MUSTANIR ONLINE
3.22K subscribers
865 photos
163 videos
56 files
900 links
Sharing audio, tulisan karya Dr Adian Husaini, Dr Hamid Fahmy Zarkasyi serta pemikir muslim kontemporer lainnya.
Download Telegram
MENJERNIHKAN TAFSIR PANCASILA
Dr. Adian Husaini

HARIAN Republika, Rabu (11/5) menurunkan berita berjudul: “Kembalikan Pancasila dalam Kurikulum”. Berita itu mengungkap pernyataan Ketua Umum Partai Golkar Aburizal Bakrie yang mempertanyakan mengapa Pendidikan Pancasila hilang di kurikulum pendidikan. Kata Aburizal, Pancasila tidak boleh dikerdilkan dengan hanya menjadi bagian dari pendidikan kewarganegaraan.

“Sikap Partai Golkar jelas, kembalikan materi pendidikan Pancasila menjadi bagian dari kurikulum pendidikan secara khusus, karena materinya harus diajarkan secara tersendiri,” kata Aburizal Bakrie.

Menurut Aburizal Bakrie, penghapusan pendidikan Pancasila adalah sebuah upaya memotong anak bangsa ini dari akar budayanya sendiri. Pancasila adalah pintu gerbang masuk pelajaran tentang semangat nasionalisme, gotong royong, budi pekerti, nilai-nilai kemanusiaan, kerukunan, dan toleransi beragama.

Demikian seruan Partai Golkar tentang Pancasila sebagaimana disampaikan oleh Ketua Umumnya. Akhir-akhir ini kita sering mendengar seruan berbagai pihak tentang Pancasila. Tentu saja, ini bukan hal baru. Berbagai seminar, diskusi, dan konferensi telah digelar untuk mengangkat kembali “nasib Pancasila” yang terpuruk, bersama dengan berakhirnya rezim Orde Baru, yang sangat rajin mengucapkan Pancasila.

Partai Golkar atau siapa pun yang menginginkan diterapkannya di Pancasila, seyogyanya bersedia belajar dari sejarah; bagaimana Pancasila dijadikan sebagai slogan di masa Orde Lama dan Orde Baru, dan kemudian berakhir dengan tragis. Sejak tahun 1945, Pancasila telah diletakkan dalam perspektif sekular, yang lepas dari perspektif pandangan alam Islam (Islamic worldview). Padahal, sejak kelahirannya, Pancasila – yang merupakan bagian dari Pembukaan UUD 1945 – sangat kental dengan nuansa Islamic worldview.

Contoh terkenal dari tafsir sekular Pancasila, misalnya, dilakukan oleh konsep Ali Moertopo, ketua kehormatan CSIS yang sempat berpengaruh besar dalam penataan kebijakan politik dan ideologi di masa-masa awal Orde Baru. Mayjen TNI (Purn) Ali Moertopo yang pernah menjadi asisten khusus Presiden Soeharto merumuskan Pancasila sebagai “Ideologi Negara Kesatuan Republik Indonesia”. Tentang Sila Ketuhanan Yang Maha Esa, misalnya, Ali Moertopo merumuskan, bahwa diantara makna sila pertama Pancasila adalah hak untuk pindah agama. “Bagi para warganegara hak untuk memilih, memeluk atau pindah agama adalah hak yang paling asasi, dan hak ini tidak diberikan oleh negara, maka dari itu negara RI tidak mewajibkan atau memaksakan atau melarang siapa saja untuk memilih, memeluk atau pindah agama apa saja.”

Tokoh Katolik di era Orde Lama dan Orde Baru, Pater Beek S.J., juga merumuskan makna sila Ketuhanan Yang Maha Esa sebagai konsep yang netral agama, dan tidak condong pada satu agama. Ia menggariskan tentang masalah ini:

“Barang siapa beranggapan Sila Ketuhanan ini juga meliputi anggapan bahwa Tuhan itu tidak ada, atheisme (materialisme); atau bahwa Tuhan berjumlah banyak (politeisme), maka ia tidak lagi berdiri di atas Pancasila. Pun pula jika orang beranggapan bahwa Ketuhanan Yang Maha Esa itu hanya tepat bagi kepercayaan Islam atau Yahudi saja, misalnya, maka orang semacam itu pada hakikatnya juga tidak lagi berdiri di atas Pancasila.” (J.B. Soedarmanta, Pater Beek S.J., Larut tetapi Tidak Hanyut).

Tetapi, sebagian kalangan ada juga yang memahami, bahwa sila Ketuhanan Yang Maha Esa juga menjamin orang untuk tidak beragama. Drs. R.M. S.S. Mardanus S.Hn., dalam bukunya, “Pendidikan—Pembinaan Djiwa Pantja Sila”, (1968), menulis: “Begitu pula kita harus mengetahui, bahwa orang yang ber-Tuhan tidak sekaligus harus menganut suatu agama. Bisa saja orang itu ber-Tuhan, yaitu percaya dan menyembah Tuhan Yang Maha Esa, tetapi tidak memeluk suatu agama, karena ia merasa tidak cocok dengan ajaran-ajaran dan dogma-dogma agama tertentu. Orang yang ber-Tuhan tetapi tidak beragama bukanlah seorang ateis. Pengertian ini sebaiknya jangan dikaburkan.”
Pastor J.O.H. Padmaseputra, dalam bukunya, “Ketuhanan di Indonesia” (Semarang, 1968), menulis: “Apakah orang yang tidak beragama harus dipandang ateis? Tidak. Karena amat mungkin dan memang ada orang tidak sedikit yang percaya akan Tuhan, tetapi tidak menganut agama yang tertentu.” (Dikutip dari buku Pantjasila dan Agama Konfusius karya RimbaDjohar, (Semarang: Indonezia Esperanto-Instituto, MCMLXIX), hal. 34-35).

Padahal, jika dicermati dengan jujur, rumusan sila Ketuhanan Yang Maha Esa ada kaitannya dengan pencoretan tujuh kata dalam Piagam Jakarta: Ketuhanan, dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya. Bung Hatta yang aktif melobi tokoh-tokoh Islam agar rela menerima pencoretan tujuh kata itu, menjelaskan, bahwa Tuhan Yang Maha Esa adalah Allah, tidak lain kecuali Allah. Sebagai saksi sejarah, Prof. Kasman Singodimedjo, menegaskan: “Dan segala tafsiran dari Ketuhanan Yang Maha Esa itu, baik tafsiran menurut historisnya maupun menurut artinya dan pengertiannya sesuai betul dengan tafsiran yang diberikan oleh Islam.” (Lihat, Hidup Itu Berjuang, Kasman Singodimedjo 75 Tahun (Jakarta: Bulan Bintang, 1982), hal. 123-125.)

Lebih jelas lagi adalah keterangan Ki Bagus Hadikusuma, ketua Muhammadiyah, yang akhirnya bersedia menerima penghapusan “tujuh kata” setelah diyakinkan bahwa makna Ketuhanan Yang Maha Esa adalah Tauhid. Dan itu juga dibenarkan oleh Teuku Mohammad Hasan, anggota PPKI yang diminta jasanya oleh Hatta untuk melunakkan hati Ki Bagus. (Siswanto Masruri, Ki Bagus Hadikusuma, (Yogyakarta: Pilar Media, 2005).

Sebenarnya, sebagaimana dituturkan Kasman Singodimedjo, Ki Bagus sangat alot dalam mempertahankan rumusan “Ketuhanan, dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya”. Sebab, rumusan itu dihasilkan dengan susah payah. Dalam sidang-sidang BPUPK, Ki Bagus dan sejumlah tokoh Islam lainnya juga masih menyimpan ketidakpuasan terhadap rumusan itu. Ia, misalnya, setuju agar kata “bagi pemeluk-pemeluknya” dihapuskan. Tapi, karena dalam sidang PPKI tersebut, sampai dua kali dilakukan lobi, dan Soekarno juga menjanjikan, bahwa semua itu masih bersifat sementara. Di dalam sidang MPR berikutnya, umat Islam bisa memperjuangkan kembali masuknya tujuh kata tersebut. Di samping itu, Ki Bagus juga mau menerima rumusan tersebut, dengan catatan, kata Ketuhanan ditambahkan dengan Yang Maha Esa, bukan sekedar “Ketuhanan”, sebagaimana diusulkan Soekarno pada pidato tanggal 1 Juni 1945 di BPUPK. Pengertian inilah yang sebenarnya lebih masuk akal dibandingkan dengan pengertian yang diajukan berbagai kalangan. (Ibid).

Dalam bukunya, “Islam dan Politik, Teori Belah Bambu Masa Demokrasi Terpimpin” (1959-1965), (Jakarta: Gema Insani Press, 1996), Prof. Dr. Ahmad Syafii Maarif juga mencatat, bahwa pada 18 Agustus 1945, Soekarno sebenarnya sangat kewalahan menghadapi Ki Bagus. Akhirnya melalui Hatta yang menggunakan jasa Teuku Mohammad Hasan, Ki Bagus dapat dilunakkan sikapnya, dan setuju mengganti “tujuh kata” dengan “Yang Maha Esa”. Syafii Maarif selanjutnya menulis: “Dengan fakta ini, tidak diragukan lagi bahwa atribut Yang Maha Esa bagi sila Ketuhanan adalah sebagai ganti dari tujuh kata atau delapan perkataan yang dicoret, disamping juga melambangkan ajaran tauhid (monoteisme), pusat seluruh sistem kepercayaan dalam Islam.” Namun tidak berarti bahwa pemeluk agama lain tidak punya kebebasan dalam menafsirkan sila pertama menurut agama mereka masing-masing. (hal. 31).

Tentang makna Ketuhanan Yang Maha Esa identik dengan Tauhid, juga ditegaskan oleh tokoh NU KH Achmad Siddiq. Dalam satu makalahnya yang berjudul “Hubungan Agama dan Pancasila” yang dimuat dalam buku Peranan Agama dalam Pemantapan Ideologi Pancasila, terbitan Badan Litbang Agama, Jakarta 1984/1985, Rais Aam NU, KH Achmad Siddiq, menyatakan:
“Kata “Yang Maha Esa” pada sila pertama (Ketuhanan Yang Maha Esa) merupakan imbangan tujuh kata yang dihapus dari sila pertama menurut rumusan semula. Pergantian ini dapat diterima dengan pengertian bahwa kata “Yang Maha Esa” merupakan penegasan dari sila Ketuhanan, sehingga rumusan “Ketuhanan Yang Maha Esa” itu mencerminkan pengertian tauhid (monoteisme murni) menurut akidah Islamiyah (surat al-Ikhlas). Kalau para pemeluk agama lain dapat menerimanya, maka kita bersyukur dan berdoa.” (Dikutip dari buku Kajian Agama dan Masyarakat, 15 Tahun Badan Penelitian dan Pengembangan Agama 1975-1990, disunting oleh Sudjangi (Jakarta: Balitbang Departemen Agama, 1991-1992).

Jika para tokoh Islam di Indonesia memahami makna sila pertama dengan Tauhid, tentu ada baiknya para politisi Muslim seperti Aburizal Bakrie dan sebagainya berani menegaskan, bahwa tafsir Ketuhanan Yang Maha Esa yang tepat adalah bermakna Tauhid. Itu artinya, di Indonesia, haram hukumnya disebarkan paham-paham yang bertentangan dengan nilai-nilai Tauhid. Tauhid maknanya, men-SATU-kan Allah. Yang SATU itu harus Allah, nama dan sifat-sifat-Nya. Allah dalam makna yang dijelaskan dalam konsepsi Islam, yakni Allah yang satu, yang tidak beranak dan tidak diperanakkan; bukan Allah seperti dalam konsep kaum Musyrik Arab, atau dalam konsep lainnya.

Kata “Allah” juga muncul di alinea ketiga Pembukaan UUD 1945: “Atas berkat rahmat Allah….”. Sulit dibayangkan, bahwa konsepsi Allah di situ bukan konsep Allah seperti yang dijelaskan dalam al-Quran. Karena itu, tidak salah sama sekali jika para cendekiawan dan politisi Muslim berani menyatakan, bahwa sila pertama Pancasila bermakna Tauhid sebagaimana dalam konsepsi Islam. Rumusan dan penafsiran sila pertama Pancasila jelas tidak bisa dipisahkan dari konteks sejarah munculnya rumusan tersebut.

Musyawarah Nasional (Munas) Alim Ulama Nahdlatul Ulama di Situbondo, Jawa Timur, 16 Rabiulawwal 1404 H/21 Desember 1983 memutuskan sebuah “Deklarasi tentang Hubungan Pancasila dengan Islam”, yang antara lain menegaskan: (1) Pancasila sebagai dasar dan falsafah negara Republik Indonesia bukanlah agama, tidak dapat menggantikan agama dan tidak dapat dipergunakan untuk menggantikan kedudukan agama. (2) Sila “Ketuhanan Yang Maha Esa” sebagai dasar Negara Republik Indonesia menurut pasal 29 ayat 1 Undang-undang Dasar (UUD) 1945, yang menjiwai sila yang lain, mencerminkan tauhid menurut pengertian keimanan dalam Islam. (3) Bagi Nahdlatul Ulama (NU) Islam adalah akidah dan syariah, meliputi aspek hubungan manusia dengan Allah dan hubungan antarmanusia. (4) Penerimaan dan pengamalan Pancasila merupakan perwujudan dan upaya umat Islam Indonesia untuk menjalankan syariat agamanya. (5) Sebagai konsekuensi dari sikap di atas, NU berkewajiban mengamankan pengertian yang benar tentang Pancasila dan pengamalannya yang murni dan konsekuen oleh semua pihak. (Lihat, pengantar K.H. A. Mustofa Bisri berjudul “Pancasila Kembali” untuk buku As’ad Said Ali, Negara Pancasila, Jalan Kemaslahatan Berbangsa, (Jakarta: LP3ES, 2009).

Kaum Muslim perlu mencermati kemungkinan adanya upaya sebagian kalangan untuk menjadikan Pancasila sebagai alat penindas hak konsotistusional umat Islam, sehingga setiap upaya penerapan ajaran Islam di bumi Indonesia dianggap sebagai usaha untuk menghancurkan NKRI. Dalam ceramahnya saat Peringatan Nuzulul Quran, Mei 1954, Natsir sudah mengingatkan agar tidak terburu-buru memberikan vonis kepada umat Islam, seolah-olah umat Islam akan menghapuskan Pancasila. Atau seolah-olah umat Islam tidak setia pada Proklamasi. ”Yang demikian itu sudah berada dalam lapangan agitasi yang sama sekali tidak beralasan logika dan kejujuran lagi,” kata Natsir. Lebih jauh Natsir menyampaikan, ”Setia kepada Proklamasi itu bukan berarti bahwa harus menindas dan menahan perkembangan dan terciptanya cita-cita dan kaidah Islam dalam kehidupan bangsa dan negara kita”
Natsir juga meminta agar Pancasila dalam perjalannya tidak diisi dengan ajaran-ajaran yang menentang al-Quran, wahyu Ilahi yang semenjak berabad-abad telah menjadi darah daging bagi sebagian terbesar bangsa Indonesia. (M. Natsir, Capita Selecta 2).

Contoh penyimpangan penafsiran Pancasila pernah dilakukan dengan proyek indoktrinasi melalui Program P-4 (Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila). Pancasila bukan hanya dijadikan sebagai dasar Negara. Tetapi, lebih dari itu, Pancasila dijadikan landasan moral yang seharusnya menjadi wilayah agama. Penempatan Pancasila semacam ini sudah berlebihan. Di Majalah Panji Masyarakat edisi 328/1981, mantan anggota DPR dari PPP, Ridwan Saidi pernah menulis kolom berjudul ”Gejala Perongrongan Agama”. Sejarawan dan budayawan Betawi ini mengupas dengan tajam pemikiran Prof. Dardji Darmodiharjo, salah satu konseptor P-4.

”Saya memandang sosok tubuhnya pertama kali adalah pada kwartal terakhir tahun 1977 pada Sidang Paripurna Badan Pekerja MPR, waktu itu Prof. Dardji menyampaikan pidato pemandangan umumnya mewakili Fraksi Utusan Daerah. Pidatonya menguraikan tentang falsafah Pancasila. Sudah barang tentu uraiannya itu bertitik tolak dari pandangan diri pribadinya belaka. Dan sempat pula pada kesempatan itu Prof. Dardji menyampaikan kejengkelannya ketika katanya pada suatu kesempatan dia selesai ceramah tentang sikap hidup Pancasila, seorang hadirin bertanya padanya bagaimana cara gosok gigi Pancasila.”

Kuatnya pengaruh Islamic worldview dalam penyusunan Pembukaan UUD 1945 – termasuk Pancasila – terlihat jelas dalam sila kedua: Kemanusiaan yang adil dan beradab. Manusia Indonesia harus bersikap adil dan beradab. Adil dan adab merupakan dua kosa kata pokok dalam Islam yang memiliki makna penting. Salah satu makna adab adalah pengakuan terhadap Allah sebagai satu-satunya Tuhan dan Muhammad saw sebagai Nabi, utusan Allah. Menserikatkan Allah dengan makhluk – dalam pandangan Muslim – bukanlah tindakan yang beradab.

Meletakkan manusia biasa lebih tinggi kedudukannya dibandingkan utusan Allah SWT tentu juga tidak beradab. Menempatkan pezina dan penjahat lebih tinggi kedudukannya dibandingkan dengan orang yang bertaqwa, jelas sangat tidak beradab.

Jadi, jika Golkar atau siapa pun bersungguh-sungguh menegakkan Pancasila di Indonesia, siapkah Golkar menegakkan Tauhid dan adab di bumi Indonesia? Wallahu a’lam bil-sahawab.*
Media is too big
VIEW IN TELEGRAM
Suatu hari, Dr. Adian Husaini ditanya oleh seorang anak SMA: "Pak, apakah adil Allah memasukkan orang-orang jahat ke dalam surga hanya karena dia beragama Islam? Dan apakah adil Allah memasukkan ke dalam neraka orang-orang baik hanya karena dia tidak beragama Islam?"

Temukan jawabannya disini, berama Dr. Adian Husaini. Tajuk: Problem Pluralisme Agama
Media is too big
VIEW IN TELEGRAM
Sekolahisme, penyakit yang menyamakan mencari ilmu dengan sekolah.
A Letter To Allah - Menyelami Untaian Doa 40 Robbana di Dalam Al-Quran

Buku ini terdiri dari tiga bab; bab pertama tentang fikih doa yang berisi 18 adab yang seyogianya kita lakukan ketika berdoa; bab kedua berjudul ketika doa diijabah oleh Allah dengan menghadirkan kisah Ashim binTsabit dan Muhammad bin Dawud. Bab dua ini menekankan tentang dahsyatnya doa di mana ia bisa lebih tajam dari kilatan pedang dan lebih jauh dari lemparan tombak.

Bab ketiga merupakan bagian inti yang menjadi sebab buku ini ditulis, yaitu tadabbur 40 doa dalam Al-Qur'an yang diawali dengan kata Rabbana.

Ada doa yang dilantunkan oleh Nabi Adam dan istrinya setelah mereka berbuat salah, ada doa sapu jagat, ada doa Nabi Ibrahim yang memohon agar amalnya, doa meminta supaya keluarga dan keturunannya menjadi penyejuk jiwa, dan doa rabbana yang lainnya.

Pada masing-masing doa disertakan prolog yang berisi kata mutiara yang berbobot, dan juga tadabbur doa yang dibahas agar kita lebih bisa merenungi dan menghayatinya.

Buku ini sangat istimewa sebagaimana istimewanya kajian ustadz Oemar Mita yang menawan nan menyentuh.
---------------------------
A Letter To Allah - Menyelami Untaian Doa 40 Robbana di Dalam Al-Quran
Penulis: Oemar Mitta
Ukuran: 14 x 20.5 cm
Sampul: Soft Cover
Tebal: 384 halaman
Berat: 600 gram
Harga: Rp. 135.000,-

Pemesanan silahkan sms ke 087878147997 atau Whatsapp:
https://wa.me/6287878147997

Syukran...
12 Rahasia Kejahatan Yahudi dalam Kitab Suci
Oleh: Henri Shalahuddin

Ide mendirikan negara Yahudi dalam perkembangan gerakan Zionis, sebenarnya banyak dipengaruhi oleh Theodore Herzl. Dalam tulisannya, Der Jadenstaat (Negara Yahudi), dia mendorong organisasi Yahudi dunia untuk meminta persetujuan Turki Usmani sebagai penguasa di Palestina agar diizinkan membeli tanah di sana. Kaum Yahudi hanya diizinkan memasuki Palestina untuk melaksanakan ibadah, bukan sebagai komunitas yang punya ambisi politik (lihat: Palestine and The Arab-Israeli Conflict, 2000: 95). Keputusan ini memicu gerakan Zionis radikal. Bersamaan dengan semakin melemahnya pengaruh Turki Usmani, para imigran Zionis berdatangan setelah berhasil membeli tanah di Palestina utara. Imigrasi besar-besaran ini pun berubah menjadi penjajahan tatkala mereka berhasil menguasai ekonomi, sosial dan politik di Palestina dengan dukungan Inggris (Israel, Land of Tradition and Conflict, 1993:27).

Berakhirnya Perang Dunia I, Inggris berhasil menguasai Palestina dengan mudah. Sherif Husein di Mekah yang dilobi untuk memberontak kekuasaan Turki juga meraih kesuksesan. (1948 and After: Israel and Palestine, 1990:149). Rakyat Palestina semakin terdesak dan menjadi sasaran pembantaian. (2000:173). Agresi Zionis terus berlanjut, 360 desa dan 14 kota yang didiami rakyat Palestina dihancurkan dan lebih 726.000 jiwa terpaksa mengungsi. Akhirnya pada Jumat, 14 Mei 1948, negara baru Israel dideklarasikan oleh Ben Gurion, bertepatan dengan 8 jam sebelum Inggris dijadwal meninggalkan Palestina. Untuk strategi mempertahankan keamanannya di masa berikutnya, Israel terus menempel AS hingga berhasil mendapat pinjaman 100 juta U$D untuk mengembangkan senjata nuklir.

Elisabeth Diana Dewi dalam karya ilmiahnya, The Creation of The State of Israel menguraikan bahwa secara filosofi, negara Israel dibentuk berdasarkan tiga keyakinan yang tidak boleh dipertanyakan: (a) tanah Israel hanya diberikan untuk bangsa pilihan Tuhan sebagai bagian dari Janji-Nya kepada mereka. (b) pembentukan negara Israel modern adalah proses terbesar dari penyelamatan tanah bangsa Yahudi. (c) pembentukan negara bagi mereka adalah solusi atas sejarah penderitaan Yahudi yang berjuang dalam kondisi tercerai berai (diaspora). Maka, merebut kembali seluruh tanah yang dijanjikan dalam Bibel adalah setara dengan penderitaan mereka selama 3000 tahun. Oleh sebab itu, semua bangsa non-Yahudi yang hidup di tanah itu adalah perampas dan layak untuk dibinasakan.

Yahudi dalam Al-Quran

Fakta fenomenal saat ini yang menggambarkan arogansi, kecongkakan dan penindasan Yahudi terhadap kaum muslimin adalah hikmah yang harus diambil dari Firman-Nya: Dan telah Kami tetapkan terhadap Bani Israil dalam Kitab itu: "Sesungguhnya kamu akan membuat kerusakan di muka bumi ini dua kali dan pasti kamu akan menyombongkan diri dengan kesombongan yang besar.” (QS.17:4). Dalam tafsir Jalalayn dijelaskan bahwa maksud fil ardhi dalam ayat itu adalah bumi Syam yang meliputi Suriah, Palestina, Libanon, Yordan dan sekitarnya.

Pembunuhan bukan hal asing dalam sejarah Yahudi. Bahkan nabi-nabi mereka, seperti Nabi Zakariya dan Nabi Yahya pun dibunuh. Mereka juga mengira telah berhasil membunuh Nabi Isa dan bangga atas usahanya. Tapi Al-Quran membantahnya (QS.4:157). Inilah di antara makna bahwa yang paling keras permusuhannya terhadap kaum beriman ialah orang Yahudi dan musyrik (QS. 5:82).

Penolakan janji Allah (QS. 5:21-22) yang memastikan kemenangan jika mau berperang bersama Nabi Musa, membuktikan sebenarnya Yahudi adalah bangsa penakut, pesimis, tamak terhadap dunia dan lebih memilih hidup hina daripada mati mulia. Bahkan QS. 5:24 menggambarkan bahwa mereka tidak butuh tanah yang dijanjikan dan tidak ingin merdeka selama masih ada sekelompok orang kuat yang tinggal di sana. Lalu mereka meminta Nabi Musa dan Tuhannya berperang sendiri.
👍2
Oleh karena itu Al-Quran menggambarkan bahwa kerasnya batu tidak bisa mengimbangi kerasnya hati kaum Yahudi. Sebab masih ada batu yang terbelah lalu keluar mata air darinya dan ada juga yang meluncur jatuh karena takut kepada Allah (QS. 2:74). Keras hati kaum Yahudi ini di antaranya disebabkan hobi mereka mendengarkan berita dusta dan makan dari usaha yang diharamkan (QS. 5:24).

Dua Belas Kejahatan Yahudi

Dalam buku Qabaih al-Yahud dijelas 12 kejahatan Yahudi yang termaktub dalam Al-Quran. Kejahatan itu adalah sebagai berikut:

1. Menuduh Nabi Musa punya penyakit kusta karena tidak mau mandi bersama mereka. (QS. 33:69)

2. Enggan melaksanakan Taurat, sehingga Allah mengangkat gunung Tursina untuk mengambil perjanjian yang teguh. (QS.2:93)

3. Tidak mau beriman kecuali jika melihat Allah langsung. (QS. 2:55 dan 4:153)

4. Merubah perintah agar masuk negeri yang dijanjikan seraya bersujud dan mengucapkan hithah, yakni memohon ampunan. Tapi mereka mengganti perintah itu dengan cara melata di atas anusnya dan mengatakan hinthah, yakni sebutir biji di rambut. (QS. 2:58-59)

5. Menuduh Nabi Musa mengolok-olok mereka saat mereka disuruh menyembelih sapi betina. (QS. 2:67)

6. Menulis Alkitab dengan tangan mereka, lalu mengatakan ini dari Allah. (QS. 2:79)

7. Memutar-mutar lidahnya untuk menyakinkan bahwa yang dibacanya itu adalah wahyu yang asli. (QS. 3:78)

8. Merubah Firman Allah. (QS.2:75)

9. Menyembah patung sapi saat ditinggal Nabi Musa mengambil Taurat. (QS.2: 51 dan 92)

10. Mengatakan Tangan Allah terbelenggu. (QS.5:64)

11. Menuduh Allah itu faqir. (QS. 3:181)

12. Menyuruh Nabi Musa dan Tuhannya berperang untuk mereka (QS.5:24)

Di samping itu, sosok nabi yang seharusnya dijadikan suri tauladan, justru dinistakan. Nabi Ibrahim dalam Kejadian pasal 12:10-16 dan 20:1-14, dikisahkan sebagai orang yang hina, menjijikkan dan rakus harta benda. Beliau dituduh menjual isterinya yang cantik demi meraih keuntungan. Kitab suci mereka tidak pernah menceritakan beliau sebagai Nabi pemberani yang menghancurkan patung meskipun harus dilemparkan kedalam api, menyeru ayah dan kaumnya meninggalkan kemusyrikan. Kisah memilukan juga menimpa Nabi Luth. Dalam Kejadian Pasal 19:30-38, beliau dikisahkan menzinahi kedua putrinya dalam keadaan mabuk.

Islam adalah musuh permanen bagi Yahudi dan Nasrani. Sebab Islam adalah satu-satunya agama yang kitab sucinya mengoreksi langsung kesalahan dua agama itu. Ibarat seorang adik, ia berani membongkar kejahatan kedua kakaknya. Oleh sebab itu, kedengkian mereka tidak akan padam dan masih eksis dalam kajian-kajian mereka. Contoh kedengkian intelektual ini seperti klaim bahwa Al-Quran banyak dipengaruhi kosa kata Ibrani, seperti diungkapkan Adnin Armas dalam bukunya Metodologi Bibel dalam Studi Al-Quran. Klaim ini dicetuskan oleh Abraham Geiger (1810-1874), seorang rabi dan pendiri Yahudi Liberal di Jerman dalam karyanya, Apa yang telah Muhammad pinjam dari Yahudi?

Jauh sebelumnya, Imam Syafi’i telah menolak tudingan semisal itu dan menguatkan bahwa Al-Quran diturunkan dalam bahasa Arab. Sebab semua lafadz dalam Al-Quran mustahil tidak dipahami oleh semua orang Arab, meskipun sebagian lafadz itu ada yang tidak dimengerti oleh sebagian orang Arab. Hal ini mengingat luasnya samudera bahasa Arab, bukan karena kata itu tidak berasal dari bahasa Arab. Karena kata-kata yang dituduhkan asing itu telah menjadi bahasa Arab, dikenal dan telah digunakan oleh masyarakat Arab sebelum turunnya Al-Quran.

Anehnya, virus Geiger kini berkembang subur di sebagian umat. Pengacauan studi Islam dan maraknya franchise-franchise hermeneutika untuk menafsirkan Al-Quran di sebagian institusi pendidikan tinggi Islam sangat potensial melemahkan akidah dan ukhuwah. Fenomena ini perlu dipertimbangkan para tokoh umat di samping fatwa tentang pemboikotan produk Israel dan Amerika.
HANYA UNTUKMU ANAKKU
Panduan Lengkap Pendidikan Anak Sejak Dalam Kandungan Hingga Dewasa
Penulis: Ibnu Qayyim al-Jauziyyah

Anak adalah buah hati kita. Kehadirannya selalu didambakan oleh setiap pasangan yang berumah tangga. Anak yang shalih adalah harapan setiap orang tua. Tetapi, untuk mewujudkan impian dan harapan tersebut dibutuhkan ilmu yang benar tentang pendidikan anak agar tidak salah didik dan salah arah. Imam Ibnu Qayyim al-Jauziyyah (691 - 751 H) , seorang ulama terkenal, telah menyumbangkan hasil risetnya mengenai dunia anak dan permasalahannya, yang ditinjau dari berbagai aspek, dalam salah satu buah penanya yang berjudul Tuhfatul Mauduud bi Ahkaamil Mauluud.

Buku ini diperlukan setiap orang yang telah diberikan karunia oleh Allah atau orang yang diamanahi oleh-Nya untuk merawat anak. Di dalamnya, penulis menyebutkan segala hal yang terkait dengan kelahiran seorang anak manusia, dimulai dari masa kelahirannya ke alam dunia hingga ia menetap di alam akhirat. Materi-materi yang dibahas pun sangat menarik dan begitu dalam. Dalil-dalilnya berasal dari al-Quran dan as-Sunnah serta atsar ornag-orang shalih jaman dulu. Argumentasinya diambil dari hasil uji coba dan penelitian yang mendalam terhadap kehidupan keluarga.
--------------------------------------
HANYA UNTUKMU ANAKKU
Penulis: Ibnu Qayyim al-Jauziyyah
Ukuran: 17 x 24 cm
Tebal: 556 Halaman
Berat: 1,1 Kg.
Sampul: Hard Cover
Harga: Rp.140.000,-

Pemesanan silahkan sms ke 087878147997 atau Whatsapp:
https://wa.me/6287878147997

Syukran...
Media is too big
VIEW IN TELEGRAM
KARAKTERISTIK YAHUDI DALAM AL QUR'AN
Bersama Dr Adian Husaini
Dasar-Dasar Ilmu Al-Qur’an
Penulis: Manna’ Al-Qaththan

Kajian tentang Al-Qur’an memerlukan banyak ragam ilmu, yang disebut sebagai Ulumul Qur’an (Ilmu-Ilmu Al-Qur’an). Ulumul Qur’an merupakan disiplin ilmiah yang mempunyai ruang lingkup pembahasan yang luas, yang meliputi Ilmu Tafsir maupun ilmu-ilmu bahasa Arab, seperti Balaghah dan I’rabul Qur’an, di samping ilmu-ilmu lainnya. Di dalam kitab Al-Itqan, Imam As-Suyuthi menguraikannya hingga sebanyak 80 cabang ilmu.

Mengerti cabang-cabang ilmu tersebut dan para ahlinya sangatlah penting. Apalagi pada zaman di mana banyak umat Islam lemah pemahamannya tentang Islam, bahkan dalam hal-hal yang sangat mendasar dan aksiomatik. Tidak paham Ulumul Qur’an bisa berujung pada kesalahan dan penyimpangan dalam memahami ayat-ayat Al-Qur’an.

Di sisi lain, dengan berbekal Ulumul Qur’an, seorang muslim tidak berada dalam ketakutan yang berlebihan untuk bisa dekat dan menadaburi Al-Qur’an. Yang jelas, buku ini merupakan permulaan yang tepat bagi mereka yang ingin naik jenjang; dari hanya sebatas membaca Al-Qur’an menuju kepada mempelajari dan memahami kandungannya. Buku ini juga telah teruji bertahun-tahun sebagai pegangan standar di kalangan akademisi karena kelengkapan isi dan kepakaran penulisnya.

Syekh Manna’ bin Khalil Al-Qatthan | Dilahirkan pada tahun 1925 di Syansur, Manufiyah, Mesir. Kehidupan ilmiahnya dimulai dengan tahfizh Al-Qur’an sejak kecil. Kemudian melanjutkan ke Madrasah Ibtida’iyah dan Ma’had Diniyah Al-Azhar. Ketika muda turut berjihad di Palestina dua kali, yaitu pada tahun 1938 dan 1948. Selanjutnya menempuh pendidikan sarjana di Fakultas Ushuluddin di Kairo dan menjadi ketua asosiasi mahasiswa. Belajar kepada sejumlah ulama senior seperti Syekh Abdurrazzaq Afifi, Dr. Muhammad Al-Bahi, dan Dr. Muhammad Yusuf Musa. Kemudian pindah ke Arab Saudi untuk mengajar di berbagai ma’had (1953).

Sejak tahun 1958 menjadi dosen di Fakultas Syariah dan Fakultas Bahasa Arab di Riyadh, direktur di Ma’had Ali li Al-Qadha’ (Sekolah Tinggi Kehakiman), dan direktur Studi Pascasarjana, Universitas Al-Imam Muhammad bin Suud. Mendapat amanat sebagai pembimbing hingga 115 Judul tesis dan disertasi di tiga perguruan tinggi terkemuka, yaitu Universitas Al-Imam (Riyadh), Universitas Ummul Qura (Mekkah), dan Universitas Islam Madinah. Tidak kurang dari 22 Judul karya tulis ilmiahnya yang sudah dicetak, di antaranya yang paling terkenal adalah buku Mabahits fi Ulum Al-Qur’an. Wafat pada 19 Juli 1999 dalam usia 75 tahun dan dimakamkan di Riyadh.
---------------------------
Dasar-Dasar Ilmu Al-Qur’an
Penulis: Manna’ Al-Qaththan
Ukuran: 17 x 24 cm
Tebal: 581 hal (Hvs 70gr)
Berat: 1,1 kg
ISBN: 978-602-7637-85-6
Harga: Rp 130.000,-

Pemesanan silahkan sms ke 087878147997 atau Whatsapp:
https://wa.me/6287878147997

Syukran...
SEJARAH & KEUTAMAAN MASJID AL-AQSHA DAN AL-QUDS
Penulis: Mahdy Saied Rezk Karisem

Buku ini adalah ringkasan lengkap yang membahas tentang Palestina, Baitul Maqdis, dan Masjid Al-Aqsha dari tinjauan sejarah, agama, politik, dan keutamaan-keutamaannya.

Pembahasan dalam buku ini meliputi:
• Informasi-informasi dan fakta-fakta keagamaan serta sejarah yang terkait dengan keutamaan dan kedudukan Masjid Al-Aqsha.
• Penjelasan tentang sejarah Tanah Suci (Palestina), khususnya Kota Al-Quds (Baitul Maqdis) yang hari ini disebut dengan Jerusalem.
• Bantahan atas kedustaan-kedustaan dan klaim Yahudi atas Palestina, baik dari sisi sejarah, agama, dan politik, yang menyatakan bahwa Palestina dan Baitul Maqdis adalah milik mereka.
• Bantahan atas kedustaan Yahudi tentang Haikal Sulaiman (Solomon Temple), yang mereka klaim berada di sekitar Masjid Al-Aqsha.
• Bantahan terhadap syubhat-syubhat kaum Yahudi, Zionis, dan Sekular, terkait dengan Palestina dan Baitul Maqdis.
• Peristiwa-peristiwa akhir zaman dan tanda-tanda Kiamat Kubra (besar) yang terjadi di Palestina.

Persoalan Al-Aqsha adalah bagian dari problematika kaum muslimin di dunia, karena Al-Aqsha adalah bagian dari Islam dan simbol agung di antara simbol-simbol Islam lainnya. Selain itu, Al-Aqsha juga terikat dengan akidah kaum muslimin dan tempat peribadatan mereka.
---------------------------------------
Sejarah & Keutamaan Masjid Al-Aqsha dan Al-Quds
Penulis: Mahdy Saied Rezk Karisem
ISBN: 9789795929260
Sampul: Hard Cover
Isi: 304 Halaman
Berat : 700 gr
Ukuran: 16 x 24,5 cm
Harga: Rp. 140.000,-

Pemesanan silahkan sms ke 087878147997 atau Whatsapp:
https://wa.me/6287878147997

Syukran...
DASAR-DASAR ILMU HADITS
Penulis: Dr. Mahmud Ath-Thahhan

Hadits, sebagai sumber ajaran Islam kedua setelah Al-Qur’an, merupakan pedoman dan tuntunan bagi umat Islam dalam melakukan seluruh aktivitasnya. Para ulama telah melakukan usaha yang luar biasa dalam rangka menjaga keaslian Al-Hadits, mulai dari kodifikasi hingga verifikasi atas keotentikan riwayatnya. Usaha tersebut melahirkan terminologi yang kemudian dikenal sebagai Ilmu Mushthalah Al-Hadits.

Buku ini merupakan terjemahan dari buku Taisir Mushthalah Al-Hadits. Buku ini telah terkenal dan teruji sebagai diktat akademiks yang dipakai selama bertahun-tahun di berbagai perguruan Islam. Buku ini memiliki keunggulan pada pembahasannya yang lengkap seputar asas-asas penting dalam Ilmu Hadits. Mulai dari definisi, kedudukan, perkembangan, dan pembukuan hadits-hadits Nabi.
----------------------------------------
DASAR-DASAR ILMU HADITS
Penulis: Dr. Mahmud Ath-Thahhan
Ukuran: 17.5 x 24.5 cm
Sampul: Hard Cover
Isi: HVS 280 halaman
Berat: 650 gr
ISBN: 9786027637863
Harga: Rp. 100.000,-

Pemesanan silahkan sms ke 087878147997 atau Whatsapp:
https://wa.me/6287878147997

Syukran...
Paket buku:
*JAS HITAM: Jangan Sekali-kali Menghitamkan Sejarah Islam*
Dan
*JAS PUTIH: Jadikan Ajaran dan Sejarah Islam Memutih*

JAS HITAM:
-Benarkah Agama Samawi itu Yahudi, Kristen dan Islam?
-Benarkah Islam pertama kali dibawa Nabi Muhammad saw. sehingga dituduh plagiat Yahudi dan Nashrani? Juga menyebut pengikutnya sebagai Muhammadisme?
- Benarkah cara pandang Prof. Sartono Kartodirjo tentang Historiografi Eropa-sentris ke Indonesia-sentris berakibat menyingkirkan peran umat Islam melawan penjajahan dan meraih kemerdekaan?
- Benarkah Periodesasi Sejarah: Klasik, Pertengahan, dan Modern?
- Benarkah Socrates adalah Nabi untuk Athena Yunani? Buddha adalah seorang Rasul (Bu'tsa)? Dan Hindu berasal dari ajaran Nabi di India?

Apa kelebihan buku ini?
- Mengungkap distorsi sejarah Islam yang disembunyikan.
- Menjungkirbalikkan pemahaman umum yang selama ini dianggap benar oleh banyak orang.
- Ditulis oleh penulis sejarah dengan karyanya yang terkenal mendobrak mainstream dan Best Seller.
--**--
JAS PUTIH:
Sesungguhnya ajaran Islam adalah haq. Bagaikan cahaya putih yang terang benderang sejak awalnya. Akan tetapi sebagian manusia telah melakukan tahrîf (pengubahan) terhadap sebagian ajaran Islam agar tampak hitam dan kelam.

Menyingkap kembali kabut gelap sehingga cahaya putih kebenaran ajaran & sejarah Islam kembali terpancar dan bersinar semakin terang.

Apa kelebihan buku ini?
- Menjelaskan kisah-kisah Islami (sejarah Islam) secara sekilas berdasarkan ayat-ayat Al-Qur'an sejak awal penciptaan, para nabi hingga rasul terakhir.
- Menjelaskan sejarah turunnya Al-Qur'an secara singkat dalam masa kenabian di Makkah dan Madinah.
- Menjelaskan sejarah Islam dunia, di timur dan barat dengan dasar cara pandang Al-Qur'an, tentang perseteruan iman melawan kekufuran.
--------------------------
JAS HITAM
Jangan Sekali-kali Menghitamkan Sejarah Islam
Penulis: Rachmad Abdullah
Sampul: Soft Cover
Ukuran: 14x20,5 cm
Isi: 374 halaman
Berat: 400 gram
Harga: Rp. 80.000,-

JAS PUTIH
Jadikan Ajaran dan Sejarah Islam Memutih
Penulis: Rachmad Abdullah
Sampul: Soft Cover
Ukuran: 14x20,5 cm
Isi: 292 halaman
Berat: 310 gram
Harga: Rp. 70.000,-

Harga 1 paket berisi 2 buku di atas Rp. 150.000,-

Pemesanan silahkan sms ke 087878147997 atau Whatsapp:
https://wa.me/6287878147997

Syukran...