Jadi Hafiz Sebelum Balig: Metode Edektif Mendidik Anak Menghafal Al-Qur'an
Penulis: Saied Al-Makhtum
Buku “Jadi Hafiz sebelum Balig” hadir sebagai bagian dari solusi untuk orangtua maupun guru yang ingin menjadikan anak-anaknya hafal Al-Qur'an. Sebagaimana judulnya, buku ini berisi motivasi, kisah-kisah inspiratif, petunjuk, metode, hingga langkah-langkah teknis dan praktis bagaimana cara Anda mengajarkan Al-Qur'an sejak mereka baru bisa berbicara.
Penulisnya, Ustadz Saied Al-Makhtum merupakan seorang ayah, guru, dan kepala pesantren yang fokus mengkaji dan mengajar Al-Qur'an, khususnya di bidang tahfizhul-qur'an. Buku ini adalah formulasi dari kajian teori, praktik, sekaligus pengalaman penulis sebagai orangtua, guru, dan pendidik bagi murid-muridnya.
Buku ini spesial untuk siapa?
1. Para orangtua yang mendambakan buah hati menjadi penghafal Al-Qur’an sebelum balig
2. Para guru dan tenaga pendidik tahfiz Al-Qur’an di sekolah tingkat PAUD, TK, dan SD
3. Para pengajar pendidikan tahfiz nonformal seperti guru TPA dan TPQ
4. Keluarga umat Islam yang memimpikan anggota keluarganya ada yang menjadi penghafal Al-Qur’an.
--------------------------------
Jadi Hafiz Sebelum Balig
Penulis: Saied Al-Makhtum
Ukuran: 20,5 x 14 cm
Sampul: Soft Cover
Isi: 228 halaman
Berat: 250 gr
ISBN: 9786239870256
Harga: Rp. 75.000,-
Pemesanan silahkan sms ke 087878147997 atau Whatsapp:
https://wa.me/6287878147997
Syukran.
Penulis: Saied Al-Makhtum
Buku “Jadi Hafiz sebelum Balig” hadir sebagai bagian dari solusi untuk orangtua maupun guru yang ingin menjadikan anak-anaknya hafal Al-Qur'an. Sebagaimana judulnya, buku ini berisi motivasi, kisah-kisah inspiratif, petunjuk, metode, hingga langkah-langkah teknis dan praktis bagaimana cara Anda mengajarkan Al-Qur'an sejak mereka baru bisa berbicara.
Penulisnya, Ustadz Saied Al-Makhtum merupakan seorang ayah, guru, dan kepala pesantren yang fokus mengkaji dan mengajar Al-Qur'an, khususnya di bidang tahfizhul-qur'an. Buku ini adalah formulasi dari kajian teori, praktik, sekaligus pengalaman penulis sebagai orangtua, guru, dan pendidik bagi murid-muridnya.
Buku ini spesial untuk siapa?
1. Para orangtua yang mendambakan buah hati menjadi penghafal Al-Qur’an sebelum balig
2. Para guru dan tenaga pendidik tahfiz Al-Qur’an di sekolah tingkat PAUD, TK, dan SD
3. Para pengajar pendidikan tahfiz nonformal seperti guru TPA dan TPQ
4. Keluarga umat Islam yang memimpikan anggota keluarganya ada yang menjadi penghafal Al-Qur’an.
--------------------------------
Jadi Hafiz Sebelum Balig
Penulis: Saied Al-Makhtum
Ukuran: 20,5 x 14 cm
Sampul: Soft Cover
Isi: 228 halaman
Berat: 250 gr
ISBN: 9786239870256
Harga: Rp. 75.000,-
Pemesanan silahkan sms ke 087878147997 atau Whatsapp:
https://wa.me/6287878147997
Syukran.
AGAMA
Oleh: Dr. Hamid Fahmy Zarkasyi
Di pinggir jalan kota Manchester Inggris terdapat papan iklan besar bertuliskan kata-kata singkat “Its like Religion”. Iklan itu tidak ada hubungannya dengan agama atau kepercayaan apapun. Disitu terpampang gambar seorang pemain bola dengan latar belakang ribuan supporternya yang fanatik. Saya baru tahu kalau itu iklan klub sepak bola setelah membaca tulisan dibawahnya Manchester United.
Sepakbola dengan supporter fanatik itu biasa, tapi tulisan its like religion itu cukup mengusik pikiran saya. Kalau iklan itu di pasang di Jalan Thamrin Jakarta umat beragama pasti akan geger. Ini pelecehan terhadap agama.
Tapi, di Barat agama bisa dipahami seperti itu. Agama adalah fanatisme, kata para sosiolog. Bahkan ketika seorang selebritinya mengatakan My religion is song, sex, sand and champagne juga masih dianggap waras. Mungkin ini yang disinyalir al-Quran araayta man ittakhadha ilaahahu hawaahu (QS. 25:43).
Pada dataran diskursus akademik, makna religion di Barat memang problematik. Bertahun-tahun mereka mencoba mendefinisikan religion tapi gagal.
Mereka tetap tidak mampu menjangkau hal-hal yang khusus. Jikapun mampu, mereka terpaksa menafikan agama lain. Ketika agama didefinisikan sebagai kepercayaan, atau kepercayaan kepada yang Maha Kuasa (Supreme Being), kepercayaan primitif di Asia menjadi bukan agama. Sebab agama primitif tidak punya kepercayaan formal, apalagi doktrin.
F. Schleiermacher kemudian mendefinisikan agama dengan tidak terlalu doktriner, agama adalah “Rasa ketergantungan yang absolut” (feeling of absolute dependence). Demikian pula Whithehead, agama adalah “Apa yang kita lakukan dalam kesendirian”.
Disini faktor-faktor terpentingnya adalah emosi, pengalaman, intuisi dan etika. Tapi definisi ini hanya sesuai untuk agama primitif yang punya tradisi penuh dengan ritus-ritus, dan tidak cocok untuk agama yang punya struktur keimanan, ide-ide dan doktrin-doktrin.
Tapi bagi sosiolog dan antropolog memang begitu. Bagi mereka religion sama sekali bukan seperangkat ide-ide, nilai atau pengalaman yang terpisah dari matriks kultural.
Bahkan, kata mereka, beberapa kepercayaan, adat istiadat atau ritus-ritus keagamaan tidak bisa dipahami kecuali dengan matriks kultural tersebut. Emile Durkheim malah yakin bahwa masyarakat itu sendiri sudah cukup sebagai faktor penting bagi lahirnya rasa berketuhanan dalam jiwa. (Lihat The Elementary Forms of the Religious Life, New York, 1926, p. 207).
Tapi bagi pakar psikologi agama justru harus diartikan dari faktor kekuatan kejiwaan manusia ketimbang faktor sosial dan intelektual. Para sosiolog Barat nampaknya trauma dengan makna agama yang doktriner, sehingga tidak peduli dengan aspek ekstrasosial, ekstrasosiologis atau pun ekstrapsikologis. Aspek imanensi lebih dipentingkan daripada aspek transendensi.
Sejatinya, akar kebingungan Barat mendefinisikan religion karena konsep Tuhan yang bermasalah. Agama Barat - Kristen - kata Armstrong dalam History of God justru banyak bicara Yesus Kristus ketimbang Tuhan. Padahal, Yesus sendiri tidak pernah mengklaim dirinya suci, apalagi Tuhan.
Dalam hal ini kesimpulan Profesor al-Attas sangat jitu Islam, sebagai agama, telah sempurna sejak diturunkan. Konsep Tuhan, Agama, Ibadah, Manusia dan lain-lain dalam Islam telah jelas sejak awal. Para ulama kemudian hanya menjelaskan konsep-konsep itu tanpa merubah konsep asalnya. Sedang di Barat konsep Tuhan mereka sejak awal bermasalah sehingga perlu direkayasa agar bisa diterima akal manusia.
Kita mungkin akan tersenyum membaca judul buku yang baru terbit di Barat, Tomorrows God, (Tuhan Masa Depan), karya Neale Donald Walsch. Tuhan agama-agama yang ada tidak lagi cocok untuk masa kini. Tuhan haruslah seperti apa yang digambarkan oleh akal modern. Manusia makhluk berakal (rational animal) harus lebih dominan daripada manusia makhluk Tuhan. Pada puncaknya nanti manusialah yang menciptakan Tuhan dengan akalnya.
Oleh: Dr. Hamid Fahmy Zarkasyi
Di pinggir jalan kota Manchester Inggris terdapat papan iklan besar bertuliskan kata-kata singkat “Its like Religion”. Iklan itu tidak ada hubungannya dengan agama atau kepercayaan apapun. Disitu terpampang gambar seorang pemain bola dengan latar belakang ribuan supporternya yang fanatik. Saya baru tahu kalau itu iklan klub sepak bola setelah membaca tulisan dibawahnya Manchester United.
Sepakbola dengan supporter fanatik itu biasa, tapi tulisan its like religion itu cukup mengusik pikiran saya. Kalau iklan itu di pasang di Jalan Thamrin Jakarta umat beragama pasti akan geger. Ini pelecehan terhadap agama.
Tapi, di Barat agama bisa dipahami seperti itu. Agama adalah fanatisme, kata para sosiolog. Bahkan ketika seorang selebritinya mengatakan My religion is song, sex, sand and champagne juga masih dianggap waras. Mungkin ini yang disinyalir al-Quran araayta man ittakhadha ilaahahu hawaahu (QS. 25:43).
Pada dataran diskursus akademik, makna religion di Barat memang problematik. Bertahun-tahun mereka mencoba mendefinisikan religion tapi gagal.
Mereka tetap tidak mampu menjangkau hal-hal yang khusus. Jikapun mampu, mereka terpaksa menafikan agama lain. Ketika agama didefinisikan sebagai kepercayaan, atau kepercayaan kepada yang Maha Kuasa (Supreme Being), kepercayaan primitif di Asia menjadi bukan agama. Sebab agama primitif tidak punya kepercayaan formal, apalagi doktrin.
F. Schleiermacher kemudian mendefinisikan agama dengan tidak terlalu doktriner, agama adalah “Rasa ketergantungan yang absolut” (feeling of absolute dependence). Demikian pula Whithehead, agama adalah “Apa yang kita lakukan dalam kesendirian”.
Disini faktor-faktor terpentingnya adalah emosi, pengalaman, intuisi dan etika. Tapi definisi ini hanya sesuai untuk agama primitif yang punya tradisi penuh dengan ritus-ritus, dan tidak cocok untuk agama yang punya struktur keimanan, ide-ide dan doktrin-doktrin.
Tapi bagi sosiolog dan antropolog memang begitu. Bagi mereka religion sama sekali bukan seperangkat ide-ide, nilai atau pengalaman yang terpisah dari matriks kultural.
Bahkan, kata mereka, beberapa kepercayaan, adat istiadat atau ritus-ritus keagamaan tidak bisa dipahami kecuali dengan matriks kultural tersebut. Emile Durkheim malah yakin bahwa masyarakat itu sendiri sudah cukup sebagai faktor penting bagi lahirnya rasa berketuhanan dalam jiwa. (Lihat The Elementary Forms of the Religious Life, New York, 1926, p. 207).
Tapi bagi pakar psikologi agama justru harus diartikan dari faktor kekuatan kejiwaan manusia ketimbang faktor sosial dan intelektual. Para sosiolog Barat nampaknya trauma dengan makna agama yang doktriner, sehingga tidak peduli dengan aspek ekstrasosial, ekstrasosiologis atau pun ekstrapsikologis. Aspek imanensi lebih dipentingkan daripada aspek transendensi.
Sejatinya, akar kebingungan Barat mendefinisikan religion karena konsep Tuhan yang bermasalah. Agama Barat - Kristen - kata Armstrong dalam History of God justru banyak bicara Yesus Kristus ketimbang Tuhan. Padahal, Yesus sendiri tidak pernah mengklaim dirinya suci, apalagi Tuhan.
Dalam hal ini kesimpulan Profesor al-Attas sangat jitu Islam, sebagai agama, telah sempurna sejak diturunkan. Konsep Tuhan, Agama, Ibadah, Manusia dan lain-lain dalam Islam telah jelas sejak awal. Para ulama kemudian hanya menjelaskan konsep-konsep itu tanpa merubah konsep asalnya. Sedang di Barat konsep Tuhan mereka sejak awal bermasalah sehingga perlu direkayasa agar bisa diterima akal manusia.
Kita mungkin akan tersenyum membaca judul buku yang baru terbit di Barat, Tomorrows God, (Tuhan Masa Depan), karya Neale Donald Walsch. Tuhan agama-agama yang ada tidak lagi cocok untuk masa kini. Tuhan haruslah seperti apa yang digambarkan oleh akal modern. Manusia makhluk berakal (rational animal) harus lebih dominan daripada manusia makhluk Tuhan. Pada puncaknya nanti manusialah yang menciptakan Tuhan dengan akalnya.
Socrates pun pernah berkata: “Wahai warga Athena! aku percaya pada Tuhan, tapi tidak akan berhenti berfilsafat”. Artinya “Saya beriman tapi saya akan tetap menggambarkan Tuhan dengan akal saya sendiri”. Wilfred Cantwell Smith nampaknya setuju. Dalam makalahnya berjudul Philosophia as One of the Religious Tradition of Mankind, ia mengategorikan tradisi intelektual Yunani sebagai agama. Apa arti agama baginya tidak penting, malah kalau perlu istilah ini dibuang.
Akhirnya, sama juga mengamini Nietzche bahwa tuhan hanyalah realitas sobyektif dalam fikiran manusia, alias khayalan manusia yang tidak ada dalam realitas obyektif. Konsep tuhan rasional inilah yang justru menjadi lahan subur bagi ateisme. Sebab tuhan bisa dibunuh.
Jika Imam al-Ghazzali dikaruniai umur hingga abad ini mungkin ia sudah menulis berjilid-jilid Tahafut. Sekurang-kurangnya ia akan menolak jika Islam dimasukkan kedalam definisi religion versi Barat dan Allah disamakan dengan Tuhan spekulatif. Jika konsep Unmoved Mover Aristotle saja ditolak, kita bisa bayangkan apa reaksi al-Ghazzali ketika mengetahui tuhan di Barat kini is no longer Supreme Being (Tidak lagi Maha Kuasa).
Konsep Tuhan di Barat kini sudah hampir sepenuhnya rekayasa akal manusia. Buktinya tuhan harus mengikuti peraturan akal manusia. Ia “tidak boleh” menjadi tiran, “tidak boleh” ikut campur dalam kebebasan dan kreativitas manusia. Tuhan yang ikut mengatur alam semesta dianggap absurd.
Tuhan yang personal dan tirani itulah yang pada abad ke 19 “dibunuh” Nietzche dari pikiran manusia. Tuhan Pencipta tidak wujud pada nalar manusia produk kebudayaan Barat. Agama disana akhirnya tanpa tuhan atau bahkan tuhan tanpa Tuhan. Disini kita baru paham mengapa Manchester United dengan penyokongnya itu like religion. Mungkin mereka hanya malu mengatakan its really religion but without god.
Kini di Indonesia dan di negeri-negeri Muslim lainnya cendekiawan Muslim mulai ikut-ikutan risih dengan konsep Allah Maha Kuasa (Supreme Being). Tuhan tidak lagi mengatur segala aspek kehidupan manusia. Bahkan kekuasaan Tuhan harus dibatasi. Benteng pemisah antara agama dan politik dibangun kokoh. Para kyai dan cendekiawan Muslim seperti berteriak “Politik Islam, No” tapi lalu berbisik “Berpolitik, Yes”….”Money Politik laa siyyama (apalagi)”.
Tapi ketika benteng pemisah agama dan politik dibangun, tiba-tiba tembok pemisah antar agama-agama dihancurkan. “Ini proyek besar bung”! kata fulan berbisik. “Ini zaman globalisasi dan kita harus akur” kata profesor pakar studi Islam. Santri-santri diajari berani bilang “Ya akhi tuhan semua agama itu sama, yang beda hanya namaNya”; “Gus! Maulud Nabi sama saja dengan maulud Isa atau Natalan”. Mahasiswa Muslim pun diajari logika relativis “Anda jangan menganggap agama anda paling benar”. Tak ketinggalan para ulama diperingati “Jangan mengatasnamakan Tuhan”.
Kini semua orang “harus” membiarkan pembongkaran batas antar agama, menerima pluralitas dan pluralisme sekaligus. Sebab, kata mereka, pluralisme seperti juga sekularisme, adalah hukum alam. Samar-samar seperti ada suara besar mengingatkan “Kalau anda tidak pluralis anda pasti teroris”
Anehnya, untuk menjadi seorang pluralis kita tidak perlu meyakini kebenaran agama kita. Kata-kata Hamka “yang bilang semua agama sama berarti ia tidak beragama” mungkin dianggap kuno. Kini yang laris manis adalah konsep global theology-nya John Hick, atau kalau kurang kental pakai Transcendent Unity of Religions-nya F. Schuon.
Semua agama sama pada level esoteris. Di negeri Muslim terbesar di dunia ini, lagu-lagu lama Nietzche tentang relativisme dan nihilisme dinyanyikan mahasiswa Muslim dengan penuh emosi dan semangat. “Tidak ada yang absolut selain Allah” artinya tidak ada yang tahu kebenaran selain Allah. Syariat, fiqih, tafsir wahyu, ijtihad para ulama adalah hasil pemahaman manusia, maka semua relatif.
Akhirnya, sama juga mengamini Nietzche bahwa tuhan hanyalah realitas sobyektif dalam fikiran manusia, alias khayalan manusia yang tidak ada dalam realitas obyektif. Konsep tuhan rasional inilah yang justru menjadi lahan subur bagi ateisme. Sebab tuhan bisa dibunuh.
Jika Imam al-Ghazzali dikaruniai umur hingga abad ini mungkin ia sudah menulis berjilid-jilid Tahafut. Sekurang-kurangnya ia akan menolak jika Islam dimasukkan kedalam definisi religion versi Barat dan Allah disamakan dengan Tuhan spekulatif. Jika konsep Unmoved Mover Aristotle saja ditolak, kita bisa bayangkan apa reaksi al-Ghazzali ketika mengetahui tuhan di Barat kini is no longer Supreme Being (Tidak lagi Maha Kuasa).
Konsep Tuhan di Barat kini sudah hampir sepenuhnya rekayasa akal manusia. Buktinya tuhan harus mengikuti peraturan akal manusia. Ia “tidak boleh” menjadi tiran, “tidak boleh” ikut campur dalam kebebasan dan kreativitas manusia. Tuhan yang ikut mengatur alam semesta dianggap absurd.
Tuhan yang personal dan tirani itulah yang pada abad ke 19 “dibunuh” Nietzche dari pikiran manusia. Tuhan Pencipta tidak wujud pada nalar manusia produk kebudayaan Barat. Agama disana akhirnya tanpa tuhan atau bahkan tuhan tanpa Tuhan. Disini kita baru paham mengapa Manchester United dengan penyokongnya itu like religion. Mungkin mereka hanya malu mengatakan its really religion but without god.
Kini di Indonesia dan di negeri-negeri Muslim lainnya cendekiawan Muslim mulai ikut-ikutan risih dengan konsep Allah Maha Kuasa (Supreme Being). Tuhan tidak lagi mengatur segala aspek kehidupan manusia. Bahkan kekuasaan Tuhan harus dibatasi. Benteng pemisah antara agama dan politik dibangun kokoh. Para kyai dan cendekiawan Muslim seperti berteriak “Politik Islam, No” tapi lalu berbisik “Berpolitik, Yes”….”Money Politik laa siyyama (apalagi)”.
Tapi ketika benteng pemisah agama dan politik dibangun, tiba-tiba tembok pemisah antar agama-agama dihancurkan. “Ini proyek besar bung”! kata fulan berbisik. “Ini zaman globalisasi dan kita harus akur” kata profesor pakar studi Islam. Santri-santri diajari berani bilang “Ya akhi tuhan semua agama itu sama, yang beda hanya namaNya”; “Gus! Maulud Nabi sama saja dengan maulud Isa atau Natalan”. Mahasiswa Muslim pun diajari logika relativis “Anda jangan menganggap agama anda paling benar”. Tak ketinggalan para ulama diperingati “Jangan mengatasnamakan Tuhan”.
Kini semua orang “harus” membiarkan pembongkaran batas antar agama, menerima pluralitas dan pluralisme sekaligus. Sebab, kata mereka, pluralisme seperti juga sekularisme, adalah hukum alam. Samar-samar seperti ada suara besar mengingatkan “Kalau anda tidak pluralis anda pasti teroris”
Anehnya, untuk menjadi seorang pluralis kita tidak perlu meyakini kebenaran agama kita. Kata-kata Hamka “yang bilang semua agama sama berarti ia tidak beragama” mungkin dianggap kuno. Kini yang laris manis adalah konsep global theology-nya John Hick, atau kalau kurang kental pakai Transcendent Unity of Religions-nya F. Schuon.
Semua agama sama pada level esoteris. Di negeri Muslim terbesar di dunia ini, lagu-lagu lama Nietzche tentang relativisme dan nihilisme dinyanyikan mahasiswa Muslim dengan penuh emosi dan semangat. “Tidak ada yang absolut selain Allah” artinya tidak ada yang tahu kebenaran selain Allah. Syariat, fiqih, tafsir wahyu, ijtihad para ulama adalah hasil pemahaman manusia, maka semua relatif.
Walhal, Tuhan tidak pernah meminta kita memahami yang absolut apalagi menjadi absolut. Dalam Islam Yang relatif pun bisa mengandung yang absolut. Secara kelakar seorang kawan membayangkan di Jakarta nanti ada papan iklan besar bergambar seorang kyai dengan latar belakang ribuan santri dengan tulisan singkat “Yesus Tuhan kita juga”.
Ushul Fikih Tingkat Dasar
Penulis: Dr. Muhammad Sulaiman Al-Asyqar
Ushul Fikih merupakan disiplin ilmu tentang cara atau metode mengeluarkan hukum dari dalil-dalilnya, yaitu tentang apa yang dikehendaki oleh perintah dan apa pula yang dikehendaki oleh larangan. Yang menjadi obyek pembahasan disiplin ilmu ini adalah:
1. Menjelaskan macam-macam hukum dan jenis-jenis hukum seperti wajib, haram, sunnat, makruh, dan mubah.
2. Menjelaskan macam-macam dalil dan permasalahannya.
3. Menjelaskan cara mengeluarkan hukum dari dalil-dalilnya.
4. Menjelaskan ijtihad dan cara-caranya.
Adapun yang materi menjadi pokok pembahasan Ushul Fikih antara lain:
1. Hukum,yang di dalamnya meliputi wajib, sunah, makruh, mubah, haram, dan lain-lain.
2. Adillah, yaitu dalil-dalil Al-Qur’an, As-Sunnah, Ijma’, dan Qiyas.
3. Istinbath atau pengambilan kesimpulan hukum.
4. Mustanbith, yaitu mujtahid dengan syarat-syaratnya.
Ushul Fikih sangat bermanfaat bagi seorang Muslim yang terus menghadapi dinamika sosial sehingga selalu muncul persoalan-persoalan baru di dalam masyarakat. Untuk memecahkan persoalan baru yang belum ada nash yang jelas, tentu diperlukan istinbath, yaitu mengeluarkan hukum-hukum baru terhadap berbagai permasalahan yang muncul dengan melakukan ijtihad.
---------------------------------
Ushul Fikih Tingkat Dasar
Penulis: Dr. Muhammad Sulaiman Al-Asyqar
Ukuran: 17 x 24 cm
Sampul: Hard Cover
Isi: 375 halamba
Berat: 820 gr
Harga: Rp. 100.000,-
Pemesanan silahkan sms ke 087878147997 atau Whatsapp:
https://wa.me/6287878147997
Syukran....
Penulis: Dr. Muhammad Sulaiman Al-Asyqar
Ushul Fikih merupakan disiplin ilmu tentang cara atau metode mengeluarkan hukum dari dalil-dalilnya, yaitu tentang apa yang dikehendaki oleh perintah dan apa pula yang dikehendaki oleh larangan. Yang menjadi obyek pembahasan disiplin ilmu ini adalah:
1. Menjelaskan macam-macam hukum dan jenis-jenis hukum seperti wajib, haram, sunnat, makruh, dan mubah.
2. Menjelaskan macam-macam dalil dan permasalahannya.
3. Menjelaskan cara mengeluarkan hukum dari dalil-dalilnya.
4. Menjelaskan ijtihad dan cara-caranya.
Adapun yang materi menjadi pokok pembahasan Ushul Fikih antara lain:
1. Hukum,yang di dalamnya meliputi wajib, sunah, makruh, mubah, haram, dan lain-lain.
2. Adillah, yaitu dalil-dalil Al-Qur’an, As-Sunnah, Ijma’, dan Qiyas.
3. Istinbath atau pengambilan kesimpulan hukum.
4. Mustanbith, yaitu mujtahid dengan syarat-syaratnya.
Ushul Fikih sangat bermanfaat bagi seorang Muslim yang terus menghadapi dinamika sosial sehingga selalu muncul persoalan-persoalan baru di dalam masyarakat. Untuk memecahkan persoalan baru yang belum ada nash yang jelas, tentu diperlukan istinbath, yaitu mengeluarkan hukum-hukum baru terhadap berbagai permasalahan yang muncul dengan melakukan ijtihad.
---------------------------------
Ushul Fikih Tingkat Dasar
Penulis: Dr. Muhammad Sulaiman Al-Asyqar
Ukuran: 17 x 24 cm
Sampul: Hard Cover
Isi: 375 halamba
Berat: 820 gr
Harga: Rp. 100.000,-
Pemesanan silahkan sms ke 087878147997 atau Whatsapp:
https://wa.me/6287878147997
Syukran....
WA dari seorang Wali Kelas, Ibu Nani Roswati kepada Para Orang Tua Siswa SMKN 1 Tambun Selatan, Bekasi:
(1) Ujian anak Anda telah selesai
(2) Saya tahu Anda cemas dan berharap anak Anda berhasil dalam ujiannya.
(3) Tapi, mohon diingat,
(4) di tengah-tengah para pelajar yang menjalani ujian itu,
(5) ada calon seniman yang tidak perlu mengerti matematika,
(6) ada calon pengusaha yang tidak butuh pelajaran sejarah atau sastra,
(7) ada calon musisi yang nilai kimia-nya tak akan berarti,
(8) ada calon olahragawan yang lebih mementingkan fisik daripada fisika,
(9) ada calon fotografer yang lebih berkarakter dengan sudut pandang art berbeda yang tentunya ilmunya bukan dari sekolah ini.
(10) Sekiranya anak Anda lulus menjadi yang teratas, hebat!
(11) Tapi bila tidak, mohon jangan rampas rasa percaya diri dan harga diri mereka.
(12) Katakan saja, "Tidak apa-apa. Itu hanya sekadar ujian."
(13) Anak-anak itu diciptakan untuk sesuatu yang lebih besar lagi dalam hidup ini.
(14) Katakan pada mereka, tidak penting berapapun nilai ujian mereka,
(15) Anda mencintai mereka dan tak akan menghakimi mereka.
(16) Sebuah ujian atau nilai rendah takkan bisa mencabut impian dan bakat mereka.
(17) Berhentilah berpikir bahwa hanya dokter dan insinyur yang bahagia di dunia ini.
(18) Hormat saya, Wali kelas...
---------------------
(1) Ujian anak Anda telah selesai
(2) Saya tahu Anda cemas dan berharap anak Anda berhasil dalam ujiannya.
(3) Tapi, mohon diingat,
(4) di tengah-tengah para pelajar yang menjalani ujian itu,
(5) ada calon seniman yang tidak perlu mengerti matematika,
(6) ada calon pengusaha yang tidak butuh pelajaran sejarah atau sastra,
(7) ada calon musisi yang nilai kimia-nya tak akan berarti,
(8) ada calon olahragawan yang lebih mementingkan fisik daripada fisika,
(9) ada calon fotografer yang lebih berkarakter dengan sudut pandang art berbeda yang tentunya ilmunya bukan dari sekolah ini.
(10) Sekiranya anak Anda lulus menjadi yang teratas, hebat!
(11) Tapi bila tidak, mohon jangan rampas rasa percaya diri dan harga diri mereka.
(12) Katakan saja, "Tidak apa-apa. Itu hanya sekadar ujian."
(13) Anak-anak itu diciptakan untuk sesuatu yang lebih besar lagi dalam hidup ini.
(14) Katakan pada mereka, tidak penting berapapun nilai ujian mereka,
(15) Anda mencintai mereka dan tak akan menghakimi mereka.
(16) Sebuah ujian atau nilai rendah takkan bisa mencabut impian dan bakat mereka.
(17) Berhentilah berpikir bahwa hanya dokter dan insinyur yang bahagia di dunia ini.
(18) Hormat saya, Wali kelas...
---------------------
*PANDUAN MENGELOLA SEKOLAH TAHFIDZ*
Penulis: Tim Yayasan Muntada Islami
Siswa tidak senang, sulit menghafal, senang halaqah seperti sedang puasa daud (sehari masuk, sehari tidak), memiliki kesulitan fisik, atau guru yang tidak berperasaan kompilasi mengajar, tiba-tiba berhadapan perkembangan masalah di lembaga pendidikan tahfizh yang bisa memusingkan.
Lantas , bagaimanakah solusinya? Bagi para pengajar sekolah tahfizh, buku ini cocok sekali dibuat pedoman untuk merumuskan perencanaan kegiatan yang akan dilakukan pada halaqah tahfizh Anda. Rujukan untuk mengadapi dan menyikapi berbagai watak dan sifat siswa, Insyaallah.
Buku ini disusun berdasarkan pengalaman Yayasan Muntada Islami London ini di terbitkan sebagai sumbangsih bagi pendidikan generasi Qur’ani.
Ada solusi pada setiap masalah. Dan buku ini, semoga dapat menjadi solusi dan masukan dalam mewujudkan aspirasi sekolah tahfiz di seluruh Indonesia.
-----------------------------
Panduan Mengelola Sekolah Tahfizh
Penulis: Tim Yayasan Muntada Islami
Ukuran: 14.5 x 23 cm
Sampul: Soft Cover
Isi: HVS vii+176 hal
Berat: 300gr
ISBN: 9786028417266
Harga: Rp. 57.000,-
Pemesanan silahkan sms ke 087878147997 atau Whatsapp:
https://wa.me/6287878147997
Syukran...
Penulis: Tim Yayasan Muntada Islami
Siswa tidak senang, sulit menghafal, senang halaqah seperti sedang puasa daud (sehari masuk, sehari tidak), memiliki kesulitan fisik, atau guru yang tidak berperasaan kompilasi mengajar, tiba-tiba berhadapan perkembangan masalah di lembaga pendidikan tahfizh yang bisa memusingkan.
Lantas , bagaimanakah solusinya? Bagi para pengajar sekolah tahfizh, buku ini cocok sekali dibuat pedoman untuk merumuskan perencanaan kegiatan yang akan dilakukan pada halaqah tahfizh Anda. Rujukan untuk mengadapi dan menyikapi berbagai watak dan sifat siswa, Insyaallah.
Buku ini disusun berdasarkan pengalaman Yayasan Muntada Islami London ini di terbitkan sebagai sumbangsih bagi pendidikan generasi Qur’ani.
Ada solusi pada setiap masalah. Dan buku ini, semoga dapat menjadi solusi dan masukan dalam mewujudkan aspirasi sekolah tahfiz di seluruh Indonesia.
-----------------------------
Panduan Mengelola Sekolah Tahfizh
Penulis: Tim Yayasan Muntada Islami
Ukuran: 14.5 x 23 cm
Sampul: Soft Cover
Isi: HVS vii+176 hal
Berat: 300gr
ISBN: 9786028417266
Harga: Rp. 57.000,-
Pemesanan silahkan sms ke 087878147997 atau Whatsapp:
https://wa.me/6287878147997
Syukran...
Imam Syafi'i dan Murid "Slow Learner"
_
Sangat mengesankan pada apa yang ditulis oleh Imam Baihaqi dalam kitab Manaqib Imam Syafii, bagaimana cara Imam Syafii, sebagai guru mengajar salah satu muridnya yang sangat lamban dalam memahami pelajaran.
Sang Murid itu adalah Ar Rabi’ bin Sulaiman, murid paling slow learner. Berkali-kali diterangkan oleh sang guru Imam Syafii, tapi Robi’tak juga faham. Setelah menerangkan pelajaran, Imam Syafii bertanya,
“Rabi’ Sudah faham paham belum ?”
“Belum faham, ”jawab Rabi’.
Dengan kesabaranya, sang guru mengulang lagi pelajaranya,lalu ditanya kembali, ”sudah faham belum? Belum.
Berulang diterangkan sampai 39x Rabi’ tak juga paham.
Merasa mengecewakan gurunya dan juga malu, Rabi’ beringsut pelan-pelan keluar dari majelis ilmu. Selesai memberi pelajaran Imam Syafii mencari Robi’, melihat muridnya. Imam Syafi'i berkata, ”Robi’ kemarilah, datanglah ke rumah saya !”.
Sebagai seorang guru, sang imam sangat memahami perasaan muridnya, maka beliau mengundangnya untuk belajar secara privat.
Sang Imam mengajarkan Rabi’ secara privat, dan ditanya kembali, ”Sudah paham belum ?
Hasilnya? Rabi’ bin Sulaiman tidak juga paham.
Apakah Imam Asy-Syafi’i berputus asa?
Menghakimi Rabi’ bin Sulaiman sebagai murid bodoh? Sekali-kali tidak. Beliau berkata,
”Muridku, sebatas inilah kemampuanku mengajarimu. Jika kau masih belum paham juga, maka berdoalah kepada Allah agar berkenan mengucurkan ilmu-Nya untukmu. Saya hanya menyampaikan ilmu. Allah-lah yang memberikan ilmu. Andai ilmu yang aku ajarkan ini sesendok makanan, pastilah aku akan menyuapkannya kepadamu.”
Mengikuti nasihat gurunya, Rabi’ bin Sulaiman rajin sekali bermunajat berdoa kepada Allah dalam kekhusyukan. Ia juga membuktikan doa-doanya dengan kesungguhan dalam belajar. Keikhlasan, kesalehan, dan kesungguhan, inilah amalannya Rabi’ bin Sulaiman.
Tahukah kita? Rabi’ bin Sulaiman kemudian berkembang menjadi salah satu ulama besar Madzhab Syafi’i dan termasuk perawi hadis yang sangat kredibel dan terpercaya dalam periwayatannya.
Sang slow learner bermetamorfosis menjadi seorang ulama besar.
Inilah buah dari kesabaran Imam Asy-Syafi’i dalam mengajar dan mendidik.
Adakah kita, para guru dan orangtua bisa meneladani kesabaran Imam Syafii dalam mengajar ?
Berapa kuat kita meyakini bahwa tidak ada anak dan murid yang bodoh?
Sudahkan kita, para guru dan orangtua mendoakan anak-anak dan murid didik kita agar difahamkan pelajaran ?
Sudahkan kita, para guru dan orangtua memotivasi anak murid kita agar gigih berdoa kepada Allah Ta'ala?
----------------
_
Sangat mengesankan pada apa yang ditulis oleh Imam Baihaqi dalam kitab Manaqib Imam Syafii, bagaimana cara Imam Syafii, sebagai guru mengajar salah satu muridnya yang sangat lamban dalam memahami pelajaran.
Sang Murid itu adalah Ar Rabi’ bin Sulaiman, murid paling slow learner. Berkali-kali diterangkan oleh sang guru Imam Syafii, tapi Robi’tak juga faham. Setelah menerangkan pelajaran, Imam Syafii bertanya,
“Rabi’ Sudah faham paham belum ?”
“Belum faham, ”jawab Rabi’.
Dengan kesabaranya, sang guru mengulang lagi pelajaranya,lalu ditanya kembali, ”sudah faham belum? Belum.
Berulang diterangkan sampai 39x Rabi’ tak juga paham.
Merasa mengecewakan gurunya dan juga malu, Rabi’ beringsut pelan-pelan keluar dari majelis ilmu. Selesai memberi pelajaran Imam Syafii mencari Robi’, melihat muridnya. Imam Syafi'i berkata, ”Robi’ kemarilah, datanglah ke rumah saya !”.
Sebagai seorang guru, sang imam sangat memahami perasaan muridnya, maka beliau mengundangnya untuk belajar secara privat.
Sang Imam mengajarkan Rabi’ secara privat, dan ditanya kembali, ”Sudah paham belum ?
Hasilnya? Rabi’ bin Sulaiman tidak juga paham.
Apakah Imam Asy-Syafi’i berputus asa?
Menghakimi Rabi’ bin Sulaiman sebagai murid bodoh? Sekali-kali tidak. Beliau berkata,
”Muridku, sebatas inilah kemampuanku mengajarimu. Jika kau masih belum paham juga, maka berdoalah kepada Allah agar berkenan mengucurkan ilmu-Nya untukmu. Saya hanya menyampaikan ilmu. Allah-lah yang memberikan ilmu. Andai ilmu yang aku ajarkan ini sesendok makanan, pastilah aku akan menyuapkannya kepadamu.”
Mengikuti nasihat gurunya, Rabi’ bin Sulaiman rajin sekali bermunajat berdoa kepada Allah dalam kekhusyukan. Ia juga membuktikan doa-doanya dengan kesungguhan dalam belajar. Keikhlasan, kesalehan, dan kesungguhan, inilah amalannya Rabi’ bin Sulaiman.
Tahukah kita? Rabi’ bin Sulaiman kemudian berkembang menjadi salah satu ulama besar Madzhab Syafi’i dan termasuk perawi hadis yang sangat kredibel dan terpercaya dalam periwayatannya.
Sang slow learner bermetamorfosis menjadi seorang ulama besar.
Inilah buah dari kesabaran Imam Asy-Syafi’i dalam mengajar dan mendidik.
Adakah kita, para guru dan orangtua bisa meneladani kesabaran Imam Syafii dalam mengajar ?
Berapa kuat kita meyakini bahwa tidak ada anak dan murid yang bodoh?
Sudahkan kita, para guru dan orangtua mendoakan anak-anak dan murid didik kita agar difahamkan pelajaran ?
Sudahkan kita, para guru dan orangtua memotivasi anak murid kita agar gigih berdoa kepada Allah Ta'ala?
----------------
👍1
SEJARAH HIDUP RASULULLAH
Penulis: Amru Khalid
Terjalnya jalan perjuangan dan penderitaan tak membuat Rasulullah SAW surut menyebarkan risalah Islam. Siksaan, hinaan, rayuan, bahkan usahan pembunugan justru semakin menambah keyakinan beliau dan para sahabatnya untuk menapaki amanah ilahiyah dengan kesabaran dan semangat pantang menyerah.
Dialah, Rasulullah Sang Junjungan. Seorang suami penyayang, ayah yang ramah, sekaligus pemimpin tiada banding. Bahkan para musuhnya pun mengakui keluhuran budi pekertinya dengan gelar Al-Amin.
Dengan kepiawaiannya mengungkap banyak hikmah tersembunyi, penulis mampu meracik episode mengagumkan dalam kehidupan Rasulullah SAW menjadi sebentuk narasi bertutur. Sebuah metode penyajian Sirah Nabawiyah yang agak berbeda dari buku-buku sejenis.
------------------------------
SEJARAH HIDUP RASULULLAH
Penulis: Amru Khalid
Ukuran: 15.5 x 23.5 cm
Sampul: Hard Cover
Isi: HVS 360 halaman
Berat: 460 gr
ISBN: 9789790393349
Harga; Rp.79.000,-
Pemesanan silahkan sms ke 087878147997 atau Whatsapp:
https://wa.me/6287878147997
Syukran
Penulis: Amru Khalid
Terjalnya jalan perjuangan dan penderitaan tak membuat Rasulullah SAW surut menyebarkan risalah Islam. Siksaan, hinaan, rayuan, bahkan usahan pembunugan justru semakin menambah keyakinan beliau dan para sahabatnya untuk menapaki amanah ilahiyah dengan kesabaran dan semangat pantang menyerah.
Dialah, Rasulullah Sang Junjungan. Seorang suami penyayang, ayah yang ramah, sekaligus pemimpin tiada banding. Bahkan para musuhnya pun mengakui keluhuran budi pekertinya dengan gelar Al-Amin.
Dengan kepiawaiannya mengungkap banyak hikmah tersembunyi, penulis mampu meracik episode mengagumkan dalam kehidupan Rasulullah SAW menjadi sebentuk narasi bertutur. Sebuah metode penyajian Sirah Nabawiyah yang agak berbeda dari buku-buku sejenis.
------------------------------
SEJARAH HIDUP RASULULLAH
Penulis: Amru Khalid
Ukuran: 15.5 x 23.5 cm
Sampul: Hard Cover
Isi: HVS 360 halaman
Berat: 460 gr
ISBN: 9789790393349
Harga; Rp.79.000,-
Pemesanan silahkan sms ke 087878147997 atau Whatsapp:
https://wa.me/6287878147997
Syukran
*JAS MEWAH: Jangan Sekali-Kali Melupakan Sejarah Dakwah*
Mengapa hingga saat ini orang-orang terus menulis dan mempelajari sejarah? Padahal, selama ini sejarah tidak pernah dianggap sesuatu yang sophisticated, tidak lebih bergengsi dibandingkan bidang ilmu lain. Pun, buku-buku sejarah bukanlah genre yang diminati luas yang kemudian menjadi bestseller seperti novel, misalnya. Jawabannya, karena mempelajari sejarah itu penting.
Dua per tiga isi Al-Qur
Simak penegasan Al-Qur`an seusai bercerita, Mereka itu umat-umat (terdahulu) yang sudah lewat. Bagi mereka apa yang telah mereka perbuat dan bagi kalian apa yang telah kalian perbuat. Kalian tidak akan ditanya tentang apa yang telah mereka lakukan. (Q.s. al-Baqarah [2]: 141).
Buku ini adalah sebentuk ikhtiar penulis dalam menyampaikan urgensi sejarah tersebut, sebagai upaya mengeja (kembali) Indonesia. Di dalamnya terbagi menjadi lima bagian; sejarah masuk dan berkembangnya Islam di Indonesia, sejarah dan peran pesantren, sejarah gerakan dakwah di Indonesia, sejarah tokoh umat yang sekaligus tokoh bangsa, hingga strategi islamisasi penulisan dan pengajaran sejarah.
Selamat menikmati lembar demi lembar sajian sejarah dari Dr. Tiar Anwar Bachtiar, sejarawan muda yang concern dalam penulisan sejarah Islam di Indonesia.
-----------------------------------------
JAS MEWAH
Jangan Sekali-Kali Melupakan Sejarah Dakwah
Penulis: Dr. Tiar Anwar Bachtiar
Isi: 392 halaman
Ukuran: 15.2x23.2 cm
Berat: 386 gr
ISBN : 978-602-7820-81-4
Harga: Rp 90.000,-
Pemesanan silahkan sms ke 087878147997 atau Whatsapp:
https://wa.me/6287878147997
Syukran.
Mengapa hingga saat ini orang-orang terus menulis dan mempelajari sejarah? Padahal, selama ini sejarah tidak pernah dianggap sesuatu yang sophisticated, tidak lebih bergengsi dibandingkan bidang ilmu lain. Pun, buku-buku sejarah bukanlah genre yang diminati luas yang kemudian menjadi bestseller seperti novel, misalnya. Jawabannya, karena mempelajari sejarah itu penting.
Dua per tiga isi Al-Qur
an bercerita tentang masa lalu. Kalau tidak begitu penting, mana mungkin kitab suci berisi kisah-kisah yang amat banyak? Masa depan kita akan menjadi lebih baik bila kita sanggup mengambil pelajaran kebajikan dan kebijaksanaan dari masa lalu. Tanpa sejarah, kita akan kesulitan mengkhayalkan (baca: merumuskan) masa depan. Inilah yang diajarkan Al-Qur
an, Wahai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah, hendaklah seseorang melihat apa yang telah berlalu untuk (merencanakan) hari esok. (Q.s. al-Hasyr [59]: 18). Simak penegasan Al-Qur`an seusai bercerita, Mereka itu umat-umat (terdahulu) yang sudah lewat. Bagi mereka apa yang telah mereka perbuat dan bagi kalian apa yang telah kalian perbuat. Kalian tidak akan ditanya tentang apa yang telah mereka lakukan. (Q.s. al-Baqarah [2]: 141).
Buku ini adalah sebentuk ikhtiar penulis dalam menyampaikan urgensi sejarah tersebut, sebagai upaya mengeja (kembali) Indonesia. Di dalamnya terbagi menjadi lima bagian; sejarah masuk dan berkembangnya Islam di Indonesia, sejarah dan peran pesantren, sejarah gerakan dakwah di Indonesia, sejarah tokoh umat yang sekaligus tokoh bangsa, hingga strategi islamisasi penulisan dan pengajaran sejarah.
Selamat menikmati lembar demi lembar sajian sejarah dari Dr. Tiar Anwar Bachtiar, sejarawan muda yang concern dalam penulisan sejarah Islam di Indonesia.
-----------------------------------------
JAS MEWAH
Jangan Sekali-Kali Melupakan Sejarah Dakwah
Penulis: Dr. Tiar Anwar Bachtiar
Isi: 392 halaman
Ukuran: 15.2x23.2 cm
Berat: 386 gr
ISBN : 978-602-7820-81-4
Harga: Rp 90.000,-
Pemesanan silahkan sms ke 087878147997 atau Whatsapp:
https://wa.me/6287878147997
Syukran.
TAFSIR AL AZHAR
Penulis: Prof. Dr. Hamka
DISKON Rp. 400.000,- & GRATIS ONGKOS KIRIM
Tafsir al-Azhar adalah hasil karya terbesar dari ulama ternama yaitu Prof. Dr. HAMKA. Dalam penyusunan Tafsir al-Azhar (sebagian ditulis ketika beliau di penjara) Buya HAMKA menggunakan metode tahlili (analitis) tafsir Al-Qur’an dengan Al-Qur’an, tafsir Al-Qur’an dengan hadits, pendapat sahabat dan tabi’in, tafsir dengan tafsir muktabar, penggunaan syair, menggunakan analisis bilma’tsur, menganalisis dengan kemampuan analisis sendiri dan disusun tanpa membawa pertikaian antar madzhab.
Tafsir al-Azhar menitikberatkan penjelasan ayat-ayat Al-Qur’an dengan ungkapan yang teliti menjelaskan makna-makna yang dimaksud dalam Al-Qur’an dengan bahasa yang indah dan menarik dan menghubungkan ayat dengan realitas sosial dan sistem budaya yang ada. Buya HAMKA membicarakan permasalahan sejarah sosial dan budaya di Indonesia. Beliau juga mendemonstrasikan keluasan pengetahuan, menekankan pemahaman ayat secara menyeluruh (mengutip ulama-ulama terdahulu) mendialogkan antara teks Al-Qur’an dengan kondisi umat Islam saat Tafsir al-Azhar ditulis.
------------------------------
TAFSIR AL AZHAR
Penulis: Prof. Dr. Hamka
- DISKON Rp. 400.000,- UNTUK PEMBELIAN 1 SET menjadi 2.975.000,- (Harga normal Rp. 3.375.000,-)
- Gratis Ongkos Kirim. 1 set berisi 9 jilid (plus box) dengan berat 16 Kg.
Pemesanan silahkan sms ke 087878147997 atau Whatsapp:
https://wa.me/6287878147997
Syukran...
Penulis: Prof. Dr. Hamka
DISKON Rp. 400.000,- & GRATIS ONGKOS KIRIM
Tafsir al-Azhar adalah hasil karya terbesar dari ulama ternama yaitu Prof. Dr. HAMKA. Dalam penyusunan Tafsir al-Azhar (sebagian ditulis ketika beliau di penjara) Buya HAMKA menggunakan metode tahlili (analitis) tafsir Al-Qur’an dengan Al-Qur’an, tafsir Al-Qur’an dengan hadits, pendapat sahabat dan tabi’in, tafsir dengan tafsir muktabar, penggunaan syair, menggunakan analisis bilma’tsur, menganalisis dengan kemampuan analisis sendiri dan disusun tanpa membawa pertikaian antar madzhab.
Tafsir al-Azhar menitikberatkan penjelasan ayat-ayat Al-Qur’an dengan ungkapan yang teliti menjelaskan makna-makna yang dimaksud dalam Al-Qur’an dengan bahasa yang indah dan menarik dan menghubungkan ayat dengan realitas sosial dan sistem budaya yang ada. Buya HAMKA membicarakan permasalahan sejarah sosial dan budaya di Indonesia. Beliau juga mendemonstrasikan keluasan pengetahuan, menekankan pemahaman ayat secara menyeluruh (mengutip ulama-ulama terdahulu) mendialogkan antara teks Al-Qur’an dengan kondisi umat Islam saat Tafsir al-Azhar ditulis.
------------------------------
TAFSIR AL AZHAR
Penulis: Prof. Dr. Hamka
- DISKON Rp. 400.000,- UNTUK PEMBELIAN 1 SET menjadi 2.975.000,- (Harga normal Rp. 3.375.000,-)
- Gratis Ongkos Kirim. 1 set berisi 9 jilid (plus box) dengan berat 16 Kg.
Pemesanan silahkan sms ke 087878147997 atau Whatsapp:
https://wa.me/6287878147997
Syukran...