MUSTANIR ONLINE
3.23K subscribers
865 photos
163 videos
56 files
900 links
Sharing audio, tulisan karya Dr Adian Husaini, Dr Hamid Fahmy Zarkasyi serta pemikir muslim kontemporer lainnya.
Download Telegram
This media is not supported in your browser
VIEW IN TELEGRAM
Tidak membaca dalam sehari dia tidak merasa kehilangan? Ini menyedihkan!
*HAMID FAHMY ZARKASYI*
_*Biografi Intelektual, Pemikiran Pendidikan, dan Pengajaran Worldview Islam di Perguruan Tinggi*_
Penulis: Anton Ismunanto.

Nama Pesantren Gontor yang telah harum sejak lama, menghasilkan banyak ulama dan intelektual dengan gagasannya masing-masing, kian sempurna dengan kehadiran seorang Hamid Fahmy Zarkasyi.

Sebagai salah satu putra asli pondok ini, beliau menjalankan perannya sebagai kiai, ulama, dan pemikir Islam, dari sudut pondok sampai ke ruang-ruang percakapan global. Yang benar dinyatakannya sebagai benar, sedangkan yang salah diungkapkannya tanpa ragu semua dalam terang worldview Islam.

Waktu yang tak singkat, ketekunan tanpa lelah, dan keikhlasan di sanubari, membuat salah satu murid Syed Muhammad Naquib Al-Attas ini meraih kematangannya hingga mampu mencerahkan umat di tengah kebingungan.
-----------------------------------
HAMID FAHMY ZARKASYI
Biografi Intelektual, Pemikiran Pendidikan, dan Pengajaran Worldview Islam di Perguruan Tinggi
Penulis: Anton Ismunanto.
Harga: Rp. 97.000,-

Pemesanan silahkan sms ke 087878147997 atau Whatsapp:
https://wa.me/6287878147997

Syukran.
PERINGATAN IMAM AL GHAZALI
Oleh: Adian Husaini

Tanggal 4 Juni 2005, saya datang ke IAIN Bandung, memenuhi undangan seminar tentang sekularisme, liberalisme, dan pluralisme agama. Kampus IAIN Bandung sedang direncanakan untuk menjadi Universitas Islam Negeri (UIN), seperti halnya UIN Jakarta dan UIN Yogyakarta. Dalam berbagai diskusi saya dengan mahasiswa dan dosen di berbagai UIN dan IAIN, saya mempunyai kesimpulan, bahwa salah satu masalah mendasar yang dialami oleh kalangan akademisi dan perguruan tinggi Islam saat ini adalah masalah visi, misi, dan niat. Masalah visi dan misi terkait dengan pemahaman tentang konsep ilmu.
Apa sebenarnya yang dimaksud dengan ilmu? Ilmu-ilmu apakah yang harus dipelajari, dan untuk apa mempelajari ilmu-ilmu tersebut.

Pendidikan, pada dasarnya berkaitan dengan masalah ilmu. Apalagi masalah pendidikan agama, yang berkaitan dengan ilmu-ilmu agama (ulumuddin). Sudah bukan rahasia lagi, kekacauan konsep ilmu telah menyebabkan munculnya dampak yang sangat serius di kalangan kaum Muslim saat ini.
Pada level perguruan tinggi, konsep keilmuan terpecah secara mendasar; ilmu agama dan ilmu umum. Perguruan Tinggi dibentuk berdasarkan konsep yang sekular itu, sehingga lahirlah universitas/Institut Umum dan Universitas/Insititut Islam. Konsep dasar ini jelas sangat keliru, karena tidak berdasarkan pada konsep keilmuan Islam. Dari konsep yang salah ini, lahirlah para cendekiawan yang terbelah, baik dalam cara berpikir, maupun dalam penguasaan keilmuan.

Mahasiswa yang belajar teknik, kedokteran, ekonomi, komputer, geologi, dan sebagainya, tidak merasa wajib untuk mempelajari ilmu-ilmu agama. Ia hanya merasa cukup sudah beramal dan bersemangat memperjuangkan Islam melalui aktivitas politik, sosial, ekonomi, dan sebagainya. Ia tidak merasa wajib untuk mempalajari ilmu-ilmu Islam, seperti Ushuluddin, bahasa Arab, Ulumul Quran, Ulumul hadits, ilmu fiqih, dan sebagainya.

Menurut perasaan mereka, mempelajari ilmu-ilmu agama seperti itu adalah tanggung jawab orang-orang pesantren, IAIN, dan semacamnya. Meskipun secara umum bisa dikatakan, rata-rata mahasiswa kedokteran, teknik, komputer, dan sebagainya, adalah manusia berotak cerdas, mereka tidak merasa wajib menggunakan akalnya untuk mempelajari dengan sungguh-sungguh bahasa Arab atau ulumuddin lainnya.
Mereka biasanya hanya suka mendengar ustad ceramah, seminggu sekali, atau sebulan sekali, atau melalui media radio/telivisi, dengan tradisi jiping (ngaji kuping).

Belajar agama dianggap sambilan, atau hanya sekedar mengisi waktu, dengan tenaga dan pikiran sisa. Mereka sanggup belajar bahasa Inggris, membayar mahal, dan bersungguh-sungguh mencurahkan pikirannya, untuk menguasai bahasa itu. Tetapi, ketika berhadapan dengan bahasa Arab, mereka merasa tidak berkepentingan sama sekali.

Padahal, Imam Syafii menjelaskan dalam Kitab Risalah, bahwa mempalajari bahasa Arab adalah fardhu 'ain, dan setiap orang Muslim wajib menguasai bahasa Arab, semaksimal mungkin, sesuai dengan kemampuannya. Artinya, adalah berdosa, jika seseorang tidak bersungguh-sungguh belajar bahasa Arab. Padahal, jika orang-orang cerdas mau bersungguh-sungguh menggunakan akalnya untuk menguasai bahasa Arab, mereka insyaallah bisa menguasainya, sebagaimana mereka mampu memguasai bahasa-bahasa asing lainnya.

Biasanya, para profesional atau kaum cendekiawan berlatarbelakang ilmu-ilmu umum, senang dan bangga memelihara statusnya sebagai orang awam dalam agama. Meskipun sudah lulus kuliah berpuluh-puluh tahun, dan menjadi orang muslim sejak lahir, mereka senang mengucapkan, saya ini awam dalam agama. Jadilah ia awam seumur hidupnya dalam bidang-bidang ilmu agama, tetapi sangat pakar dalam ilmu-ilmu tertentu di bidang profesinya.
Fenomena semacam ini sangat lazim kita jumpai. Mereka menjadi awam dalam ilmu-ilmu agama bukan karena otaknya bodoh, atau tidak punya waktu untuk belajar, tetapi lebih karena mereka tidak memahami konsepsi ilmu dalam Islam. Mereka tidak paham, mana ilmu yang fardhu 'ain, dan mana ilmu yang fardhu kifayah.
Padahal, konsep ini telah dijelaskan dengan gamblang oleh Imam al-Ghazali melalui kitabnya yang terkenal Ihya Ulumuddin.

Ilmu-ilmu yang berkaitan dengan masalah aqidah dan ibadah wajib, misalnya, termasuk ilmu yang fardhu ain. Secara ringkas, ilmu yang fardhu ain adalah ilmu yang diperlukan untuk mengamalkan kewajiban. Untuk orang-orang yang dikarunai akal yang cerdas, maka beban dan kewajiban untuk mengkaji keilmuan itu tentu lebih berat. Mereka seharusnya lebih mendalami ilmu-ilmu yang fardhu ain, lebih daripada orang lain yang kurang kadar kecerdasan akalnya.

Bagi kaum cendekiawan atau ulama, maka tanggung jawab mereka juga lebih berat. Disamping wajib mengetahui yang benar, mereka juga harus mengetahui ilmu tentang hal-hal yang bathil yang tersebar di tengah masyarakat. Sebab, kata al-Ghazali, orang yang tidak mengetahui kebathilan, ia akan terperosok di dalamnya.
Ibarat seorang dokter, maka ulama wajib mengetahui ilmu tentang pengobatan dan sekaligus ilmu tentang penyakitnya.

Maka, di masa lalu, para ulama Islam, disamping menguasai ilmu-ilmu keislaman dengan mendalam, mereka juga menguasai ilmu-ilmu tentang pemikiran kontemporer ketika itu. Dengan itulah para ulama bisa menjalankan fungsinya sebagai pewaris para nabi, dengan menjaga aqidah umat.
Para ulama saat ini, misalnya, wajib memahami dengan mendalam masalah sekularisme, liberalisme, pluralisme, marxisme, dan sebagainya. Paham-paham inilah yang sekarang menguasai dunia dan mencengkeram benak kaum muslimin.

Jika para ulama tidak menguasai masalah-masalah pemikiran kontemporer, maka mereka akan menjadi penonton yang baik di satu arena pertarungan pemikiran yang dahsyat.
Mencari ilmu, sebagaimana disabdakan oleh Rasulullah saw, adalah wajib bagi setiap Muslim. Artinya, setiap hari, kaum Muslim seharusnya sibuk dalam aktivitas keilmuan. Tidak ada hari tanpa mengaji dan menambah ilmu, terutama ilmu-ilmu yang fardhu 'ain, maupun ilmu yang fardhu kifayah.

Imam al-Ghazali mencontohkan, ilmu fardhu kifayah seperti ilmu kedokteran dan ilmu berhitung. Ilmu jenis ini diperkukan untuk tegaknya sistem masyarakat. Fardhu kifayah artinya, jika sebagian kaum Muslimin sudah menguasai ilmu itu, dalam jumlah yang mencukupi kebutuhan masyarakat (kifayah), maka gugurlah kewajiban itu dari sebagian kaum muslimin lainnya.

Tidak perlu semua anggota masyarakat menjadi dokter, dan tidak perlu semuanya pakar dalam matematika, teknik elektro, teknik komputer, teknik pesawat, dan sebagainya. Cukup sebagian kaum Muslimin yang menguasai bidang ilmu fardhu kifayah.
Selain kesalahan dalam memahami konsepsi ilmu, masalah mendasar lainnya dalam masalah ilmu dan pendidikan adalah soal niat mencari ilmu. Imam al-Ghazali sudah mengingatkan dengan bahasa yang lugas dalam mukaddimah kitab Bidayatul Hidayah.

Kata beliau, jika seseorang mencari ilmu dengan maksud untuk sekedar hebat-hebatan, mencari pujian, atau untuk mengumpulkan harta benda, maka dia telah berjalan untuk menghancurkan agamanya, merusak dirinya sendiri, dan telah menjual akhirat dengan dunia. (Fa-anta saain ilaa hadmi diinika wa ihlaaki nafsika, wa bayi aakhiratika bi dunyaaka).
Bagi Imam al-Ghazali, ilmu adalah sesuatu yang sangat mulia, dan sebab itu terlalu murah jika ilmu ditujukan untuk hal-hal yang sifatnya duniawi. Ilmu haruslah ditujukan untuk ibadah dan mencari hidayah Allah.

Siapapun yang mencari ilmu dengan niat yang mulia seperti itu, kata beliau, maka para Malaikat akan melindungi pencari ilmu itu dengan membentangkan sayapnya; dan ikan-ikan di laut mendoakan si pencari ilmu yang ikhlas dalam langkahnya.

Jika saat ini kita mengalami krisis ulama, dan pesantren serta kampus-kampus Islam tidak melahirkan ulama-ulama yang tangguh, maka kita perlu melakukan introspeksi ke dalam, apakah konsepsi ilmu dan niat dalam mencari ilmu sudah benar?
Banyak jurusan dalam ilmu-ilmu agama dibentuk, dengan tujuan untuk mencari lapangan kerja. Mereka yang lulus, banyak yang kemudian tidak tertarik untuk mengembangkan ilmunya lebih jauh, atau mengamalkan ilmunya untuk berdakwah, tetapi justru meniatkan ilmunya untuk mencari harta benda dunia, sebagaimana sudah diperingatkan oleh al-Ghazali.

Yang lebih memprihatinkan, ada kampus-kampus yang sama sekali mengabaikan masalah ilmu, dan mendirikan lembaga pendidikan sekedar jual beli gelar. Dari kampus-kampus semacam ini akan lahir orang-orang yang menyandang gelar tertentu tanpa keilmuan yang memadai.

Peringatan Imam al-Ghazali ini sangat penting kita renungkan. Beliau menulis Kitab Ihya Ulumuddin dan Bidayatul Hidayah antara tahun 1096-1097, di saat awal-awal periode Perang Salib.
Saat itulah kaum Muslimin mengalami krisis politik dan militer yang sangat serius, sehingga pasukan Salib (Crusaders) yang lebih rendah tingkat peradabannya mampu mengalahkan kaum Muslimin.

Dengan penguasaan ilmu yang tinggi dan pencermatannya langsung ke beberapa wilayah kaum Muslimin, Al-Ghazali melihat pada problema yang paling mendasar yang harus dipecahkan umat Islam saat itu, yaitu masalah keilmuan dan keulamaan.

Seperti kita bahas pada Catatan Akhir Pekan (CAP) yang lalu, tugas ulama adalah sebagai pewaris para Nabi. Mereka yang harus menjaga ilmu-ilmu agama agar tetap hidup dan menjadi bagian dari kehidupan masyarakat Islam.
Jika konsepsi Islam tentang ilmu dipahami dan dihayati oleh kaum Muslimin, terutama para tokoh-tokohnya, maka tidak mungkin kita mengalami krisis seperti sekarang ini.

Umat akan paham, mana yang wajib dilakukan terlebih dahulu dan mana yang menjadi prioritas kemudian. Tidak mungkin kita mengalami krisis pembelajaran dirosah islamiyah, dimana jurusan-jurusan agama (Fakultas Agama Islam) adalah jurusan terakhir yang dipilih mahasiswa muslim.
Kemarin, saya berkunjung ke satu kampus di Jakarta. Ada data yang dianggap biasa: di kampus ini, jumlah mahasiswa jurusan komunikasi mencapai 400 orang, sementara mahasiswa jurusan agama hanya 15 orang. Itu pun adalah mereka-mereka yang diberi insentif untuk kuliah di situ.
Biasanya, karena merupakan pilihan terakhir, maka yang masuk ke studi agama pun, kualitas mahasiswa yang kemampuan akalnya pas-pasan.

Masalahnya lebih rumit lagi, setelah masuknya virus liberalisme-sekularisme ke dalam sistem pendidikan Islam.
Virus ini otomatis melemahkan sendi-sendi pertahanan kaum Muslim, dan memunculkan masalah yang sangat pelik. Dari konsepsi yang keliru lahirlah sarjana yang keliru cara berpikirnya. Jika dulu paham ateisme disebarkan oleh kalangan Marxis-komunis, maka kini tidak sedikit sarjana dari kalangan studi Islam yang dengan bangga menyebarkan ateisme atau Marxisme, baik dalam bentuknya yang asli atau metamorfosisnya, seperti paham pluralisme agama atau gender equality.

Mudah-mudahan peringatan Imam al-Ghazali dapat menjadi bahan renungan kita bersama, dalam upaya membangun peradaban Islam yang gemilang di masa mendatang. Amin. (Jakarta, 10 Juni 2005). oOo
KOMIK BERWARNA: SHALAHUDDIN AL-AYYUBI
BOX berisi 1 set lengkap (jilid 1, 2, 3, 4, 5, dan 6)

Waktu terus berlalu. Sultan Nuruddin Zanki melepas pasukan perang yang dipimpin oleh Shalahuddin Al Ayyubi menuju Mesir. Mereka dikirim untuk membebaskan kaum muslim dari kesewenang-wenangan dinasti Fathimiyyah yang berkuasa di Mesir saat itu. Sang Sultan agak khawatir sebab ia paham benar jika musuh yang dihadapi kali ini berbeda. Kelompok Assassin yang melindungi penguasa Mesir saat itu dikenal tangguh, culas dan tidak mengenal belas kasihan.

Di tengah perjalanan, pasukan Shalahuddin dihadang oleh kelompok Assassin. Pertempuran dahsyat pun tidak bisa dihindari. Dalam pertempuran tersebut Shalahuddin bertarung dengan Zariq, salah satu Assassin yang kemampuannya di atas rata-rata.

Sanggupkah Shalahuddin memenangkan pertarungan tersebut? Dan membawa pasukannya ke Mesir? Dapatkah mereka membebaskan Mesir? (deskripsi buku komik shalahuddin alayyubi jilid 5).

1 Set dalam box berisi:
1. Komik Shalahuddin Al-Ayyubi Jilid 1 - Rahim Sang Pembebas
2. Komik Shalahuddin Al-Ayyubi Jilid 2 - Sebuah Langkah
3. Komik Shalahuddin Al-Ayyubi Jilid 3 - Awal Perjuangan
4. Komik Shalahuddin Al-Ayyubi Jilid 4 - Melawan Bayangan
5. Komik Shalahuddin Al-Ayyubi Jilid 5 - Pertempuran
6. Komik Shalahuddin Al-Ayyubi Jilid 6 - Kegemilangan

--------------------------------------
KOMIK BERWARNA:
SHALAHUDDIN AL-AYYUBI
BOX berisi 1 set lengkap (jilid 1, 2, 3, 4, 5, dan 6)
Penulis: Handri Satria - Sayf Muhammad Isa
Ukuran: 14 x 23 cm
Sampul: Soft Cover
Total halaman: 949 halaman
Berat: 1,4 kg.
ISBN: 9786021695845
Harga: Rp. 542.000,-

Pemesanan silahkan sms ke 087878147997 atau Whatsapp:
https://wa.me/6287878147997

Syukran.
ILMU DAN MANUSIA BERADAB
Oleh: Dr. Adian Husaini

Tidak ada satu peradaban yang bangkit tanpa didahului oleh bangkitnya tradisi ilmu. Tanpa kecuali, peradaban Islam. Rasulullah saw telah memberikan teladan yang luar biasa dalam hal ini. Di tengah masyarakat jahiliah gurun pasir, Rasulullah saw berhasil mewujudkan sebuah masyarakat yang sangat tinggi tradisi ilmunya. Para sahabat Nabi saw dikenal sebagai orang-orang yang sangat rakus ilmu, orang-orang yang sangat mencintai ilmu.

Bukan hanya itu, tradisi ilmu Islam yang dibangun oleh Nabi Muhammad saw telah melahirkan manusia-manusia unggulan dalam satu generasi sahaby yang belum mampu dicapai oleh peradaban manapun, hingga kini. Rasulullah saw berhasil melengkapimasyarakat ummiy yang hidup dalam tradisi lisan dengan tradisi cinta ilmu dan tradisi tulis. Tradisi ilmu Islam saat itu pun mampu mengubah masyarakat yang gila minuman keras menjadi masyarakat yang bersih dari tradisi teler hanya dalam tempo beberapa tahun saja.


Memang, peradaban yang dibangun oleh Islam adalah peradaban tauhid, yang menyatukan unsur dunia dan akhirat, aspek jiwa dan raga. Islam bukan agama yang menganjurkan manusia untuk lari dari dunia demi tujuan mendekat kepada Tuhan. Nabi memerintahkan umatnya bekerja keras untuk menaklukkan dunia dan meletakkan dunia dalam genggamannya, bukan dalam hatinya. Nabi melarang keras sahabatnya yang berniat menjauhi wanita dan tidak menikah selamanya, agar bisa fokus kepada ibadah.
Berbeda dengan jalan pikiran banyak tokoh agama pada zaman itu, Nabi Muhammad saw justru mendeklarasikan: Nikah adalah sunnahku, dan siapa yang benci pada sunnahku, maka dia tidak termasuk golonganku. Meskipun begitu, Rasulullah saw juga memperingatkan dengan keras: Jika umatku sudah mengagungkan dunia, maka akan dicabut kehebatan Islam dari mereka.


Inilah peradaban Islam: bukan peradaban yang memuja materi, tetapi bukan pula peradaban yang meninggalkan materi. Pada titik inilah, tradisi ilmu dalam Islam berbeda dengan tradisi ilmu dalam masyarakat Barat yang berusaha membuang agama dalam kehidupan mereka. Dalam tradisi keilmuan Islam, ilmuwan yang zalim dan jahat harus dikeluarkan dari daftar ulama. Dia masuk kategori fasik dan ucapannya pantas diragukan kebenarannya. Ilmu harus menyatu dengan amal. Inilah yang ditunjukkan oleh Abu Bakar, Umar, Utsman, Ali, (radhiyallahu anhum), Imam Abu Hanifah, Imam Malik, Imam Syafii, Imam Ahmad, dan sebagainya. Imam Abu Hanifah, misalnya, lebih memilih dicambuk setiap hari, ketimbang menerima jabatan Qadhi negara.
Tradisi ilmu dalam Islam ini berbeda dengan tradisi ilmu dalam masyarakat Yunani, yang merupakan salah satu unsur penting peradaban Barat. Dalam bukunya, Budaya Ilmu (Satu Penjelasan) (2003), Prof. Wan Mohd Nor Wan Daud, pakar pemikiran Islam dari Universiti Kebangsaan Malaysia, mencatat kisah Demonsthenes, seorang filosof Yunani, yang mengungkap pandangan kaum cendekiawan yang pintar menjustifikasi amalan bejat: Kami mempunyai institusi pelacuran kelas tinggi (courtesans) untuk keseronokan (keindahan. Pen.), gundik untuk kesihatan harian tubuh badan, dan istri untuk melahirkan zuriat halal dan untuk menjadi penjaga rumah yang dipercayai.


Karena itu, tradisi ilmu yang dibangun Islam tidaklah sama dengan tradisi ilmu yang dibangun dalam peradaban sekular. Menurut Prof. Naquib al-Attas, pendiri ISTAC, justru konsep ilmu sekular Barat adalah sumber kerusakan terbesar bagi umat manusia saat ini. Karena itu, saat menjadi Keynote Speaker pada Konferensi Pendidikan Islam di Mekkah, 1977, Al-Attas menggulirkan makalah berjudul The Dewesternization of Knowledge. Dan langkah awal diajukannya untuk membangun peradaban Islam adalah Islamisasi Ilmu.
Untuk membangun peradaban Islam, menurut al-Attas, mau tidak mau harus dilakukan melalui proses pendidikan, yang disebutnya sebagai tadib. Tujuan utamanya, membentuk manusia yang beradab, manusia yang mempunyai adab.
Adab adalah disiplin rohani, akli, dan jasmani yang memungkinkan seseorang dan masyarakat mengenal dan meletakkan segala sesuatu pada tempatnya dengan benar dan wajar, sehingga menimbulkan keharmonisan dan keadilan dalam diri, masyarakat, dan lingkungannya. Hasil tertinggi dari adab ialah mengenal Allah SWT dan meletakkan-Nya di tempat-Nya yang wajar dengan melakukan ibadah dan amal shaleh pada tahap ihsan. Jika konsep adab ini diterapkan dalam masyarakat, maka akan terbentuklah satu peradaban yang dalam bahasa Melayu disebut tamadun, yang berbasiskan pada ad-din. Madinah adalah kota dimana ad-Din diaplikasikan.

Seorang dapat menjadi manusia beradab jika memiliki ilmu (knowledge) yang benar. Karena itulah, suatu pendidikan Islam pasti akan gagal mewujudkan tujuannya jika dibangun diatas konsep ilmu yang salah: yakni ilmu yang tidak mengantarkan seseorang kepada ketaqwaan dan kebahagiaan. Untuk itulah setiap Muslim perlu berusaha turut andil dalam sebuah proses pembangunan peradaban Islam, dengan memulai menghidupkan tradisi ilmu Islam dalam masyarakat Islam. Peradaban Islam memang peradaban terbuka, siap menerima unsur-unsur asing yang tidak bertentangan dengan pandangan hidup Islam (Islamic worldview). Tetapi, peradaban Islam hanya bisa berdiri tegak di atas konsep pemikiran Islam (Islamic thought), dan diwujudkan oleh kaum Muslim sendiri.

Adab dalam Islam
Istilah adab juga merupakan salah satu istilah penting dalam khazanah keilmuan Islam. Para ulama telah banyak membahas makna adab dalam pandangan Islam. Di Indonesia, K.H. M. Hasyim Asyari, pendiri NU, menulis sebuah buku berjudul Aadabul Aalim wal-Mutaallim (edisi Indonesia: Etika Pendidikan Islam, (Yogyakarta: Titian Wacana, 2007). Terjemahan harfiahnya: Adab Guru dan Murid. Buku ini membahas secara panjang lebar tentang masalah adab. Kyai Hasyim Asyari membuka kitabnya dengan mengutip hadits Rasulullah saw: Haqqul waladi alaa waalidihi an-yuhsina ismahu, wa yuhsina murdhiahu, wa yuhsina adabahu. (Hak seorang anak atas orang tuanya adalah mendapatkan nama yang baik, pengasuhan yang baik, dan adab yang baik).

Dikutip juga perkataan sejumlah ulama. Hasan al-Bashry misalnya, yang menyatakan: In kaana al-rajulu la-yakhruja fii adabi nafsihi al-siniina tsumma siniina. (Hendaknya seseorang senantiasa mendidik dirinya dari tahun ke tahun).

Habib bin as-Syahid suatu ketika menasehati putranya: Ishhabil fuqahaa-a wa taallam minhum adabahum, fainna dzaalika ahabbu ilayya min katsiirin minal hadiitsi. (Bergaullah engkau dengan para fuqaha serta pelajarilah adab mereka. Sesungguhnya yang demikian itu akan lebih aku cintai daripada banyak hadits. Ruwaim juga pernah menasehati putranya: Yaa bunayya ijal ilmaka milhan wa adabaka daqiiqan. (Wahai putraku, jadikanlah ilmumu seperti garam dan adabmu sebagai tepung).

Ibn al-Mubarak menyatakan: Nahnu ilaa qaliilin minal adabi ahwaja minnaa ilaa katsiirin mina ilmi. (Mempunyai adab meskipun sedikit lebih kami butuhkan daripada banyak ilmu pengetahuan).

Suatu ketika Imam Syafii pernah ditanya oleh seseorang: Sejauh manakah perhatianmu terhadap adab? Beliau menjawab: Setiap kali telingaku menyimak suatu pengajaran budi pekerti meski hanya satu huruf, maka seluruh organ tubuhku akan ikut merasakan (mendengarnya) seolah-olah setiap organ itu memiliki alat pendengaran (telinga). Demikianlah perumpamaan hasrat dan kecintaanku terhadap pengajaran budi pekerti. Beliau ditanya lagi, Lalu bagaimanakah usaha-usaha dalam mencari adab itu? Beliau menjawab, Aku akan senantiasa mencarinya laksana usaha seorang ibu yang mencari anak satu-satunya yang hilang.

Maka, dalam bukunya ini, Kyai Hasyim Asyari menuliskan kesimpulan:

Kaitannya dengan masalah adab ini, sebagian ulama lain menjelaskan, Konsekuensi dari pernyataan tauhid yang telah diikrarkan seseorang adalah mengharuskannya beriman kepada Allah (yakni dengan membenarkan dan meyakini Allah tanpa sedikit pun keraguan). Karena, apabila ia tidak memiliki keimanan itu, tauhidnya dianggap tidak sah.
Demikian pula keimanan, jika keimanan tidak dibarengi dengan pengamalan syariat (hukum-hukum Islam) dengan baik, maka sesungguhnya ia belum memiliki keimanan dan tauhid yang benar. Begitupun dengan pengamalan syariat, apabila ia mengamalkannya tanpa dilandasi adab, maka pada hakikatnya ia belum mengamalkan syariat, dan belum dianggap beriman serta bertauhid kepada Allah.

Berdasarkan beberapa hadits Rasulullah saw dan keterangan para ulama di atas, kiranya tidak perlu kita ragukan lagi betapa luhurnya kedudukan adab di dalam ajaran agama Islam. Karena, tanpa adab dan perilaku yang terpuji maka apa pun amal ibadah yang dilakukan seseorang tidak akan diterima di sisi Allah SWT (sebagai satu amal kebaikan), baik menyangkut amal qalbiyah (hati), badaniyah (badan), qauliyah (ucapan), maupun filiyah (perbuatan). Dengan demikian, dapat kita maklumi bahwa salah satu indikator amal ibadah seseorang diterima atau tidak di sisi Allah SWT adalah melalui sejauh mana aspek adab disertakan dalam setiap amal perbuatan yang dilakukannya. (K.H. M. Hasyim Asyari, Etika Pendidikan Islam (terj.), (Yogyakarta: Titian Wacana, 2007).

Demikianlah penjelasan KH Hasyim Asyari tentang makna adab. Menyimak paparan pendiri NU tentang adab tersebut, maka tidak bisa tidak, kata adab memang merupakan istilah yang khas maknanya dalam Islam. Adab terkait dengan iman dan ibadah dalam Islam. Adab bukan sekedar sopan santun. Maka, tentunya sangat mauk akal jika orang Islam memahami kata adab dalam sila kedua itu sebagaimana dipahami oleh sumber-sumber ajaran Islam dan para ulama Islam. Sebab, memang itu istilah yang sangat khas dalam Islam. Jika adab hanya dimaknai sebagai sopan-santun, maka bisa-bisa ada orang yang menyatakan, Nabi Ibrahim a.s. sebagai orang yang tidak beradab, karena berani menyatakan kepada ayahnya, Sesungguhnya aku melihatmu dan kaummu berada dalam kesesatan yang nyata. (QS 6:74). Bisa jadi, jika hanya berdasarkan sopan santun, tindakan mencegah kemunkaran (nahyu anil munkar) akan dikatakan sebagai tindakan tidak beradab. Sebagian malah ada yang menganggap, menanyakan identitas agama pada seseorang dianggap tidak sopan. Banyak yang menganggap entang dosa zina, dan dianggap tidak etis jika masalah itu diangkat ke permukaan, sementara masalah korupsi harta bisa diangkat ke permukaan.

Karena itulah, menurut Islam - sekali lagi menurut ajaran Islam harkat dan martabat sesuatu adalah berdasarkan pada ketentuan Allah, dan bukan pada manusia. Sebagai contoh, kriteria orang yang mulia, menurut al-Quran adalah orang yang paling taqwa. (Inna akramakum indallaahi atqaakum/QS 49:13). Maka, seharusnya, dalam masyarakat yang beradab, kaum Muslim harus menghormati seseorang karena keimanan dan ketaqwaannya. Bukan karena jabatannya, kekayaaannya, kecantikannya, atau popularitasnya. Itu baru namanya beradab, menurut al-Quran. Begitu juga ketika al-Quran memuliakan orang yang berilmu (QS 35:28, 3:7, 58:11), maka sesuai konsep adab, seorang Muslim wajib memuliakan orang yang berilmu dan terlibat dalam aktivitas keilmuan. Masyarakat yang beradab juga masyarakat yang menghargai aktivitas keilmuan. Tentu menjadi tidak beradab, jika aktivitas keilmuan dikecilkan, sementara aktivitas hiburan diagung-agungkan. Tidak mungkin suatu bangsa akan maju jika tidak menjadikan tradisi ilmu sebagai bagian dari tradisinya. Imam Syafii dalam sejumlah syairnya berkata: Walam bi-anna al-ilma laysa yanaaluhu, man hammuhu fi mathamin aw malbasin. (Ketahuilah, ilmu itu tidak akan didapat oleh orang yang cita-cita hidupnya hanya untuk makanan dan pakaian); Falaw laa al-ilmu maa saidat rijaalun, wa laa urifa al-halaalu wa laa al-haraamu. (Andaikan tanpa ilmu, maka seorang tidak akan mendapatkan kebahagiaan dan tidak dapat mengetahui mana halal dan mana haram).

Bangsa Indonesia tidak mungkin akan menjadi bangsa besar jika mengabaikan tradisi ilmu ini. Jika budaya santai, budaya hedonis, budaya jalan pintas, terus dikembangkan, maka hanyalah mimpi saja untuk berangan-angan bangsa Indonesia akan menjadi bangsa yang besar yang disegani dunia.
👍1
Dalam perspektif Islam, manusia beradab haruslah yang menjadikan aktivitas keilmuan sebagai aktivitas utama mereka. Sebab soerang Muslim senantiasa berdoa: Rabbi zidniy ilman (Ya Allah, tambahkanlah ilmuku). Lebih dari itu, Rasulullah saw juga mengajarkan doa, agar ilmu yang dikejar dan dimiliki seorang Muslim adalah ilmu yang bermanfaat. Hanya dengan ilmulah, maka manusia dapat meraih adab, sehingga dapat meletakkan sesuatu pada tempatnya, sesuai ketentuan Allah SWT. Inilah konsep adab sebagaimana dipahami oleh kaum Muslim.

Maka, jika ditelaah, adalah sangat masuk akal menghipotesakan, bahwa masuknya kata adil dan adab dalam sila Kemanusiaan yang adil dan beradab adalah usulan para tokoh Islam yang duduk dalam Panitia Sembilan. Perlu dicatat, bahwa sebelum Panitia Sembilan bermusyawarah, Soekarno dan Muhammad Yamin sudah mengajukan asas atau dasar peri-kemanusiaan sebagai salah satu asas atau dasar dari Dasar Negara Indonesia. Mengapa, misalnya, sila kedua itu tidak berbunyi: Kemanusiaan yang sopan dan berbudi? Atau Kemanusiaan yang sopan dan santun? Atau, hanya berhenti pada istilah kemanusiaan. Jika demikian, maka akan sangat mungkin kata ini dimaknai secara fleksibel dan netral agama. Inilah yang secara mendasar digugat oleh Mohammad Natsir dalam pidatonya di Majelis Konstituante, Dimana sumber perikemanusiaan itu? Bagi yang memegang nilai-nilai relativisme dalam kebenaran dan moral, maka makna kemanusiaan akan memiliki makna yang nisbi dan tidak absolut, tergangung pada tradisi atau kesepakatan suatu masyarakat. Seperti disinggung sebelumnya, jika masyarakat tidak berkeberatan dengan budaya pornografi dan pornoaksi, maka nilai itu akan dianggap sebagai kebenaran. Orang yang menentang tradisi masyarakat tersebut bisa dikatakan manusia tidak beradab. Begitu juga ketika suatu masyarakat menerima praktik pelacuran, perjudian, atau minuman keras, maka itu dianggap sebagai nilai yang benar. Menurut kaum relativis ini, tidak ada nilai yang tetap sepanjang zaman dan sembarang tempat. Nilai selalu berubah. Batasan aurat wanita, misalnya, menurut mereka, tidak ada yang tetap, tetapi berdasarkan budaya setempat. Apa yang sopan dan tidak sopan, ditentukan oleh tradisi dan kesepakatan dan konsensus. Tentu saja, konsep semacam ini sangat berbeda dengan konsep Islam.


Karena itulah, masuknya kata adil dan adab dalam sila kedua dari Pancasila semakin memperkuat bahwa Pancasila bukanlah konsep yang netral agama. Tampak, pandangan-dunia Islam yang dibawa oleh para tokoh perumusnya, terutama KH Wachid Hasyim (putra KH Hasyim Asyari), Haji Agus Salim, Abdul Kahar Muzakkir, dan Abikusno Tjokrosuyoso, cukup mewarnai rumusan Pancasila, sehingga sangat tidak keliru jika umat Islam memberi makna adil dan adab sesuai dengan makna dalam Islam, bukan makna yang netral agama. Sebab, jika istilah adil dan adab diletakkan dalam bingkai atau perspektif pandangan-dunia sekular atau netral agama, maka kata itu juga tidak akan bermakna sesuai dengan makna asalnya. Dengan demikian, adalah tidak fair, tidak adil dan tidak beradab, jika orang Islam memberi makna adil dan adab dilepaskan dari pandangan-dunia Islam. Bisa dipastikan, sebelum Islam masuk ke wilayah Nusantara, kedua istilah tersebut tidak dikenal di wilayah ini. Cobalah cari, apa terjemahan yang tepat dari kata adil dan adab ke dalam bahasa Jawa, Minang, Sunda, Makasar, dan sebagainya?

Uraian yang lebih rinci tentang konsep adab dalam Islam disampaikan oleh Prof. Naquib al-Attas. Menurut Prof. Naquib, adab adalah pengenalan serta pengakuan akan hak keadaan sesuatu dan kedudukan seseorang, dalam rencana susunan berperingkat martabat dan darjat, yang merupakan suatu hakikat yang berlaku dalam tabiat semesta. Pengenalan adalah ilmu; pengakuan adalah amal. Maka, pengenalan tanpa pengakuan seperti ilmu tanpa amal; dan pengakuan tanpa pengenalan seperti amal tanpa ilmu. Keduanya sia-sia kerana yang satu mensifatkan keingkaran dan keangkuhan, dan yang satu lagi mensifatkan ketiadasedaran dan kejahilan, demikian Prof. Naquib al-Attas.
Lebih jauh, Prof. Naquib menjelaskan, bahwa jatuh-bangunnya umat Islam, tergangtung sejauh mana mereka dapat memahami dan menerapkan konsep adab ini dalam kehidupan mereka. Lebih jauh, pakar filsafat Islam dan sejarah Melayu ini menjelaskan:
Tarif adab yang dikemukakan di sini dan yang lahir dari pengertian Islam, dengan sendirinya menjelaskan bukan sahaja harus dia itu ditujukan maksud pengenaannya pada bangsa insani belaka; bahkan dia juga harus dikenakan pada keseluruhan alam tabii dan alam ruhani dan alam ilmi. Sebab, adab itu sesungguhnya suatu kelakuan yang harus diamalkan atau dilakukan terhadap diri, dan yang berdasarkan pada ilmu, maka kelakuan atau amalan itu bukan sahaja harus ditujukan kepada sesama insani, bahkan pada kenyataan makhluk jelata, yang merupakan malumat bagi ilmu. Tiap sesuatu atau seseorang memiliki hak yang meletakkannya pada keadaan atau kedudukan yang sesuai bagin keperluannya. Ilmulah, dibimbing serta diyakini oleh hikmat, yang memberitahu atau memperkenalkan sehingga ketara tentang hak yang mensifatkan sesuatu atau seseorang itu; dan keadilan pula yang menjelaskan hukum tentang di manakah atau bagaimanakah letak keadaan atau kedudukannya. Apabila faham adab itu dirujukkan kepada sesama insan, maka dia bermaksud pada kesusilaan akhlakiah yang mencarakan kewajiban diri berperangai mengikut keperluan haknya dalam susunan berperingkat darjat yang terencana, umpamanya, dalam keluarga, dalam musharakat, dalam berbagai corak pergaulan kehidupan. Apabila dia dirujukkan pada alam ilmi pula, maka dia bermaksud pada ketertiban budi menyesuaikan haknya pada rencana susunan berperingkat martabat yang mensifatkan ilmu; umpamanya pengenalan serta pengakuan akan ilmu bahawa dia itu tersusun taraf keluhuran serta keutamannya, dari yang bersumber pada wahyu ke yang berpunca pada perolehan dan perolahan akal; dari yang fardu ain ke yang fardu kifayah; dari yang merupakan hidayah bagi kehidupan ke yang merupakan kegunaan amali baginya. Dan adab terhadap ilmu itu iaitu mengenali serta mengakui taraf keluhuran serta keutamaan yang terencana pada ilmu, nescaya dapat menghasilkan dalam diri pencapaian yang seksama terhadap meramukan, menurut taraf keperluannya, pelbagai macam ilmu yang membina keadilan dalam diri. Dan keadilan dalam diri itu menyesuaikan haknya pada kewajiban membimbingnya ke arah pengenalan serta pengakuan akan ilmu yang bersumberkan wahyu, yang menyesuaii hak diri jua, dan yang dengannya dapat menjelmakan akibat amali dalam diri sehingga menyelamatkannya dunia-akhirat. (Uraian selengkapnya tentang adab bisa dikaji dalam buku Syed Muhammad Naquib al-Attas, Risalah untuk Kaum Muslimin (Kuala Lumpur: ISTAC, 2001).

Jadi, dalam Islam, konsep adab memang sangat terkait dengan pemahaman tentang wahyu. Orang beradab adalah yang dapat memahami dan meletakkan sesuatu pada tempatnya, sesuai dengan harkat dan martabat yang ditentukan oleh Allah. Di dalam Islam, orang yang tidak mengakui Allah sebagai satu-satunya Tuhan, bisa dikatakan tidak adil dan tidak beradab. Sebab, di dalam al-Quran, syirik dikatakan sebagai kezaliman besar, seperti dikatakan Lukman kepada anaknya: Wahai anakku, janganlah kamu menserikatkan Allah, sesungguhnya syirik adalah kezaliman yang besar. (QS 31:13). Nabi Muhammad saw berhasil membangun peradaban Islam di Madinah, yakni suatu masyarakat yang menegakkan adab dalam kehidupan mereka. Masyarakat beradab menurut Islam -- adalah masyarakat yang memuliakan orang yang berilmu, orang yang shalih, dan orang yang taqwa; bukan orang yang kuasa, banyak harta, keturunan raja, berparas rupawan, dan banyak anak buah.

Karena itu, jika ingin merujuk kepada konsep Islam tentang adab, pemimpin yang baik adalah yang mampu mengembangkan masyarakat yang beradab. Maka, seharusnya, dalam masyarakat yang beradab, derajat orang yang berilmu dan shalih dibedakan dengan derajat para penghibur. Manusia memang sama-sama manusia, tetapi Allah SWT sudah membeda-bedakan harkat dan martabat manusia sesuai dengan keilmuan, keimanan dan ketaqwaannya. Inilah adab dalam konsep Islam.
Orang yang tidak memiliki adab kemudian disebut sebagai orang yang biadab. Masyarakat yang tidak memiliki adab disebut juga masyarakat yang tidak beradab, atau masyarakat biadab. Tujuan pendidikan Islam (tadib) adalah bagaimana membentuk siswa-siswa menjadi manusia yang beradab, yakni manusia yang bertauhid kepada Allah SWT, manusia yang menjadikan Nabi Muhammad saw sebagai panutan (uswah hasanah), dan mampu memahami, mana ilmu yang fardhu ain dan fardhu kifayah, dan juga mampu memahami dan mengikuti ulama-ulama pewaris Nabi. (***)
Apa artinya ini? Bahwa, kalau sudah sama-sama dewasa, maka persetujuan untuk melakukan aktivitas perzinahan dianggap bukan kekerasan dan kejahatan seksual. Oleh sebab itu, sepatutnya, mohon kesediaan Mendikbud Ristek, kiranya Permendikbud Ristek No 30/2021 ini bisa direvisi.
https://www.facebook.com/153825841424041/posts/2190985211041417/
👍1
ENJOY YOUR LIFE!
Seni Menikmati Hidup
Penulis: Dr. Muhammad al-Areifi

Kisah-kisah inspiratif dari kehidupan Rasulullah s.a.w. yang dinukil penulis akan menuntun kita menjalani hidup ini secara lebih islami, Puluhan teladan, nasihat, kaidah, dan konsep pengembangan diri yang dipaparkan penulis pun sangat sederhana dan mudah diterapkan dalam kehidupan sehari-hari. Apalagi, semua itu merupakan hasil pengamatan, perenungan, dan pengalamannya sendiri selama lebih dari 20 tahun.

Seni berinteraksi dengan berbagai macam watak, perangai, dan latar belakang sosial merupakan pelajaran utama yang akan mengisi halaman demi halaman buku ini. Darinya kita akan mendapat kunci dan cara menikmati hidup. Sebab, buku ini mengajarkan bagaimana menjalani hidup ini tidak hanya sekadar berarti, namun juga mudah.

Inilah karya monumental Dr. Muhammad al-
Areifi dari dua puluhan karyanya yang rata-rata telah menembus angka 1 juta eksemplar lebih dalam tempo kurang dari satu tahun. Kehadirannya merupakan penawar dahaga umat akan buku-buku motivasi dan pengembangan diri yang islami dan tak hanya berorientasi duniawi, tetapi juga bernilai ukhrawi.
----------------------------
ENJOY YOUR LIFE!
Seni Menikmati Hidup
Penulis: Dr. Muhammad al-`Areifi

ISBN: 978-979-1303-24-8
Ukuran: 15,5 x 24 cm
Sampul: Hard Cover
Isi: HVS 610 halaman
Berat: 1 kg
Harga: Rp. 149.000,-

Pemesanan silahkan sms ke 087878147997 atau Whatsapp:
https://wa.me/6287878147997

Syukran.
MEMBEDAH FIRQAH SESAT
Syi’ah, Khawarij, Muta’zillah, Jahmiyah, Murji'ah, Qodariyyah, Shufiyyah
Penulis: Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah

Mungkin sudah sunnatullah, bahwa di tengah-tengah umat ini akan muncul banyak firqah dan aliran sesat yang mengancam akidah umat. Tak sedikit dari kalangan kaum muslimin yang terjebak dan ikut bergabung dalam aliran-aliran sesat tersebut. Sebagian karena tidak menyadari akan kesesatan aliran tersebut, dan sebagian lagi karena tak berdaya melepaskan diri dari “belenggu baiat” yang biasa diterapkan oleh firqah-firqah sesat dan menyesatkan itu.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah dengan keilmuan yang mendalam dan keimanannya yang kokoh sangat terlatih untuk meng-counter tipu daya sesat firqah-firqah tersebut. Buku ini menjadi salah satu sarana ilmiah yang dipergunakan Ibnu Taimiyyah untuk membedah borok aliran-aliran penyesat umat, seperti Syi’ah, Khawarij, Shufiyyah, Muta’zillah’ Jahmiyah, Qodariyyah, Murji’ah dan lain sebagainya

Buku ini diberi judul oleh penulisnya Al-Furqon Baina ‘I-Haq wa ‘I-Bathil (pembeda antara yang Haq dan yang Bathil), karena di dalamnya Ibnu Taimiyyah memberikan ulasan ilmiah tentang kesesatan firqah-firqah bathil.
-------------------------------------
MEMBEDAH FIRQAH SESAT
Syi’ah, Khawarij, Muta’zillah, Jahmiyah, Murji'ah, Qodariyyah, Shufiyyah
Penulis: Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah
Ukuran: 15 x 23 cm
Tebal: 308 halaman
Sampul: Soft Cover
Harga: Rp. 65.000,-

Pemesanan silahkan sms ke 087878147997 atau Whatsapp:
https://wa.me/6287878147997

Syukran.