MUSTANIR ONLINE
3.18K subscribers
865 photos
163 videos
56 files
900 links
Sharing audio, tulisan karya Dr Adian Husaini, Dr Hamid Fahmy Zarkasyi serta pemikir muslim kontemporer lainnya.
Download Telegram
rlebihan dalam mencintai kehidupan dunia (QS 2:96); mereka pun sangat rasis, memandang bangsa Yahudi sebagai bangsa pilihan Tuhan karena berdarah Yahudi, sedangkan yang bukan Yahudi dianggap sebagai manusia kelas rendah (QS 62:6). Surat al-Baqarah banyak menceritakan bagaimana kebiadaban dan pengkhianatan Yahudi kepada Nabi Musa, yang telah menyelamatkan mereka dari kekejaman Firaun.

Di era modern ini, kejahatan kaum Yahudi juga banyak diungkapkan oleh ilmuwan modern, seperti Paul Findley dan Dr. David Duke. Nama yang terakhir ini adalah sejarawan AS yang saat ini melakukan kampanye secara massif dan serius untuk membuka kejahatan-kejahatan kaum Yahudi dalam sejarah dan di era kini. (lihat, situs http://davidduke.com/).

Ciri lain kaum Yahudi yang disebut dalam al-Quran, adalah bahwa mereka suka merusak ajaran agama, dengan cara mengubah-ubah ayat-ayat Allah atau mengaku-aku tulisan mereka sendiri sebagai wahyu Allah. (QS 2:75, 79). Mereka pun enggan mengikuti semua ajaran Allah yang dibawa melalui utusan-Nya; mereka hanya mau mengimani sebagian dan menolak sebagian ajaran Tuhan yang lain. (QS 2:85). Maka, sebagai Muslim, kita selalu berdoa setiap melaksanakan shalat, semoga kita tidak mengikuti perilaku dan jalan hidup kaum yang dimurkai Allah ini (al-maghdlub).

Jika kita yang orang Indonesia sudah menyatakan diri beragama Islam, mengaku sebagai Muslim, apa pun posisi dan kedudukan sosialnya, maka tidak relevan lagi, kita berdiskusi, apakah Indonesia ini negara agama atau negara sekuler. Wacana bahwa Indonesia adalah “bukan negara agama dan bukan negara sekuler” – tetapi juga bukan negara yang bukan-bukan – tidak berlaku bagi seorang Muslim yang memiliki pandangan alam (weltanchaung/worldview) Islam. Sebab, di mana pun, dan kapan pun, seorang Muslim akan menempatkan dirinya sebagai hamba Allah, yang cinta dan ridha untuk selalu berusaha mentaati ajaran-ajaran Allah yang disampaikan kepada kita melalui utusan-Nya yang terakhir (yaitu Nabi Muhammad saw).

Seorang muslim, apakah ia presiden atau penjual ayam goreng, tidak mungkin (MUSTAHIL) akan mengatakan, baik secara terang-terangan atau sembunyi-sembunyi, bahwa: “Memang Tuhanku Allah, tetapi aku bebas untuk hidup di dunia ini dengan cara dan kemauanku sendiri; aku tidak mau diatur-atur oleh Tuhan dan Nabi-Nya; ajaran Nabi Muhammad sudah kuno dan hanya berlaku untuk bangsa Arab; aku orang Indonesia, bukan orang Arab; aku lebih hormat dan lebih taat kepada al-Mukarram Darmogandhul, Karl Marx, Adam Smith, Thomas Jefferson, John Locke, Charles Darwin, dan lain-lain.”

Nabi Muhammad saw tidak bisa dan tidak boleh memaksa orang lain untuk menerima hidayah Allah. Iman dan kufur menjadi tanggung jawab diri masing-masing. Apalagi, kita semua, umat sang Nabi. Kita hanya menyampaikan imbauan kebenaran; mohon kepada diri kita dan para pemimpin kita, “Tuan-tuan, apakah belum saatnya bangsa kita berhenti melecehkan Tuhan Yang Maha Esa?”

Semoga kita selamat dari sifat-sifat buruk kaum munafik dan kaum yang dimurkai Allah (al-maghdlub), yang sadar atau tidak telah berani melecehkan Tuhan Yang Maha Esa, dengan hanya mengaku-aku berketuhanan Yang Maha Esa, tetapi dirinya membenci, melecehkan dan terus berusaha menyingkirkan ajaran-ajaran Tuhan Yang Maha Esa dari kehidupan pribadi, keluarga, bangsa dan negaranya. Semoga kita selamat; juga keluarga, sahabat, dan para pemimpin kita. Amin. (Kualalumpur, 12 September 2014).
Jika minoritas di Indonesia melakukan konfrontasi terhadap mayoritas dan bukan justru melakukan rekonsiliasi, maka tindakan itu akan mengakibatkan tiga hal: Pertama akan menghapuskan nuansa kebinekaan yang selama ini sudah terjalin dg baik. Negara akan dirugikan. Kedua, hubungan minoritas dan mayoritas yang selama ini sudah sangat nyaman, lebih nyaman ketimbang Muslim minoritas di negeri non Muslim yang mayoritas, akan bermasalah. Minoritas akan dirugikan Ketiga, mayoritas akan meningkatkan rasa ukhuwwah dan ghirah Islamiyah serta akan semakin kuat. Disini Muslim akan malah sangat diuntungkan. Just for internal reflection. Wallahu a'lam
Dr. Hamid Fahmy Zarkasyi
SIRAH NABAWIYAH
Penulis Syaikh Shafiyyur-Rahman Al-Mubarakfury

Perjalanan hidup Rasulullah saw adalah perjalanan hidup yang penuh dengan keteladanan luhur sehingga umat Islam wajib mengikutinya. Buku ini merekam sejarah kehidupan Nabi, mulai dari dakwah, sosok kepribadian beliau, dan lainnya. Karya pemenang lomba penulisan Rabithah Alam al-lslamy ini untuk kategori sirah merupakan karya terbaik dari segi bobot dan kualitas.

Dalam Sirah Nabawiyah ini, Anda akan mendapatkan bahasan-bahasan yang berharga antara lain:

• Penjelasan tentang silsilah dan nasab keluarga Nabi Muhammad saw.
• Beberapa peperangan Rasulullah saw., seperti Perang Badar, Perang Uhud, Perang Hunain,
Perang Tabuk, Perang Fathu Makkah, dan perang lainnya.
• Perjalanan dakwah Nabi mulai dari kota Mekah hingga hijrah beliau ke Madinah sampai
penaklukkan Mekah.
• Diulas keharmonisan dan indahnya kehidupan rumah tangga Nabi bersama para istrinya.
• Dan pembahasan penting tentang sejarah Nabi saw. yang lainnya.
-----------
Buku: Sirah Nabawiyah
Harga: Rp. 139.000,-
Pemesanan silahkan sms/whatsapp ke 087878147997
Syukran. 👇
TOLERANSI
Oleh: Dr. Hamid Fahmy Zarkasyi

Pada tanggal 17 Nopember tahun 2010, saya diberi tugas Kementerian Luar Negeri Republik Indonesia untuk mengikuti program Public Diplomacy Campaign ke Austria. Saya menyampaikan kuliah umum di dua universitas yaitu Universität Vienna dan Universität Salzburg.

Di Universität Vienna diadakan di Departement Kajian Ketimuran (Oriental Studies). Dihadiri oleh sekitar 50 orang diantaranya terdapat seorang mahasiswa dan mahasiswi berkebangsaan Arab. Temanya tentang moderasi dan toleransi. Saya menyampaikan toleransi umat Islam Indonesia terhadap kepelbagaian agama, termasuk terhadap pemeluk agama Kristen.

Seorang peserta bertanya, mengapa di Indonesia orang bisa lebih toleran tapi disini dan negara Eropa lainnya tidak. “Saya dan keluarga saya dan saya kira juga kebanyakan keluarga Austria disini tidak tahan bertetangga dengan keluarga Muslim”, lanjutnya. Saya terkejut mendengar pertanyaan dan pernyataan orang Barat yang tulus itu.

Agak lama saya berfikir, tapi kemudian saya ketemu jawabnya. “saya kira anda di Barat terlalu kaku berpegang pada faham sekulerisme sehingga tidak toleran pada agama. Apapun yang berbau agama anda tolak, apalagi kalau hal itu masuk kedalam ruang publik.

“Sesuatu yang tidak mungkin terjadi di Barat adalah masuknya agama ke ruang-ruang publik”, kata saya. Di Indonesia kami telah terbiasa mendengar seorang pendeta berceraham di TV publik dan toleran terhadap perayaan agama selain Islam di ruang publik. Kami selalu menyaksikan perayaan Natal di stadion atau tempat-tempat public yang disiarkan secara nasional oleh stasiun TV. Saya hanya menyatakan bahwa menjadi sekuler itu tidak membuat orang arif dan toleran. Sekuler malah bisa berarti eksklusif.

Universität Salzburg acaranya di handle oleh Fakultas Systematiche Theologie. Mahasiswa Pasca, dosen dan masyarakat umum yang berjumlah sekitar 100 orang menyimak kuliah umum yang bertema Democracy Islam Human Right. Kuliah saya berjudul Redefining Moderate Muslim, Appraising Religio-Political Thought of Indonesian Muslims.

Di acara dinner dengan para dosen saya utarakan problem liberalisasi pemikiran keagamaan yang kami alami di Indonesia. Disini saya sekali lagi juga terkejut. Ternyata para dosen itu mengetahui apa yang sedang terjadi di dunia Islam. Mereka bahkan merasakan hal yang sama. Saya bertanya apakah mereka setuju dengan faham-faham feminism dan kesetaraan gender, pluralism agama, liberalisasi pemikiran. Ternyata tidak.

Untuk mengetahui kebenaran pandangan mereka saya mencoba pancing dengan ide global theology yang diutarakan oleh John Hick. Ternyata salah seorang dosen systematic theology bernama Profesor Hans Joachim Sander sangat benci pada John Hick. Saya terkejut ketika dia mengatakan bahwa teori pluralisme John Hick itu tidak populer. Dan dalam Kristen idenya itu dianggap sudah usang. Pluralisme teologi itu, katanya adalah proyek Amerika.

Bahkan dia terus terang “Liberalisme itu omong kosong”. Ia juga sepakat ketika saya katakan bahwa semua agama sekarang ini sedang dipinggirkan dan bahkan ditindas. Alatnya adalah pluralisme, liberalisme, feminisme dan demokratisasi beragama. Mereka malah mengetahui nama-nama pemikir Islam yang liberal seperti Nasr Hamid dan Arkoun yang mengingkari otentisitas al-Quran.

Dari pertanyaan hadirin di Wienna jelas yang tidak toleran terhadap agama adalah masyarakat Barat sekuler. Tapi anehnya, yang kini dituduh eksklusif adalah orang-orang beragama. Cara pandang mereka masih dipengaruhi alam pikiran abad ke 16 dan 17, dimana sekte-sekte agama di Eropa waktu itu sering konflik. Sekte-sekte, atau agama-agama itu punya tuhannya sendiri-sendiri (teori geosentris) dan saling menyalahkan. Konflik pun bermuara pada pembunuhan.

Andrew Sullivan di The New York Times Magazine menggambarkan bahwa gara-gara perang salib, inquisisi dan perang agama Eropa abad 16 dan 17 berlumuran darah. Bahkan lebih banyak dibanding di dunia Islam. Tapi anehnya situasi itu dianggap terus terjadi hingga sekarang.

Yang jadi sample adalah peristiwa 11/9 yang sejatinya penuh mis
teri itu. Padahal konflik agama selama ini, jikapun ada, tidak sebesar konflik politik. Tidak sebesar perang teluk dan invasi AS ke Irak dan Afghanistan. Jumlah yang mati sia-sia pun lebih banyak konflik politik.

Untuk memojokkan agama Jack Nelson-Pallmeyer melacak kandungan al-Quran dan Bible. Ia lalu menulis buku berjudul “Is Religion Killing Us? Evidence in the Bible and the Quran”. Kesimpulannya menurutnya bahwa kedua kitab ini memerintahkan pembunuhan.

Padahal konflik antar agama itu sebenarnya bukan karena agama itu. Konflik yang sebenarnya justru antara agama karena dibenturkan dengan sekularisme. Peter Berger terus terang, sekularisme gagal dan diganti dengan pluralisme. Sikap eksklusif itu diganti menjadi sikap inklusif dan pluralis.

Secara teologis agama yang banyak itu, oleh John Hick, diteorikan menjadi bertuhan sama. Teologi agama-agama itu diperkirakan nantinya akan bersatu. Itulah teori global theology John Hick. Anehnya teori yang bermasalah ini ada pengikutnya, termasuk di Indonesia.

Setahun sebelumnya ketika saya berkunjung kembali ke Inggeris saya benar-benar melihat praktek pluralism. Di Leed, saya melewati sebuah gereja. Di depan gereja itu tertulis, “All race, all nation, all religion but one god”. Saya lalu segera menyimpulkan ini pasti penganut paham global theology. Dalam perjalanan saya dari Leed ke London saya kebetulan duduk berdampingan dengan seorang pendeta berkulit hitam. Saya lalu bertanya tentang tulisan gereja di Leed itu. Ternyata bagi dia itu benar “Nothing wrong with religious pluralism” katanya.

Ketika saya berkunjung ke Centre of Islam-Christian Relation, di Selly Oak College, Birmingham, disitu terpasang gambar Jesus tapi kepalanya seperti gambar dewa Wishnu dalam agama Hindu. Itu adalah wujud nyata dari pluralisme yang berupaya mencari kesamaan Tuhan agama-agama. Masalahnya, jika agama-agama itu memilik Tuhan yang sama, apalagi yang harus ditolerir.
MENJALIN KERUKUNAN, MENJAMIN KEYAKINAN
Oleh: Adian Husaini

“Menjalin kerukunan, menjamin keyakinan.” Itulah judul makalah yang saya sampaikan
dalam acara dialog lintas agama dan Sosialisasi Peraturan-Peraturan Kerukunan Umat Beragama, yang diselenggarakan oleh Kementerian Agama Wilayah DKI Jakarta, Senin, 18/4/2011, di Cipayung Bogor.

Kepada para peserta, saya menekankan, bahwa meskipun terjadi sejumlah kasus dalam soal hubungan antar-umat beragama, dan juga internal umat beragama, sebenarnya secara umum, wajah kerukunan umat beragama di Indonesia tetaplah “cantik.” Kasus-kasus yang terjadi adalah ibarat “jerawat” di wajah yang cantik, yang perlu diselesaikan dengan baik; tetapi jangan sampai jerawat-jerawat it uterus-menerus dipelototi dan diekspose, untuk menutupi “wajah cantik” secara keseluruhan. Cara pandang semacam ini jelas tidak proporsional.

Sebagaimana pernah kita ungkapkan dalam CAP sebelumnya, pengungkapan kasus-kasus konflik antar umat beragama yang berlebih-lebihan, bukannya akan menyelesaikan masalah, tetapi justru memperparah kondisi. Film “?” karya Hanung Bramantyo yang diawali dengan penusukan seorang pastor di depan Gereja Katolik, seperti menggiring penonton untuk berimajinasi, kasus itu merupakan visualisasi kasus penusukan pendeta di Ciketing, Bekasi, beberapa waktu lalu. Adegan itu tentu saja berlebihan, meskipun tidak menyebutkan dengan jelas siapa pelakunya, sebab adegan itu dimunculkan bukan dalam “ruang yang kosong”.

Logikanya, umat beragama tentu menginginkan hidup rukun dan damai. Tetapi, harus diakui, dalam kehidupan antar manusia, potensi-potensi konflik itu pasti selalu ada. Dalam kehidupan suami-istri yang seagama saja, banyak potensi terjadinya konflik. Hidup manusia tidak ada yang sepi dari konflik. Manusia bukan Malaikat. Apalagi dalam hubungan antar-agama, dimana masing-masing memiliki keyakinan yang berbeda.

Konflik yang lebih keras juga sering terjadi dalam kehidupan internal umat beragama. Di kalangan umat Islam, ada kelompok yang mengkafirkan orang lain yang berada di luar kelompoknya. Dalam beberapa hari terakhir, ada beberapa orang yang bertanya kepada saya tentang kelompok NII (Negara Islam Indonesia). Seorang Ibu bercerita, seorang temannya mengajaknya untuk “bersyahadat ulang”, karena syahadat yang sudah dilafalkannya sehari-hari, dianggap belum sah. Si Ibu masih diharuskan melafalkan syahadat di depan seorang imam.

Ajaran seperti ini mengingatkan saya pada suatu kisah di tahun 1980-an, saat masih kuliah di IPB. Suatu ketika, teman serumah, membawa seorang Ustad ke rumah kos. Sang Ustad menjelaskan, bahwa selama ini syahadat saya tidak sah, karena belum disaksikan. Dia membacakan sejumlah ayat al-Quran tentang persaksian, seperti “Isyhaduu bi-anna muslimuun.”

Saya tanya, ayat mana yang menunjukkan bahwa “syahadat ulang di depan imam itu hukumnya wajib?” Sedangkan beberapa ayat al-Quran yang secara tegas berbentuk perintah (fi’il amar) dari Allah, jatuhnya justru mubah; bukan wajib. Misalnya, ayat “faidzaa qudhiyatish-shalaatu fan-tashiruu fil-ardhi”; (“jika setelah ditunaikan shalat Jumat, maka bertebaranlah kamu di muka bumi”).

Saya katakan pada Sang Ustad, jika perintah yang jelas saja, bisa jatuh mubah hukumnya, bagaimana dengan status hukum suatu tindakan yang tidak jelas-jelas diperintahkan dalam al-Quran dan Sunnah, seperti hukum melafalkan “syahadat ulang”? Tampaknya Sang Ustad belum belajar atau tidak mau menggunakan Ilmu Ushul Fiqih dalam menentukan status hukum suatu perbuatan. Metode istinbath Sang Ustad adalah buatan kelompoknya sendiri.

Ujungnya, diskusi itu berakhir tanpa hasil. Sang Ustad pergi berlalu. Sejak itulah, saya semakin yakin, pentingnya kalangan mahasiswa Islam memahami berbagai macam Ulumuddin (Bahasa Arab, Ilmu Tafsir, Ilmu Ushul Fiqih, dan sebagainya), agar tidak mudah menafsir-nafsirkan al-Quran secara sembarangan.

Konflik-konflik internal umat beragama juga terjadi di dalam Kristen, Hindu, Budha, dan sebagainya. Perbedaan dan konflik adalah bagian dari hidup manusia. Karena itu, untuk mewujudkan kerukunan, buk
an berarti harus menghilangkan perbedaan. Termasuk dalam soal klaim kebenaran. Kerukunan justru menjadi indah, tatkala terwujud di tengah-tengah berbagai perbedaan.

Kerukunan umat beragama, baik intern atau antar umat beragama, adalah kondisi ideal yang diinginkan setiap umat beragama. Satu hal yang penting dicatat dalam soal pembangunan kerukunan umat beragama adalah, bahwa upaya mewujudkan kerukunan umat beragama, tidak boleh dilakukan dengan cara mengorbankan keyakinan masing-masing agama. Sebab, agama-agama itu ada berdiri di atas keyakinannya masing-masing. Dalam istilah sekarang: masing-masing agama memiliki truth claim (klaim kebenaran) masing-masing.
Islam memiliki ajaran-ajaran pokok yang berpijak atas dasar syahadat: “Saya bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah dan saya bersaksi bahwa Nabi Muhammad adalah utusan Allah.” Islam mengakui Allah, sebagai satu-satunya Tuhan. Dan Muhammad adalah utusan Allah. Dalam Islam, Nabi Muhammad adalah Nabi terakhir. Beliau (saw) mendapatkan wahyu yang kemudian terhimpun dalam al-Quran.

“Islam adalah bahwasanya engkau bersaksi bahwa sesungguhnya tiada Tuhan selain Allah dan bahwa sesungguhnya Muhammad adalah utusan Allah, engkau menegakkan shalat, menunaikan zakat, melaksanakan shaum Ramadhan, dan menunaikan ibadah haji ke Baitullah -- jika engkau berkemampuan melaksanakannya.” (HR Muslim).
"Sesungguhnya agama yang diridhai oleh Allah adalah Islam." (QS 3:19). "Barangsiapa yang mencari agama selain Islam, maka tidak akan akan diterima dan di akhirat nanti akan termasuk orang-orang yang merugi." (QS 3:85).

Inilah keyakinan Islam. Keyakinan yang khas semacam ini juga ada pada agama lain. Kaum Kristen juga memiliki apa yang mereka juga sebut sebagai “syahadat” (Nicene Creed), yang dirumuskan tahun 325 M: “Kami percaya pada satu Allah, Bapa Yang Mahakuasa, Pencipta segala yang kelihatan maupun yang tidak kelihatan. Dan pada satu Tuhan Yesus Kristus, Putra Allah, Putra Tunggal yang dikandung dari Allah, yang berasal dari hakikat Bapa, Allah dari Allah, terang dari terang, Allah benar dari Allah Benar, dilahirkan tetapi tidak diciptakan, sehakikat dengan Bapa…” (Norman P. Tanner, Konsili-konsili Gereja).

Kaum Kristen yakin bahwa Yesus mati di tiang salib. Yesus adalah salah satu dari “Tiga Oknum” dalam Trinitas. Ini sangat berbeda dengan konsep Islam yang menyatakan bahwa Isa a.s. adalah utusan Allah. Al-Quran menjelaskan: “Dan ingatlah ketika Isa Ibn Maryam berkata, wahai Bani Israil sesungguhnya aku adalah utusan Allah kepada kalian, yang membenarkan apa yang ada padaku, yaitu Taurat, dan menyampaikan kabar gembira akan datangnya seorang Rasul yang bernama Ahmad (Muhammad).” (QS 61:6).

Paus Yohanes Paulus II menyatakan: ” Islam bukanlah agama penyelamatan (Islam is not a religion of redemption). Dalam Islam, kata Paus, tidak ada ruang untuk salib dan kebangkitan Yesus. Yesus memang disebut, tetapi hanya sebagai nabi yang mempersiapkan kedatangan Nabi terakhir. Karena itulah, simpul Paus, bukan hanya dalam teologi, tetapi dalam antropologi, Islam sangat berbeda dengan Kristen. (not only the theology but also the anthropology of Islam is very distant from Christianity). Dan tentang al-Quran, Paus menyebutkan, bahwa siapa pun yang membaca Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru, dan kemudian membaca al-Quran, maka akan menemukan bahwa Kitab ini (al-Quran) mereduksi kedua Kitab itu.” (“Crossing The Threshold of Hope” (New York: Alfred A. Knopf, 1994).
Tahun 2006, Penerbit Media Hindu, menerbitkan buku berjudul Hindu Agama Terbesar di Dunia, yang membuat pernyataan tegas tentang keunggulan agama Hindu (hal.xi-xii):
“Agama Hindu melayani keperluan setiap orang. Ialah satu-satunya yang memiliki keluasan dan kedalaman seperti itu. Agama Hindu mengandung Dewa-dewa, Pura-Pura yang suci, pengetahuan esoteric dari inti kesadaran, yoga dan disiplin meditasi. Ia memiliki kasih yang tulus dan toleransi dan apresiasi yang murni terhadap agama-agama lain. Ia tidak dogmatik dan terbuka untuk diuji….Dan ingat Hindu bukanlah agama missi yang agresif seperti Kristen atau Islam…”

Jadi, klaim
-klaim yang khas pada tiap-tiap agama adalah sesuatu yang wajar, sehingga tidak mungkin dihilangkan. Upaya untuk menghapus truth claim pada tiap agama, untuk membangun satu teologi bersama yang membenarkan semua teologi agama, dikenal sebagai konsep “Teologi Abu-abu” (Pluralisme Agama). Dr. Stevri Lumintang, seorang pendeta Kristen di Malang, dalam bukunya, Theologia Abu-Abu: Tantangan dan Ancaman Racun Pluralisme dalam Teologi Kristen Masa Kini, (Malang: Gandum Mas, 2004), menulis, bahwa Teologi Abu-Abu adalah posisi teologi kaum pluralis ; bahwa teologi ini sedang meracuni, baik agama Kristen, maupun semua agama, dengan cara mencabut dan membuang semua unsur-unsur absolut yang diklaim oleh masing-masing agama.

Ditegaskan dalam buku ini: ‘’Inti Teologi Abu-Abu (Pluralisme) merupakan penyangkalan terhadap intisari atau jatidiri semua agama yang ada. Karena, perjuangan mereka membangun Teologi Abu-Abu atau teologi agama-agama, harus dimulai dari usaha untuk menghancurkan batu sandungan yang menghalangi perwujudan teologi mereka. Batu sandungan utama yang harus mereka hancurkan atau paling tidak yang harus digulingkan ialah klaim kabsolutan dan kefinalitas(an) kebenaran yang ada di masing-masing agama.’’

Demikianlah, kerukunan umat beragama, tidak mungkin dibangun di atas konsep menghapus klaim kebenaran pada tiap-tiap agama. Biarlah keyakinan masing-masing tetap terjamin, sementara kerukunan harus terjalin. Justru itulah hakekat “Bhinneka Tunggal Ika”, berbeda-beda keyakinan tetapi tetap merrupakan satu bangsa. Menghormati keyakinan masing-masing bukan berarti mencampuradukkan atau merusak keyakinan agama-agama.

Justru, kerukunan akan terasa lebih indah dan bermakna, saat kerukunan itu terwujud di atas perbedaan klaim-klaim kebenaran. Klaim terhadap kebenaran pada masing-masing agama perlu dihormati, dan tidak bisa dipaksa untuk dihapuskan. Islam melarang umatnya untuk memaksa orang lain memeluk Islam, sebab telah jelas, mana yang haq dan mana yang bahil.


Kristenisasi dan Islamisasi
Tidak dapat dipungkiri, ada dua isu sentral yang menjadi “wacana panas” dalam soal kerukunan umat beragama di Indonesia, khususnya antara umat Islam dan kaum Kristen. Masalah ini sebaiknya dibicarakan secara fair dan terbuka agar tercapai satu kesepakatan bersama. Tentu sangatlah tidak mudah memecahkan masalah ini. Pada tahun 1969, acara Musyawarah antar Umat Beragama, juga gagal menyepakati satu Piagam Kerukunan tentang masalah penyebaran agama.

Bagi kaum Kristen, misi Kristen dipandang sebagai satu kewajiban asasi. Tokoh Protestan, Dr. AA Yewangoe, menegaskan: “Agama tanpa misi bukanlah agama… Tanpa misi, gereja bukan lagi gereja.” (Suara Pembaruan, 26/12/2005). Dalam buku “Panggilan Kita di Indonesia Dewasa Ini” (1964), tokoh Kristen Indonesia, Dr. W.B. Sidjabat, menulis bab khusus tentang tantangan Islam bagi misi Kristen di Indonesia: “Pekabaran Indjil di Indonesia, kalau demikian, masih akan terus menghadapi “challenge” Islam dinegara gugusan ini… W.B. Sidjabat, Panggilan Kita di Indonesia Dewasa Ini, (Badan Penerbit Kristen, 1964), hal. 133-135.

Dalam ‘Dokumen Keesaan Gereja-Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (DKG-PGI) yang diputuskan dalam Sidang Raya XIV PGI di Wisma Kinasih, 29 November-5 Desember 2004, pada bagian ‘’Bab IV : Bersaksi dan Memberitakan Injil Kepada Segala Makhluk’’, menegaskan: “Gereja Harus Memberitakan Injil Kepada Segala Makhluk”. Disebutkan dalam bagian ini : ‘’Gereja-gereja di Indonesia menegaskan bahwa Injil adalah Berita Kesukaan yang utuh dan menyeluruh, untuk segala makhluk, manusia dan alam lingkungan hidupnya serta keutuhannya : bahwa Injil yang seutuhnya diberitakan kepada manusia yang seutuhnya... ‘’

Misi Katolik. Tahun 1990, induk Gereja Katolik di Indonesia, yaitu KWI (Konferensi Waligereja Indonesia) menerjemahkan dan menerbitkan naskah imbauan apostolik Paus Paulus VI tentang Karya Pewartaan Injil dalam Jaman Modern (Evangelii Nuntiandi), yang disampaikan pada 8 Desember 1975. Di dalam dokumen ini disebutkan:
“Pewartaan pertama juga ditujukan kepada bagian besar umat manus
ia yang memeluk agama-agama bukan Kristen….Agama-agama bukan kristen semuanya penuh dengan “benih-benih Sabda” yang tak terbilang jumlahnya dan dapat merupakan suatu “persiapan bagi Injil” yang benar... Kami mau menunjukkan, lebih-lebih pada zaman sekarang ini, bahwa baik penghormatan maupun penghargaan terhadap agama-agama tadi, demikian pula kompleksnya masalah-masalah yang muncul, bukan sebagai suatu alasan bagi Gereja untuk tidak mewartakan Yesus Kristus kepada orang-orang bukan Kristen. Sebaliknya Gereja berpendapat bahwa orang-orang tadi berhak mengetahui kekayaan misteri Kristus.”

Dalam pidatonya pada 7 Desember 1990, yang diberi judul Redemptoris Missio (Tugas Perutusan Sang Penebus), yang juga diterbitkan KWI tahun 2003, Paus Yohanes Paulus II mengatakan:
“Tugas perutusan Kristus Sang Penebus, yang dipercayakan kepada Gereja, masih sangat jauh dari penyelesaian. Tatkala Masa Seribu Tahun Kedua sesudah kedatangan Kristus hampir berakhir, satu pandangan menyeluruh atas umat manusia memperlihatkan bahwa tugas perutusan ini masih saja di tahap awal, dan bahwa kita harus melibatkan diri kita sendiri dengan sepenuh hati…Kegiatan misioner yang secara khusus ditujukan “kepada para bangsa” (ad gentes) tampak sedang menyurut, dan kecenderungan ini tentu saja tidak sejalan dengan petunjuk-petunjuk Konsili dan dengan pernyataan-pernyataan Magisterium sesudahnya. Kesulitan-kesulitan baik yang datang dari dalam maupun yang datang dari luar, telah memperlemah daya dorong karya misioner Gereja kepada orang-orang non-Kristen, suatu kenyataan yang mestinya membangkitkan kepedulian di antara semua orang yang percaya kepada Kristus. Sebab dalam sejarah Gereja, gerakan misioner selalu sudah merupakan tanda kehidupan, persis sebagaimana juga kemerosotannya merupakan tanda krisis iman.”

Jadi, bagi kaum Kristen, menjalankan misi Kristen adalah satu kewajiban asasi yang menurut mereka wajib ditunaikan. Hal yang senada juga ada pada ajaran dakwah dalam Islam. Umat Islam wajib berdakwah, menyeru muslim dan non-Muslim untuk berpegang kepada kebenaran. (QS 3:104). Nabi Muhammad saw juga sangat aktif dalam berdakwah kepada non-Muslim, mengajak mereka untuk kembali kepada Tauhid, yakni hanya menyembah Allah semata dan tidak menyekutukan Allah dengan yang lain (QS 3:64).

Nabi Muhammad saw pernah berkirim surat kepada Heraclius (Kaisar Romawi), yang isinya: “Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Dari Muhammad Rasul Allah untuk Heraclius Kaisar Romawi yang agung. Keselamatan bagi siapa yang mengikuti petunjuk. Selain itu, sesungguhnya aku mengajak Tuan untuk masuk Islam. Masuklah Tuan ke dalam Islam, maka Tuan akan selamat dan hendaklah Tuan memeluk Islam, maka Allah memberikan pahala bagi Tuan dua kali dan jika Tuan berpaling, maka Tuan akan menanggung dosa orang orang Romawi.”

Jadi,bisa dikatakan, adalah bisa dimengerti jika orang Kristen berusaha melakukan Kristenisasi dan orang Muslim melakukan Islamisasi. Dalam konteks seperti inilah, untuk mewujudkan kerukunan antar umat beragama di Indonesia, maka diperlukan sikap saling memahami dan adanya kesepakatan akan satu tata aturan main atau kode-etik dalam penyebaran agama, agar tidak terjadi benturan yang merusak kerukunan umat beragama. Kesepakatan dan kesepahaman ini membutuhkan dialog yang terus-menerus, sebab masalah penyiaran agama ini merupakan hal yang sensitif.

Kristenisasi, misalnya, bukan hanya sangat sensitif bagi orang Muslim, tetapi juga bagi umat agama lain. Tokoh Hindu India, Mahatma Gandhi, juga dikenal sangat kritis terhadap gerakan misi Kristen di India. Pada bulan April 1931, dia pernah melontarkan komentar soal misi asing di India: “If instead of confining themselves purely to humanitarian work and material service to the poor they limit their activities, as at present, to proselytising by means of medical aid, education, etc. then I would certainly ask them to withdraw. Every nation’s religion is as good as any other’s. Certainly India’s religions are adequate for her people. We need no converting spirituality.” (John C.B. W
ebster, ‘Gandhi and the Christians: Dialogue in the Nationalist Era’, in Harold Coward (ed.), Hindu-Christian Dialogue: Perspectives and Encounters, (New York: Orbis Book, 1989), hal. 80-88).

Jadi,kerukunan umat beragama memang membutuhkan usaha yang serius. Perbedaan antar agama tidak mungkin dihapuskan, sebab agama-agama itu ada memang karena adanya klaim atas kebenaran masing-masing. Kerukunan umat beragama bisa tetap terjalin, dengan tanpa mengorbankan keyakinan masing-masing. Justru, itulah indahnya sebuah kerukunan. Berbeda-beda tetapi tetapi rukun jua. (Depok, 27 Mei 2011).
Biografi 4 Serangkai Imam Madzhab
Penulis: Moenawar Khalil, KH.

Begitu banyak yang Allah SWT anugerahkan dan karuniakan kepada umat Islam di muka bumi ini di antaranya adalah kehadiran sosok dan semangat empat imam mazhab dalam berijtihad dan berdakwah Islam. Dengan segala yang ada dalam diri keempat Imam Madzhab wajah Islam pada zaman mereka tampak seperti layaknya intan karena disinari oleh keilmuwan mereka. Melalui buku ini pembaca dapat mengenal lebih dekat pribadi perjuangan ketegasan serta keilmuwan keempat Imam Mazhab dalam kesehariannya. Di samping itu dibahas pula cara keempat Imam Madzhab dalam mengambil (istimbath) hukum berdasarkan Al-Qur’an dan Hadits. Juga diuraikan bagaimana sejarah tersyiarnya dakwah madzhab keempat Imam tersebut di seluruh dunia.
----------------
Biografi 4 Serangkai Imam Madzhab
Penulis : Moenawar Khalil, KH.
Harga : Rp 90.000,-

Pemesanan silahkan sms/whatsapp ke 087878147997.
Syukran👇
Novel:
MERANTAU KE DELI
Penulis Prof Dr Hamka

Sinopsis:
Poniem seorang perempuan Jawa yang ketika di perantauan harus rela hidup sebagai istri simpanan dari Tuan Tanah di Deli dan Leman seorang pemuda asal Minangkabau yang penuh keyakinan dan optimis di tanah perantauan loyal setia dan percaya kepada sanak familinya. Benih cinta tumbuh. Mereka kemudian menikah dan pergi dari kehidupan perkebunan. Memulai hidup baru dan hidup berumah tangga dengan perbedaan budaya. Kehidupan rumah tangga mereka mengalami goncangan hebat ketika muncul dorongan keluarga besar Leman di kampung agar Leman beristrikan perempuan Minangkabau. Dengan Mariatun gadis asli Minangkabau Leman kemudian menikah lagi. Selain itu kehadiran Suyono laki-laki asal Jawa juga memainkan peran penting dalam kehidupan Leman dan Poniem. Kehidupan rumah tangga mereka tidak lagi sama. Gelombang yang mengguncang rumah tangga mereka semakin besar. Bagaimanakah Leman mempertahankan biduk rumah tangga dengan kedua istrinya dan juga kehadiran Suyono dalam rumah mereka? Berhasilkah Leman?
--------------------

Novel:
MERANTAU KE DELI
Penulis Prof Dr Hamka
Harga Rp. 59.000,-
Pemesanan silahkan sms/whatsapp ke 087878146997.
Syukran...👇
NURANI HOMO
Oleh: Dr. Hamid Fahmy Zarkasyi - Direktur INSISTS

Asal muasal praktek homo (hubungan sejenis) di zaman ini tidak dapat dilepaskan dari gerakan feminism dan kesetaraan gender di Barat. Kelompok yang paling keras memperjuangkan hal ini adalah feminis radikal libertarian dan radikal.

Dalam bukunya The Myth of ….Orgasm Ann Koedt banyak bicara kepuasan seks ini seperti memberi berargumentasi begini: "jika laki-laki berhak memperoleh kepuasan seksualnya sendiri tanpa memperdulikan kepuasan wanita, maka wanita pun berhak memperoleh kepuasan seksualnya tanpa laki-laki". Maka tak pelak lagi sejak 1970 Lesbianisme benar-benar muncul sebagai gerakan perempuan.

Jika kondisi para wanita di Barat demikian, maka tidak aneh jika kemudian laki-laki merespon. Kira-kira para lelaki disana akan sesumbar: "jika para wanita telah dapat memperoleh kepuasan seks mereka sendiri, maka kami pun dapat mendapatkan kepuasan seks kami sendiri". Itu semua merupakan embrio dari praktek dan prilaku homo alias hubungan sejenis alias lesbi dan gay.

Tapi argumen feminis tentang praktek homoseks ini membingungkan dan tidak normal. Para feminis sepakat bahwa ge rak an mereka berdasarkan keyakinan bah wa gender ditentukan oleh konstruk social. Artinya seseorang itu menjadi laki-laki atau perempuan karena masyarakat meng ingin kan demikian. Mengapa laki-laki macho dan masculine sedang perempuan itu feminin adalah karena masyarakat. Itu lah diantara alasannya mengapa gerakan femenisme dan kesetaraan gender men coba merubah masyarakat agar memperlakukan laki-laki dan perempuan setara.

Anehnya, ketika kini mereka membela kaum lesbi, gay, biseksual dan transgender, keyakinan mereka itu berubah. Sese orang menjadi homo itu adalah bawaan sejak lahir dan tidak dapat diubah. Misi yang mereka perjuangkan pun berganti ya itu agar pelaku homo, biseksual dan transgender ini diterima oleh masyarakat. Mengapa harus minta diterima masyara kat jika mereka lahir karena konstruk social.

Di kalangan psikolog di Amerika peru bahan yang terjadi lebih aneh lagi. Jika sebelum ini mereka sepakat bahwa peri kalu homoseks dan lesbi itu dianggap ab normal, maka kini mereka sepakat bahwa perilaku itu diangap normal belaka. Tidak puas dianggap normal kini berkembang menjadi tuntutan agar mereka dibolehkan menikah dengan sesama jenis.

Islam mengajarkan bahwa jenis kela min laki-laki dan perempuan itu dicipta kan demi kelestarian jenis manusia de ngan segala martabat kemanusiaannya (QS. an- Nisa [4]: 1). Perilaku seks yang menyimpang seperti homoseksual, lesbia nisme dan seks diluar pernikahan justru akan memusnahkan jenis makhluq manusia.

Maka jika orang al-Qur'an difahami dengan akal yang cerdas maka LGBT ti dak hanya menjijikkan, tapi bertentang an dengan naluri manusia normal. Me nikah seperti diatur dalam pasal 1 Undang – Undang No. 1 Tahun 1974 adalah "… .ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa".

Jika ada yang masih berdalih "tidak ada larangan khusus dalam al-Qur'an", maka kita perlu faham mengapa Islam mengajarkan agar laki-laki diperlakukan seperti laki-laki dan perempuan seperti perempu an. Nabi saw. melaknat laki-laki yang me nyerupai wanita dan wanita yang menyerupai laki-laki (HR. al-Bukhari). Na bi saw. juga memerintahkan kaum muslim agar me ngeluarkan kaum waria dari rumah-rumah mereka. Dalam riwa yat Abu Daud di ceritakan bahwa Beliau saw. pernah me merintahkan para saha bat mengusir se orang waria dan mengasingkannya ke Baqi'.

Dalam kasus kaum Nabi Luth Allah telah memperingatkan "Sesungguhnya kamu mendatangi lelaki untuk memuas kan nafsu syahwat kamu Dengan meninggalkan perempuan, bahkan kamu ini adalah kaum Yang melampaui batas". (Su rah Al-'Araf : 80 81). Adapun mengenai hukumnya Nabi pun bersabda : Ba rangsiapa yang mendapatinya mela kukan amalan kaum Luth, maka bunuhlah pembuat dan yang kena buat"(Al-Mustad rak ' Ala Sahihain : 4/395 : hadis no : 8049). Sedangkan mereka yang melakukan amalan
musahaqah (lesbian), hukuman yang dikenakan kepada pelakunya adalah dengan dijatuhkan hukuman takzir. (Qanun Jinayah Syar'iyyah : m/s 38)

Berkaitan dengan perilaku homo ini Nabi bersabda "Apabila seorang lelaki men datangi lelaki lain (liwat), maka ke duaduanya adalah berzina"(Sunan Al-Baihaqi Al-Kubra : 8/233 : hadis No : 16810). Selain dianggap berzina para pe laku homoseks ini dimurkai Allah. Nabi SAW bersabda "Empat golongan berada dalam kemur kaan Allah di pagi dan pe tang, iaitu lelaki yang menyerupai perempuan, pe rempuan yang menyerupai lelaki, me re ka yang melakukan setubuh dengan bina tang dan mereka yang melakukan setubuh sesama lelaki (homoseksual)"(Kanz Al-'Ummal : 12/31 : Hadith no : 43982.).

Jadi, lesbi dan homoseks sama dengan zina dan lebih keji. Jika alasannya karena sejak lahir telah ditakdirkan men jadi lesbi dan homoseks, mengapa Allah menganggap ini pelanggaran syariatnya? Jika Allah ridho dengan para pelaku homo dan lesbi, mestinya Allah menurunkan ke hidupan keluarga yang sakinah, mawaddah dan rahmah. Tapi mengapa pula jika cemburu mereka saling membunuh? Me ngapa pula Allah malah mengazab me reka dengan HIV dan penyakit rumit lain nya. Mengapa? Disini nurani homo disoal dan dipersoalkan!!.

----------
Tulisan ini dimuat di Jurnal Islamia-Republika 18 Februari 2016 dan Republika Online 19 Februari 2016.
HOMOSEKSUAL DAN UMAT ISLAM
Oleh: Adian Husaini

Masalah homoseksual dan lesbian di Indonesia kini memasuki babak-babak yang semakin menentukan. Sebagai sebuah negeri Muslim terbesar, Indonesia menjadi ajang pertaruhan penting perguliran kasus ini. Anehnya, hampir tidak ada organisasi yang serius menanggapi masalah ini. Padahal, ibarat penyakit, masalahnya sudah semakin kronis, karena belum mendapatkan terapi serius.
Ahad (26/6), Front Pembela Islam (FPI) memprotes penyelenggaraan Miss Waria Indonesia, di Gedung Sarinah. Namun, protes FPI tidak digubris. Kontes itu tetap jalan. Ini merupakan kontes yang kedua. Pemenang kontes Miss Waria tahun lalu, Meggie Megawatie (bernama asli Totok Sugiarto), berhasil masuk dalam jajaran 10 besar dalam kontes waria se-dunia di Thailand. Menurut Laporan Jawa Pos (25/6/2005), kali ini, Gubernur Sutiyoso menyumbang Rp 100 juta untuk penyelenggaraan kontes waria.
Persoalan homoseks bukanlah persoalan ‘kodrat’ manusia. Tapi, menyangkut masalah orientasi dan praktik seksual sesama jenis. Kodrat bahwa seorang berpotensi sebagai ‘homo’ atau ‘lesbi’ adalah anugerah dan ujian Tuhan. Tetapi, penyaluran seksual sesama jenis merupakan dosa yang dikecam keras dalam ajaran agama. Belum lama ini (8/6/2005), Paus Benediktus XVI menegaskan, bahwa Gereja Katolik melarang pernikahan sesama jenis dan menentang aborsi. Sikap ini disampaikan menjelang referendum di Italia soal reproduksi dan inseminasi buatan. Meskipun banyak pastor yang terjerat skandal hoseksual, Paus tetap bersikap tegas terhadap masalah homoseksual.
Pada 18 Juni lalu, lebih dari 500.000 umat Katolik berkampanye didukung sekitar 20 uskup senior untuk menentang hukum baru di Spanyol yang mengesahkan perkawinan sesama jenis. Meskipun mayoritas Katolik, Spanyol kini merupakan negara kedua yang melegalkan pasangan homoseksual – setelah Belanda dan Belgia. Mayoritas kaum Katolik di Spanyol tampaknya tidak menggubris larangan Paus. Kaum Kristen di Barat pada umumnya, memang sudah lama menghadapi dilema dan masalah berat dalam soal homoseksual. Prinsip sekular-liberal yang diimani sebagai pedoman dan pandangan hidup mereka, telah merelatifkan dan meliberalkan nilai-nilai moral. Maka, praktik homoseksual yang dikutuk oleh Bible dan para tokoh Gereja sejak dulu, kini semakin merajalela.
Di kalangan Yahudi, praktik homoseksual juga semakin menggejala dan menggurita. Tahun lalu, di Israel, dalam satu acara perkumpulan yang digalang oleh kelompok homoseksual/lesbian (Agudah), tokoh Partai Likud pun ikut mendukung agenda kaum homoseks itu. Bat-Sheva Shtauchler, tokoh Likud, menyatakan: "We will support everything. Who said the Likud doesn't cooperate with the community?" Biasanya, Likud termasuk yang menentang keras praktik homoseksual, karena dalam Bible memang disebutkan, pelaku homoseksual harus dihukum mati.
Dalam Kitab Imamat (Leviticus) 20:13, disebutkan: “Bila seorang laki-laki tidur dengan laki-laki secara orang bersetubuh dengan perempuan, jadi keduanya melakukan suatu kekejian, pastilah mereka dihukum mati dan darah mereka tertimpa kepada mereka sendiri.”
Dalam Islam, hingga kini, praktik homoseksual tetap dipandang sebagai tindakan bejat. Di dalam Ensiklopedi Hukum Islam disebutkan bahwa praktik homoseks merupakan satu dosa besar dan sanksinya sangat berat. Rasulullah saw bersabda, “Siapa saja yang menemukan pria pelaku homoseks, maka bunuhlah pelakunya tersebut.” (HR Abu Dawud, at-Tirmizi, an-Nasai, Ibnu Majah, al-Hakim, dan al-Baihaki). Imam Syafii berpendapat, bahwa pelaku homoseksual harus dirajam (dilempari batu sampai mati) tanpa membedakan apakah pelakunya masih bujangan atau sudah menikah.
Untuk pelaku praktik lesbi (wanita dengan wanita), diberikan ganjaran hukuman kurungan dalam rumah sampai mereka menemui ajalnya. (QS 4:15). Para fuqaha membedakan hukuman antara pelaku homoseksual (sesama laki-laki) dengan lesbian (sesama wanita). Pelaku lesbi tidak dihukum mati. Dalam Kitab Fathul Mu’in – kitab fiqih yang dikaji di pesantren-pesantren Indonesia -- dikatakan, bahw
a pelaku lesbi (musaahaqah) diberi sanksi sesuai dengan keputusan penguasa (ta’zir). Bisa jadi, penguasa atau hakim membedakan jenis hukuman antara pelaku lesbi yang ‘terpaksa’ dengan yang profesional. Apalagi, untuk para promotor lesbi. Apapun, hingga kini, praktik homoseksual dan lesbian tetap dipandang sebagai praktik kejahatan kriminal, dan tidak patut dipromosikan apalagi dilegalkan.

Ajaib
Menyimak posisi ajaran Islam dan Kristen yang tegas terhadap masalah homoseksual, harusnya berbagai pihak tidak memberi kesempatan untuk mempromosikanya. Karena itu, adalah ajaib, jika saat ini, begitu banyak media massa yang membuat opini seolah-olah homoseksual adalah suatu ‘tindakan mulia’ (amal salih) yang perlu diterima oleh masyarakat. Promosi dan kampanye besar-besaran legalisasi homoseksual ini berusaha menggiring opini masyarakat untuk menerima praktik homoseksual.
Pada Hari Senin, 13 Juni 2005, pukul 08.30 WIB, dalam acara Good Morning, Trans TV melakukan kampanye legalisasi perkawinan sesama jenis. Ketika itu ditampilkan sosok wanita lesbi bernama Agustin, yang mengaku sudah 13 tahun hidup bersama pasangannya – yang juga seorang wanita. Agustin, yang mengaku menyukai sesama wanita sejak umur 12 tahun, ditampilkan sebagai sosok yang “tertindas”, diusir oleh keluarganya, pindah dari satu pekerjaan ke pekerjaan lain, gara-gara dirinya seorang lesbi. Kini ia bekerja di LSM Koalisi Perempuan Indonesia.
Ketika ditanya, mengapa dia berani membuka dirinya, sebagai seorang lesbi, Agustin menyatakan, bahwa dia sudah capek berbohong. Dia ingin jujur dan mengimbau masyarakat bisa memahami dan menerimanya. Praktik hubungan seksual dan perkawinan sesama jenis, katanya, adalah sesuatu yang baik. Seorang psikolog yang juga seorang wanita (tidak dijelaskan apakah dia lesbi atau tidak) juga menjelaskan bahwa homoseksual dan lesbian bukan praktik yang abnormal, tetapi merupakan orientasi dan praktik seksual yang normal.
Acara Trans TV itu tentu saja perlu diberi perhatian serius oleh kaum Muslimin. Sebab, ini merupakan kampanye dan promosi perkawinan sesama jenis yang bersifat massal dan terbuka. Selama ini, banyak TV yang menayangkan acara – baik sinetron, komedi, film – yang secara terselubung berisi kampanye dukungan buat kaum homo. Hanya saja, biasanya tidak sampai kepada bentuk dukungan terhadap perkawinan sesama jenis.
Kasus leluasanya kampanye besar-besaran legalisasi homoseksual dan dukungan (pendiaman) terhadap kontes Miss Waria bisa dilihat sebagai satu gejala ‘mulai lumpuhnya’ peran ‘nahi-munkar’ organisasi dan tokoh-tokoh Islam di Indonesia. Mungkin banyak tokoh sedang sibuk ngurus ‘yang lain’, atau sedang mengalami “kegagapan” menghadapi arus globalisasi dan hegemoni media televisi yang saat ini menjadi “penguasa moral” dan penentu nilai-nilai moral baru di tengah masyarakat. Salah satu dampak globalisasi adalah lahirnya sikap “ketidakberdayaan” (powerless) yang gagap dan gamang dalam menyikapi kedigdayaan media informasi seperti TV. Penjungkirbalikan nilai-nilai ‘haq’ dan ‘bathil’ merupakan masalah paling serius yang dihadapi kaum Muslim saat ini. Harusnya, organisasi Islam besar – NU, Muhammadiyah, MUI, Al-Irsyad, DDII, PKS, PPP, dan sebagainya – memahami, bahwa masalah pencegahan kemunkaran dalam bentuk perzinahan atau homoseksual adalah persoalan besar dan serius, yang tidak kalah seriusnya dibandingkan masalah korupsi uang. Para tokoh organisasi itu pasti paham, beratnya sanksi perzinahan dalam Islam. Urusan menghentikan kemunkaran bukanlah hanya tugas FPI atau KISDI semata. Kita berharap, kemenangan partai Islam di wilayah terentu berbanding lurus dengan pengurangan tindakan kemunkaran di wilayah itu. Jangan sampai politiknya menang, tapi kemunkaran malah berkembang, yang mendekatkan masyarakat pada turunnya azab Allah SWT.
Mengikuti jejak kalangan Kristen, di kalangan Islam, bahkan di lingkungan pendidikan tinggi Islam, juga sudah muncul suara yang mendukung perkawinan sejenis. Tahun 2004, “Jurnal Justisia” terbitan Fakultas Syariah IAIN W
alisongo Semarang, menulis “cover story” dengan judul “Indahnya Kawin Sesama Jenis”. Dikatakan di Jurnal ini, bahwa “Hanya orang primitif saja yang yang melihat perkwinan sejenis sebagai sesuatu yang abnormal dan berbahaya.”
Kini, dalam soal homoseksual, manusia seperti memutar jarum sejarah: menganggap enteng, memberikan legitimasi, dan ujungnya adalah azab Allah. Dan Rasulullah saw mengingatkan: “Tidaklah (sebagian) dari suatu kaum yang berbuat maksiat, dan di kalangan mereka ada orang yang mampu mencegahnya atas mereka, lalu dia tidak berbuat, melainkan hampir-hampir Allah meratakan dengan azab dari sisi-Nya.” (HR Abu Dawud, at-Turmudzi, dan Ibnu Majah). (Depok, 28 Juni 2005)