersaing dengan orang lain. Dengan demikian, dirinya akan terhindar dari sifat tamak terhadap dunia, yang semua itu akan menjatuhkannya dalam kehinaan.
5. Hendaknya setiap ilmuan menghindari segala profesi, atau tempat-tempat yang secara syari’at dan adat dipandang kurang bermartabat. Hal itu, untuk menghindari praduga-praduga negatif yang menjatuhkan martabat (muru’ah) ilmuan.
6. Hendaknya setiap ilmuan menjaga syi’ar-syi’ar keislaman. Seperti melazimkan shalat secara berjama’ah di masjid, menyebarkan salam, beramar ma’ruf nahi munkar, sabar dan santun dalam bersikap. Demikian juga termasuk bagian syi’ar adalah berpegang teguh terhadap sunnah dalam bersikap, dan menjauhi segala macam bid’ah. Semua itu, akan melahirkan citra posisif terhadap diri ilmuan dan ilmu yang diembannya.
7. Hendaknya setiap ilmuan menjaga amalan-amalan sunah, baik yang berupa ucapan maupun perbuatan. Seperti, rutinitas membaca Al-Qur’an beserta renungan maknanya, menjaga shalat-shalat sunat, puasa-puasa sunat, qiyamul lail, berdzikir, bershalawat, bertasbih. Demikian itu akan menambah kekuatan ruhani pada diri ilmuwan, sehingga teguh pendiriannya dalam mengemban amanah ilmunya.
8. Hendaknya setiap ilmuan memiliki loyalitas yang tinggi terhadap masyarakat, memperlakukan mereka dengan akhlak yang mulia. Seperti, berwajah ceria saat berjumpa orang lain, menyebarkan salam, peduli sosial, membatu orang yang sedang kesusahan, pandai berterimakasih, membela orang yang tertindas, lemah lembut terhadap fakir miskin, dan bekerjasama dalam kebajikan.
9. Hendaknya setiap ilmuan mensucikan dirinya dari segala bentuk akhlak tercela, dan menghiasi dirinya dengan akhlak terpuji, baik lahir maupun batin. Oleh karenanya seorang ilmuan harus mengosongkan dirinya dari sifat iri hati, pemarah, menipu, takabur, pamer, mencari popularitas (sum’ah), persaingan duniawi, dusta, kikir. Kemudian mengisi dirinya dengan sifat qana’ah, pemaaf, jujur, tawadhu’, ikhlas, sidiq, amanah, dermawan.
10. Hendaknya setiap ilmuan rajin menambah wawasan keilmuannya, dengan cara memperbanyak membaca, menghapal, menganalisa, mengkaji masalah, meneliti, dan menuangkannya dalam bentuk karya ilmiyah. Hal ini sebagaimana yang dicontohkan oleh Imam Syafii, dimana menurut salah satu muridnya yang bernama Ar-Rabi’, bahwa Imam Syafii jarang makan pada siang harinya, dan jarang tidur pada malam harinya, karena disibukkan dengan mengkaji banyak masalah-masalah keilmuan dan membukukannya.
11. Hendaknya setiap ilmuan tidak segan untuk belajar kepada orang yang berada di bawahnya, baik secara usia, kedudukan, maupun nasab. Hal itu dikarenakan, ilmu dan hikmah adalah barang yang hilang dari dari tangan orang mukmin, yang harus diraih kembali kepangkuannya.
12. Hendaknya setiap ilmuan memiliki keahlian dalam dunia tulis menulis, khususnya dalam bidang yang ditekuninya. Hal itu dimaksudkan sebagai wahana untuk menyalurkan ilmunya di tengah-tengah masyarakat luas, dan pengembangan dunia akademik.
-BERSAMBUNG-
Jika kita setuju bahwa cinta tanah air adalah sebagian dari iman, maka logis jika dikatakan bahwa siapapun yang korupsi dengan cara apapun seperti mempermudah kepentingan asing untuk keuntungan pribadi dan kelompok; melakukan kebijakan demi kepentingan golongan/partai/kelompok/organisasi sendiri dan mengesampingkan kepentingan golongan / partai / kelompok / organisasi orang lain setanah air; membuka keburukan orang-orang setanah air kepada orang asing, maka ia itu tergolong lemah imannya dan tidak benar-benar mencintai tanah airnya.
-Dr. Hamid Fahmy Zarkasyi-
-Dr. Hamid Fahmy Zarkasyi-
HARGA PROMO!
ENSIKLOPEDIA ANAK MUSLIM
(DISKON 15%. Dari harga Rp. 1.140.000,- menjadi Rp. 969.000,-. Hemat Rp. 171.000,-)
Paket Ensiklopedia Anak Muslim ini akan membantu anak-anak mengetahui berbagai ilmu pengetahuan dan nikmat yang Allah karuniakan. Selain itu, juga membimbing mereka untuk menjadi anak saleh yang dirindukan surga.
Ensiklopedia Anak Muslim ini terdiri dari 12 Jilid, yaitu:
-AIR, karunia Allah
-BUMI, Amanah Allah
-ALLAH SEMESTA, Kebesaran Allah
-PAHLAWANKU, Berani Karena Benar
-IMAN, Mengantarmu Menuju SUrga
-HEWAN, Pesona Fauna Ciptaan Allah
-TUBUHKU, Anugerah Ciptaan Allah
-TRANSPORTASI & TEKNOLOGI, Kemudahan bagi Manusia
-MAKANNAN, Rezeki dari Allah
-ISLAM, Rahmat tak Terhingga dari Allah
-KESEHATAN, Nikmat dari Allah
------------------------------------
HARGA PROMO!
ENSIKLOPEDIA ANAK MUSLIM
(DISKON 15%. Dari harga Rp. 1.140.000,- menjadi Rp. 969.000,-. Hemat Rp. 171.000,-).
Pemesanan silahlan SMS/whatsapp ke 087878147997.
Syukran....
ENSIKLOPEDIA ANAK MUSLIM
(DISKON 15%. Dari harga Rp. 1.140.000,- menjadi Rp. 969.000,-. Hemat Rp. 171.000,-)
Paket Ensiklopedia Anak Muslim ini akan membantu anak-anak mengetahui berbagai ilmu pengetahuan dan nikmat yang Allah karuniakan. Selain itu, juga membimbing mereka untuk menjadi anak saleh yang dirindukan surga.
Ensiklopedia Anak Muslim ini terdiri dari 12 Jilid, yaitu:
-AIR, karunia Allah
-BUMI, Amanah Allah
-ALLAH SEMESTA, Kebesaran Allah
-PAHLAWANKU, Berani Karena Benar
-IMAN, Mengantarmu Menuju SUrga
-HEWAN, Pesona Fauna Ciptaan Allah
-TUBUHKU, Anugerah Ciptaan Allah
-TRANSPORTASI & TEKNOLOGI, Kemudahan bagi Manusia
-MAKANNAN, Rezeki dari Allah
-ISLAM, Rahmat tak Terhingga dari Allah
-KESEHATAN, Nikmat dari Allah
------------------------------------
HARGA PROMO!
ENSIKLOPEDIA ANAK MUSLIM
(DISKON 15%. Dari harga Rp. 1.140.000,- menjadi Rp. 969.000,-. Hemat Rp. 171.000,-).
Pemesanan silahlan SMS/whatsapp ke 087878147997.
Syukran....
BELAJAR ADAB DARI KISAH LUQMAN
Oleh: Dr. Adian Husaini
Pada bulan Mei 2015, saya sempat mengadakan lawatan ke berbagai kota di Jawa dan mengisi ceramah serta diskusi di berbagai tempat. Salah satunya, pada 4 Mei 2015, pukul 19.30-21.30, saya mendapat kesempatan mengisi ceramah umum di Masjid Jogokaryan, Yogyakarta. Masjid ini sangat terkenal dengan manajerialnya yang mampu secara optimal memakmurkan masjid.
Tema ceramah malam itu tentang Pendidikan Keluarga. Sebagaimana dalam berbagai kesempatan, kesempatan itu saya gunakan kembali untuk menekankan pentingnya peran orang tua sebagai pendidik, sebagai guru yang utama bagi anak-anaknya. Juga, keluarga adalah tempat pendidikan pertama dan utama.
Sebagaimana ditegaskan oleh Ibn Abbas r.a. bahwa makna QS at-Tahrim ayat 6, “Jagalah dirimu dan keluargamu dari api neraka”, adalah “addibūhum wa ‘allimūhum!”. Didiklah dirimu dan keluargamu agar menjadi manusia yang beradab dan berilmu. Jadi, “adab” dan “ilmu” adalah dua kata kunci dalam keselamatan kita dan keluarga kita dari api neraka.
Dikutip dalam Kitab Adabul Alim wal-Muta’allim, karya KH Hasyim Asy’ari, bahwa Imam asy-Syafii – rahimahullah – menyatakan, beliau mengejar adab seperti seorang ibu yang mencari anak satu-satunya yang hilang. Begitu pentingnya masalah “adab” ini sehingga menjadi landasan penting keselamatan kita di dunia dan akhirat.
Tentulah kita bertanya, apakah dunia pendidikan kita – mulai keluarga, sekolah, pesantren, madrasah, perguruan tinggi, dan sebagainya – sudah menekankan masalah adab ini? Adab adalah “pandangan dan sikap yang betul” terhadap segala sesuatu sesuai dengan ketentuan Allah. Prof. Naquib al-Attas menyebut adab sebagai “right action”. Dalam bahasa kita, adab bisa dimaknai sebagai “sopan santun Islami”. Orang beradab tahu kedudukan dirinya sehingga bisa meletakkan dirinya dengan tepat dalam tatanan wujud di alam ini.
Al-Quran memberikan contoh keteladanan Luqman al-Hakim sebagai teladan dalam mendidik anaknya sebagaimana disebutkan dalam QS Luqman:12-19, yang artinya sebagai berikut:
(12). Dan sungguh, telah Kami berikan hikmah kepada Luqman, yaitu, "Bersyukurlah kepada Allah. Dan barang siapa bersyukur (kepada Allah), maka sesungguhnya dia bersyukur untuk dirinya sendirifile://localhost/C:/Users/encangirul/Documents/Islamic%20Corner/Tafsir%20Al%20Qur'an%20(baru) - _ftn3_4924; dan barang siapa tidak bersyukur (kufur), maka sesungguhnya Allah Mahakaya lagi Maha Terpuji.”
(13). Dan (ingatlah) ketika Luqman berkata kepada anaknya, ketika dia memberi pelajaran kepadanya, "Wahai anakku! Janganlah engkau mempersekutukan Allah, sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar kezaliman yang besar.”
(14). Dan Kami perintahkan kepada manusia (agar berbuat baik) kepada kedua orang tuanya. Ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah, dan menyapihnya dalam usia dua tahun. Bersyukurlah kepada-Ku dan kepada kedua orang tuamu. Hanya kepada Aku kembalimu.
(15). Dan jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan Aku dengan sesuatu yang engkau tidak mempunyai ilmu tentang itu, maka janganlah engkau menaati keduanyafile://localhost/C:/Users/encangirul/Documents/Islamic%20Corner/Tafsir%20Al%20Qur'an%20(baru) - _ftn15_4924, dan pergaulilah keduanya di dunia dengan baik, dan ikutilah jalan orang yang kembali kepada-Ku. Kemudian hanya kepada-Ku tempat kembalimu, maka akan Aku beritahukan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan.
(16). (Luqman berkata), "Wahai anakku! Sungguh, jika ada (sesuatu perbuatan) seberat biji sawi, dan berada dalam batu atau di langit atau di bumi, niscaya Allah akan memberinya balasan. Sesungguhnya Allah Mahahalus lagi Mahateliti.
(17). Wahai anakku! Laksanakanlah shalat dan suruhlah (manusia) berbuat yang ma’ruf dan cegahlah (mereka) dari yang mungkar dan bersabarlah terhadap apa yang menimpamu, sesungguhnya yang demikian itu termasuk perkara yang penting.
(18). Dan janganlah kamu memalingkan wajah dari manusia (karena sombong) dan janganlah berjalan di bumi dengan angkuh. Sungguh, Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong dan membanggaka
Oleh: Dr. Adian Husaini
Pada bulan Mei 2015, saya sempat mengadakan lawatan ke berbagai kota di Jawa dan mengisi ceramah serta diskusi di berbagai tempat. Salah satunya, pada 4 Mei 2015, pukul 19.30-21.30, saya mendapat kesempatan mengisi ceramah umum di Masjid Jogokaryan, Yogyakarta. Masjid ini sangat terkenal dengan manajerialnya yang mampu secara optimal memakmurkan masjid.
Tema ceramah malam itu tentang Pendidikan Keluarga. Sebagaimana dalam berbagai kesempatan, kesempatan itu saya gunakan kembali untuk menekankan pentingnya peran orang tua sebagai pendidik, sebagai guru yang utama bagi anak-anaknya. Juga, keluarga adalah tempat pendidikan pertama dan utama.
Sebagaimana ditegaskan oleh Ibn Abbas r.a. bahwa makna QS at-Tahrim ayat 6, “Jagalah dirimu dan keluargamu dari api neraka”, adalah “addibūhum wa ‘allimūhum!”. Didiklah dirimu dan keluargamu agar menjadi manusia yang beradab dan berilmu. Jadi, “adab” dan “ilmu” adalah dua kata kunci dalam keselamatan kita dan keluarga kita dari api neraka.
Dikutip dalam Kitab Adabul Alim wal-Muta’allim, karya KH Hasyim Asy’ari, bahwa Imam asy-Syafii – rahimahullah – menyatakan, beliau mengejar adab seperti seorang ibu yang mencari anak satu-satunya yang hilang. Begitu pentingnya masalah “adab” ini sehingga menjadi landasan penting keselamatan kita di dunia dan akhirat.
Tentulah kita bertanya, apakah dunia pendidikan kita – mulai keluarga, sekolah, pesantren, madrasah, perguruan tinggi, dan sebagainya – sudah menekankan masalah adab ini? Adab adalah “pandangan dan sikap yang betul” terhadap segala sesuatu sesuai dengan ketentuan Allah. Prof. Naquib al-Attas menyebut adab sebagai “right action”. Dalam bahasa kita, adab bisa dimaknai sebagai “sopan santun Islami”. Orang beradab tahu kedudukan dirinya sehingga bisa meletakkan dirinya dengan tepat dalam tatanan wujud di alam ini.
Al-Quran memberikan contoh keteladanan Luqman al-Hakim sebagai teladan dalam mendidik anaknya sebagaimana disebutkan dalam QS Luqman:12-19, yang artinya sebagai berikut:
(12). Dan sungguh, telah Kami berikan hikmah kepada Luqman, yaitu, "Bersyukurlah kepada Allah. Dan barang siapa bersyukur (kepada Allah), maka sesungguhnya dia bersyukur untuk dirinya sendirifile://localhost/C:/Users/encangirul/Documents/Islamic%20Corner/Tafsir%20Al%20Qur'an%20(baru) - _ftn3_4924; dan barang siapa tidak bersyukur (kufur), maka sesungguhnya Allah Mahakaya lagi Maha Terpuji.”
(13). Dan (ingatlah) ketika Luqman berkata kepada anaknya, ketika dia memberi pelajaran kepadanya, "Wahai anakku! Janganlah engkau mempersekutukan Allah, sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar kezaliman yang besar.”
(14). Dan Kami perintahkan kepada manusia (agar berbuat baik) kepada kedua orang tuanya. Ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah, dan menyapihnya dalam usia dua tahun. Bersyukurlah kepada-Ku dan kepada kedua orang tuamu. Hanya kepada Aku kembalimu.
(15). Dan jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan Aku dengan sesuatu yang engkau tidak mempunyai ilmu tentang itu, maka janganlah engkau menaati keduanyafile://localhost/C:/Users/encangirul/Documents/Islamic%20Corner/Tafsir%20Al%20Qur'an%20(baru) - _ftn15_4924, dan pergaulilah keduanya di dunia dengan baik, dan ikutilah jalan orang yang kembali kepada-Ku. Kemudian hanya kepada-Ku tempat kembalimu, maka akan Aku beritahukan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan.
(16). (Luqman berkata), "Wahai anakku! Sungguh, jika ada (sesuatu perbuatan) seberat biji sawi, dan berada dalam batu atau di langit atau di bumi, niscaya Allah akan memberinya balasan. Sesungguhnya Allah Mahahalus lagi Mahateliti.
(17). Wahai anakku! Laksanakanlah shalat dan suruhlah (manusia) berbuat yang ma’ruf dan cegahlah (mereka) dari yang mungkar dan bersabarlah terhadap apa yang menimpamu, sesungguhnya yang demikian itu termasuk perkara yang penting.
(18). Dan janganlah kamu memalingkan wajah dari manusia (karena sombong) dan janganlah berjalan di bumi dengan angkuh. Sungguh, Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong dan membanggaka
n diri.
(19). Dan sederhanakanlah dalam berjalan dan lunakkanlah suaramu. Sesungguhnya seburuk-buruk suara ialah suara keledai.
****
Luqman al-Hakim telah mendapatkan hikmah dari Allah, yang dengan itu, ia bisa menerapkan pendidikan yang tepat pada anaknya. Sebab, menurut konsep Prof. Naquib al-Attas, adab memang datang dari hikmah; bukan datang dari sekolah atau kampus.
Nasehat-nasehat Luqman al-Hakim yang memberikan pelajaran berharga tentang adab ini, dimulai dari adab kepada Allah SWT: “Wahai anakku, jangan menyekutukan Allah. Sesungguhnya syirik itu adalah kezaliman yang besar!”
Sekali lagi, kita renungkan, “syirik adalah kezaliman yang besar!” Syirik itu zalim kepada Allah. Syirik itu biadab kepada Allah. Syirik adalah bentuk ‘kekurangajaran’ yang luar biasa kepada Tuhan Yang Maha Esa. Syirik disebut zalim karena tidak “meletakkan” Allah pada tempatnya, sebagai al-Khaliq.
Syirik itu hakekatnya merendahkan martabat Allah, karena disetarakan dengan makhluk. Karena itu, riya’ disebut sebagai “syirik kecil” karena mempersembahkan amal perbuatan kepada makhluk; mengharapkan pujian dari makhluk; bukan mengharap pujian dan ridha dari al-Khaliq, Allah SWT.
Syirik itu juga pada hakekatnya merupakan tindak korupsi; karena merampas hak Allah SWT, sebagai Dzat Satu-satunya yang berhak disembah. Dalam sebuah hadits, Rasulullah saw bertanya kepada Muadz bin Jabal: “Tahukah kamu apa hak Allah atas hamba-hamba-Nya ?” Mu’adz berkata: Allah dan Rasul-Nya lebih mengetahui. Lalu, Nabi bersabda, (yaitu)“hendaknya mereka beribadah kepada Allah semata dan tidak menyekutukan-Nya dengan apapun juga…” (HR Bukhari dan Muslim).
Cobalah kita bedah hati kita masing-masing. Masih adakah terbersit noda-noda syirik itu? Astaghfirullah… Mungkin akan kita jumpai betapa mudahnya noda-noda syirik kecil itu bersemayam dalam hati kita. “Jangan syirik, anakku! Jangan sekutukan Allah dengan apa pun!” Itulah nasehat Luqman. Begitu dalam makna nasehat Luqman itu. Inilah adab tertinggi kepada Allah: tidak menyekutukan Allah dengan apa pun juga!
-BERSAMBUNG-
(19). Dan sederhanakanlah dalam berjalan dan lunakkanlah suaramu. Sesungguhnya seburuk-buruk suara ialah suara keledai.
****
Luqman al-Hakim telah mendapatkan hikmah dari Allah, yang dengan itu, ia bisa menerapkan pendidikan yang tepat pada anaknya. Sebab, menurut konsep Prof. Naquib al-Attas, adab memang datang dari hikmah; bukan datang dari sekolah atau kampus.
Nasehat-nasehat Luqman al-Hakim yang memberikan pelajaran berharga tentang adab ini, dimulai dari adab kepada Allah SWT: “Wahai anakku, jangan menyekutukan Allah. Sesungguhnya syirik itu adalah kezaliman yang besar!”
Sekali lagi, kita renungkan, “syirik adalah kezaliman yang besar!” Syirik itu zalim kepada Allah. Syirik itu biadab kepada Allah. Syirik adalah bentuk ‘kekurangajaran’ yang luar biasa kepada Tuhan Yang Maha Esa. Syirik disebut zalim karena tidak “meletakkan” Allah pada tempatnya, sebagai al-Khaliq.
Syirik itu hakekatnya merendahkan martabat Allah, karena disetarakan dengan makhluk. Karena itu, riya’ disebut sebagai “syirik kecil” karena mempersembahkan amal perbuatan kepada makhluk; mengharapkan pujian dari makhluk; bukan mengharap pujian dan ridha dari al-Khaliq, Allah SWT.
Syirik itu juga pada hakekatnya merupakan tindak korupsi; karena merampas hak Allah SWT, sebagai Dzat Satu-satunya yang berhak disembah. Dalam sebuah hadits, Rasulullah saw bertanya kepada Muadz bin Jabal: “Tahukah kamu apa hak Allah atas hamba-hamba-Nya ?” Mu’adz berkata: Allah dan Rasul-Nya lebih mengetahui. Lalu, Nabi bersabda, (yaitu)“hendaknya mereka beribadah kepada Allah semata dan tidak menyekutukan-Nya dengan apapun juga…” (HR Bukhari dan Muslim).
Cobalah kita bedah hati kita masing-masing. Masih adakah terbersit noda-noda syirik itu? Astaghfirullah… Mungkin akan kita jumpai betapa mudahnya noda-noda syirik kecil itu bersemayam dalam hati kita. “Jangan syirik, anakku! Jangan sekutukan Allah dengan apa pun!” Itulah nasehat Luqman. Begitu dalam makna nasehat Luqman itu. Inilah adab tertinggi kepada Allah: tidak menyekutukan Allah dengan apa pun juga!
-BERSAMBUNG-
BELAJAR ADAB DARI KISAH LUQMAN
(bagian 2-habis)
Oleh: Dr. Adian Husaini
Kini, tengoklah apa yang terjadi di sekitar kita. Pemerintah dan banyak kalangan orang cerdik pandai berbicara tentang korupsi, membenci dan mengecam korupsi. Mereka bicara tentang kemanusiaan; tentang kezaliman pada sesama manusia. Korupsi adalah bentuk kezaliman kepada rakyat, karena hak rakyat atas hartanya dirampas oleh penyelenggara negara.
Korupsi harta itu zalim, dan harus dijatuhi sanksi yang berat, sebagaimana dicontohkan oleh Rasulullah saw. Menzalimi sesama manusia pun merupakan tindakan kejahatan. Pelakunya akan dikejar pertanggungjawaban, sampai ke akhirat. Jika urusannya tidak tuntas di dunia, maka orang yang terzalimi akan mendapatkan limpahan pahala dari pihak yang menzalimi.
Tetapi, yang aneh, banyak orang enggan bicara tentang korupsi dalam bentuk kemusyrikan, yang sejatinya merupakan bentuk kezaliman kepada Allah SWT. Orang musyrik telah merampas hak Allah, sebagai satu-satunya Dzat Yang berhak disembah, ditaati aturan-aturan-Nya, dan yang paling berhak untuk dicintai melebihi apa pun (QS at-Taubah:24). Maka, pada hakikatnya, sungguh aneh, jika manusia dikecam karena merampas hak sesama manusia, tetapi justru dibiarkan untuk merampas hak Tuhan, dan difasilitasi untuk menyebarkan paham-paham yang melecehkan kedudukan Tuhan.
“Katakanlah: jika ayah-ayahmu, anak-anakmu, saudara-saudaramu, istri-
istrimu, kaum keluargamu, harta kekayaan yang kamu usahakan, perniagaan yang kamu khawatirkan kerugiannya, dan tempat tinggal yang kamu sukai, semua itu lebih kamu cintai daripada Allah dan Rasul-Nya dan berjihad di jalan-Nya, maka tunggulah sampai Allah mendatangkan keputusan-Nya. Dan Allah tidak akan memberikan petunjuk kepada orang-orang fasik.” (QS at-Taubah:24).
Itulah adab kepada Allah! Meletakkan kecintaan kepada makhluk lebih tinggi saja di atas kecintaan kepada Allah dan rasul-Nya, itu sudah mendapatkan ancaman serius dari Allah. Sebab, itu tindakan yang tidak pantas. Bagaimana mungkin, manusia yang tidak punya apa-apa, lalu merasa memiliki dirinya, dan merasa leluasa menggunakan apa pun miliknya sesuai kehendak hawa nafsunya. Di zaman ini, kita bisa dengan mudah menjumpai manusia-manusia yang tidak punya adab kepada Tuhan-nya dan bahkan berani menantang Tuhan Yang Maha Esa.
Allah SWT telah mengharamkan tindakan zina. Lalu, manusia-manusia modern ini berani menantang Tuhan dengan menyatakan, bahwa zina adalah hak asasi manusia; bahwa zina bukan kejahatan! Bahkan, sebagian penguasa kemudian berencana melegalkan praktik perzinahan dengan memberikan sertifikat kepada para pelacur. Allah SWT mengharamkan khamr. Lalu, datang manusia-manusia yang sok pintar berkata, “Khamr itu masih diperlukan untuk menambah pendapatan Negara!” Allah SWT memerintahkan, tutuplah aurat! Tetapi, ada diantara manusia yang kemudian berani menantang Tuhan dengan sengaja mengumbar aurat. Sebagian lagi sengaja menggelar kontes dan tari-tari telanjang. Katanya, itu demi peraturan. Katanya lagi, itu demi seni. Na’udzubillah.
Jadi, betapa dalamnya makna nasehat Luqman pada anaknya, “Jangan syirik kepada Allah, sebab syirik itu kezaliman yang besar!”
Inilah adab yang pertama kali harus ditanamkan – bukan sekedar diajarkan – kepada diri dan keluarga kita. Yakni, adab kepada Allah SWT.
Setelah itu, Luqman menasehati anaknya agar beradab kepada orang tua, khususnya kepada Ibu-nya. Di era modern kini, memiliki anak yang beradab kepada orang tua, sangatlah tinggi nilainya. Di sini diperlukan kesungguhan orang tua untuk menjadikan dirinya sebagai “guru terbaik”, teladan terbaik, bagi anaknya. Maka, wajiblah orang tua memahami masalah adab dan ilmu, agar bisa melaksanakan kewajiban mendidik keluarganya dengan baik.
Kita menyaksikan, tidak sedikit orang tua yang tidak paham akan kewajiban pendidikan keluarga ini. Ia menyangka, setelah selesai kuliah, lalu menikah dan punya keturunan, kewajibannya hanyalah mencari uang untuk menyekolahkan sampai mengkuliahkan anak-anaknya. Padahal, tugas utama pendidikan anak itu ada pada dirinya. Fenomena menja
(bagian 2-habis)
Oleh: Dr. Adian Husaini
Kini, tengoklah apa yang terjadi di sekitar kita. Pemerintah dan banyak kalangan orang cerdik pandai berbicara tentang korupsi, membenci dan mengecam korupsi. Mereka bicara tentang kemanusiaan; tentang kezaliman pada sesama manusia. Korupsi adalah bentuk kezaliman kepada rakyat, karena hak rakyat atas hartanya dirampas oleh penyelenggara negara.
Korupsi harta itu zalim, dan harus dijatuhi sanksi yang berat, sebagaimana dicontohkan oleh Rasulullah saw. Menzalimi sesama manusia pun merupakan tindakan kejahatan. Pelakunya akan dikejar pertanggungjawaban, sampai ke akhirat. Jika urusannya tidak tuntas di dunia, maka orang yang terzalimi akan mendapatkan limpahan pahala dari pihak yang menzalimi.
Tetapi, yang aneh, banyak orang enggan bicara tentang korupsi dalam bentuk kemusyrikan, yang sejatinya merupakan bentuk kezaliman kepada Allah SWT. Orang musyrik telah merampas hak Allah, sebagai satu-satunya Dzat Yang berhak disembah, ditaati aturan-aturan-Nya, dan yang paling berhak untuk dicintai melebihi apa pun (QS at-Taubah:24). Maka, pada hakikatnya, sungguh aneh, jika manusia dikecam karena merampas hak sesama manusia, tetapi justru dibiarkan untuk merampas hak Tuhan, dan difasilitasi untuk menyebarkan paham-paham yang melecehkan kedudukan Tuhan.
“Katakanlah: jika ayah-ayahmu, anak-anakmu, saudara-saudaramu, istri-
istrimu, kaum keluargamu, harta kekayaan yang kamu usahakan, perniagaan yang kamu khawatirkan kerugiannya, dan tempat tinggal yang kamu sukai, semua itu lebih kamu cintai daripada Allah dan Rasul-Nya dan berjihad di jalan-Nya, maka tunggulah sampai Allah mendatangkan keputusan-Nya. Dan Allah tidak akan memberikan petunjuk kepada orang-orang fasik.” (QS at-Taubah:24).
Itulah adab kepada Allah! Meletakkan kecintaan kepada makhluk lebih tinggi saja di atas kecintaan kepada Allah dan rasul-Nya, itu sudah mendapatkan ancaman serius dari Allah. Sebab, itu tindakan yang tidak pantas. Bagaimana mungkin, manusia yang tidak punya apa-apa, lalu merasa memiliki dirinya, dan merasa leluasa menggunakan apa pun miliknya sesuai kehendak hawa nafsunya. Di zaman ini, kita bisa dengan mudah menjumpai manusia-manusia yang tidak punya adab kepada Tuhan-nya dan bahkan berani menantang Tuhan Yang Maha Esa.
Allah SWT telah mengharamkan tindakan zina. Lalu, manusia-manusia modern ini berani menantang Tuhan dengan menyatakan, bahwa zina adalah hak asasi manusia; bahwa zina bukan kejahatan! Bahkan, sebagian penguasa kemudian berencana melegalkan praktik perzinahan dengan memberikan sertifikat kepada para pelacur. Allah SWT mengharamkan khamr. Lalu, datang manusia-manusia yang sok pintar berkata, “Khamr itu masih diperlukan untuk menambah pendapatan Negara!” Allah SWT memerintahkan, tutuplah aurat! Tetapi, ada diantara manusia yang kemudian berani menantang Tuhan dengan sengaja mengumbar aurat. Sebagian lagi sengaja menggelar kontes dan tari-tari telanjang. Katanya, itu demi peraturan. Katanya lagi, itu demi seni. Na’udzubillah.
Jadi, betapa dalamnya makna nasehat Luqman pada anaknya, “Jangan syirik kepada Allah, sebab syirik itu kezaliman yang besar!”
Inilah adab yang pertama kali harus ditanamkan – bukan sekedar diajarkan – kepada diri dan keluarga kita. Yakni, adab kepada Allah SWT.
Setelah itu, Luqman menasehati anaknya agar beradab kepada orang tua, khususnya kepada Ibu-nya. Di era modern kini, memiliki anak yang beradab kepada orang tua, sangatlah tinggi nilainya. Di sini diperlukan kesungguhan orang tua untuk menjadikan dirinya sebagai “guru terbaik”, teladan terbaik, bagi anaknya. Maka, wajiblah orang tua memahami masalah adab dan ilmu, agar bisa melaksanakan kewajiban mendidik keluarganya dengan baik.
Kita menyaksikan, tidak sedikit orang tua yang tidak paham akan kewajiban pendidikan keluarga ini. Ia menyangka, setelah selesai kuliah, lalu menikah dan punya keturunan, kewajibannya hanyalah mencari uang untuk menyekolahkan sampai mengkuliahkan anak-anaknya. Padahal, tugas utama pendidikan anak itu ada pada dirinya. Fenomena menja
murnya majelis taklim Ibu-ibu patut kita syukuri. Tetapi, jangan dilupakan, ayah tetap sebagai penanggung jawab utama pendidikan keluarga.
Sungguh memilukan, bahwa dalam kurikulum sekolah kita, mulai TK sampai Perguruan Tinggi, tidak ada materi ajar atau materi kuliah tentang bagaimana menjadi orang tua yang baik; yakni orang tua yang mampu berperan sebagai pendidik (muaddib), yang memahami tentang adab dan mampu menanamkan adab dalam diri dan keluarganya.
Padahal, menurut Ibnu Mubarak – seorang ulama besar , lihat http://www.nfbslembang.com/?q=node/161 -- porsi adab dalam agama Islam adalah dua pertiganya. Kata beliau: “kaada al-adabu yakuunu tsulutsay al-diini.” Beliau mempelajari adab selama 30 tahun, lalu belajar ilmu selama 20 tahun. (Tentang adab bisa dilihat dalam artikel berikut ini: http://www.hisbah.net/perhatikan-adab-sebelum-belajar-ilmu/).
Mengingat begitu pentingnya masalah adab dalam Islam, sungguh aneh jika orang tua tidak memahami masalah adab. Padahal, di akhirat nanti anak-anak akan menuntut orang tuanya jika ia tidak dididik dengan adab selama di dunia. Penanaman adab adalah hal yang mendasar dalam ajaran Islam. Dan itu menjadi tanggung jawab orang tua. Karena itu, ketika seorang laki-laki menerima akad nikah, sesungguhnya ia telah menerima tanggung jawab yang sangat berat (mitsaaqan ghaliidha).
Jika orang tua beradab dan berilmu, maka mereka punya modal kuat untuk mendidik anak-anaknya. Sebaik-baik cara menanamkan adab adalah dengan keteladanan dan pembudayaan suatu nilai-nilai kebaikan. Anak akan lebih mudah memahami adab jika ada contoh dari orang tuanya.
Setelah adab kepada orang tua, maka adab berikutnya yang ditanamkan oleh Luqman kepada anaknya adalah kesadaran Ihsan. Bahwasanya, Allah senantiasa mengawasi dirinya, dimana pun berada. Sekecil apa pun suatu benda, dan di tempat gelap sekali pun, seperti dalam goa, Allah pasti mengetahui. Menanamkan kesadaran Ihsan ini perlu dilakukan terus-menerus, di setiap momentum. Sangatlah baik jika seluruh angggota keluarga secara berkala memiliki kesempatan untuk berkumpul dan mendiskusikan masalah pendidikan bagi semua.
Yang menarik, pada QS Luqman ayat 17, Luqman mendidik anaknya agar menegakkan shalat dan menyiapkan anaknya menjadi pejuang dakwah, yang senantiasa melaksanakan aktivitas amar ma’ruf nahi munkar. Kesadaran akan tanggung jawab, dan keberanian, serta kesanggupan untuk mengemban tugas amar ma’ruf nahi munkar ini mengisyaratkan pentingnya anak-anak disiapkan dengan berbagai bekal, khususnya kekuatan ilmu dan kekuatan fisiknya. Anak-anak muslim wajib memiliki ilmu dan fisik yang mumpuni, sehingga mereka mampu mengemban perjuangan dakwah dengan baik; lebih baik dari generasi orang tuanya.
Dalam QS al-Anfal ayat 65, Nabi Muhammad saw diperintahkan menyiapkan orang-orang mukmin untuk senantiasa siap berperang. Idealnya, kekuatan seorang muslim setara dengan 10 orang kafir. Dalam sejarah telah terbukti, bagaimana dahsyatnya generasi terbaik yang dihasilkan dari pendidikan Nabi saw. Mereka merupakan generasi terbaik yang disegani umat manusia ketika itu. Kecintaan mereka kepada Allah, kepada Rasul-Nya, mengantarkan mereka menjadi generasi yang sangat mencintai ilmu dan pengorbanan. Itulah kunci kebangkitan suatu bangsa atau peradaban.
Sebagai aplikasi dari QS Luqman ayat 17 ini, sepatutnya, di masa kini, orang tua memahami potensi anak-anaknya dan mengarahkan mereka agar menjadi para pejuang di berbagai lapangan kehidupan. Terlebih, saat mereka akan memasuki bangku kuliah, perlu diberikan pemahaman, ilmu-ilmu dan peran apa yang dapat mereka lakukan dalam dakwah di masa kini dan masa mendatang.
Silakan memilih jurusan atau program studi yang diminati, tetapi pertimbangan utama adalah agar bisa melakukan dakwah dengan baik, melalui bidang studi dan keilmuan yang ditekuninya itu. Niat mencari ilmu haruslah benar, agar meraih ilmu yang bermanfaat.
Jika niatnya salah, terutama untuk mengeruk keuntungan materi, maka jangan salahkan, jika dari kampus-kampus kita, bisa bermunculan manusia-manusia serakah yang kecintaannya kepada ha
Sungguh memilukan, bahwa dalam kurikulum sekolah kita, mulai TK sampai Perguruan Tinggi, tidak ada materi ajar atau materi kuliah tentang bagaimana menjadi orang tua yang baik; yakni orang tua yang mampu berperan sebagai pendidik (muaddib), yang memahami tentang adab dan mampu menanamkan adab dalam diri dan keluarganya.
Padahal, menurut Ibnu Mubarak – seorang ulama besar , lihat http://www.nfbslembang.com/?q=node/161 -- porsi adab dalam agama Islam adalah dua pertiganya. Kata beliau: “kaada al-adabu yakuunu tsulutsay al-diini.” Beliau mempelajari adab selama 30 tahun, lalu belajar ilmu selama 20 tahun. (Tentang adab bisa dilihat dalam artikel berikut ini: http://www.hisbah.net/perhatikan-adab-sebelum-belajar-ilmu/).
Mengingat begitu pentingnya masalah adab dalam Islam, sungguh aneh jika orang tua tidak memahami masalah adab. Padahal, di akhirat nanti anak-anak akan menuntut orang tuanya jika ia tidak dididik dengan adab selama di dunia. Penanaman adab adalah hal yang mendasar dalam ajaran Islam. Dan itu menjadi tanggung jawab orang tua. Karena itu, ketika seorang laki-laki menerima akad nikah, sesungguhnya ia telah menerima tanggung jawab yang sangat berat (mitsaaqan ghaliidha).
Jika orang tua beradab dan berilmu, maka mereka punya modal kuat untuk mendidik anak-anaknya. Sebaik-baik cara menanamkan adab adalah dengan keteladanan dan pembudayaan suatu nilai-nilai kebaikan. Anak akan lebih mudah memahami adab jika ada contoh dari orang tuanya.
Setelah adab kepada orang tua, maka adab berikutnya yang ditanamkan oleh Luqman kepada anaknya adalah kesadaran Ihsan. Bahwasanya, Allah senantiasa mengawasi dirinya, dimana pun berada. Sekecil apa pun suatu benda, dan di tempat gelap sekali pun, seperti dalam goa, Allah pasti mengetahui. Menanamkan kesadaran Ihsan ini perlu dilakukan terus-menerus, di setiap momentum. Sangatlah baik jika seluruh angggota keluarga secara berkala memiliki kesempatan untuk berkumpul dan mendiskusikan masalah pendidikan bagi semua.
Yang menarik, pada QS Luqman ayat 17, Luqman mendidik anaknya agar menegakkan shalat dan menyiapkan anaknya menjadi pejuang dakwah, yang senantiasa melaksanakan aktivitas amar ma’ruf nahi munkar. Kesadaran akan tanggung jawab, dan keberanian, serta kesanggupan untuk mengemban tugas amar ma’ruf nahi munkar ini mengisyaratkan pentingnya anak-anak disiapkan dengan berbagai bekal, khususnya kekuatan ilmu dan kekuatan fisiknya. Anak-anak muslim wajib memiliki ilmu dan fisik yang mumpuni, sehingga mereka mampu mengemban perjuangan dakwah dengan baik; lebih baik dari generasi orang tuanya.
Dalam QS al-Anfal ayat 65, Nabi Muhammad saw diperintahkan menyiapkan orang-orang mukmin untuk senantiasa siap berperang. Idealnya, kekuatan seorang muslim setara dengan 10 orang kafir. Dalam sejarah telah terbukti, bagaimana dahsyatnya generasi terbaik yang dihasilkan dari pendidikan Nabi saw. Mereka merupakan generasi terbaik yang disegani umat manusia ketika itu. Kecintaan mereka kepada Allah, kepada Rasul-Nya, mengantarkan mereka menjadi generasi yang sangat mencintai ilmu dan pengorbanan. Itulah kunci kebangkitan suatu bangsa atau peradaban.
Sebagai aplikasi dari QS Luqman ayat 17 ini, sepatutnya, di masa kini, orang tua memahami potensi anak-anaknya dan mengarahkan mereka agar menjadi para pejuang di berbagai lapangan kehidupan. Terlebih, saat mereka akan memasuki bangku kuliah, perlu diberikan pemahaman, ilmu-ilmu dan peran apa yang dapat mereka lakukan dalam dakwah di masa kini dan masa mendatang.
Silakan memilih jurusan atau program studi yang diminati, tetapi pertimbangan utama adalah agar bisa melakukan dakwah dengan baik, melalui bidang studi dan keilmuan yang ditekuninya itu. Niat mencari ilmu haruslah benar, agar meraih ilmu yang bermanfaat.
Jika niatnya salah, terutama untuk mengeruk keuntungan materi, maka jangan salahkan, jika dari kampus-kampus kita, bisa bermunculan manusia-manusia serakah yang kecintaannya kepada ha
www.hisbah.net
Perhatikan Adab Sebelum Belajar Ilmu
Kenapa mesti tema ini yang harus dibahas disaat masyarakat yang semangat menuntut ilmu? Karena tema inilah yang sekian lama terkubur ditengah-tengah para penuntut ilmu. Berapa banyak orang yang menuntut ilmu agar kelak menjadi ustadz, kiyai atau ulama, hal…
rta dan jabatan sangat berlebihan. Apalagi, jika para pengajar di kampus tidak bisa menjadi teladan kehidupan yang mulia bagi para mahasiswanya. Niat yang salah, ketemu guru dan sistem yang rusak, akan sempurnalah kerusakannya.
Rasulullah SAW bersabda: “Sesungguhnya orang yang paling keras siksanya pada hari kiamat adalah orang berilmu namun Allah tidak menjadikan ilmunya bermanfaat bagi dirinya.” (HR Ath-Thabarani dan Al-Baihaqi)
Di sinilah kita memahami, betapa beratnya tanggung jawab orang tua dalam pendidikan keluarga. Masuk sorga dan terhindar dari siksa neraka memang perjuangan berat; bukan pekerjaan sambilan. Iblis dan setan-setan pun bekerja keras untuk bisa menyesatkan manusia. Setan-setan dari kalangan manusia belajar sampai ke tingkat tertinggi agar bisa menjalankan fungsinya dengan baik. Setan pun kerja keras, sehingga tampak begitu banyak keanehan dalam kehidupan. Betapa banyak orang mau masuk neraka rela membayar sampai puluhan bahkan ratusan juta rupiah. Karena itu, Ibnu Qayyim al-Jauziyah memasukkan perjuangan melawan tipu daya setan, sebagai salah satu bentuk jihad fi-sabilillah.
Terakhir, pada QS Luqman ayat 18-19, dalam pendidikan adab kepada anaknya, Luqman mengajarkan anaknya untuk memiliki adab yang baik kepada sesama manusia. Anak perlu dididik adab, juga sopan-santun kepada sesama; jangan sombong, jangan angkuh pada sesama.
Itulah serangkaian pendidikan adab yang menjadi tanggung jawab orang tua, sebagaimana dicontohkan oleh Luqman al-Hakim. Luqman telah mendapatkan hikmah dari Allah, sehingga menjadikan dirinya sebagai orang beradab dan mampu memberikan pendidikan yang benar kepada anaknya.
Kisah Luqman menginspirasi kita, bahwa pembentukan manusia beradab, sepatutnya diutamakan dalam pendidikan keluarga dan pendidikan secara keseluruhan, dengan orang tua sebagai pendidik utamanya. Penanaman adab memerlukan keteladanan, pembiasaan, dan penegakan disiplin. Apa pun kondisi orang tua, mereka tidak boleh lepas tanggung jawab dari pendidikan anak-anaknya.
Untuk menanamkan adab tidak berarti orang tua harus pintar. Aspek kesungguhan keikhlasan, dan kesabaran lebih diperlukan. Meskipun begitu, bagaimana pun juga, orang tua tetap wajib mencari ilmu terus-menerus agar mampu menjalankan fungsinya dengan baik; agar hak-hak anak-anaknya terpenuhi, sehingga mereka tidak menuntut orang tuanya di Akhirat kelak. Semoga Allah memberikan kemampuan kepada kita semua untuk menjalankan amanah kita sebagai orang tua dengan baik. Amin. (***)
Rasulullah SAW bersabda: “Sesungguhnya orang yang paling keras siksanya pada hari kiamat adalah orang berilmu namun Allah tidak menjadikan ilmunya bermanfaat bagi dirinya.” (HR Ath-Thabarani dan Al-Baihaqi)
Di sinilah kita memahami, betapa beratnya tanggung jawab orang tua dalam pendidikan keluarga. Masuk sorga dan terhindar dari siksa neraka memang perjuangan berat; bukan pekerjaan sambilan. Iblis dan setan-setan pun bekerja keras untuk bisa menyesatkan manusia. Setan-setan dari kalangan manusia belajar sampai ke tingkat tertinggi agar bisa menjalankan fungsinya dengan baik. Setan pun kerja keras, sehingga tampak begitu banyak keanehan dalam kehidupan. Betapa banyak orang mau masuk neraka rela membayar sampai puluhan bahkan ratusan juta rupiah. Karena itu, Ibnu Qayyim al-Jauziyah memasukkan perjuangan melawan tipu daya setan, sebagai salah satu bentuk jihad fi-sabilillah.
Terakhir, pada QS Luqman ayat 18-19, dalam pendidikan adab kepada anaknya, Luqman mengajarkan anaknya untuk memiliki adab yang baik kepada sesama manusia. Anak perlu dididik adab, juga sopan-santun kepada sesama; jangan sombong, jangan angkuh pada sesama.
Itulah serangkaian pendidikan adab yang menjadi tanggung jawab orang tua, sebagaimana dicontohkan oleh Luqman al-Hakim. Luqman telah mendapatkan hikmah dari Allah, sehingga menjadikan dirinya sebagai orang beradab dan mampu memberikan pendidikan yang benar kepada anaknya.
Kisah Luqman menginspirasi kita, bahwa pembentukan manusia beradab, sepatutnya diutamakan dalam pendidikan keluarga dan pendidikan secara keseluruhan, dengan orang tua sebagai pendidik utamanya. Penanaman adab memerlukan keteladanan, pembiasaan, dan penegakan disiplin. Apa pun kondisi orang tua, mereka tidak boleh lepas tanggung jawab dari pendidikan anak-anaknya.
Untuk menanamkan adab tidak berarti orang tua harus pintar. Aspek kesungguhan keikhlasan, dan kesabaran lebih diperlukan. Meskipun begitu, bagaimana pun juga, orang tua tetap wajib mencari ilmu terus-menerus agar mampu menjalankan fungsinya dengan baik; agar hak-hak anak-anaknya terpenuhi, sehingga mereka tidak menuntut orang tuanya di Akhirat kelak. Semoga Allah memberikan kemampuan kepada kita semua untuk menjalankan amanah kita sebagai orang tua dengan baik. Amin. (***)
Ketika orang memanggil ibunya mama dan bapaknya papa, kawannya bro tidak ada yang mencemooh atau sinis, bahkan dianggap modern dan maju. Tapi ketika ada yang memanggil ibu jadi ummi, bapak jadi abi / abah, saudara jadi akhi, ikhwan atau ukhti dan kamu jadi anta/antum mulai ada yang sewot, sinis bahkan mengaitkannya sikap radikal, ekstrim dan intoleran. Dua sikap yang kontras ini bisa dilacak dari cara berpikirnya atau cara pandangnya terhadap kehidupan (worldview), khususnya terhadap Islam, tentang Islam dan dalam berislam (bagi Muslim).
-Dr. Hamid Fahmy Zarkasyi-
-Dr. Hamid Fahmy Zarkasyi-
GAYA ROBERT MOREY
Oleh: Dr. Hamid Fahmy Zarkasyi
(Direktur INSISTS)
Nama Robert A. Morey tidak asing lagi bagi masyarakat Indonesia. Bukunya, yang berjudul Islamic Invasion telah banyak ditanggapi. Buku ini banyak memuat pelecehan terhadap Islam. Buku Islamic Invasion ini diam-diam beredar di Indonesia, sama dengan buku Islam Revealed karya Dr. Anis A. Shorrosh yang diterjemahkan dengan judul Kebenaran Diungkapkan: Pandangan Seorang Arab Kristen tentang Islam. Ditulis dalam edisi Indonesianya: Bacaan Umat Kristen. Penerbitnya: Yayasan Pusat Penginjilan Alkitabiyah, PO Bos 1663/JKP Jakarta 10016.
Buku Islamic Invision dapat difahami dari dua sisi. Pertama, ia adalah cermin dari rasa permusuhan kalangan Kristen terhadap Islam yang tidak pernah berhenti. Kedua, ia adalah by-product dari frame-work kajian para Orientalis terhadap Islam.
Sebenarnya akar permusuhan terhadap Islam terletak pada hal yang sangat mendasar, yakni karena penolakan al-Quran secara tegas tentang penyaliban Nabi Isa dan konsep Trinitas. Penolakan ini berarti juga penafian terhadap keyakinan yang selama ini dipegang erat oleh kaum Kristiani. Jadi akarnya terdapat di dalam al-Quran. Para ulama terdahulu menulis karya-karya yang mengkritik keyakinan Kristen tersebut. Al-Ghazali misalnya menulis Kitab al-Radd al-Jamil Li Ilahiati Isa bi Sarih al-Injil, Ibn Taymiyyah juga menulis Kitab al-Jawabal-Sahih liman man Baddala Din al-Masih.
Robert Morey, Anish Shorrosh dan sebagainya, melakukan serangan terhadap Islam dengan cara yang kasar dan mudah dipahami kaum Muslim. Sebagian kalangan orientalis Yahudi dan Kristen mengambil cara yang lebih halus. Tujuannya sama saja, yakni memunculkan keraguan terhadap kaum Muslim atas agamanya sendiri. Cara kedua ini justru lebih berbahaya, sebab banyak memakan korban di kalangan cendekiawan Muslim.
Sebagai contoh, kita rujuk pernyataan Montgomery Watt, seorang Orientalis Inggeris yang juga menjadi salah satu rujukan Robert Morey. Ia dengan halus mengkritik dan meracuni pemikiran umat Islam dengan menyatakan bahwa jika umat Islam ingin maju dan memiliki posisi penting dalam dunia kontemporer maka mereka perlu mengadakan rekonstruksi intelektual yang berdasarkan pada pandangan hidup Islam dengan menghilangkan elemen-elemen yang salah dalam agama Islam. Untuk itu, sarannya, umat Islam perlu menggunakan metode historis dan literer, meskipun dengan itu mereka harus meninggalkan beberapa poin kepercayaan tradisional yang tidak penting dan sekunder.
Kepercayaan tradisional yang dimaksud Watt adalah penolakan al-Quran terhadap keyakinan Kristen bahwa Nabi Isa AS disiksa dan mati di tiang salib (QS an-Nisa:157). (lihat Islamic Fundamentalism and Modernity, London dan New York: Routledge, 1988, 88). Pandangan Watt jelas sekali menunjukkan suatu kesadaran yang sangat cerdas bahwa untuk mempertahankan kepercayaan penyaliban Nabi Isa AS dari serangan al-Quran ia menyuarakan penggunaan metode historis kepada umat Islam, agar al-Quran dapat diotak-atik sehingga menjadi berarti yang sebaliknya.
Memang upaya orientalis untuk merespon dan mematahkan pernyataan-pernyataan dari al-Quran ini terencana, ilmiyah dan terus menerus. Tapi bagaimanapun ilmiyahnya, para orientalis itu berpijak pada pre-supposisi Barat. Artinya, prinsip dasar kajian mereka adalah penolakan terhadap kenabian Muhammad saw sebagai rahmat untuk seluruh umat manusia. Ini bisa dipahami, sebab dengan mengakui kerasulan Nabi Muhammad berarti mereka mengakui Islam sebagai agama terakhir.
Demikian pula dengan al-Quran. Mereka tidak mengakui al-Quran sebagai firman Allah, karena al-Quran memuat banyak kecaman terhadap doktrin-doktrin agama Yahudi dan Nasrani. Kandungan al-Quran yang mengkritik ajaran Yahudi dan Kristen seperti itu telah menuai reaksi balik sepanjang masa. Seorang Kaisar Bizantin, Leo III (717-741 M.), misalnya, telah menuduh al-Hajjaj ibn Yusuf al-Tsaqafi, seorang Gubernur di zaman kekhalifahan Abdul Malik ibn Marwan (684-704 M) telah mengubah al-Qur'an (Lihat Arthur Jeffery, "Ghevond's Text of the Correspondence between Umar II and L
Oleh: Dr. Hamid Fahmy Zarkasyi
(Direktur INSISTS)
Nama Robert A. Morey tidak asing lagi bagi masyarakat Indonesia. Bukunya, yang berjudul Islamic Invasion telah banyak ditanggapi. Buku ini banyak memuat pelecehan terhadap Islam. Buku Islamic Invasion ini diam-diam beredar di Indonesia, sama dengan buku Islam Revealed karya Dr. Anis A. Shorrosh yang diterjemahkan dengan judul Kebenaran Diungkapkan: Pandangan Seorang Arab Kristen tentang Islam. Ditulis dalam edisi Indonesianya: Bacaan Umat Kristen. Penerbitnya: Yayasan Pusat Penginjilan Alkitabiyah, PO Bos 1663/JKP Jakarta 10016.
Buku Islamic Invision dapat difahami dari dua sisi. Pertama, ia adalah cermin dari rasa permusuhan kalangan Kristen terhadap Islam yang tidak pernah berhenti. Kedua, ia adalah by-product dari frame-work kajian para Orientalis terhadap Islam.
Sebenarnya akar permusuhan terhadap Islam terletak pada hal yang sangat mendasar, yakni karena penolakan al-Quran secara tegas tentang penyaliban Nabi Isa dan konsep Trinitas. Penolakan ini berarti juga penafian terhadap keyakinan yang selama ini dipegang erat oleh kaum Kristiani. Jadi akarnya terdapat di dalam al-Quran. Para ulama terdahulu menulis karya-karya yang mengkritik keyakinan Kristen tersebut. Al-Ghazali misalnya menulis Kitab al-Radd al-Jamil Li Ilahiati Isa bi Sarih al-Injil, Ibn Taymiyyah juga menulis Kitab al-Jawabal-Sahih liman man Baddala Din al-Masih.
Robert Morey, Anish Shorrosh dan sebagainya, melakukan serangan terhadap Islam dengan cara yang kasar dan mudah dipahami kaum Muslim. Sebagian kalangan orientalis Yahudi dan Kristen mengambil cara yang lebih halus. Tujuannya sama saja, yakni memunculkan keraguan terhadap kaum Muslim atas agamanya sendiri. Cara kedua ini justru lebih berbahaya, sebab banyak memakan korban di kalangan cendekiawan Muslim.
Sebagai contoh, kita rujuk pernyataan Montgomery Watt, seorang Orientalis Inggeris yang juga menjadi salah satu rujukan Robert Morey. Ia dengan halus mengkritik dan meracuni pemikiran umat Islam dengan menyatakan bahwa jika umat Islam ingin maju dan memiliki posisi penting dalam dunia kontemporer maka mereka perlu mengadakan rekonstruksi intelektual yang berdasarkan pada pandangan hidup Islam dengan menghilangkan elemen-elemen yang salah dalam agama Islam. Untuk itu, sarannya, umat Islam perlu menggunakan metode historis dan literer, meskipun dengan itu mereka harus meninggalkan beberapa poin kepercayaan tradisional yang tidak penting dan sekunder.
Kepercayaan tradisional yang dimaksud Watt adalah penolakan al-Quran terhadap keyakinan Kristen bahwa Nabi Isa AS disiksa dan mati di tiang salib (QS an-Nisa:157). (lihat Islamic Fundamentalism and Modernity, London dan New York: Routledge, 1988, 88). Pandangan Watt jelas sekali menunjukkan suatu kesadaran yang sangat cerdas bahwa untuk mempertahankan kepercayaan penyaliban Nabi Isa AS dari serangan al-Quran ia menyuarakan penggunaan metode historis kepada umat Islam, agar al-Quran dapat diotak-atik sehingga menjadi berarti yang sebaliknya.
Memang upaya orientalis untuk merespon dan mematahkan pernyataan-pernyataan dari al-Quran ini terencana, ilmiyah dan terus menerus. Tapi bagaimanapun ilmiyahnya, para orientalis itu berpijak pada pre-supposisi Barat. Artinya, prinsip dasar kajian mereka adalah penolakan terhadap kenabian Muhammad saw sebagai rahmat untuk seluruh umat manusia. Ini bisa dipahami, sebab dengan mengakui kerasulan Nabi Muhammad berarti mereka mengakui Islam sebagai agama terakhir.
Demikian pula dengan al-Quran. Mereka tidak mengakui al-Quran sebagai firman Allah, karena al-Quran memuat banyak kecaman terhadap doktrin-doktrin agama Yahudi dan Nasrani. Kandungan al-Quran yang mengkritik ajaran Yahudi dan Kristen seperti itu telah menuai reaksi balik sepanjang masa. Seorang Kaisar Bizantin, Leo III (717-741 M.), misalnya, telah menuduh al-Hajjaj ibn Yusuf al-Tsaqafi, seorang Gubernur di zaman kekhalifahan Abdul Malik ibn Marwan (684-704 M) telah mengubah al-Qur'an (Lihat Arthur Jeffery, "Ghevond's Text of the Correspondence between Umar II and L
eo III, Harvard Theological Review, 269-332).
Peter, pendeta di Maimuma, pada tahun 743 menyebut Rasululllah saw sebagai nabi palsu. Yahya al-Dimasyqi atau dikenal juga sebagai John of Damascus (m. 750) juga menulis dalam bahasa Yunani kuno kepada kalangan Kristen ortodoks bahwa Islam mengajarkan anti-Kristus. John of Damascus berpendapat bahwa Muhammad adalah seorang penipu kepada orang Arab yang bodoh. Ia juga mengatakan Nabi Muhammad mengawini Khadijah agar mendapat kekayaan dan kesenangan. Ia juga menuduh Nabi Muhammad menyembunyikan penyakit epilepsinya ketika menerima wahyu dari Jibril. Bahkan Nabi Muhammad dianggap memiliki hobi perang karena nafsu seksnya tidak tersalurkan. (Daniel J. Sahas, John of Damascus on Islam: "The Heresy of the Ishmaelites" (Leiden: E. J. Brill, 1972, hlm. 67-95).
Seirama dengan John of Damascus, Pastor Bede dari Inggris yang hidup pada tahun 673-735 M berpendapat bahwa Muhammad adalah seorang manusia padang pasir yang liar (a wild man of desert). Bede menggambarkan Muhammad sebagai kasar, cinta perang dan biadab, buta huruf, status sosial yang rendah, bodoh tentang dogma Kristen, dan tamak kuasa, sehingga ia menjadi penguasa dan mengklaim sebagai seorang nabi. Apa-apa yang ditulis oleh Arthur Jeffery inilah yang menjadi rujukan Robert Morey.
Sikap menghina Nabi Muhammad saw berlanjut pada zaman pertengahan Barat. Pada saat itu, Rasulullah saw disebut sebagai Mahound, atau juga Mahoun, Mahun, Mahomet, di dalam bahasa Perancis Mahon, di dalam bahasa Jerman Machmet, yang sinonim dengan setan, berhala. Jadi, Muhammad bukan hanya sebagai seorang nabi palsu. Lebih dari itu, Ia merupakan seorang penyembah berhala yang disembah oleh orang Arab yang bodoh.
Pada zaman kelahiran kembali (Renaissance) Barat dan zaman Reformasi (Reformation) Barat, imej buruk terus berlanjut. Marlowes Tamburlaine menuduh al-Quran sebagai karya setan. Martin Luther menganggap Muhammad sebagai orang Jahat dan mengutuknya sebagai anak setan. Pada zaman Pencerahan Barat, Voltaire menganggap Muhammad sebagai fanatik, ekstrimis dan pendusta yang paling canggih. Biografi Rasulullah saw beserta al-Quran terus menjadi target. Snouck Hurgronje mengatakan: "Pada zaman skeptik kita ini, sangat sedikit sekali yang lepas dari kritik, dan suatu hari nanti kita mungkin mengharapkan untuk mendengar bahwa Muhammad tidak pernah ada (In our skeptical times there is very little that is above criticism, and one day or other we may expect to hear that Muhammad never existed).
Harapan Hurgronje ini selanjutnya terealisasikan dalam pemikiran Klimovich, yang menulis sebuah artikel diterbitkan pada tahun 1930 dengan berjudul "Did Muhammad Exist?" Dalam artikel tersebut, Klimovich menyimpulkan bahwa semua sumber informasi tentang kehidupan Muhammad adalah buat-buatan. Muhammad adalah fiksi yang wajib karena selalu adanya asumsi bahwa setiap agama harus mempunyai pendiri. (***)
Peter, pendeta di Maimuma, pada tahun 743 menyebut Rasululllah saw sebagai nabi palsu. Yahya al-Dimasyqi atau dikenal juga sebagai John of Damascus (m. 750) juga menulis dalam bahasa Yunani kuno kepada kalangan Kristen ortodoks bahwa Islam mengajarkan anti-Kristus. John of Damascus berpendapat bahwa Muhammad adalah seorang penipu kepada orang Arab yang bodoh. Ia juga mengatakan Nabi Muhammad mengawini Khadijah agar mendapat kekayaan dan kesenangan. Ia juga menuduh Nabi Muhammad menyembunyikan penyakit epilepsinya ketika menerima wahyu dari Jibril. Bahkan Nabi Muhammad dianggap memiliki hobi perang karena nafsu seksnya tidak tersalurkan. (Daniel J. Sahas, John of Damascus on Islam: "The Heresy of the Ishmaelites" (Leiden: E. J. Brill, 1972, hlm. 67-95).
Seirama dengan John of Damascus, Pastor Bede dari Inggris yang hidup pada tahun 673-735 M berpendapat bahwa Muhammad adalah seorang manusia padang pasir yang liar (a wild man of desert). Bede menggambarkan Muhammad sebagai kasar, cinta perang dan biadab, buta huruf, status sosial yang rendah, bodoh tentang dogma Kristen, dan tamak kuasa, sehingga ia menjadi penguasa dan mengklaim sebagai seorang nabi. Apa-apa yang ditulis oleh Arthur Jeffery inilah yang menjadi rujukan Robert Morey.
Sikap menghina Nabi Muhammad saw berlanjut pada zaman pertengahan Barat. Pada saat itu, Rasulullah saw disebut sebagai Mahound, atau juga Mahoun, Mahun, Mahomet, di dalam bahasa Perancis Mahon, di dalam bahasa Jerman Machmet, yang sinonim dengan setan, berhala. Jadi, Muhammad bukan hanya sebagai seorang nabi palsu. Lebih dari itu, Ia merupakan seorang penyembah berhala yang disembah oleh orang Arab yang bodoh.
Pada zaman kelahiran kembali (Renaissance) Barat dan zaman Reformasi (Reformation) Barat, imej buruk terus berlanjut. Marlowes Tamburlaine menuduh al-Quran sebagai karya setan. Martin Luther menganggap Muhammad sebagai orang Jahat dan mengutuknya sebagai anak setan. Pada zaman Pencerahan Barat, Voltaire menganggap Muhammad sebagai fanatik, ekstrimis dan pendusta yang paling canggih. Biografi Rasulullah saw beserta al-Quran terus menjadi target. Snouck Hurgronje mengatakan: "Pada zaman skeptik kita ini, sangat sedikit sekali yang lepas dari kritik, dan suatu hari nanti kita mungkin mengharapkan untuk mendengar bahwa Muhammad tidak pernah ada (In our skeptical times there is very little that is above criticism, and one day or other we may expect to hear that Muhammad never existed).
Harapan Hurgronje ini selanjutnya terealisasikan dalam pemikiran Klimovich, yang menulis sebuah artikel diterbitkan pada tahun 1930 dengan berjudul "Did Muhammad Exist?" Dalam artikel tersebut, Klimovich menyimpulkan bahwa semua sumber informasi tentang kehidupan Muhammad adalah buat-buatan. Muhammad adalah fiksi yang wajib karena selalu adanya asumsi bahwa setiap agama harus mempunyai pendiri. (***)