MUSTANIR ONLINE
3.2K subscribers
865 photos
163 videos
56 files
900 links
Sharing audio, tulisan karya Dr Adian Husaini, Dr Hamid Fahmy Zarkasyi serta pemikir muslim kontemporer lainnya.
Download Telegram
Update Donasi Pembangunan Pondok Pesantren At-Taqwa, Depok.
Rabu, 10 Mei 2017

Terkumpul:
Rp. 4.355.124,- dari target Rp. 150.000.000,-.
--------------------------------------------------
Link Donasi:
https://m.kitabisa.com/quranic
KEBEBASAN: MUSLIM ATAU LIBERAL!
Oleh: Dr. Adian Husaini

Amerika Serikat adalah contoh negara sekular yang baik dan mempunyai kedudukan yang khusus di dunia dengan menawarkan kesempatan dan harapan bagi umat manusia untuk mengembangkan agama-agama.

Begitulah pernyataan seorang pegiat paham Kebebasan Beragama di Indonesia dalam pengantar buku berjudul Membela Kebebasan Beragama: Percakapan tentang Sekularisme, Liberalisme, dan Pluralisme, (Jakarta: LSAF dan Paramadina, 2010). Lebih jauh, aktivis yang juga pendiri Nurcholish Madjid Society ini, menyebutkan: Jadi, contoh di Amerika Serikat sekularisme menghasilkan suatu perkembangan agama yang pesat sekali.

Buku yang mempromosikan kebebasan beragama di Indonesia ini merekam pembicaraan puluhan tokoh tentang paham sekularisme, pluralisme dan liberalisme. Beberapa diantara mereka seperti Abdurrahma Wahid, M. Dawam Rahardjo, Musdah Mulia tercatat sebagai penggugat UU No. 1/PNPS/1965 ke Mahkamah Konstitusi. Sejumlah pemikir di sini juga secara terbuka mendukung paham sekularisme, pluralisme, dan liberalisme untuk dikembangkan di Indonesia.

Bagi mereka, ketiga paham itu wajib dikembangkan di Indonesia dan menjadi prasyarat mutlak tegaknya demokrasi di Indonesia. Demokrasi tidak akan mampu berdiri tegak tanpa disangga dengan sekularisme, termasuk pluralisme dan liberalisme. Bahkan khusus sekularisme yaitu pemisahan secara relatif agama dan negara adalah salah satu faktor terpenting dalam membangun demokrasi dan civil society yang kuat, tulis si aktivis liberal tersebut. Katanya lagi, Liberalismelah yang dapat menjaga dan mempertahankan kesehatan dan keseimbangan agama, karena berpikir liberal, rasional dan kritis merupakan sesuatu yang tidak dapat dinafikan bagi cita-cita dan kemajuan.

Menurut dia, kebebasan beragama itu hanya bisa tumbuh dan berkembang dengan baik jika ide sekularisme, liberalisme, dan pluralisme itu berkembang dengan baik juga di Indonesia. Kalau sekularismenya itu berjalan dengan buruk, misalnya negara terlalu ikut campur dalam urusan agama dan ikut terlibat dalam menilai suatu agama itu sesat atau menyimpang, dan atau melakukan suatu kasus diskriminasi agama, pada saat itulah sebenarnya negara tidak melindungi kebebasan beragama warga negaranya. Karena itu negara harusnya netral agama, seru aktivis liberal, penulis Ensiklopedi Nurcholish Madjid ini.

Dalam pandangan kaum liberal, negara netral agama adalah negara yang tidak memihak atau melebihkan satu agama atas agama lain. Negara juga tidak boleh memihak satu aliran agama tertentu. Dalam kamus negara sekular, tidak dikenal istilah mukmin, kafir, sesat, halal atau haram, mayoritas atau minoritas. Semua warga negara dipandang sama, apapun paham dan aliran agamanya.

Karena ketakjuban dan keimanan yang sangat kuat terhadap trilogi sekularisme, pluralisme, liberalisme yang kini populer di kalangan kaum Muslim dengan istilah sipilis -- maka sang aktivis liberal ini lalu menyuarakan kebenciannya terhadap Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang pada 2005 menfatwakan paham sipilis sebagai barang haram. Kata sang aktivis liberal: Fatwa MUI ini tampak eksklusif, tidak pluralis, bahkan cenderung diskriminatif.

Menurutnya, salah satu yang memicu masalah kebebasan beragama di Indonesia yang kuat belakangan ini adalah adanya fatwa MUI tentang pengharaman sekularisme, liberalisme, dan pluralisme. Sampai hari ini ide sekularisme, liberalisme dan pluralisme telah menjadi suatu ide yang menakutkan bagi sebagian kalangan masyarakat Indonesia terutama pasca keluarnya fatwa MUI, kata pegiat paham sipilis ini.

*

Alkisah, pada 25 November 2007, Lia Eden, pendiri agama Salamullah, mengirimkan surat kepada Ketua Mahkamah Agung Prof. Bagir Manan. Surat itu berkop: GODS KINGDOM: TAHTA SUCI KERAJAAN TUHAN, EDEN. Lia murka kepada Mahkamah Agung RI yang menetapkan pengukuhan penahanan terhadap Muhammad Abdul Rahman. Dengan menggunakan nama Jibril Ruhul Kudus Lia membubuhkan tanda tangannya: LE2. Ia menulis dalam surat yang juga ditembuskan ke sejumlah Ormas Islam: Atas nama Tuhan Yang Maha Kuat.
Aku Malaikat Jibril adalah hakim Allah di Mahkamah Agungnya... Akulah Malaikat Jibril sendiri yang akan mencabut nyawamu. Atas Penunjukan Tuhan, kekuatan Kerajaan Tuhan dan kewenangan Mahkamah Agung Tuhan berada di tanganku.

Mungkin, hanya di Indonesia saja Malaikat Jibril punya tanda tangan dan berprofesi mencabut nyawa manusia. Dalam suratnya tahun 2007 tersebut, Lia sudah secara tegas menyatakan sebagai Malaikat Jibril. Tahun 2003, ia masih mengaku berkasih-kasihan dengan Malaikat Jibril. Dalam bukunya, Ruhul Kudus (2003), sub judul Seks di Sorga, diceritakan kisah pacaran dan perkawinan antara Jibril dengan Lia Eden: Lia kini telah mengubah namanya atas seizin Tuhannya, yaitu Lia Eden. Berkah atas namanya yang baru itu. Karena dialah simbol kebahagiaan surga Eden. Berkasih-kasihan dengan Malaikat Jibril secara nyata di hadapan semua orang. Semua orang akan melihat wajahnya yang merona karena rayuanku padanya. Aku membuatkannya lagu cinta dan puisi yang menawan. Surga suami istri pun dinikmatinya.

Orang Muslim yang masih normal tidak mengidap paham sipilis -- tentu akan menyatakan bahwa paham seperti itu sesat dan tidak baik untuk dikembangkan di tengah masyarakat. Paham ini adalah satu bentuk kemunkaran. Kata Nabi Muhammad saw: Barangsiapa diantara kamu yang melihat kemunkaran, maka ubah dengan tangannya. Jika tidak mampu, ubah dengan lisan. Jika tidak mampu, dengan hati. Dan itulah selemah-lemah iman.

Dalam pandangan Islam, kesesatan yang disebarluaskan adalah satu bentuk kemunkaran. Maka, ulama wajib bertindak tegas. Ketika MUI ditanya, apakah aliran seperti Lia Eden ini sesat, maka MUI dengan tegas menyatakan, bahwa ajaran Salamullah yang dibikin Lia Eden adalah ajaran sesat. Tapi, gara-gara menjalankan tugas kenabian, mengeluarkan fatwa sesat terhadap kelompok Lia Eden, Ahmadiyah, dan sejenisnya, MUI dihujani cacian. Ada yang bilang, MUI tolol. Sebuah jurnal keagamaan yang terbit di Semarang menurunkan laporan utama: Majelis Ulama Indonesia Bukan Wakil Tuhan. Ada praktisi hukum angkat bicara di sini, MUI bisa dijerat KUHP Provokator. Sejumlah kelompok juga datang ke Komnas HAM menuntut pembubaran MUI.

Bagi kaum liberal, tidak ada kamus sesat atau benar. Yang penting kebebasan! Padahal, setiap hari seorang Muslim diwajibkan berdoa agar ditunjukkan jalan yang lurus dan dijauhkan dari jalan orang yang sesat dan dimurkai Allah. Jadi, memang ada jalan yang benar dan ada jalan yang sesat. Tidak mungkin semuanya benar atau semuanya sesat. Juga, tidak mungkin, semuanya pemikiran dan tindakan dibolehkan.

Tahun 2007, seorang tokoh Ahmadiyah di Indonesia menerbitkan buku dengan judul Syarif Ahmad Saitama Lubis, Dari Ahmadiyah untuk Bangsa (2007). Dijelaskannya kepercayaan kaum Ahmadi, yaitu: Imam Mahdi dan Isa yang Dijanjikan adalah seorang nabi yang merupakan seorang nabi pengikut atau nabi ikutan dengan ketaatannya kepada YM. Rasulullah Saw. yang akan datang dan akan merubah masa kegelapan ini menjadi masa yang terang benderang. Dan apabila Imam Mahdi itu sudah datang, maka diperintahkanlah umat Islam untuk menjumpainya, walaupun harus merangkak di atas gunung salju. (hal. 69).

Pada tahun 1989, Yayasan Wisma Damai sebuah penerbit buku Ahmadiyah menerjemahkan buku berjudul Dawatul Amir: Surat Kepada Kebenaran, karya Hazrat Mirza Bashiruddin Mahmud Ahmad, khalifah Khalifah Masih II/Imam Jemaat Ahmadiyah (1914-1965). Buku ini aslinya dalam bahasa Urdu. Tahun 1961, terbit edisi Inggrisnya dengan judul Invitation to Ahmadiyyat.

Buku ini menegaskan: Kami dengan bersungguh-sungguh mengatakan bahwa orang tidak dapat menjumpai Allah Taala di luar Ahmadiyah. (hal. 377). Umat Islam dipaksa untuk beriman bahwa Mirza Ghulam Ahmad adalah nabi dan Masih al-Mauud. Lalu, umat Islam diberi ultimatum: Jadi, sesudah Masih Mauud turun, orang yang tidak beriman kepada beliau akan berada di luar pengayoman Allah Taala. Barangsiapa yang menjadi penghalang di jalan Masih Mauud a.s, ia sebenarnya musuh Islam dan ia tidak menginginkan adanya Islam. (hal. 374).

Sementara itu, bagi umat Islam, posisi kenabian Muha
mmad saw sebagai Nabi terakhir adalah ajaran final. Sepeninggal beliau saw, sudah tidak ada lagi Nabi, meskipun banyak sekali yang mengaku sebagai nabi. Dalam kaputusan tahun 1937, Majelis Tarjih Muhammadiyah mengutip hadits Rasulullah saw, Di antara umatku akan ada pendusta-pendusta, semua mengaku dirinya nabi, padahal aku ini penutup sekalian nabi. (HR Ibn Mardawaihi, dari Tsauban).

Tentu, bagi penganut paham sipilis tidak ada bedanya antara mukmin dan kafir. Tidak ada beda antara tauhid dan syirik. Bagi mereka, agama bukan hal penting. Yang penting adalah kebebasan! Negara diminta bersikap netral, tidak memihak antara iman dan kufur. Umat Islam juga diminta menghormati paham-paham yang menyimpang dari ajaran Islam. Semua dianggap sama, sederajat. Yang penting tidak mengganggu orang lain secara fisik. Bagi mereka, iman tidak penting, sebab agama apa pun dianggap sama saja; sebagai jalan yang sama-sama sah menuju Tuhan siapa pun dan apa pun Tuhannya.

*

The idea of God negates our freedom, pekik seorang filosof terkenal Jean Paul Sartre. Dengan pengalaman sejarahnya yang kelam saat berinteraksi dengan agama (Kristen), peradaban Barat kemudian memutuskan untuk menolak campur tangan agama dalam kehidupan. Agama diletakkan sebagai soal privat semata. Meskipun, sebenarnya, prinsip ini pun juga tidak mutlak. Di Inggris, Raja Inggris tetap menjabat sebagai Kepala Gereja Anglikan. Di Swiss, umat Islam ditolak untuk membangun menara masjid. Wacana pelarangan cadar di sejumlah negara Eropa juga mencuat. Padahal, kata mereka, ini urusan privat, dan tidak boleh dicampuri negara.

Paham Kebebasan (liberty/freedom) secara resmi digulirkan oleh kelompok Free Mason yang mulai berdiri di Inggris tahun 1717. Kelompok ini kemudian berkembang pesat di AS mulai tahun 1733 dan berhasil menggulirkan revolusi tahun 1776. Patung liberty menjadi simbol kebebasan. Prinsip freedom dijunjung tinggi. Tahun 1789, gerakan kebebasan berhasil menggerakkan Revolusi Perancis juga dengan mengusung jargon liberty, egality, fraternity. Pada awal abad ke-20, gerakan kebebasan ini menyerbu Turki Utsmani.

Karena trauma terhadap dominasi agama dalam kehidupan, orang-orang Barat, meskipun beragama Kristen, enggan menjadikan hukum-hukum agama sebagai pedoman hidup mereka. Para pengagum dan penjiplak konsep kebebasan ala Barat ini, kemudian ingin menerapkan begitu saja konsep itu ke dalam kehidupan kaum Muslim. Padahal, konsep kebebasan antara Barat dan Islam sangatlah berbeda. Islam memiliki konsep ikhtiyar yakni, memilih yang baik. Umat Islam tidak bebas memilih yang jahat. Sebab, tujuan hidup seorang Muslim adalah menjadi orang yang taqwa kepada Allah.

Sedangkan Barat tidak punya batasan yang pasti untuk menentukan mana yang baik dan mana yang buruk. Semua diserahkan kepada spekulasi akal dan dinamika sosial. Perbedaan yang mendasar ini akan terus menyebabkan terjadinya clash of worldview (benturan pandangan alam) dalam berbagai aspek kehidupan masyarakat. Dua konsep kebabasan yang kontradiktif ini tidak bisa dipertemukan. Sebab, tempat berpijaknya sudah berbeda. Maka seorang harus menentukan, ia memilih konsep yang mana. Ia memilih Islam atau liberal.

Kaum Muslim yang masih memegang teguh aqidahnya, pasti akan marah membaca novel The Stanic Verses-nya Salman Rushdie. Novel ini sungguh biadab; menggambarkan sebuah komplek pelacuran di zaman jahiliyah yang dihuni para pelacur yang diberi nama istri-istri Nabi Muhammad saw. Bagi Islam, ini penghinaan. Bagi kaum liberal, itu kebebasan berekspresi. Bagi Islam, pemretelan ayat-ayat al-Quran dalam Tadzkirah-nya kaum Ahmadiyah, adalah penghinaan, tapi bagi kaum liberal, itu kebebasan beragama. Berbagai ucapan Mirza Ghulam Ahmad juga bisa dikategorikan sebagai penghinaan dan penodaan terhadap Islam. Sebaliknya, bagi kaum liberal, Ahmadiyah adalah bagian dari kebebasan beragama dan berkeyakinan. Bagi Islam, beraksi porno dalam dunia seni adalah tercela dan dosa. Bagi kaum liberal, itu bagian dari seni dan kebebasan berekspresi, yang harus bebas dari campur tangan agama.
Jadi, pilihlah: menja
di Muslim atau Liberal!
(Artikel ini telah dimuat di Jurnal ISLAMIA harian REPUBLIKA, 11 Februari 2010)
BOHONG DI DUNIA
Karya Buya Hamka

Kehidupan di dunia ini tak lepas dari kejujuran, namun tak jauh juga dari kebohongan yang diperbuat manusia. Ya, manusia memang bukanlah makhluk yang sempurna, ia memiliki kekurangan juga kelebihan. Meski begitu, Allah SWT. telah melengkapi manusia dengan akal pikiran sehingga bisa memilih dan memikirkan konsekuensi atas segala perbuatannya. Sama dengan kejujuran dan kebohongan yang dilakukannya, manusia bisa menggunakan akal pikiran untuk memilih melakukan salah satunya serta memikirkan dampak yang diterima.

Di buku Bohong di Dunia inilah, Prof. Dr. Hamka berusaha men-syi’ar-kan pengetahuannya yang bersumber dari al-Qur’an dan Hadits seputar kebohongan yang dilakukan manusia. Buya Hamka, seorang penulis sekaligus Ulama yang cerdas juga mengupas pembahasannya tidak hanya dari perspektif Islam, tapi juga dari sudut pandang lain. Buya Hamka juga mengulas pembahasannya dari sudut pandang ahli ilmu kejiwaan, seperti Aristoteles, J.J. Rousseau, Stanley Hall, dan lainnya.

Dari buku yang dikemas ringkas ini, pembaca akan mengetahui apa definisi bohong dan bagaimana bentuknya, bagaimana agama Yahudi, Nasrani, dan Islam memandang dan mengatur soal kebohongan, bentuk kebohongan yang seperti apa yang diperbolehkan, dan sebagainya. Tentunya, buku ini juga diselingi dengan kutipan ayat al-Qur’an serta kutipan Hadits yang berkenaan dengan pembahasannya.

Dalam buku Bohong di Dunia ini, Buya Hamka menjelaskan bahwa kebohongan yang dilakukan manusia merupakan cerminan jiwa yang terkekang. Begitu sebaliknya dengan lawan dari kebohongan, yaitu kejujuran/terus terang. Orang yang berani berkata terus terang adalah orang yang mendidik jiwanya untuk merdeka. Ya, orang yang berani terus terang berarti dia tidak takut pada siapapun di hadapan manusia dalam menjalani hidup.

Selain itu, Buya Hamka juga memaparkan tentang kejujuran dalam bersenda gurau/bercanda dengan orang lain. Ternyata, dalam bercanda pun kita harus jujur, tapi jangan sampai menyinggung perasaan orang lain. Ya, seperti yang pernah dilakukan Rasulullah saw.. Beliau pernah mengatakan kepada seorang perempuan tua bahwa perempuan tua tidak dapat masuk surga! Lalu perempuan tua itu bersedih hati. Kemudian Rasulullah saw. menyambung kelakarnya lagi dan mengatakan bahwa di dalam surga, perempuan yang sudah tua akan dimudakan lagi oleh Allah SWT. hingga layak menjadi isi jannah-Nya. Lalu, perempuan tua itu pun merasa terhibur dengan senda gurau yang dilakukan Rasulullah saw. ketika itu.

Lalu, bagaimana agama Yahudi, Nasrani, dan Islam memandang dan mengatur soal kebohongan? Bagaimana Islam mengatur kebohongan yang diperbolehkan? Seperti apa sudut pandang ahli ilmu kejiwaan tentang kebohongan? Selengkapnya bisa Anda temukan dalam buku Bohong di Dunia, salah satu karya Prof. Dr. Hamka yang menjadi fenomenal. Tentunya, juga sangat bermanfaat untuk diselami dan diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari.
----------------------------
BOHONG DI DUNIA
Karya Buya Hamka
Harga 45rb.

Pemesanan silahkan sma/whatsapp ke 087878147997.
Syukran...
HARGA NYAWA MANUSIA DALAM TRADISI KOLONIALISME
Oleh: Dr. Adian Husaini

Bartolome de Las Casas (1474-1567), seorang pastor Ordo Dominican, menceritakan perilaku penjajah Kristen Spanyol terhadap penduduk asli Amerika, saat mereka menjajah wilayah itu. Kata de Las Casas, mereka membantai dengan sangat sadis siapa saja yang ditemui, tanpa peduli apakah penduduk itu wanita hamil, anak-anak atau orang tua. Para penjajah itu juga membuat aturan, jika ada seorang penjajah Kristen terbunuh, maka sebagai balasannya, 100 orang Indian juga harus dibunuh. (The Christians, with their horses and swords and lances, began to slaughter and practice strange cruelties among them. They penetrated into the country and spared neither children nor the aged, nor pregnant women, nor those in childbirth, all of whom they ran through the body and lacerated, as though they were assaulting so many lambs herded into the sheepfold and because sometimes, though rarely, the Indians killed a few Christians for just cause, they made a law among themselves that for one Christian whom the Indians might kill, the Christians should kill a hundred Indians). (Lihat, Philip J. Adler, World Civilization, hal 311).

Betapa mahalnya, harga nyawa seorang Kristen dibandingkan dengan harga nyawa orang Indian. Satu nyawa orang Kristen, harus dibalas dengan 100 nyawa orang Indian. Tetapi, hal itu bukan hanya terjadi pada nyawa orang Indian. Nyawa orang-orang Aborigin, penduduk asli Australia, dan juga orang-orang Afrika juga diperlakukan sama. Murah harganya dimata para penjajah. Sejarah perdagangan budak-budak Afrika sangat mengenaskan. Dalam lintasan sejarah Afrika, tidak ada yang lebih kontroversial selain kasus perdagangan budak trans-atlantik dari Afrika ke Barat. J.D. Fage, dalam bukunya, A History of Africa (1988), menyebutkan, bahwa dalam tempo 220 tahun (1650-1870), sekitar 10 juta manusia, diekspor sebagai budak dari Afrika ke Dunia Baru.

Bagaimana sekarang? Apakah logika kaum kolonial Kristen Spanyol itu masih diterapkan di muka bumi? Pada 8 September 2004, Kantor Berita Associated Press (AP) mengumumkan bahwa jumlah tentara AS yang mati di Iraq sudah mencapai 1.003 orang, sejak Perang itu dilancarkan Maret tahun 2003. Jumlah itu sudah termasuk 3 warga sipil AS yang bekerja untuk tentara AS. Segera setelah itu, Menteri Pertahanan AS, Donald H. Rumsfeld mengingatkan, agar musuh-musuh AS tidak underestimate terhadap kemauan bangsa AS dan sekutu-sekutunya untuk menimbulkan penderitaan di Iraq atau di mana saja. Ia memperingatkan, bahwa musuh-musuh AS terlalu memandang rendah bangsa AS dan sekutu-sekutunya. Kata Rumsfeld: "The progress has prompted a backlash, in effect, from those who hope that at some point we might conclude that the pain and the cost of this fight isn't worth it. Well, our enemies have underestimated our country, our coalition. They have failed to understand the character of our people.

Pemerintahan Bush, menurut AP, telah lama mengkaitkan konflik di Iraq dengan peperangan melawan terorisme. Padahal, Komisi penyelidik peristiwa 11 September 2001, telah menyimpulkan, bahwa antara Iraq dan al-Qaeda tidak mempunyai hubungan kolaboratif sebelum 11 September 2001. Apapun, setelah itu, tentara-tentara AS di Iraq terus melakukan serbuan-serbuan dan pembunuhan-pembunuhan terhadap rakyat Iraq. Dan pada 9 September 2004, AP melaporkan, bahwa jumlah penduduk Iraq yang mati diperkirakan antara 10.000-30.000 orang, sejak invasi AS ke Iraq tahun lalu.

Inilah yang barangkali dikatakan Rumsfeld, musuh-musuh AS gagal memahami bangsa AS, bahwa jika satu nyawa orang AS mati, maka harus dibalas dengan tebusan berpuluh kali lipat. Tidak berbeda filosofinya dengan apa yang dilakukan penjajah Kristen Spanyol terhadap kaum Indian dulu. Pesan Rumsfeld sangat jelas, jangan coba-coba melawan kehendak dan titah negara adikuasa itu.

Cara berpikir serupa bisa disimak dalam kasus pembunuhan terhadap rakyat Palestina, dimana AS masih terus memperlakukan Israel anak emasnya. Sejak meletusnya intifadah ke-2, pada 28 September 2000, jumlah warga Palestin
a yang terkorban sudah mencapai 3250 orang. Sementara jumlah kaum Yahudi yang mati sekitar 800 orang. Jika berlaku aksi serangan terhadap warga Yahudi, maka Israel akan melakukan serangan balasan yang membunuh berkali-kali lipat jumlah warga Yahudi yang terbunuh. Sebuah pola pikir yang juga sama dengan yang digunakan penjajah Kristen Spanyol terhadap kaum Indian. Kasus Iraq, yang diawali invasi AS pada Maret 2003 sudah berlangsung hampir dua tahun. Pada 11 September 2004 ini, peristiwa WTC juga sudah memasuki tahun ketiga. Pada kasus WTC, logika kolonial juga diberlakukan. Untuk nyawa sekitar 2.700 orang AS, maka harus ditebus dengan puluhan ribu nyawa orang Afghanistan dan Iraq. Koran Tempo (12 November 2001), menurunkan berita berjudul Noam Chomsky: Lebih Jahat dari Serangan Teroris. Profesor linguistik di MIT itu menyimpukan: Pengeboman Afghanistan adalah kejahatan yang lebih besar dari pada teror 11 September.

Dalam Perang Vietnam, logika kolonial Kristen Spanyol juga diterapkan. Jeremy Isaacs dan Taylor Downing, dalam buku Cold War menceritakan, menyusul terbunuhnya beberapa tentara AS di Vietnam pada 7 Februari 1965, Presiden AS segera memerintahkan aksi serangan balasan yang sangat dahsyat. Senjata kimia dan pemusnah massal yang luar biasa ganasnya terhadap manusia dan alam digunakan untuk mengalahkan musuh. Dalam upaya untuk memaksa Vietnam Utara duduk di meja perundingan, AS menggunakan bahan peledak berkekuatan tinggi, bom napalm, dan cluster bombs. AS juga menjatuhkan 18 juta gallon herbisida yang menghancurkan hutan tropis dan area persawahan. Tak hanya itu, senjata kimia yang sangat beracun, bernama Agent Orange, pun digunakan. Tanpa peduli, kota-kota dan hutan dihancurkan untuk meraih kemenangan. Tentang hal ini, seorang pejabat AS menyatakan: We had to destroy the town in order to save it. (Kita harus menghancurkan kota ini untuk menyelamatkannya).

Masalah Perang Vietnam juga menyaksikan satu tragedi dalam sejarah AS, yaitu terbunuhnya Presiden John F. Kennedy pada 22 November 1963. Robert Mc Namara dalam memoarnya percaya bahwa jika Kennedy tidak dibunuh, maka AS tidak akan terlibat dalam Perang Vietnam. Fim JFK garapan Oliver Stone juga menggambarkan kaitan antara pembunuhan Kennedy dengan penolakannya terhadap keterlibatan AS dalam Perang Vietnam.

Murahnya harga nyawa penduduk jajahan bisa disimak dalam berbagai kasus. Di Afghanistan, pada Juli 2002, 48 warga sipil mati dan 117 luka-luka, akibat serangan bom pesawat tempur AS. Ketika itu, warga sipil Afghan tersebut sedang mengadakan pesta perkawinan. Pada Mei 2004, peristiwa serupa terjadi lagi di Iraq. Lebih dari 40 warga sipil yang sedang mengadakan pesta perkawinan dihujani bom oleh pesawat AS. Tidak ada pertanggungjawaban apa-apa atas peristiwa itu. Dan AS dengan entengnya menyatakan, bahwa tindakan pembunuhan itu dilakukan sebagai serangan balasan, karena pesawat AS dihujani tembakan. Namun, dalam dunia mafia, tindakan balas dendam yang lebih dahsyat itu sebenarnya bukan hal aneh.

Tindakan itu dilakukan untuk membuat kapok, agar lawan tidak coba-coba untuk melawan lagi. Dalam bukunya, Rouge State: A Guide to the Worlds Only Superpower, Mantan Pejabat Deplu AS, William Blum mengungkap studi internal US Strategic Command tentang Essentials of Post-Cold War Deterrence. Dikatakan, bahwa tindakan AS yang kadang kelihatan out of control, irasional, dan pendendam, bisa jadi menguntungkan untuk menciptakan rasa takut dan keraguan pada musuh-musuhnya. (That the US may become irrational and vindictive if its vital interests are attacked should be a part of national persona we project to all adversaries).

Seperti diketahui, kasus Iraq yang terus berlarut-larut merupakan salah satu peristiwa yang begitu banyak memunculkan protes di seluruh penjuru dunia. Jutaan manusia di negara-negara Barat sendiri bangkit menentang penyerbuan dan pendudukan AS terhadap Iraq. Tanpa menafikan, bahwa Saddam Hussein juga telah melakukan kekejaman yang luar biasa terhadap rakyatnya, maka serbuan dan pendudukan AS terhadap Iraq merupakan akhir dari era Pax
Americana. Tatanan dunia yang diatur oleh negara-negara Barat itu sendiri melalui PBB dan hukum internasional telah dihancurkan sendiri oleh AS.

Skenario Huntington
Jika kita merenungkan kembali apa yang terjadi sekarang ini di berbagai belahan dunia - di Palestina, Chechnya, Rusia, Filipina Selatan, Iraq, Arab Saudi, Indonesia, dan sebagainya - ternyata mirip sekali dengan apa yang berulangkali dinyatakan oleh Samuel P. Huntington dalam berbagai tulisannya. Juga, sebuah analisis yang dibuat oleh Michele Steinberg, pada 26 Oktober 2001, berjudul Wolfowitz Cabal is an Enemy Within U.S. di Executive Intelligence Review, yang menganalisis, Perang Iraq adalah batu skenario menuju Perang Global yang menghadapkan Islam dengan Barat. (But Iraq is just another stepping stone to turning the anti-terrorist war into a full-blown clash of civilizations, where the Islamic religion would become the enemy image in a New Cold War).

Apa yang terjadi sekarang adalah sebuah skenario yang menyeret dunia pada dua kutub yang berhadapan: Barat dengan Islam. Kaum Muslim perlu memahami dan menyadari situasi dan pola baru dalam hubungan internasional. Kaum Muslim sangat perlu berhati-hati untuk tidak terjebak dalam skenario ini. Kita perlu memahami, bagaimana dampak Tragedi WTC dan Bom Bali terhadap kaum Muslim di Palestina, Kashmir, Chechnya, Moro, Indonesia, Malaysia, dan sebagainya. Aksi-aksi pengeboman yang memakan korban rakyat sipil yang tidak tahu apa-apa - jika benar dilakukan sebagian elemen Muslim - terbukti justru menyulitkan posisi kaum Muslim dalam perjuangan melawan pemurtadan dan kezaliman global. Memang, dalam soal pandangan hidup, secara konsepsual, terjadi perbedaan fundamental antara peradaban Islam dengan peradaban Barat, tetapi hal ini bukan berarti lalu kaum Muslim boleh malakukan aksi fisik kapan saja terhadap Barat.

Dunia Islam, misalnya, hingga kini menolak tekanan Barat untuk memasukkan para pejuang Palestina ke dalam daftar teroris. Sebab, faktanya, mereka merupakan korban terorisme Zionis Israel. Ketika penjajah Belanda menduduki Indonesia, para ulama bersepakat mengeluarkan Resolusi Jihad dan Soekarno membentuk kamp kaum radikal. Kaum Muslim Indonesia, misalnya, saat ini menghadapi imperialisme budaya, ekonomi, politik, dan pemikiran yang sangat dahsyat. Maka, jalan perjuangan yang terbaik untuk memerdekakan negeri Muslim terbesar ini adalah melalui perjuangan ilmu, budaya, ekonomi, dan politik. Kecuali, jika kaum Muslim diserang secara fisik seperti di Maluku dan Poso.

Memahami kondisi dan situasi memerlukan pengorbanan yang besar. Itulah perjuangan dalam bidang ilmu pengetahuan. Itulah yang dilakukan oleh Barat dalam menyusun skenario tata dunia baru pasca Perang Dingin. Mereka berjuang dengan ilmu. Mereka kerahkan ilmuwan-ilmuwan untuk memasuki babak baru dalam situasi baru pasca Perang Dingin.

Huntington, misalnya, disamping seorang guru besar ilmu politik di Harvard University, Huntington juga merupakan penasehat kawakan dalam politik luar negeri AS. Dalam tahun 1977-1978 ia menjabat sebagai koordinator Perencanaan Keamanan untuk Dewan Keamanan Nasional (National Security Council) di Gedung Putih. Diantara buku-bukunya adalah The Soldier and the State: The Theory and Politics of Civil-Military Relations (1957), The Common Defense: Strategic Programs in National Politics (1961), Political Order in Changing Societies (1968), American Politics: The Promise of Disharmony (1981), The Third Wave: Democratization in the Late Twentieth Century (1991), The Clash of Civilizations and the Remaking of World Order (1996), dan Who Are We? The Challenges to America's National Identity (2004). Bukunya yang sangat terkenal dan kontroversial adalah The Clash of Civilizations and the Remaking of World Order. Buku ini sudah mengarah untuk menempatkan Islam sebagai tantangan terpenting bagi peradaban Barat, pasca runtuhnya komunisme. Hal itu ditekankan lagi saat berdialog dengan Anthony Giddden, pada akhir musim semi tahun 2003, bahwa militan Islam adalah ancaman terhadap Barat. (We must distinguish between mi
litant Islam and Islam in general, but militant Islam is clearly a threat to the West-through terrorists and rogue states that are trying to develop nuclear weapons, and through a variety of other ways).
Dalam menghadapi apa yang disebut sebagai militan Islam itu, Huntington mendukung langkah dilakukannya tindakan preemptive strike oleh AS dan Barat. Ia menekankan lagi, bahwa musuh utama Barat adalah Islam militant. (I would add that a strategy which allows for preemptive war against urgent, immediate and serious threats is absolutely essential for the US and other Western powers in this period. Our enemies-primarily the militant Islam, but also other groups-cannot be deterred, that much is obvious, so it is essential-if they are preparing an attack against us-that we attack first).

Nasehat Huntington itu terbukti efektif, dan telah diaplikasikan oleh pemerintah AS. Pada awal Juni 2002, doktrin preemptive strike (serangan dini) dan defensive intervention (intervensi defensif) secara resmi diumumkan. Melalui doktrin ofensifnya yang baru ini, AS telah mengubah secara radikal pola peperangan melawan musuh.

Sebelumnya, di masa Perang Dingin saat menghadapi komunis, AS menggunakan pola containtment (penangkalan) dan deterrence (penangkisan). Kini menghadapi musuh baru yang diberi nama teroris - AS menggunakan pola preemptive strike dan defensive intervention.

Jadi, dalam menghadapi militan Islam, atau negara-negara musuh, yang memiliki senjata kimia, biologis, dan nuklir, AS akan merasa leluasa menyerang mereka.

Dari kasus doktrin preemptive strike ini tampak bagaimana pola pikir bahaya Islam yang dikembangkan ilmuwan - dan sekaligus penasehat politik Barat - seperti Huntington, berjalan cukup efektif. Dengan doktrin itu, AS dapat melakukan berbagai serangan ke sasaran langsung, yang dikehendaki, meskipun tanpa melalui persetujuan atau mandat PBB. Pola pikir Huntington, bahwa Islam lebih berbahaya dari komunis juga tampak mewarnai kebijakan politik dan militer AS tersebut.

Padahal, jika dipikirkan dengan serius, manakah yang lebih hebat kekuatannya, apakah Usamah bin Ladin atau Uni Soviet? Mengapa untuk menghadapi negara adikuasa yang memiliki kekuatan persenjataan hebat setanding dengan AS, hanya digunakan kebijakan containtment dan deterrence, sedangkan untuk menghadapi militan Islam harus digunakan strategi preemptive strike?

Di Majalah Newsweek, Special Davos Edition, December 2001-February 2002, Francis Fukuyama juga mencatat: Radical Islamist, intolerant of all diversity and dissent, have become the fascists of our day. That is what we are fighting against. Jika militan Islam, fundamentalis Islam dan radikal Islam ditempatkan sebagai musuh Barat yang paling utama saat ini, sehingga dikatakan Fukuyama, mereka harus diperangi, maka tentunya perlu didefinisikan terlebih dahulu, siapakah yang disebut sebagai militan, fundamentalis atau radikal itu? Dan apakah dunia bisa secara fair dan adil menerapkan definisi itu untuk semua jenis manusia, bangsa, agama, dan negara? Bahwa, semua yang radikal, baik Kristen, Yahudi, Hindu, atau Islam, harus ditumpas. Apakah begitu keadaannya? Mengapa sekarang hanya Islam yang diperangi? Mengapa kaum fundamentalis Kristen yang merajalela di AS tidak ditumpas?

Bernard Lewis dalam bukunya The Crisis of Islam menyatakan, bahwa fundamentalis Islam adalah jahat dan berbahaya: Islam as such is not enemy of the West But a significant sumber of Muslims - notably but not exclusively those whom we call fundamentalists are hostile and dangerous, not because we need enemy but because they do. Lalu ia, bahwa fundamentalis Islam adalah mereka yang anti-Barat dan memandang Barat sebagai sumber kejahatan yang merusak masyarakat Muslim. Fundamentalists are anti-Western in the sense that they regard the West as the source of the evil that is corroding Muslim society.

Definisi Lewis ini tentu saja sangat bias dan fleksibel untuk diterapkan bagi siapa saja yang mengkritik Barat. Padahal, faktanya, Barat memang banyak terlibat dalam berbagai aksi kekerasan dan teror serta memberik
an dukungan terhadap rezim-rezim represif dan otoriter di berbagai negara. Begitu banyak cendekiawan yang mengkritik sejarah peradaban dan politik Barat. Mengapa hingga kini, Barat tidak mau menyelesaikan masalah Palestina? Bukankah secara jelas, Israel berulangkali melanggar hukum internasional? Bukankah sumber dari masalah di Iraq saat ini adalah serangan dan pendudukan AS? Karena itu, William Blum, memberi nasehat kepada pemerintah AS, jika ingin menghentikan kemelut di dunia internasional. Kata Blum, jika ia menjadi Presiden AS, ia sanggup menghentikan aksi terorisme terhadap AS hanya dalam beberapa hari. Dan itu bersifat permanen. Caranya, pertama, ia akan meminta maaf kepada semua janda dan anak yatim, orang-orang yang terluka dan termiskinkan akibat ulah imperialisme AS. Kedua, ia umumkan dengan jiwa yang tulus, ke seluruh pelosok dunia, bahwa intervensi global AS telah berakhir, dan umumkan bahwa Israel tidak lagi menjadi negara bagian AS yang ke-51. Lalu, Blum - andai jadi Presiden AS - akan memotong anggaran belanja pertahanan AS, sekurangnya 90 persen, dari angka 330 milyar USD per tahun. Itulah yang akan dikerjakan Blum pada tiga hari pertamanya di Gedung Putih. Tapi, katanya, pada hari keempat, ia akan dibunuh. On the fourth day, Id be assassinated. Wallahu alam. (KL, 9 September 2004). oOo
Mungkin bisa ditelusuri. Bahwa lagu Indonesia Raya berbahasa Arab.

https://m.facebook.com/story.php?story_fbid=453435901673256&id=100010205504091
JIHAD NAFSU DAN KEBANGKITAN
Oleh: Adian Husaini

Rasulullah SAW bersabda: Al-Mujahid man jahada nafsahu fi-Allah Azza wa-Jalla. (Mujahid adalah seseorang yang melakukan jihad melawan hawa nafsunya di jalan Allah). Al-Iraqiy menyatakan, bahwa hadis ini sahih, dan diriwayatkan oleh Imam Tirmidzi. (Muhammad bin Muhammad al-Husayniy al-Zabidiy, Ithaf al-Sadah al-Muttaqin bi al-Sharh Ihya Ulum al-Din, (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah), hal. 397, 657).

Dalam Kitab Ihya Ulumiddin, bab al-Amr bi al-Maruf wa an-nahyu an al-Munkar. Imam al-Ghazali menyebutkan sejumlah hadis atau atsar tentang jihad. Dalam bab ini, al-Ghazali juga menekankan, bahwa aktivitas amar maruf dan nahi munkar, adalah yang menentukan hidup-matinya umat Islam.

Tetapi, yang menarik, saat berkecamuknya Perang Salib, dalam IÍya, al-Ghazali sangat menekankan pentingnya jihad an-nafs, merujuk kepada sejumlah hadis Rasulullah SAW. Tentu tidak dapat dikatakan bahwa al-Ghazali tidak mengetahui arti jihad sebagai perang. Sebab, dalam karya-karyanya yang lain, al-Ghazali telah banyak menjelaskan makna jihad dalam arti perang, seperti dalam al-Wajiz fi Fiqh Madzhab al-Imam as-Shafiiy.

Ini dapat disimpulkan bahwa sebagai pakar fiqh, al-Ghazali sangat memahami kewajiban jihad, dan ia telah banyak menulis tentang hal ini. Menurut ulama ash-Syafiiyyah, jihad adalah perang melawan kaum kafir untuk menolong Islam. (huwa qital al-kuffar li nushrah al-Islam.
(Wahbah al-Zuhayliy, al-Fiqh al-Islamiy wa Adillatuhu, , 8:5846).

Mengutip hadith Rasulullah saw, Jahidul mushrikina bi-amwalikum wa-anfusikum wa alsinatikum, Wahbah al-Zuhayliy menyebutkan definisi jihad: badhl al-wusi wa-al-thaqati fi qital al-kuffari wa mudafiatihim bi al-nafsi wa al-mali wa al-lisani. (Jihad adalah mengerahkan segenap kemampuan untuk memerangi kaum kafir dan berjuang melawan mereka dengan jiwa, harta, dan lisan mereka).

Dalam Ihya Ulumiddin, al-Ghazali menjelaskan hampir seluruh aspek kehidupan manusia dalam perspektif Islam. Ia menulis begitu banyak topik, seperti masalah ilmu, ibadah, etika sosial, hal-hal yang merusak (al-muhlikat), dan juga yang menyelamatkan (al-munjiyat). Metode al-Ghazali dalam menulis IÍya adalah asing dibandingkan dengan banyak buku pada waktu itu. Dengan menganalisis Ihya, dapat disimpulkan bahwa buku ini disiapkan al-Ghazali untuk melakukan reformasi intelektual dan moral kaum Muslim dalam perspektif yang lebih luas dari sekedar masalah Perang Salib ketika itu. (Lihat, Dr. Majid Irsan Kailani Hakadza Dhahara Jilu Shalahuddin wa Hakadza Adat al-Quds).

Salah satu tahap penting dari perjalanan al-Ghazali adalah kunjungannya ke Damaskus dan Jerusalem, dimana pasukan Salib sukses menaklukkan sebagian wilayah Syria dua tahun sesudah itu. Kunjungan al-Ghazali ke Damaskus sangat penting ditelaah sebab berkaitan dengan penulisan buku Kitab al-Jihad pada awal periode Perang Salib, yang ditulis Ali b. Thahir al-Sulami an-Nahwi (1039-1106), seorang imam bermazhab Shafii dari Damaskus. Ia adalah seorang yang aktif menggalang jihad melawan pasukan Salib melalui pertemuan-pertemuan umum pada 1105 (498 H), enam tahun setelah penaklukan Jerusalem oleh pasukan Salib. Adalah sangat mungkin al-Sulami bertemu dengan al-Ghazali di Masjid Ummayad, sebab Ali al-Sulami adalah imam di Masjid tersebut dan al-Ghazali juga sempat tinggal di tempat yang sama pada awal-awal periode Perang Salib. (Nikita Elisseef, The Reaction of the Syrian Muslim after the Foundation of the First Latin Kingdom of Jerusalem, dalam Maya Shatzmiller (ed), Crusaders&Muslims in Twelfth-Century Syria, (Leiden: E.J. Brill, 1993), 163. W. Montgomery Watt, Muslim Intellectual, 144).

Dalam Kitabnya itu, Ali al-Sulami mencatat, bahwa satu-satunya solusi yang dapat menyelamatkan wilayah-wilayah Muslim, adalah menyeru kaum Muslim kepada jihad. Ada dua kondisi yang harus disiapkan sebelumnya. Pertama, reformasi moral untuk mengakhiri degradasi spiritual kaum Muslim ketika itu. Invasi pasukan Salib harus dilihat sebagai hukuman Allah, sebagai peringatan agar kaum Muslim bersatu. Kekalahan Muslim, menurut al
-Sulami, adalah sebagai hukuman Allah atas kealpaan menjalankan kewajiban agama, dan di atas semua itu, adalah kealpaan menjalankan jihad. Tahap kedua, penggalangan kekuatan Islam untuk mengakhiri kelemahan kaum Muslim yang telah memungkinkan pasukan Salib menguasai negeri-negeri Islam. Dalam kitabnya, al-Sulami menyebutkan dengan jelas tentang situasi saat itu dan stretagi untuk mengalahkan pasukan Salib. (Nikita Elisseef, The Reaction, hal. 164; Carole Hillenbrand, The Crusades: Islamic Perspectives, hal. 107).

Konsep al-Sulami dalam melawan pasukan Salib berupa reformasi moral dari al-Ghazalis memainkan peran penting. Sebab, menurut al-Sulami, melakukan jihad melawan pasukan Salib akan hampa jika tidak didahului dengan the greater jihad (al-jihad al-akbar). Ia juga mengimbau agar pemimpin-pemimpin Muslim memimpin jalan ini. Dengan demikian, perjuangan melawan hawa nafsu, adalah prasyarat mutlak sebelum melakukan perang melawan pasukan Salib (Franks). (Ibid).

Peran al-Ghazali dalam membangun moral kaum Muslim disebutkan oleh Elisseef. Bahwa, kelemahan spiritual di kalangan Muslim pada awal Perang Salib ditekankan oleh al-Ghazali, yang ketika itu mengajar di Damaskus. Al-Ghazali menekankan jihad melawan hawa nafsu, melawan kejahatan, di atas jihad melawan musuh. Tujuannya adalah untuk membantu kaum Muslim mereformasi jiwa mereka. ((The spiritual laxness existing in Islam on the eve of the Crusades was underlined by al-Ghazali, in 1096. The illustrious philosopher who, at the time, was teaching in Damascus, emphasized the priority of jihad of the soul, the jihad al-akbar (the major jihad) struggle against evil over the jihad al-asghar (the minor jihad), i.e. the struggle against infidel. His aim was to help the Muslim rediscover his soul. At this time, it was necessary to effect the reform of morals and beliefs and to create ways of combating the various heterodoxies existing in the very bosom of Islam). (Nikita Elisseef, The Reaction, hal. 164).

Jadi, dalam perjuagan Islam, jihad melawan hawa nafsu memegang peran yang sangat mendasar dalam proses kebangkitan dan meraih kemenangan. Orang-orang yang tunduk kepada nafsunya, lalu menjadi gila dunia, gila harta, dan kedudukan, tidak mungkin bisa diajak berjihad melawan musuh secara fisik. Carole Hillenbrand mencatat keberhasilan konsep jihad melawan hawa nafsu dari Pahlawan Islam, Nuruddin Zanki: Konsep tentang perjuangan jiwa, yakni jihad akbar, telah dikembangkan dengan baik di masa Perang Salib, dan berbagai diskusi tentang jihad pada masa itu senantiasa memperhitungkan dimensi spiritual, dimana tanpa itu maka perjuangan militer akan menjadi hampa atau tanpa fondasi. Tokoh sufi abad ke-12, Ammar al-Bidlisi menyatakan bahwa jihad akbar adalah memaklumkan hawa nafsu manusia sebagai musuh terbesar yang harus diperangi. Abu Shama menggambarkan Nur al-Din dalam ungkapan: Ia menjalankan jihad-ganda, melawan musuh dan melawan hawa nafsunya sendiri. (Carole Hillenbrand, The Crusades: Islamic Perspectives, (Edinburg:Edinburg University Press, Ltd., 1999), hal. 161).Wallahu alam bish-shawab. (***)
BANGGA MENJADI KRISTEN RADIKAL
Oleh: Dr. Adian Husaini

SEBAGIAN kalangan Kristen di Indonesia menyatakan dengan bangga bahwa mereka memahami dan menjalankan misi agama mereka secara RADIKAL. Itu bisa dibaca dalam sebuah buku berjudul: “Kami Mengalami Yesus di Bandung” (Jakarta: Metanoia Publishing, 2011). Daniel H. Pandji, tokoh Kristen yang juga Koordinator Jaringan Doa Nasional, memberikan komentar:

“Buku ini menguak suatu kebenaran sejarah yang sangat penting bagaimana saat ini banyak pemimpin-pemimpin rohani yang telah menyebar ke seluruh bangsa bahkan berbagai belahan dunia, hal itu dimulai dari gerakan doa yang militan pada tahun 1980 an, lalu memunculkan gerakan penginjilan yang menyentuh berbagai bidang. Buku ini harus dibaca oleh orang-orang yang mau memiliki semangat untuk mengubahkan bangsa.”

Kelompok Kristen ini menyatakan kebanggaannya, bahwa saat ini, telah muncul anak-anak muda Kristen yang “dibangkitkan untuk mengikut Tuhan secara radikal.” (hal. 23). Mereka memiliki sikap RADIKAL dalam berbagai aspek:

• Radikal dalam Pemberian. Banyak anak muda memberikan apa saja yang mereka miliki kepada Tuhan untuk pekerjaan pelayanan yang memang kerap dilakukan tanpa kehadiran donatur-donatur. Seorang mahasiswi memberikan seluruh emas yang dimiliki (diberi oleh orang tuanya untuk persiapan pernikahan). Hasil penjualan emas itu kemudian digunakan untuk menyewa sebuah rumah pelayanan, yang menampung para gelandangan dan narapidana yang bertobat. Ada juga seorang mahasiswa menjual motornya dan hasilnya diserahkan untuk membiayai retreat pelayanan. Seorang pemudi memutuskan untuk memberi perpuluhan secara rutin 90% kepada Tuhan dari semua yang ia terima. Seorang pemuda lain memberi perpuluhan kepada Tuhan 50%. Ada satu ketetapan bersama yang radikal pada waktu itu: jika mengadakan KKR yang membutuhkan dana besar (untuk sewa gedung, sound system, buat publikasi spanduk, poster dan lain-lain) semua sepakat untuk tidak meminta-minta, atau tidak mengedarkan proposal dalam mencari dana, tetapi mengandalkan lutut untuk berdoa dan memohon kepada Tuhan.

• Radikal dalam berdoa. Munculnya persekutuan doa yang seringkali berdoa mencari Tuhan selama berjam-jam. Ini ditambah dengan bangkitnya anak-anak muda yang berani mengambil keputusan untuk berdoa lebih dari satu jam setiap hari.

• Radikal dalam Membayar Harga. Bangkitnya anak-anak muda yang berani membayar harga, tidak peduli berapa pun itu. Beberapa dianiaya oleh orang tua yang belum mengerti. Ada yang dipukuli dan dikejar dengan benda tajam, namun tetap memilih untuk mengikut Tuhan. Beberapa anak muda karena pelayanan, diancam oleh ayahnya untuk diputuskan biaya hidupnya, namun itu tidak menggoyahkan kesetiaan mereka kepada Tuhan. Mereka tetap mengasihi, serta mendoakan orang tuanya sampai bertobat dan mengalami lawatan Tuhan. Anak-anak muda yang melayani gelandangan dan narapidana bahkan berani menyediakan rumah penampungan, tinggal bersama mereka, serta melayani mereka meskipun beberapa kali mengalami ancaman kekerasan ketika terpaksa harus melerai perkelahian antar geng yang menggunakan senjata tajam.

• Radikal dalam Kekudusan Hidup. Bangkitnya anak-anak muda yang memiliki komitmen dari hal-hal sederhana seperti tidak menyontek lagi. Kemudian munculnya generasi yang bertekad untuk hidup kudus dalam pergaulan antar lawan jenis, memutuskan untuk menjaga kesucian pernikahan, serta hidup berbeda dari anak-anak muda pada umumnya yang hidup bebas.

• Radikal dalam Memberitakan Injil. Banyak anak muda mendatangi taman-taman kota di Bandung, tempat para gelandangan, pencuri, dan bahkan tempat-tempat rawan seperti markas para perampok berkumpul untuk memberitakan Kabar Baik kepada mereka. Bertahun-tahun tempat-tempat seperti ini terus dilayani secara teratur oleh anak-anak muda yang sudah diubahkan oleh Kristus.

• Radikal dalam Memberikan Waktu untuk Pelayanan. Di tengah-tengah kesibukan belajar, selalu ada komitmen untuk melayani persekutuan, pemuridan, evaluasi pelayanan minggu, kunjungan dan beritakan Injil, serta berdoa bersama. Semua dilakukan paling tidak seminggu seka
li. Dapat dikatakan setiap pekerja, dalam setiap minggu pasti terlibat pelayanan rutin minimal empat sampai lima kali. (hal. 23-26), dikutip persis sesuai buku aslinya).

RADIKALISME kaum Kristen di Indonesia ini juga diwujudkan dalam sejumlah puisi dan lagu. Satu diantaranya berbunyi sebagai berikut:

“Slamatkan Indonesia”
Trimakasih Tuhan untuk negeri tercinta
Trimakasih Tuhan untuk Indonesia
Trimakasih
Hatiku bersyukur padaMu Tuhanku
Indonesia membutuhkanMu Yesus
Indonesia nantikan curahan RohMu
Indonesia rindu kemuliaanMu
Inilah doaku…
Inilah doaku…
Slamatkan Indonesia, slamatkan Indonesia,
Slamatkan Indonesia
Itulah kerinduanku.

*

Dalam buku berjudul “Menjadi Garam Dunia”, karya Erich Sunarto, (Jakarta: Pustaka Sorgawi, 2007), juga ditegaskan: “Untuk menuju ke Sorga, tidak ada jalan yang lain, kecuali melalui Yesus.” (hal. 124). Dengan semangat itulah, kaum Kristen Radikal ini berusaha mewujudkan tekadnya untuk mengkristenkan Indonesia. Para misionaris bersama dengan para penjajah Portugis dan Belanda telah beratus-ratus tahun berusaha untuk mengkristenkan Indonesia, dengan berbagai cara. Karena kaum misionaris menganggap misi mereka sebagai misi suci, maka mereka tidak pernah berhenti dari upayanya.

Bahkan, melalui buku Kami Mengalami Yesus di Bandung, kita melihat, bagaimana kuatnya semangat dan kebanggaan mereka sebagai kaum Kristen yang pantang menyerah untuk mengkristenkan Indonesia. Mereka bersemangat mengorbankan tenaga, pikiran, waktu, dan harta demi tegaknya misi Kristen di Nusantara ini. Mereka dengan bangganya mengumumkan corak beragama yang RADIKAL dalam berbagai hal.

Umat Islam Indonesia tentu memahami benar semangat dan gerakan kaum misionaris Kristen ini. Tujuan mereka sudah jelas: mengubah Indonesia yang mayoritas Muslim menjadi Kristen. Dalam buku berjudul “Jadikan Sekalian Bangsa BersukaCita! Sepremasi Allah dalam Misi”, karya John Piper (Bandung: Lembaga Literatur Baptis, 2003), dikatakan:

“Bisakah alam semesta dan agama-agama lain menuntun orang-orang kepada hidup yang kekal dan kepada sukacita bersama Allah? Jawaban Alkitabiahnya: Tidak bisa! Menarik sekali, sejak penjelmaan Anak Allah dalam Perjanjian Baru, semua iman yang menyelamatkan harus terpusat kepada-Nya. Sebelum Kristus, kaum Israel memfokuskan imannya pada janji-janji Allah (Roma 4:20). Dan bangsa-bangsa berjalan menurut jalannya masing-masing (Kisah Para Rasul 14:16. Masa-masa itu disebut “zaman kebodohan”. Tetapi sekarang, sejak kedatangan Anak Manusia ke dalam dunia, Kristus menjadi pusat misi gereja. Tujuan Misi ialah “menuntun semua bangsa, supaya mereka percaya dan taat kepada Nama-Nya” (Roma 1:5).” (hal. 355).

Sebagai Muslim kita patut mengagumi semangat para misionaris Kristen tersebut. Tetapi, kaum misionaris Kristen juga perlu memahami, bahwa dalam pandangan agama Islam, kemurtadan adalah dosa besar. Meninggalkan keyakinan Islam (murtad) sama artinya dengan menghancurkan seluruh fondasi amal perbuatan.

Karena itu, murtad adalah sebuah kejahatan serius dalam pandangan Islam.

Para santri di pondok-pondok pesantren biasanya sangat akrab dengan Kitab Sullamut Tawfiq karya Syaikh Abdullah bin Husain bin Thahir bin Muhammad bin Hasyim. Kitab ini termasuk yang mendapatkan perhatian serius dari ulama besar asal Banten, Syeikh Nawawi al-Bantani, sehingga beliau memberikan syarah atas kitab yang biasanya dipasangkan dengan Kitab Safinatun Najah. Dalam kitab inilah, sebenarnya umat Islam diingatkan agar menjaga Islamnya dari hal-hal yang membatalkannya, yakni murtad (riddah). Dijelaskan juga dalam kitab ini, bahwa ada tiga jenis riddah, yaitu murtad dengan I’tiqad, murtad dengan lisan, dan murtad dengan perbuatan.

Masalah kemurtadan ini perlu mendapatkan perhatian serius dari setiap Muslim, sebab ini sudah menyangkut aspek yang sangat mendasar dalam pandangan Islam, yaitu masalah iman. Dalam pandangan Islam, murtad (batalnya keimanan) seseorang, bukanlah hal yang kecil. Jika iman batal, maka hilanglah pondasi keislamannya. Ia menjadi kafir, yang di dalam al-Quran diberikan predikat ”seburuk-buruknya makhluk” (QS al-Bayyina
h). Banyak ayat al-Quran yang menyebutkan bahaya dan resiko pemurtadan bagi seorang Muslim.

”Barangsiapa yang murtad di antara kamu dari agamanya, lalu Dia mati dalam kekafiran, Maka mereka Itulah yang sia-sia amalannya di dunia dan di akhirat, dan mereka Itulah penghuni neraka, mereka kekal di dalamnya.” (al-Baqarah:217). “Dan orang-orang kafir amal-amal mereka adalah laksana fatamorgana di tanah yang datar, yang disangka air oleh orang-orang yang dahaga, tetapi bila didatanginya air itu Dia tidak mendapatinya sesuatu apapun. dan didapatinya (ketetapan) Allah disisinya, lalu Allah memberikan kepadanya perhitungan amal-amal dengan cukup dan Allah adalah sangat cepat perhitungan-Nya.” (an-Nur:39).

Karena itulah, jika kita telaah, selama ratusan tahun – meskipun sudah disokong kekuatan kolonial — misi Kristen di Indonesia membentur tembok yang sangat kokoh. Dalam al-Quran disebutkan, bahwa Allah murka, karena dituduh punya anak. “Dan mereka berkata: “Tuhan Yang Maha Pemurah mengambil (mempunyai) anak. Sesungguhnya kamu telah mendatangkan sesuatu perkara yang sangat mungkar, hampir-hampir langit pecah karena ucapan itu dan bumi terbelah dan gunung-gunung runtuh, karena mereka menuduh Allah Yang Maha Pemurah mempunyai anak.” (QS Maryam:88-91).

Mohammad Natsir, tokoh Islam Indonesia dan salah satu Pahlawan Nasional, pernah menyampaikan pesan tegas kepada kaum Kristen:

“Hanya satu saja permintaan kami: Isyhadu bi-anna muslimun. Saksikanlah dan akuilah kami ini adalah Muslimin. Yakni orang-orang yang sudah memeluk agama Islam. Orang-orang yang sudah mempunyai identitas-identitas Islam. Jangan identitas kami saudara-saudara ganggu, jangan kita ganggu mengganggu dalam soal agama ini. Agar agama jangan jadi pokok sengketa yang sesungguhnya tidak semestinya begitu…. Kami umat Islam tidak apriori menganggap musuh terhadap orang yang bukan Islam. Tetapi tegas pula Allah SWT melarang kami bersahabat dengan orang-orang yang mengganggu agama kami, agama Islam. Malah kami akan dianggap dhalim bila berbuat demikian… sebab kalaulah ada sesuatu harta yang kami cintai lebih dari segala-galanya itu ialah agama dan keimanan kami. Itulah yang hendak kami wariskan kepada anak cucu dan keturunan kami. Jangan tuan-tuan coba pula untuk memotong tali warisan ini.” (Dikutip dari Pengantar Prof. Umar Hubeis untuk buku Dialog Islam dan Kristen karya Bey Arifin, (Surabaya: Pustaka Progresif, 1983). Semoga kita bisa mengambil hikmah… Amin. (Depok, 23 Desember 2011).
“BERHENTILAH MELECEHKAN TUHAN YANG MAHA ESA!”
Oleh: Dr. Adian Husaini

Indonesia – diakui – saat ini merupakan negara muslim terbesar. Tahun 2014, jumlah penduduk Indonesia sudah mencapai angka sekitar 244 juta jiwa. (http://www.datastatistik-indonesia.com/proyeksi/index.php?option=com_proyeksi&task=show&Itemid=941). Konon, kekayaan alamnya juga melimpah ruah. Meskipun sudah dieksploitasi dengan berbagai cara, kandungan ikan, hutan, minyak, gas, batubara, dan sebagainya, masih saja belum habis-habis.

Hanya saja, ironisnya, di tengah melimpahnya kekayaan minyak, rakyat Indonesia justru sering dipaksa mengantri untuk membeli Bahan Bakar Minyak (BBM). Indonesia dikenal sebagai salah satu negara penghasil gas terbesar di dunia. Uniknya, harga gas elpiji di Indonesia (saat artikel ini ditulis) lebih mahal dari harga elpiji di Malaysia, yang konon bahan mentahnya diimpor dari Indonesia. Lihat juga harga daging, ikan, dan sebagainya.

Tahun 1984, saat memasuki bangku kuliah di satu PTN, saya tidak ditarik uang masuk apa pun. Uang SPP-nya hanya Rp 48 ribu per semester. Kini, meskipun anggaran Pendidikan sudah dinaikkan, berbagai PTN masih meminta bayaran uang masuk Perguruan Tinggi kepada mahasiswa baru. Ada yang nilainya puluhan juta. Jika kita melawat ke Timur Tengah dan berbagai negara lain, sebagai bangsa Muslim terbesar, kita “miris” menyaksikan kondisi TKW kita. Banyak diantara mereka berstatus sebagai istri dan ibu yang harus meninggalkan suami dan anak-anak mereka, selama bertahun-tahun, demi menyambung hidup.

Ada apa dengan negara kita? Apakah bangsa kita tidak mendapatkan rahmat dari Tuhan? Padahal, sejak awal, bangsa ini sudah menerima konsep dasar Ketuhanan. Bahkan, dalam Pembukaan Konsitusi (UUD 1945), ditegaskan, bahwa kemerdekaan bangsa Indonesia adalah”atas berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa”. Juga, disebutkan, bahwa “Negara berdasar kepada Ketuhanan Yang Maha Esa.” Di dalam setiap Undang-undang yang disahkan oleh DPR bersama Presiden, diawali dengan penegasan: “Dengan Rahmat Tuhan Yang Maha Esa”.

Jika posisi Tuhan Yang Maha Esa begitu penting, lalu di manakah Tuhan itu diletakkan oleh bangsa Indonesia, oleh para pemimpin kita, para tokoh, dan juga para cendekiawan kita. Dalam CAP-381 lalu, sudah kita paparkan, bahwa bagi kaum Muslim, Ketuhanan Yang Maha Esa adalah nilai-nilai ketauhidan. Tuhan Yang Maha Esa adalah Allah SWT, yaitu nama Tuhan orang Muslim, yang secara resmi disebut dalam Pembukaan UUD 1945.

Itulah yang diputuskan oleh para ulama yang berkumpul dalam Musyawarah Nasional (Munas) Alim Ulama Nahdlatul Ulama di Situbondo, Jawa Timur, 21 Desember 1983. Ketika itu Munas menetapkan “Deklarasi Tentang Hubungan Pancasila dengan Islam” yang pada poin kedua menegaskan: “Sila “Ketuhanan Yang Maha Esa” sebagai dasar Negara Republik Indonesia menurut pasal 29 ayat (1) Undang-undang Dasar (UUD) 1945, yang menjiwai sila-sila yang lain, mencerminkan tauhid menurut pengertian keimanan dalam Islam.”

Jadi, begitu pentingnya kedudukan Tuhan Yang Maha Esa dalam Konstitusi Negara Kesatuan Republik Indonesia. Coba kita renungkan dengan hati yang dingin, untaian kata-kata pada alinea keempat Pembukaan UUD 1945: "Kemudian daripada itu untuk membentuk suatu pemerintah negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial, maka disusunlah kemerdekaan kebangsaan Indonesia itu dalam suatu Undang-Undang Dasar Negara Indonesia, yang terbentuk dalam suatu susunan negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat dengan berdasar kepada: Ketuhanan Yang Maha Esa, kemanusiaan yang adil dan beradab, persatuan Indonesia, dan kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, serta dengan mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia."

Renungkan sekali lagi, dan mohon sekali lagi!
Bahwa, Negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat itu harus