MUSTANIR ONLINE
3.2K subscribers
865 photos
163 videos
56 files
900 links
Sharing audio, tulisan karya Dr Adian Husaini, Dr Hamid Fahmy Zarkasyi serta pemikir muslim kontemporer lainnya.
Download Telegram
TOKOH-TOKOH ORIENTALIS DI INDONESIA
Oleh: Tiar Anwar Bachtiar

I. Thomas Stamford Raffles
(1781-1826)

Terlahir dengan nama Thomas Raffles, sosok yang sangat dihormati di Inggris dan Singapura ini tidak lahir di lingkungan istana. Ia lahir di lepas pantai Jamaika 6 Juli 1781 dari orang tua yang hanya berprofesi sebagai juru masak di sebuah kapal. Ia pun lahir saat orang tuanya bekerja di geladak Kapal Ann. Namun, sebuat Sir (sebutan bagi bangsawan Inggris) selalu dilekatkan padanya karena jasa-jasanya yang besar bagi pemerintahan Inggris.

Tidak seperti orientalis pada umumnya, Raffles bukanlah seorang ilmuwan an sich. Ia hanya menyelesaikan sekolah biasa di Inggris. Namun, karena keuletan dan kemauan belajarnya yang sangat tinggi, Raffles diterima bekerja sebagai juru tulis di East Indian Company (EIC) pada tahun 1795. Beberapa saat kemudian ia dipromosikan sebagai asisten sekretaris untuk wilayah kepulauan Melayu di perusahaan yang sama. Sejak dipekerjakan di sana, kemampuan bahasa Melayunya terasah.

Sejak tahun 1804, Raffles bertugas di Pulau Penang, Malaysia. Kemudian tahun 1811 ia dikirim pemerintah Inggris pada suatu ekspedisi ke Tanah Jawa sebagai Letnan Gubernur. Karena kecerdikan, keterampilan, dan kemampuannya berbahasa Melayu, Pemerintah Inggris mempercayai Raffles menjadi Gubernur Jendral Hindia-Belanda, pada tahun yang sama setelah wilayah kepulauan Indonesia resmi jatuh ke tangan Inggris dari Prancis. Raffles pun menggantikan Gubernur Jendral William Daendels (1808-1811) utusan Prancis.

Walaupun datang sebagai pejabat, Raffles ternyata sangat senang dengan dunia ilmu pengetahuan. Kegemarannya pada biologi membuat namanya telah dijadikan nama ilmiah bagi sederet tumbuhan dan binatang. Yang paling masyhur adalah rafflesia arnoldi (bunga bangkai). Selain itu, ia pun menaruh perhatian besar pada kebudayaan Melayu dan Jawa. Sepanjang masa tugasnya di kepulauan Melayu dan Jawa, ia mengumpulkan berbagai data tentang sejarah dan kebudayaan di wilayah ini; juga mengenai flora dan fauna yang tidak akan pernah ia lewatkan.

The History of Java adalah magnum opus-nya mengenai segala sesuatu tentang Pulau Jawa, temasuk sejarah dan budayanya. Sekalipun lebih terlihat sebagai laporan atas apa yang ia temukan selama bertugas di Jawa, namun karya ini dianggap sebagai tonggak penting kajian-kajian sejarah dan kebudayaan Jawa dan Indonesia yang dilakukan oleh orientalis-orientalis sesudahnya.

Karya inilah yang mula-mula menganggap kebudayaan Hindu-Budha sebagai fondasi dasar kebudayaan masyarakat Indonesia, khususnya Jawa. Karya ini pula yang menginspirasi sarjana-sarjana asing, terutama Belanda, pada masa-masa berikutnya untuk turut menguatkan kesimpulan Raffles tentang posisi kebudayaan Hindu-Budha di Indonesia.

Bagi Raffles, Islam yang disebarluaskan pada masa Walisongo dianggap sebagai ajaran asing. Sekalipun ia mengakui bahwa saat ia bertugas di kepulauan Melayu dan Jawa, Islam merupakan agama yang dianut mayoritas rakyat di kawasan ini, namun Raffles tidak melihatnya sebagai fenomena kultural yang harus digali. Ia justru semakin yakin dengan pengaruh mistik Hindu-Budha pada penguasa-penguasa Muslim. Ia menafsirkan berbagai praktik kultural yang dilakukan oleh penguasa-penguasa Muslim sama seperti penguasa-penguasa Hindu sebelumnya.

Penggambaran kekuasaan raja-raja Islam yang penuh mistik seperti keris bertuah, benda-benda pusaka, dan semisalnya melekat sepanjang tulisannya di The History of Java. Penggambarannya ini mengukuhkan kesan tidak berpangaruhnya ajaran-ajaran Islam yang ia sebut sebagai Mohamedanism ini kepada perilaku kultural masyarakat dan penguasa-penguasa Muslim.

Selain itu, ia pun mengukuhkan kesan perluasan Islam yang dilakukan dengan cara-cara kekerasan oleh penguasa Islam. Dalam kasus Raden Fatah, misalnya, The History of Java-lah yang mula-mula menceritakan bahwa Demak mendapatkan kekuasaan setelah menghancurkan Majapahit.
Dalam cerita itu digambarkan toleransi dan sikap damai Majapahit justru dibalas dengan serangan Raden Fatah yang haus kekuasaan hingga Majapahit benar-benar luluh lantak tak bersisa.

Simpatinya pada kebudayaan Hindu-Budha ini juga diwujudkan dengan usaha-usahanya mengeskavasi candi-candi di pulau Jawa yang semula sudah hancur. Atas perintahnya-lah candi Borobudur yang sudah terkubur debu letusan gunung Merapi dibangun kembali dan dijadikan icon Jawa. Sejak saat itulah, tergambar seolah-olah pembangun utama kebudayaan Indonesia adalah kebudayaan Hindu-Budha. (***)

II. William Marsden
(1754 1836)

Bagi para Indonesianis, Raffles adalah inspirator sedangkan Marsden adalah peletak dasar kajian ilmiah tentang Indonesia. Karyanya yang paling popular tentang wilayah di kepulauan ini adalah The History of Sumatra (1783). Sama seperti Raffles, Marsden memokuskan karyanya ini pada kebudayaan orang-orang Sumatra seperti Minangkabau, Batak, Aceh, Rejang, Lebong, dan sebaginya.

Jika Raffles meletakkan penelitian sebagai kerja sampingan dari pekerjaan utamanya sebagai pejabat, maka Marsden datang ke Asia Tenggara sebagai seorang Orientalis yang ditugaskan pemerintah Inggris untuk meneliti wilayah ini. Marsden bersahabat baik dengan Raffles dan sama-sama pernah dikirim ke Bengkulu untuk tugas yang berbeda. Saat bertemu di Inggris, Marsden sempat menghadiahkan 5 buah koin gobog wayang yang menjadi salah satu koleksi penting Raffles.

Marsden lahir di Dublin 16 November 1754. Orang tuanya adalah pedagang di kota itu. Sejak usia 16 tahun ia sudah bekerja di sebuah perusahaan multinasional Inggris Eeast Indian Company (EIC) sebagai juru tulis. Ia bekerja di sana sebelum Raffles dan kemudian di kirim ke Bengkulu tahun 1771. Setelah itu, ia dipromosikan sebagai sekretaris utama negara untuk urusan Hinda-Timur yang ditempatkan di Sumatra. Sepanjang berada di Sana, ia melakukan penelitian tentang berbagai hal menyangkut kehidupan masyarakat Sumatra, dari mulai kekayaan alam, kehidupan sehari-hari, kebudayaan, sampai masalah keyakinan. Ia menguasai bahasa Melayu dengan sangat baik.

Sekembalinya dari Sumatra tahun 1779, ia mulai menulis The History of Sumatra dan berhasil menyelesaikannya pada tahun 1783. Karya ini lebih dahulu dibuat daripada The History of Java. Namun, popularitas Raffles membuat The History of Java lebih dahulu dipublikasikan dan dikenal orang sebelum karya Marsden ini. Walaupun demikian, karya Marsden ini sangat penting bagi kajian-kajian keindonesiaan pada masa-masa berikutnya, terutama menyangkut Sumatra. Pada tahun 1834, dua tahun menjelang kematiannya, Marsden diangkat sebagai ketua the Royal Society, sebuah kumpulan kaum intelektual Inggris saat itu. Posisinya ini memberikan pengakuan akan otoritasnya di dunia ilmu pengetahuan.

Sama seperti karya-karya oreintalis pada umumnya, kelemahan mendasar karya Marsden tentang Sumatra ini adalah mengenai framework (kerangka kajian). Marsden terjebak dengan framework kultural Eropa yang telah tersekularisasi saat melakukan eksplanasi menyangkut fenomena-fenomena kultural masyarakat Sumatra yang mayoritas Muslim
.
Sepanjang eksplanasinya dalam The History of Sumatra, tulisan Marsden mengesankan bahwa kebudayaan dan kebiasaan sehari-hari yang dipraktikkan masyarakat Sumatra adalah indeginiuos (asli) hasil kreativitas masyarakat Sumatra. Saat menjelaskan mengenai hukum yang berlaku di beberapa kerajaan seperti Minangkabau. Melayu, dan Aceh, Marsden gagal mengungkapkan bahwa hukum-hukum yang berlaku itu merupakan hukum yang diadopsi masyarakat dari syariat Islam. Bahkan sampai hari ini di masyarakat Minang terkenal ungkapan adat basandi syara dan syara basandi kitabullah. Marsden sama sekali luput menjelaskan keterkaitan syariat Islam dengan hukum adat yang berlaku di sebagian besar wilayah Sumatra ini. Alhasil, karya Marsden ini berkontribusi besar dalam memisahkan pengaruh Islam dalam sejarah dan kebudayaan Indonesia, terutama wilayah Sumatra. (***)
Cristiaan Snouck Horgonje
(1857-1936)
Orientalis kelahiran Thalen, Ousterhout, Negeri Belanda tanggal 8 Februari 1857 ini adalah orientalis paling kontroversial di Indonesia. Untuk memuluskan tujuannya menggali informasi mengenai umat Islam, ia rela berpura-pura masuk Islam. Oleh ayah dan kakeknya yang menjadi pendeta Protestan di Belanda ia diarahkan untuk mejadi pendeta. Namun, Snouck tidak kerasan dan memilih meneruskan kuliah di Universitas Leiden jurusan Sastra Arab. Tahun 1875, ia mendapatkan predikat cum laude untuk disertasi doktor dalam bidang Bahasa Semit dengan disertasi Het Mekaansche Feest (Festival Mekah). Tidak puas dengan studinya di Leiden, tahun 1884 ia pergi Mekah untuk menggali kebudayaan Arab dan berbagai aspek Islam di tempat yang netral dari pengaruh kolonialisme. Namun untuk tujuannya itu, ia rela menyatakan masuk Islam dan berganti nama menjadi Abdul Ghaffar.

Di Mekah, ia bertemu dengan seorang tokoh Aceh yang kemudian menjadi antek Belanda, Habib Abdurrahman Zahir. Pertemuannya itu mengubah minatnya belajar bahasa dan kebudayaan Arab kepada masalah-masalah politik kolonial. Dari Zahir, Snocuk mendapatkan banyak bahan mengenai penanganan masalah-masalah Acah. Saran-saran Zahir itu tidak terlalu ditanggapi pemerintah kolonial saat ditawarkan oleh Zahir sendiri. Namun melalui tangan Snouck, barulah pemerintah mau merespon. Bahkan, saat Snouck menawarkan diri untuk meneliti masalah-masalah pribumi, terutama masalah Aceh, pemerintah kolonial menyetujuinya.

Tahun 1889 ia mulai melaksanakan tugasnya melakukan penelitian mengenai aspek-aspek kebudayaan dan keagamaan masyarakat Aceh. Hasil penelitiannya itu kemudian dibukukan setebal 2 jilid dengan judul De Atjeher. Dalam penelitiannya, ia berhasil mendapatkan informasi dari sumber-sumer pertama berkat kepura-puraannya mengaku Islam. Orang-orang Aceh pun percaya karena penguasaannya terhadap bahasa Arab dan penguasaannya terhadap berbagai aspek ajaran Islam. Apalagi, ia pernah dua tahun belajar di Mekah.

Tidak lama setelah pemerintah menjalankan saran-saran hasil penelitian Snuock, Aceh yang selama hampir satu abad penguasaan Belanda atas Indonesia tidak dapat ditaklukkan akhirnya dapat ditaklukkan juga. Atas jasa-jasanya ini Snouck mendapatkan pujian dan penghargaan besar. Kantor yang disediakan pemerintah Belanda untuk akitivitasnya, yaitu Het Kantoor voor Inlansche Zaken (Kantor Penasihat Urusan-Urusan Pribumi), menjadi kantor yang cukup penting. Bahkan kewenangannya seringkali tumpang-tindih dengan pemerintah lokal setempat.

Sama seperti para pendahulunya, Snouck tetap memperingatkan pemerintah Belanda bahwa Islam berbahaya bagi kepentingan politik kolonial. Namun, banginya tidak semua Islam berbahaya. Hanya umat Islam yang berkesadaran politiklah yang akan mengancam kelangsungan kekuasaan Belanda. Sementara umat Islam yang hanya mengurusi masalah-masalah ibadah tidak akan berbahaya. Oleh sebab itu, pemerintah disarankan agar mendukung setiap kegiatan umat Islam yang berkaitan dengan masalah ibadah sehari-hari.

Seperti dicatat Bernhard van Vlakke dalam The History of Nusantara, Snouck pula yang memperingatkan bahwa pada dasarnya masyarakat Islam Indonesia adalah masyarakat yang ramah dan tidak suka amok (protes). Yang suka menyulut amarah mereka adalah mereka yang sudah pulang dari Mekah dan membawa paham ”Mekah” yang keras. Inilah yang kemudian menjadi cikal bakal stigma jelek terhadap alumni-alumni Timur Tengah dan ajaran-ajaran Muhammad ibn Abdul Wahab yang oleh para Orientalis diberi julukan Wahabi. Kadua saran di antara sekian banyak saran Snouck yang lain di atas, rupanya sampai saat ini masih dijadikan standar penguasa dalam memperlakukan umat Islam. Padahal semestinya, saran itu hanya cocok untuk para penguasa penjajah yang memusuhi umat Islam, bukan pemerintah yang berasal dari dalam diri umat Islam sendiri. (***)
Namanya Mbah Sapar. Usianya 80 tahun. Rambutnya sudah memutih. Beberapa giginya terlihat ompong. Mbah Sapar dan istrinya, yaitu Mbah Karti adalah warga muslim asli di Dusun Diwak. Hanya mereka berdua yang asli muslim. Hanya keluarga mereka atau 1 KK muslim saja yang ada di Dusun Diwak.
https://www.facebook.com/153825841424041/posts/2245930102213594/
ANTARA FAKTA DAN KHAYAL TUANKU RAO
Penulis: Prof. Dr. Hamka

''"Dalam usahanya hendak membangkitkan kesan bahwa yang pahlawan-pahlawan sejati di masa perang Padri itu hanya Batak yang baru masuk Islam, sedang orang Minangkabau sendiri hanya suka duduk di rumah (TR, hal. 278), maka dikacaukannyalah sejarah yang teratur. Pengacauan itu sangat menyolok mata, dan karena tebalnya buku ''"Tuanku Rao''' (691 halaman), banyaklah orang yang pengetahuannya tentang sejarah masih primery (masih dasar) yang tertipu lalu mempercayainya.'''

Demikianlah salah satu penilaian Buya Hamka atas buku ''"Tuanku Rao''' yang ditulis oleh Ir. Mangaradja Onggang Parlindungan. Lewat buku Antara Fakta dan Khayal Tuanku Rao ini Hamka tidak saja mengkritik penuturan Parlindungan, tetapi juga menunjukkan fakta sejarah pembanding. Membaca buku ini, kita pun akan lebih mengetahui sejarah Islam di Indonesia, khususnya di Sumatra Barat. Dan, pada saat yang sama kita juga bisa belajar dari Buya Hamka cara menanggapi sebuah karya yang dipandang banyak mengandung kekeliruan.

Buya Hamka. Nama lengkapnya Haji Abdul Malik Karim Amrullah. Putra pertama dari pasangan Dr. Abdul Karim Amrullah dan Shaffiah ini lahir pada 17 Februari 1908 di Maninjau, Sumatra Barat. Tidak satu pun pendidikan formal ditamatkannya. Banyak membaca menjadi modalnya, tak lupa belajar langsung dengan tokoh dan ulama, baik di Sumatra Barat, Jawa, bahkan sampai ke Mekah. Doktor Honoris Causa dari Universitas al-Azhar dan Universitas Prof. Moestopo Beragama ini wafat pada hari Jum'''at, 24 Juli 1981.
------------------------------------------
ANTARA FAKTA DAN KHAYAL TUANKU RAO
Penulis: Prof. Dr. Hamka
Ukuran: 13.5x 20.5 cm
Sampul: Softcover
Berat: 350 gram
Penerbit: REPUBLIKA PENERBIT
Isi: 487 halaman
Harga: Rp. 125.000,-

Pemesanan silahkan sms ke 087878147997 atau Whatsapp:
https://wa.me/6287878147997

Syukran...
Namanya Mbah Sapar. Usianya 80 tahun. Rambutnya sudah memutih. Beberapa giginya terlihat ompong. Mbah Sapar dan istrinya, yaitu Mbah Karti adalah warga muslim asli di Dusun Diwak. Hanya mereka berdua yang asli muslim. Hanya keluarga mereka atau 1 KK muslim saja yang ada di Dusun Diwak.

Sedangkan muslim lainnya, yaitu mas Puan, keluarganya sudah murtad semua. Hanya dia seorang dalam keluarganya yang muslim. Jadi Kartu Keluarganya di kolom agama terdapat dua agama.

Saat itu Tim Mualaf Center Kab Semarang bersilaturahim ke rumah Mbah Sapar. Kami mencoba menyapa warga muslim disana yang cuma ada 3 orang. Berbicara dari hati ke hati tentang perasaan mereka.

Kami mendengarkan sepenuh hati kisah dari Mbah Sapar. Meskipun minoritas, tapi Mbah Sapar rajin mengaji, bahkan hingga Magelang. Dengan menggunakan motor Astrea Grand keluaran tahun 80-an, Mbah Sapar beserta istrinya mendatangi majelis taklim.

Mereka berdua menembus gelapnya malam dan dinginnya udara Gunung Merbabu demi bertemu dengan saudara seimannya. Demi menuntut ilmu, agar keimanan mereka semakin kokoh.

Sungguh, kami melihat ketulusan dan keteguhan prinsip dalam diri Mbah Sapar. Beberapa kali dia ditawari berpindah agama. Diiming-imingi harta benda jika mau melepaskan keyakinannya. Pernah ditawari sapi, motor, uang asal mau berpindah agama. Tapi tawaran itu ditolak semua. Mbah Sapar kokoh bagai batu karang di lautan. Tak mau menukar keyakinannya demi secuil kenikmatan duniawi.

Mbah Sapar dan Mbah Karti bukanlah orang kaya. Mereka hidup sederhana hingga masa tuanya. Bahkan saat ini memilhara 2 ekor anak sapi milik non Muslim. Kelak jika sapi itu beranak, maka anakan sapi akan menjadi miliknya. Setiap hari Mbah Sapar mencari rumput untuk kedua anak sapi tersebut.

Mbah Sapar adalah potret teladan muslim di lereng Merbabu. Tetap gigih memeluk Islam meskipun kondisi papa dan di lingkungan minoritas. Komposisi warga muslim di desanya hanya ada 1%. Sebuah jumlah yang sangat sedikit.

Semoga Mbah Sapar dan Mbah Karti selalu istiqomah hingga akhir hayat, aamiin 🙏❤️

-Widi Astuti-
MUSTANIR ONLINE
Photo
MATA AIR KETELADANAN

Tahukah yang ada dalam foto ini? Yang mencium tangan adalah Kiyai Masbuchin. Yang dicium tangan adalah Kiyai, orang tua dan guru kami KH. Hasan Abdullah Sahal, pimpinan Pesantren Gontor.

Tahukah siapa Kiyai Masbuchin itu? Kiyai Masbuchin adalah pendiri dan pengasuh Pesantren Manba'ush Sholihin Suci, Gresik. Pesantren yang hebat, santrinya ribuan, mulai dari TK sampai Perguruan Tinggi. Saya banyak kenal dengan alumninya yang banyak menjadi kiyai, dosen, pejuang dan sebagainya.

Kiyai Masbuchin adalah alumni pesantren Gontor. Lalu melanjutkan nyantri di Langitan Tuban di bawah asuhan Kiyai Abdullah Faqih.

Pertanyaannya, mengapa Kiyai Masbuchin ini begitu sukses menjadi pejuang? Hingga pesantrennya maju dan mengeluarkan alumni yang hebat-hebat?

Salah satu jimatnya adalah ketulusan dan keikhlasannya. Kiyai Masbuchin masih menjadi santri di Langitan Tuban saat pesantren Manba'ush Sholihin sudah dirintis oleh ayahnya (KH. Abdullah Faqih). Saat itu KH. Masbuchin masih ragu karena masih takut dengan keikhlasan dan ketulusan jiwanya ketika membangun pesantren. Khawatir yang diperjuangkan hanya mencari murid banyak, kebesaran dirinya, bukan berjuang untuk agama. Masya Allah.

Selain itu keikhlasan dan ketulusan, Kiyai Masbuchin ini sangat menghormati guru. Beliau benar-benar mengamalkan kitab Ta'lim al-Muta'allim. Maka beliau patuh kepada gurunya yaitu Yai Abdullah Faqih agar pesantren yang telah dirintis ayahnya itu segera dikembangkan. Sejak adanya perintah itu, beliau mulai berjuang.

Nama Manba'ush Sholihin adalah pemberian dari guru ayah beliau: Mbah Yai Utsman al-Ishaqi.

Diceritakan oleh beliau sendiri kepada rombongan santri Gontor saat berkunjung ke pesantren beliau, bahwa suatu waktu dengan tirakat dan mujahadah yang suci, beliau sangat ingin meminta ridha kepada guru beliau; yai Zarkasyi. Padahal Yai Zarkasyi sudah wafat.

Karena niatnya yang suci, Kiyai Masbuchin bertemu dengan KH. Imam Zarkasyi dalam mimpi. Kemudian Kiyai Masbuchin meminta restu dan doa kepada KH. Imam Zarkasyi. Lalu KH. Imam Zarkasyi menangis melihat KH. Masbuchin lalu sujud tersungkur. Ini menandakan bahwa KH. Masbuchin adalah murid yang sangat disayangi dan diridhai.

KH. Hasan Abdullah Sahal menceritakan bahwa KH. Masbuchin sejak menjadi santri menjadi orang yang sangat tawadhu'. KH. Masbuchin adalah adik kelas beliau saat di Gontor.

Dalam foto ini, KH. Masbuchin mencium tangan KH. Hasan Abdullah Sahal. KH. Masbuchin memberi hormat pada KH. Hasan Abdullah Sahal karena KH. Hasan Abdullah Sahal adalah putra gurunya; KH. Ahmad Sahal.

Sungguh, mata air keteladanan dari orang-orang hebat.

Pelajaraannya:
1. Mendirikan pesantren itu yang paling sulit adalah menata hati dan jiwa untuk ikhlas dan istiqamah dalam keikhlasan. Murni untuk Allah, berjuang untuk agamanya sekuat-kuatnya.

2. Tidak ada orang bisa menjadi sukses dan menjadi besar tanpa menghormati dan memuliakan gurunya.

3. Pesantren tidak akan menjadi maju, tidak akan menghasilkan orang-orang yang hebat manakala tidak dilandasi jiwa keikhlasan, dan manajemen yang canggih, rapi dan terorganisir.

FB
-Alma'arif Arif-
MUSTANIR ONLINE
Photo
Siang ini saya menerobos lereng Merbabu demi menjumpai Mbah Sapar. Ada seorang teman yang ingin menitipkan kambing untuk mbah Sapar. Jadi saya harus kroscek langsung.

Kemudian kami mengobrol banyak hal. Dari obrolan tersebut, saya jadi tau bahwa ternyata Mbah Sapar tak punya ladang. Selama ini dia menyewa ladang milik orang untuk bertani sayur. Sewa tanah tersebut sebesar 3,5 juta/tahun. Entah tanaman Mbah Sapar lancar atau tidak, untung atau rugi, maka biaya sewa tersebut harus dibayar di muka.

Saya juga jadi tau bahwa harga sayur dari petani sangat murah. Saat ini Mbah Sapar sedang panen kobis dan hanya laku 500/kg. Iya cuma 500 perak seharga sebutir permen. Padahal kalau di tukang sayur itu sudah mahal. Kalau kobisnya jelek malah cuma dihargai 300/kg.

Saya bengong, tak menyangka begitu murah harga sayuran. Padahal setiap hari Mbah Sapar harus merawat dengan telaten. Dari pengolahan tanah, pemupukan, pencabutan rumput, hingga panen. Dan sewaktu panen ternyata harganya sering anjlok. Bisa dikatakan tenaga Mbah Sapar ngga pernah dihitung. Bisa balik modal saja sudah alhamdulillah.

Ngenes mendengar cerita para petani sayur. Di musim hujan seperti sekarang ini, banyak tanaman cabai yang mati. Bahkan Mbah Sapar pernah membuang tanaman cabai karena keburu busuk.

Saya mengobrol dengan bahasa Jawa agar terasa lebih akrab. Terkadang mbanyol agar tertawa bersama. Obrolan hangat diantara rintik gerimis lereng Merbabu. Obrolan yang menyadarkan saya betapa Mbah Sapar sosok yang sangat kuat dan sehat di usianya yang ke-80 tahun. Sehat karena setiap hari ke ladang dan merawat ternak.

Saya juga jadi tau bahwa Mbah Sapar pernah jatuh dari motor sebanyak 13 kali. Tapi dia tak mengeluh dan tak mau dibawa ke Rumah Sakit. Dia takut jarum suntik 😂.

Mbah Sapar dan Mbah Karti adalah warga Nahdliyin yang rajin ngaji. Rutin menghadiri pengajian meskipun pernah ban motornya bocor sepulang pengajian. Tapi tak pernah kapok berangkat ngaji. Karena dia ingin sholawatan bersama saudaranya yang lain. Atau ingin yasinan dan tahlilan di desa lain.

Saya tersenyum melihat Mbah Karti yang ramah. Ketika tertawa, giginya yang ompong terlihat jelas. Mbah Saoar dan Mbah Karti adalah sosok hangat dan ramah khas warga desa. Mereka senang sekali kedatangan saudaranya.

Membayangkan Mbah Sapar dan Mbah Karti berboncengan motor mesra menuju tempat pengajian, rasanya bikin iri. Menua bersama dalam ketaatan.....so sweeeettt ❤️

-Widi Astuti- 6 hari yang lalu.
KISAH PARA WALI
Penulis: Muhammad Ali

Buku ini adalah buku yang berisi kisah orang-orang saleh dari generasi terdahulu (salaf). Di dalamnya terdapat banyak pelajaran berharga yang bisa dijadikan teladan. Ditulis oleh Muhammad Ali, penulis buku laris Para Panglima Islam Penakluk Dunia terbitan Penerbit Ummul Qura.

Buku ini sengaja diberi judul Kisah Para Wali karena selama ini banyak berkembang persepsi bahwa Auliya’ullah (Para Wali Allah) identik dengan “kesaktian” dan hal-hal yang bersifat “luar biasa” atau “supranatural”. Padahal, tidak selamanya demikian. Meskipun, tidak dipungkiri di dalam syariat Islam bahwa ada hamba-hamba Allah yang diberikan karamah (kemuliaan) berupa hal-hal yang menakjubkan.

Di dalam Islam, menurut penjelasan ulama Ahlussunnah wal Jamaah, standar perwalian Allah adalah ketakwaan dan kesesuaian terhadap Sunnah Rasulullah. Artinya, semakin bertakwa seorang hamba, dan semakin sesuai seseorang dengan As-Sunnah, berarti semakin dekat dengan derajat kewalian, dan semakin layak untuk mendapatkan perwalian (pertolongan) Allah.
---------------------------------
KISAH PARA WALI
Penulis: Muhammad Ali
Ukuran: 17 x 24,5 cm
ISI: 304 halaman
Sampul: Hard Cover
Harga: Rp. 99.000,-

Pemesanan silahkan sms ke 087878147997 atau Whatsapp:
https://wa.me/6287878147997

Syukran.
Tanpa Perjuangan, Kita akan Mati Dalam Kehidupan
Oleh: Dr. Adian Husaini (Ketua Dewan Da’wah Islamiyah Indonesia)

KH Imam Zarkasyi, salah satu pendiri Pesantren Darussalam Gontor Ponorogo, dikenal luas sebagai salah satu tokoh pendidikan terkemuka di Indonesia. Karya nyata pendidikannya telah dirasakan manfaatnya oleh jutaan orang. Banyak pemikiran dan nasihat berharga telah beliau sampaikan kepada para murid dan anak-anaknya.

Tahun 2019, terbit sebuah buku berjudul “Ajaran Kiai Gontor: 72 Wejangan Hidup K.H. Imam Zarkasyi”, ditulis oleh putra bungsunya, Muhammad Ridlo Zarkasyi. Melalui artikel berikut ini, kita merenungkan satu poin penting dari sejumlah nasehat KH Imam Zarkasyi, bahwa: “Hidup itu Perjuangan.”

“Hidup tanpa perjuangan bukan hidup namanya,” begitu petuah penting KH Imam Zarkasyi. Selanjutnya, kita simak untaian nasehat beliau tentang hidup dan perjuangan:

“Innal hayaata aqiidatun wa jihaadun” (Sesungguhnya hidup itu keyakinan dan perjuangan), begitu pesan yang sering kita dengar. Hidup ini tak lain adalah perjuangan dan mempertahankan akidah. Hidup ini perjuangan.

Kita tidak bisa memilih antara berjuangan atau tidak berjuang. Selama kita ingin hidup, perjuangan itu mutlak dilakukan. Tanpa perjuangan kita akan mati dalam kehidupan.

Hanya saja, yang perlu kita bedakan adalah kepentingan siapa yang kita perjuangkan dan bagaimana kita memperjuangkannya. Sebagai orang pesantren, berjuanglah untuk kemaslahatan orang banyak. Jangan hanya berjuangan untuk kepentingan diri sendiri. Bondo, bahu, pikir (harta, tenaga, pikiran) untuk kemaslahatan umat.

Kemanfaatan kita di dunia ini ditentukan dari cita-cita kita bersama orang banyak. Harga kita ditentukan oleh seberapa luas cita-cita kita, perjuangan kita tersebut.

Nilai kita diukur oleh seberapa banyak kepentingan umat yang kita perjuangkan. Satu orang yang memperjuangkan kepentingan seribu orang, nilainya akan sama dengan seribu orang itu. Sebaik-baik manusia adalah yang bermanfaat untuk orang banyak.

Syarat untuk bisa memperjuangkan kepentingan orang banyak adalah selalu berpikir apa yang bisa saya berikan, bukan apa yang bisa saya ambil. Berjasalah, tapi jangan minta jasa.

Supaya nafas perjuangan kita panjang, yang perlu kita amalkan adalah keikhlasan. Hanya kepada Allah-lah kita menggantungkan harapan dari perjuangan kita.”

*

Pesan KH Imam Zarkasyi – bahwa hidup adalah perjuangan – penting untuk kita renungkan. Ini juga salah satu nasehat Luqman al-Hakim kepada anaknya: “Wahai anakku, dirikanlah shalat, dan tegakkanlah kebaikan serta cegahlah kemunkaran. (QS 31:17).

Sangat berbahaya, jika seorang, umat atau bangsa telah padam api perjuangan dalam dirinya. Pada 17 Agustus 1951, tokoh integrasi NKRI, Mohammad Natsir menulis artikel berjudul “Jangan Berhenti Tangan Mendayung, Nanti Arus Membawa Hanyut.”

Melalui artikelnya ini, Natsir mengkhawatirkan kondisi manusia Indonesia yang mulai dijangkiti penyakit bakhil; bakhil keringat, bakhil waktu, dan merajalela sifat serakah. Orang bekerja tidak sepenuh hati lagi. Orang sudah keberatan memberikan keringatnya sekalipun untuk tugasnya sendiri.

Kata Mohammad Natsir : “Orang sudah mencari untuk dirinya sendiri, bukan mencari cita-cita yang di luar dirinya. Lampu cita-citanya sudah padam kehabisan minyak, programnya sudah tamat, tak tahu lagi apa yang akan dibuat!”

Untuk meraih kebahagiaan dunia dan akhirat memerlukan perjuangan yang berat. Nabi kita, Muhammad saw, memperingatkan, bahwa sorga itu diselimuti hal-hal yang sifatnya tidak disukai manusia. Sebaliknya, neraka diselimuti hal-hal yang menyenangkan syahwat manusia.

Karena itu, sangatlah tidak sehat kondisinya, jika kehidupan lembaga, organisasi, atau kehidupan berbangsa dan bernegara, sudah didominasi oleh budaya pragmatisme dan materialisme. Rakyat diajarkan untuk menghitung-hitung pengorbanannya dengan imbalan di dunia. Tidak tampak lagi keikhlasan dalam perjuangan.
Lebih memilukan ketika para pendidik didorong untuk meninggalkan prinsip mengajar sebagai sebuah perjuangan. Prinsipnya diganti: mengajar adalah kerja; dan kerja harus ada imbalan materinya. Guru bukan lagi dianggap atau menganggap dirinya sebagai pejuang, sebagai mujahid intelektual; tetapi guru ditempatkan atau menempatkan diri sebagai ”tukang ngajar bayaran!”

Maka, dari hari ke hari, semakin tak terdengar lagi untaian kata-kata indah dalam Hymne Guru: ”Engkau bagai pelita dalam kegelapan; engkau laksana embun penyejuk dalam kehausan; engkau patriot pahlawan bangsa tanpa tanda jasa.”

Kini, kehidupan masyarakat kita, seolah-olah dipenuhi dengan nuansa pemujaan materi secara berlebihan. Semua dianggap harus ada imbalannya di dunia ini, berupa materi. Dunia politik pun diwarnai dengan perebutan jabatan secara berlebihan. Konon katanya, begitu selesai pesta pilihan lurah atau kepala desa, sekian banyak anggota timses sudah mengantri untuk mendapat jabatan di berbagai struktur kelurahan atau badan usaha milik desa.

*

Perjuangan memerlukan nafas panjang. Selain keikhlasan, sebagai syarat agar panjang nafas perjuangan kita, KH Imam Zarkasyi juga memberikan resep lain, yakni: “Jangan berkecil hati menghadapi masa depan!”

Kata beliau, “Dalam hidup ini akan selalu ada masalah, ujian, dan cobaan. Jangan menghindari masalah jika harus terjadi. Jangan meninggalkan masalah jika harus dihadapi. Selesaikanlah masalah, ujian, dan cobaan itu dengan tenang. Nah, berbesar hati ketika menghadapi masalah dan cobaan hidup, itulah kunci kesuksesan masa depan. Ingatlah bahwa masa depanmu masih cerah. Datangnya masalah justru sebetulnya untuk mendidik kita, melatih kesabaran kita, menuntut kesungguhan kita, dan untuk memperkuat karakter kita. Orang bijak mengatakan, “Orang lemah dihancurkan oleh masalah, tetapi orang yang kuat dicerahkan oleh masalah.”

Demikian salah satu nasehat berharga dari KH Imam Zarkasyi. Semoga bisa kita amalkan. Amin. (***)
SAIFUDDIN QUTHUZ
Sang Penakluk Bangsa Tartar
Penulis: Ash-Shawi Muhammad Ash-Shawi

Ketika Daulah Islamiyah tengah mengalami karut-marut yang parah, karena penghuninya saling berperang satu sama lain demi berebut kekuasaan sembari melupakan agama yang mereka anut, bangsa Tartar justru kian perkasa. Mereka menyebar, berkembang, menghentak, lalu menguasai.

Dialah Saifuddin Quthuz, seorang panglima perang dari kerajaan Mamluk yang membendung gelombang serangan bangsa Tartar ke wilayah Islam.

Saifuddin Quthuz merupakan pribadi yang tumbuh dalam pendidikan agama yang lurus, sehingga dirinya penuh dengan semangat keislaman yang kuat. Sejak belia Quthuz sudah mempelajari seni berkuda dan bertempur. Quthuz juga mempelajari tata pemerintahan dan kepemimpinan, sehingga ia tumbuh menjadi pemuda perwira yang sekaligus sangat mencintai lagi menghormati agamanya.

Buku ini menceritakan tentang sosok Saifuddin Quthuz, seorang pahlawan Islam dari negeri Mesir yang mampu menaklukan bangsa Tartar yang menjadi momok menakutkan kaum muslimin ketika itu.

Di dalam buku ini, penulis juga membahas tentang kerajaan Mamalik (Mamluk), perkembangan, dan perseteruan di dalamnya. Dibahas pula tentang serangan-serangan bangsa Tartar ke wilayah-wilayah Islam hingga persiapan dan pertempuran kaum Muslimin dan bangsa Tartar di Ain Jalut.
---------------------------------------
SAIFUDDIN QUTHUZ
Sang Penakluk Bangsa Tartar
Penulis: Ash-Shawi Muhammad Ash-Shawi
Ukuran: 16 x 24,5 cm
Tebal: 317 Halaman
Berat: 600 gr
Sampul: Hard Cover
Harga: Rp. 86.000,-

Pemesanan silahkan sms ke 087878147997 atau Whatsapp:
https://wa.me/6287878147997

Syukran.
1
Agama ini Ritualnya Minum Darah Manusia, Apa Benar Di Mata Tuhan?
Oleh: Dr. Adian Husaini (Ketua Umum Dewan Da’wah Islamiyah Indonesia)

Ada satu disertasi doktor tentang agama-agama di satu kampus di Jakarta yang diterbitkan menjadi sebuah buku dengan judul: Satu Tuhan Banyak Agama, Pandangan Sufistik Ibn ‘Arabi, Rumi dan al-Jili, (Mizan, 2011). Penulisnya seorang dosen Fakultas Ushuluddin. Ada pengantar dari Rektornya juga.

Sayangnya, banyak pemikiran yang salah dalam disertasi ini. Sebagai contoh, ditulis dalam buku ini: “Dengan kata lain, semua agama adalah sama, dalam arti sama-sama mengandung kebenaran yang terbatas. Tidak ada yang lebih baik atau lebih sempurna antara satu dengan yang lain. Tuhan Yang Mahabenar secara mutlak – meminjam ungkapan Schuon – tidak mungkin kebenaran-Nya secara sempurna dikandung hanya oleh satu agama atau berapa agama, bahkan jutaan agama sekali pun.” (hlm. 380).

Seorang yang menyatakan bahwa, “semua agama adalah …”, pasti orang itu asal bunyi; tidak berpikir saat bicara seperti itu. Sebab, ia tidak mungkin membaca dan memahami semua agama. Jumlah agama di dunia saat ini mencapai 4000 agama. Apa ia sudah membaca semua ajaran agama-agama itu?

Jika seorang mau meneliti dan berpikir sedikit saja, ia tidak akan berani mengatakan, bahwa “semua agama adalah baik”, “semua agama mengajarkan kebaikan”, dan sebagainya. Di sejumlah negara Eropa dan Amerika, misalnya, hingga kini masih ditemukan agama-agama penyembah setan (Christian Church) dan juga agama Kristen Telanjang (Nudic Christian).

Di Indonesia, sebelum kedatangan Islam, ada agama bernama Bhairawatantra. Agama ini memiliki ajaran, bahwa manusia hendaknya jangan menahan hawa nafsu, bahkan sebaiknya manusia itu memperturutkan hawa nafsu. Sebab bila manusia terpuaskan nafsunya, maka jiwanya akan menjadi merdeka. (Dr. Prijohutomo. Sedjarah Kebudajaan Indonesia I: Bangsa Hindu. (J.B. Wolter, Jakarta-Groningen, 1953).

Salah satu bentuk ritual yang paling esoterik, adalah pemujaan yang memerlukan persembahan berupa manusia. Ritualnya meliputi persembahan berupa meminum darah manusia dan memakan dagingnya. (Paul Michel Munoz. Kerajaan-kerajaan Awal Kepulauan Indonesia dan Semenanjung Malaysia. Terjemahan. (Mitra Abadi, Yogyakarta, 2006). Hal. 253 dan 448). (Lihat lebih jauh tentang aliran ini di Jurnal Islamia-Republika, Kamis 20 Oktober 2011).

*

Apakah agama Bhairawatantra yang mengajarkan ritual seks bebas dan penyembelihan manusia ini disamakan derajatnya dengan agama Islam? Apakah agama seperti ini juga benar di mata Tuhan?

Tapi, uniknya, dalam buku Satu Tuhan Banyak Agama, ditulis bahwa: “Dalam diskursus pluralisme agama, penjelasan tentang transendensi Ilahi ini dan bahwa setiap agama lahir dan terikat pada konteks tertentu menjadi argumen bahwa tidak ada agama yang lebih tinggi/sempurna atas yang lain. Semua bentuk-bentuk agama adalah sederajat, karena semuanya sedang mewadahi ke-Mahabenaran dan ke-Mahamutlakan Tuhan.” (hlm. 21).

Lebih aneh lagi, dikatakan: “Semua jalan-jalan itu menuju kepada puncak yang sama. Ibarat ribuan bahkan jutaan aliran air sungai dan anak sungai semuanya mengalir dan sedang meluncur ke samudera yang sama.” (hlm. 379).

Apalagi, dikutipnya pendapat Paul F. Knitter, bahwa kita tidak dapat mengatakan agama yang satu lebih baik dari yang lain. Semua agama adalah relatif, terbatas, parsial, tidak lengkap, satu cara melihat sesuatu. Saat ini, menganggap bahwa satu agama pada dirinya lebih baik dari agama lain adalah sebuah pandangan keliru, ofensif, dan berpandangan sempit. (hlm. 379-380).

Akhir tahun 2019 lalu, kita dihebohkan oleh satu disertasi doktor yang secara terang-terangan menghalalkan zina. Disertasi “Satu Tuhan Banyak Agama” ini sebenarnya lebih tinggi kadar kesalahannya, sebab ini menyangkut aspek aqidah Islam. Orang yang menyatakan semua agama benar, sejatinya ia sudah tidak beragama dan tidak berpikir sehat. Bagaimana mungkin seorang yang mengaku muslim, tetapi menyamakan Islam dengan Bhairawa Tantra dan agama pemuja setan?