Inna lillahi wa innaa ilaihi rajiuun. Ayahanda Dr KH Abdullah Syukri Zarkasyi, Pimpinan Pondok Modern Darussalam Gontor, tutup usia, berpulang ke rahmatullah pada Rabu 21 Oktober 2020, pukul 15.50 di rumah Gontor.
https://www.gontor.ac.id/berita/ayahanda-dr-kh-abdullah-syukri-zarkasyi-berpulang-ke-rahmatullah
https://www.gontor.ac.id/berita/ayahanda-dr-kh-abdullah-syukri-zarkasyi-berpulang-ke-rahmatullah
Gontor
Ayahanda Dr KH Abdullah Syukri Zarkasyi Berpulang ke Rahmatullah - Gontor
Inna lillahi wa innaa ilaihi rajiuun. Ayahanda Dr KH Abdullah Syukri Zarkasyi, Pimpinan Pondok Modern Darussalam Gontor, tutup usia, berpulang ke rahmatullah pada Rabu 21 Oktober 2020, pukul 15.50 di rumah Gontor. Pada 2012 Kiai Syukri terkena serangan stroke…
FILSAFAT TAFSIR
Oleh: Dr. Hamid Fahmy Zarkasyi
Seorang dosen universitas Islam kenamaan suatu ketika ditanya mahasiswanya tentang status Alquran dalam kajian sains dan humaniora. Jawabnya, "Sains adalah sains, kitab suci adalah kitab suci. Biarkanlah Alquran sebagai firman Tuhan di atas sana." Jawaban ini maksudnya Alquran adalah kitab suci yang sulit dipahami dan tidak ada hubungannya dengan sains dan humaniora. Ini membingungkan.
Baru-baru ini seorang aktivis parpol tertentu mengomentari pemahaman surah al-Maidah ayat 51 dalam kaitannya dengan haramnya memilih pemimpin non-Muslim. Ia menyatakan, "Yang tahu makna atau tafsir surah itu hanya Tuhan, kita sebagai manusia tidak tahu." Ini juga pernyataan yang sama bingungnya dengan yang pertama. Seakan-akan Alquran itu kitab suci yang mustahil dipahami manusia.
Pandangan dosen tadi berindikasi adanya paham sekuler pada dirinya. Tampaknya ia yakin bahwa kebenaran sains dan humaniora dapat dibuktikan secara empiris sementara kebenaran kitab suci atau teologi tidak bisa. Seakan hal-hal yang empiris tidak mungkin dimasuki agama, dan sebaliknya. Ia seperti lupa bahwa banyak ayat kauniyah dalam Alquran bisa dibuktikan secara empiris. Mungkin ia juga tidak mendalami bahwa banyak ayat kauniyyah dalam Alquran yang memerlukan ta'wil al-ilmi.
Pandangan aktivis parpol itu seperti terpengaruh oleh mitologi Yunani atau mungkin ia baru membaca filsafat hermeneutika postmodern. Di zaman Yunani memang ada kisah bahwa pesan dewa-dewi di Olympus itu "tidak dapat dipahami manusia". Karena itu, orang terpaksa memahaminya melalui Hermes atau penyair Homer.
Singkatnya, cara penafsiran pesan dewa-dewi ini kemudian dijadikan metode penafsiran para filosof. Plato menggunakan hermeneutika alegoris, yaitu metode memahami teks dengan cara mencari makna yang lebih dalam dari sekadar pengertian literal. Selain itu, Stoic juga menerapkan doktrin inner logos dan outer logos (inner word and outer word). Sementara, Aristotle memakai tafsir menekankan pada teori logika dan semantik.
Metode hermeneutika yang pertama digunakan kalangan teolog Kristen untuk menafsirkan Bible adalah metode alegoris. Namun, perkembangan selanjutnya ketika hermeneutika berubah menjadi filsafat, interpretasi objek tafsirnya bukan hanya pesan dewa-dewi, wahyu Tuhan, tapi juga teks sastra. Untuk teks sastra, hermeneutika diperlukan. Namun, untuk teks wahyu, filsafat tafsir ini akan memunculkan banyak masalah.
Boleh jadi yang mengatakan firman Tuhan tidak bisa dipahami oleh manusia secara mutlak terinspirasi oleh wacana di kalangan Katolik. Robert M Robinson, seorang tokoh Katolik AS, menulis begini:
"It is very common today for people to say "We cannot understand the Bible alike". Such a statement is often offered in defense of the more than 400 different denominations that exist in the world."
Ini berarti Bible tidak bisa dipahami sama oleh semua orang. Di sini para cendekiawan Muslim lalu meng-copy-paste dan mengatakan "satu ayat seribu tafsir", "tidak ada tafsir tunggal", "yang tahu makna Alquran yang sesungguhnya hanyalah Tuhan", dan seterusnya.
Suatu ketika saya coba sampaikan tren cendekiawan Muslim ini kepada al-Attas. Beliau spontan menjawab, "Tidak ada perintah dalam Alquran agar manusia memahami Alquran seperti yang dimaksud oleh Allah. Kita juga tidak diperintah untuk mengenal Allah dengan hakikat yang sesungguhnya," demikian seterusnya.
Jika Alquran yang diturunkan kepada Nabi Muhammad itu tidak dapat dipahami oleh umatnya, maka berarti Nabi telah dianggap gagal membawa risalahnya. Jika Alquran tidak dapat dipahami oleh umat Islam, mustahil peradaban Islam tegak berdiri dan berkembang selama 7-10 abad lamanya.
Selain itu, pemahaman manusia dengan tafsir yang bermacam-macam tidak berarti Alquran sulit dipahami. Tafsir-tafsir itu menunjukkan bahwa Alquran dapat dipahami dari berbagai aspek. Tafsir-tafsir yang bertentangan antara satu dengan lainnya hanya sedikit. Itu pun tidak pernah mengubah hal-hal yang bersifat muhkamat atau thawabit.
Al-Attas bahkan menganggap tafsir Quran sebagai karya ilmi
Oleh: Dr. Hamid Fahmy Zarkasyi
Seorang dosen universitas Islam kenamaan suatu ketika ditanya mahasiswanya tentang status Alquran dalam kajian sains dan humaniora. Jawabnya, "Sains adalah sains, kitab suci adalah kitab suci. Biarkanlah Alquran sebagai firman Tuhan di atas sana." Jawaban ini maksudnya Alquran adalah kitab suci yang sulit dipahami dan tidak ada hubungannya dengan sains dan humaniora. Ini membingungkan.
Baru-baru ini seorang aktivis parpol tertentu mengomentari pemahaman surah al-Maidah ayat 51 dalam kaitannya dengan haramnya memilih pemimpin non-Muslim. Ia menyatakan, "Yang tahu makna atau tafsir surah itu hanya Tuhan, kita sebagai manusia tidak tahu." Ini juga pernyataan yang sama bingungnya dengan yang pertama. Seakan-akan Alquran itu kitab suci yang mustahil dipahami manusia.
Pandangan dosen tadi berindikasi adanya paham sekuler pada dirinya. Tampaknya ia yakin bahwa kebenaran sains dan humaniora dapat dibuktikan secara empiris sementara kebenaran kitab suci atau teologi tidak bisa. Seakan hal-hal yang empiris tidak mungkin dimasuki agama, dan sebaliknya. Ia seperti lupa bahwa banyak ayat kauniyah dalam Alquran bisa dibuktikan secara empiris. Mungkin ia juga tidak mendalami bahwa banyak ayat kauniyyah dalam Alquran yang memerlukan ta'wil al-ilmi.
Pandangan aktivis parpol itu seperti terpengaruh oleh mitologi Yunani atau mungkin ia baru membaca filsafat hermeneutika postmodern. Di zaman Yunani memang ada kisah bahwa pesan dewa-dewi di Olympus itu "tidak dapat dipahami manusia". Karena itu, orang terpaksa memahaminya melalui Hermes atau penyair Homer.
Singkatnya, cara penafsiran pesan dewa-dewi ini kemudian dijadikan metode penafsiran para filosof. Plato menggunakan hermeneutika alegoris, yaitu metode memahami teks dengan cara mencari makna yang lebih dalam dari sekadar pengertian literal. Selain itu, Stoic juga menerapkan doktrin inner logos dan outer logos (inner word and outer word). Sementara, Aristotle memakai tafsir menekankan pada teori logika dan semantik.
Metode hermeneutika yang pertama digunakan kalangan teolog Kristen untuk menafsirkan Bible adalah metode alegoris. Namun, perkembangan selanjutnya ketika hermeneutika berubah menjadi filsafat, interpretasi objek tafsirnya bukan hanya pesan dewa-dewi, wahyu Tuhan, tapi juga teks sastra. Untuk teks sastra, hermeneutika diperlukan. Namun, untuk teks wahyu, filsafat tafsir ini akan memunculkan banyak masalah.
Boleh jadi yang mengatakan firman Tuhan tidak bisa dipahami oleh manusia secara mutlak terinspirasi oleh wacana di kalangan Katolik. Robert M Robinson, seorang tokoh Katolik AS, menulis begini:
"It is very common today for people to say "We cannot understand the Bible alike". Such a statement is often offered in defense of the more than 400 different denominations that exist in the world."
Ini berarti Bible tidak bisa dipahami sama oleh semua orang. Di sini para cendekiawan Muslim lalu meng-copy-paste dan mengatakan "satu ayat seribu tafsir", "tidak ada tafsir tunggal", "yang tahu makna Alquran yang sesungguhnya hanyalah Tuhan", dan seterusnya.
Suatu ketika saya coba sampaikan tren cendekiawan Muslim ini kepada al-Attas. Beliau spontan menjawab, "Tidak ada perintah dalam Alquran agar manusia memahami Alquran seperti yang dimaksud oleh Allah. Kita juga tidak diperintah untuk mengenal Allah dengan hakikat yang sesungguhnya," demikian seterusnya.
Jika Alquran yang diturunkan kepada Nabi Muhammad itu tidak dapat dipahami oleh umatnya, maka berarti Nabi telah dianggap gagal membawa risalahnya. Jika Alquran tidak dapat dipahami oleh umat Islam, mustahil peradaban Islam tegak berdiri dan berkembang selama 7-10 abad lamanya.
Selain itu, pemahaman manusia dengan tafsir yang bermacam-macam tidak berarti Alquran sulit dipahami. Tafsir-tafsir itu menunjukkan bahwa Alquran dapat dipahami dari berbagai aspek. Tafsir-tafsir yang bertentangan antara satu dengan lainnya hanya sedikit. Itu pun tidak pernah mengubah hal-hal yang bersifat muhkamat atau thawabit.
Al-Attas bahkan menganggap tafsir Quran sebagai karya ilmi
ah dengan metode ilmiah dan mendekati sifat sebuah ilmu pasti. Sebab, jika orang menafsirkan Alquran, ia harus merujuk bahasa Arab, ayat Alquran yang lain, dan hadis. Maka al-Attas tegas bahwa, "Dalam tafsir tidak ada ruang bagi perkiraan; tidak ada ruang untuk interpretasi berdasarkan pada pemahaman subjektif, atau pemahaman yang hanya didasarkan kepada ide tentang relativisme historis …." Maka dari itu, untuk menakwilkan sebuat ayat aturan-aturan yang ketat, ia harus bersesuaian dengan ayat-ayat lain yang muhkamat (yang jelas) dan harus didukung oleh hadis-hadis nabi yang sahih.
Ini berbeda dari upaya pemahaman kitab suci dengan teori filsafat tafsir yang disebut hermeneutika itu. Hermeneutika adalah takwil dari luar teks dan lepas dari makna bahasa. Fredrich Ernst Daniel Schleiermacher (1768-1834) memahami Bible dengan intuisi untuk memahami psikologi pengarang. Sementara, hermeneutika Wilhelm Dilthey (1833-1911) menggunakan "teknik memahami ekspresi tentang kehidupan yang tersusun dalam bentuk tulisan". Ini tafsir yang mementingkan sejarah daripada teks Alquran.
Selain itu, Martin Heidegger (1889-1976) juga sama. Ia menghubungkan kajian tentang makna kesejarahan dengan makna kehidupan dan bukan apa yang tertulis dalam teks. Gadamer dalam karyanya, Truth and Method, menganggap hermeneutika sebagai metode interpretasi teks sesuai dengan konteks ruang dan waktu interpreter.
Lebih-lebih teori Jurgen Habermas (1929- ) yang menekankan pemahaman kepada kepentingan sosial (social interest) termasuk kepentingan kekuasaan (power interest). Ricoeur (1913- ) seorang Katolik Prancis, berangkat dari teori sendiri bahwa teks berbeda dari percakapan karena ia terlepas dari kondisi asal yang menghasilkannya, niat penulisnya sudah kabur, audiennya lebih umum, dan referensinya tidak dapat lagi dideteksi. Asumsi Recour, teks tidak dapat dipahami jika sudah terlepas dari kondisi asal penulisnya.
Intinya, teks keagamaan (wahyu) dalam pandangan liberal tidak dapat dipahami oleh penulisnya. Ini relevan dengan teori hermeneutika di Barat yang berangkat dari ujaran bahwa firman dewa-dewi atau firman Tuhan tidak bisa dipahami dan berakhir dengan teori interpretasi yang sarat dengan kepentingan. Maka, Ernest Gellner menyimpulkan bahwa kebenaran objektif akan digantikan oleh kebenaran hermeneutika, sebab kebenaran hermeneutika lebih mengutamakan subjektivitas objek yang dikaji dan pengkajinya, dan bahkan subjektivitas pembaca atau pendengar.
Upaya cendekiawan Muslim untuk "mengadopsi" filsafat hermeneutika sebagai alternatif tafsir Alquran masih harus dikaji lebih serius. Metode tafsir dalam tradisi intelektual Islam tidak bisa dibandingkan dengan metode hemeneutika dalam tradisi Yunani ataupun Kristen, apalagi diganti. Sebab, makna realitas dan kebenaran yang menjadi acuan konsep dan teori para hermeneut berbeda jauh dari teori dan konsep Islam.
Jadi, jika Muslim tidak paham makna Alquran, ia tidak perlu bilang "hanya Allah yang tahu". Jika Muslim tidak mampu menafsirkan makna Alquran, ia tidak perlu minta tolong Hermes, Habermas, Gaddamer, Paul Ricour, dsb. Ia hanya perlu bertanya kepada ayat-ayat lain, kepada Rasulullah SAW, dan para ulama yang rasikhun fil ilmi.
Ini berbeda dari upaya pemahaman kitab suci dengan teori filsafat tafsir yang disebut hermeneutika itu. Hermeneutika adalah takwil dari luar teks dan lepas dari makna bahasa. Fredrich Ernst Daniel Schleiermacher (1768-1834) memahami Bible dengan intuisi untuk memahami psikologi pengarang. Sementara, hermeneutika Wilhelm Dilthey (1833-1911) menggunakan "teknik memahami ekspresi tentang kehidupan yang tersusun dalam bentuk tulisan". Ini tafsir yang mementingkan sejarah daripada teks Alquran.
Selain itu, Martin Heidegger (1889-1976) juga sama. Ia menghubungkan kajian tentang makna kesejarahan dengan makna kehidupan dan bukan apa yang tertulis dalam teks. Gadamer dalam karyanya, Truth and Method, menganggap hermeneutika sebagai metode interpretasi teks sesuai dengan konteks ruang dan waktu interpreter.
Lebih-lebih teori Jurgen Habermas (1929- ) yang menekankan pemahaman kepada kepentingan sosial (social interest) termasuk kepentingan kekuasaan (power interest). Ricoeur (1913- ) seorang Katolik Prancis, berangkat dari teori sendiri bahwa teks berbeda dari percakapan karena ia terlepas dari kondisi asal yang menghasilkannya, niat penulisnya sudah kabur, audiennya lebih umum, dan referensinya tidak dapat lagi dideteksi. Asumsi Recour, teks tidak dapat dipahami jika sudah terlepas dari kondisi asal penulisnya.
Intinya, teks keagamaan (wahyu) dalam pandangan liberal tidak dapat dipahami oleh penulisnya. Ini relevan dengan teori hermeneutika di Barat yang berangkat dari ujaran bahwa firman dewa-dewi atau firman Tuhan tidak bisa dipahami dan berakhir dengan teori interpretasi yang sarat dengan kepentingan. Maka, Ernest Gellner menyimpulkan bahwa kebenaran objektif akan digantikan oleh kebenaran hermeneutika, sebab kebenaran hermeneutika lebih mengutamakan subjektivitas objek yang dikaji dan pengkajinya, dan bahkan subjektivitas pembaca atau pendengar.
Upaya cendekiawan Muslim untuk "mengadopsi" filsafat hermeneutika sebagai alternatif tafsir Alquran masih harus dikaji lebih serius. Metode tafsir dalam tradisi intelektual Islam tidak bisa dibandingkan dengan metode hemeneutika dalam tradisi Yunani ataupun Kristen, apalagi diganti. Sebab, makna realitas dan kebenaran yang menjadi acuan konsep dan teori para hermeneut berbeda jauh dari teori dan konsep Islam.
Jadi, jika Muslim tidak paham makna Alquran, ia tidak perlu bilang "hanya Allah yang tahu". Jika Muslim tidak mampu menafsirkan makna Alquran, ia tidak perlu minta tolong Hermes, Habermas, Gaddamer, Paul Ricour, dsb. Ia hanya perlu bertanya kepada ayat-ayat lain, kepada Rasulullah SAW, dan para ulama yang rasikhun fil ilmi.
"JADILAH SANTRI-SANTRI PEJUANG!"
Oleh: Dr. Adian Husaini
(Ketua Umum Dewan Da'wah Islamiyah Indonesia)
Suatu ketika, seorang anak saya yang lulus pesantren, saya tanya, “Setelah lulus pesantren, kamu mau apa?” Dia jawab, “Saya mau kuliah.” Saya katakan, “Itu keliru! Lulus pesantren itu mestinya cita-citanya berjuang! Berjuang itu dengan cara mengajarkan ilmu yang telah didapat!”
Mungkin jawaban sang anak seperti itu lazim kita jumpai saat ini. Lulus pesantren ingin melanjutkan pendidikan ke jenjang pendidikan tinggi. Melanjutkan kuliah, tentu tidak salah. Tetapi, bukan itu yang terpenting. Sebab, faktanya, santri itu sebelumnya sudah “kuliah” di satu jenjang pendidikan bernama “Kulliyyatul Mu’allimin” (Kuliah Guru).
Ada satu kisah. Seorang santri lulusan Kulliyyatul Mu’allimin ditanya oleh KH Imam Zarkasyi, salah satu pendiri Pesantren Gontor, “Apa kamu sudah mengajar?” Santri itu menjawab, “Belum Pak Kyai!” Maka, Kyai Imam Zarkasyi pun bertutur, “Mati kamu!” Itu menyiratkan, bahwa tidak mengajarkan ilmu yang sudah dia dapat di pesantren, dianggap sama dengan tidak hidup.
Salah satu ajaran terkenal KH Imam Zarkasyi adalah, bahwa ‘orang besar’ bukanlah orang yang memiliki pangkat atau jabatan tinggi, harta berlimpah, atau banyak ilmu. Tapi, ‘orang besar’ adalah orang yang ikhlas mengajar mengaji, walaupun di daerah terpencil.
“Ruh perjuangan” itulah yang selama beratus tahun hidup dalam dunia pesantren. Sebuah kitab legendaris yang dikaji di dunia pesantren, yakni Kitab Ta’limul Muta’allmin, karya Zyekh al-Zarnuji menyebutkan, bahwa ilmu yang bermanfaat adalah yang diamalkan dan diajarkan atau disebarkan ke masyarakat.
Dan memang, itulah tujuan utama mencari ilmu. Yakni, mendapatkan ilmu yang bermanfaat. Nabi saw memerintahkan, “Mintalah kalian kepada Allah ilmu yang bermanfaat, dan berlindunglah kepada Allah dari ilmu yang tidak bermanfaat.” (HR. Ibn Majah).
Dunia pendidikan kita memang ‘unik’! Nabi Muhammad saw perintahkan umatnya: “Mencari ilmu itu wajib bagi setiap muslim!” Yang dimaksud adalah ilmu yang bermanfaat. Tapi, cobalah telaah kurikulum pendidikan formal kita, dari TK sampai tingkat S-3, apakah ada definisi tentang ilmu yang wajib dicari atau ilmu yang bermanfaat? Akibatnya, anak-anak muslim tidak mendapatkan haknya untuk beribadah menjalankan agamanya dengan baik.
Sejarah pendidikan Islam di Indonesia yang dipelopori oleh para ulama mencontohkan tradisi ilmu yang baik. Di masa pemerintahan kolonial Belanda, anak-anak di Jakarta dan sekitarnya, misalnya, biasa mengaji kitab Adabul Insan dan Risalah Dua Ilmu, karya Habib Sayyid Utsman, mufti Betawi. Kitab ini mengajarkan tentang kewajiban mencari ilmu dan bagaimana cara (adab) mencari ilmu yang benar.
Tidak heran, jika dari madrasah para ulama di Betawi, dulu, lahir ulama-ulama dan guru-guru yang hebat yang gigih mengajarkan ilmu dan mendidik masyarakat. Keikhlasan dan kegigihan para ulama itu memiliki peran besar dalam mengawal aqidah dan akhlak masyarakat, sehingga mereka selamat dari pemurtadan.
Di kampung-kampung, di tahun 1970-an, biasanya anak-anak tingkat SMP mengaji kitab Bidayatul Hidayah, karya Imam al-Ghazali. Di kitab ini ada uraian tentang ciri-ciri ilmu yang bermanfaat: ilmu semakin menambah rasa takut kepada Allah, semakin menyadarkan manusia akan kekurangan dalam ibadah, semakin mengurangi cinta dunia; dan juga semakin meningkatkan kecintaan kepada akhirat. Inilah kriteria ilmu yang wajib dicari!
Hanya dengan niat ikhlas, ilmu yang bermanfaat bisa diraih. Di mukaddimah Bidayatul Hidayah, Imam al-Ghazali mengingatkan, bahwa jika seorang mencari ilmu supaya dapat pujian dan perhatian manusia, atau supaya dapat menghimpun harta benda dunia, dan niat-niat sejenisnya, maka sungguh ia sedang menghancurkan agamanya sendiri, merusak diri dan gurunya, serta menjual akhirat dengan dunianya!
Adab Guru-Murid!
Ilmu yang manfaat adalah syarat mutlak untuk melahirkan manusia yang baik, manusia mulia; yakni manusia yang bermanfaat bagi sesama; manusia yang menempatkan dirinya sebagai pejuang penegak kebenaran dan penentang kemungkaran (QS 3:110).
Oleh: Dr. Adian Husaini
(Ketua Umum Dewan Da'wah Islamiyah Indonesia)
Suatu ketika, seorang anak saya yang lulus pesantren, saya tanya, “Setelah lulus pesantren, kamu mau apa?” Dia jawab, “Saya mau kuliah.” Saya katakan, “Itu keliru! Lulus pesantren itu mestinya cita-citanya berjuang! Berjuang itu dengan cara mengajarkan ilmu yang telah didapat!”
Mungkin jawaban sang anak seperti itu lazim kita jumpai saat ini. Lulus pesantren ingin melanjutkan pendidikan ke jenjang pendidikan tinggi. Melanjutkan kuliah, tentu tidak salah. Tetapi, bukan itu yang terpenting. Sebab, faktanya, santri itu sebelumnya sudah “kuliah” di satu jenjang pendidikan bernama “Kulliyyatul Mu’allimin” (Kuliah Guru).
Ada satu kisah. Seorang santri lulusan Kulliyyatul Mu’allimin ditanya oleh KH Imam Zarkasyi, salah satu pendiri Pesantren Gontor, “Apa kamu sudah mengajar?” Santri itu menjawab, “Belum Pak Kyai!” Maka, Kyai Imam Zarkasyi pun bertutur, “Mati kamu!” Itu menyiratkan, bahwa tidak mengajarkan ilmu yang sudah dia dapat di pesantren, dianggap sama dengan tidak hidup.
Salah satu ajaran terkenal KH Imam Zarkasyi adalah, bahwa ‘orang besar’ bukanlah orang yang memiliki pangkat atau jabatan tinggi, harta berlimpah, atau banyak ilmu. Tapi, ‘orang besar’ adalah orang yang ikhlas mengajar mengaji, walaupun di daerah terpencil.
“Ruh perjuangan” itulah yang selama beratus tahun hidup dalam dunia pesantren. Sebuah kitab legendaris yang dikaji di dunia pesantren, yakni Kitab Ta’limul Muta’allmin, karya Zyekh al-Zarnuji menyebutkan, bahwa ilmu yang bermanfaat adalah yang diamalkan dan diajarkan atau disebarkan ke masyarakat.
Dan memang, itulah tujuan utama mencari ilmu. Yakni, mendapatkan ilmu yang bermanfaat. Nabi saw memerintahkan, “Mintalah kalian kepada Allah ilmu yang bermanfaat, dan berlindunglah kepada Allah dari ilmu yang tidak bermanfaat.” (HR. Ibn Majah).
Dunia pendidikan kita memang ‘unik’! Nabi Muhammad saw perintahkan umatnya: “Mencari ilmu itu wajib bagi setiap muslim!” Yang dimaksud adalah ilmu yang bermanfaat. Tapi, cobalah telaah kurikulum pendidikan formal kita, dari TK sampai tingkat S-3, apakah ada definisi tentang ilmu yang wajib dicari atau ilmu yang bermanfaat? Akibatnya, anak-anak muslim tidak mendapatkan haknya untuk beribadah menjalankan agamanya dengan baik.
Sejarah pendidikan Islam di Indonesia yang dipelopori oleh para ulama mencontohkan tradisi ilmu yang baik. Di masa pemerintahan kolonial Belanda, anak-anak di Jakarta dan sekitarnya, misalnya, biasa mengaji kitab Adabul Insan dan Risalah Dua Ilmu, karya Habib Sayyid Utsman, mufti Betawi. Kitab ini mengajarkan tentang kewajiban mencari ilmu dan bagaimana cara (adab) mencari ilmu yang benar.
Tidak heran, jika dari madrasah para ulama di Betawi, dulu, lahir ulama-ulama dan guru-guru yang hebat yang gigih mengajarkan ilmu dan mendidik masyarakat. Keikhlasan dan kegigihan para ulama itu memiliki peran besar dalam mengawal aqidah dan akhlak masyarakat, sehingga mereka selamat dari pemurtadan.
Di kampung-kampung, di tahun 1970-an, biasanya anak-anak tingkat SMP mengaji kitab Bidayatul Hidayah, karya Imam al-Ghazali. Di kitab ini ada uraian tentang ciri-ciri ilmu yang bermanfaat: ilmu semakin menambah rasa takut kepada Allah, semakin menyadarkan manusia akan kekurangan dalam ibadah, semakin mengurangi cinta dunia; dan juga semakin meningkatkan kecintaan kepada akhirat. Inilah kriteria ilmu yang wajib dicari!
Hanya dengan niat ikhlas, ilmu yang bermanfaat bisa diraih. Di mukaddimah Bidayatul Hidayah, Imam al-Ghazali mengingatkan, bahwa jika seorang mencari ilmu supaya dapat pujian dan perhatian manusia, atau supaya dapat menghimpun harta benda dunia, dan niat-niat sejenisnya, maka sungguh ia sedang menghancurkan agamanya sendiri, merusak diri dan gurunya, serta menjual akhirat dengan dunianya!
Adab Guru-Murid!
Ilmu yang manfaat adalah syarat mutlak untuk melahirkan manusia yang baik, manusia mulia; yakni manusia yang bermanfaat bagi sesama; manusia yang menempatkan dirinya sebagai pejuang penegak kebenaran dan penentang kemungkaran (QS 3:110).
Ilmu semacam ini hanya lahir dari guru dan murid yang beradab. Tidak heran, jika ribuan kitab tentang adab ilmu ini ditulis oleh para ulama.
Di Indonesia, salah satu buku penting dalam dunia pendidikan yang menjelaskan masalah ini adalah Kitab Ādabul ’Ālim wal-Muta’allim karya K.H. Hasyim Asy’ari. Judul kitab ini sama dengan judul Kitab yang ditulis oleh Imam Nawawi. Dan itu tidak aneh. Sebab, tradisi keilmuan dalam Islam memang mengikuti pola yang pernah disampaikan Umar Ibn Khathab r.a., yakni: ”taaddabū tsumma ta’allamū!” Beradablah kalian, kemudian berilmulah kalian!
Pendiri Muhammadiyah KH Ahmad Dahlan, misalnya, dikenal memiliki adab yang tinggi dalam mendidik para santrinya. Selain memberikan teladan, beliau juga tak henti-hentinya memberikan motivasi dan inspirasi dalam perjuangan. Sampai-sampai Bung Karno mengakui, ketika berusia 15 tahun, beliau sudah ”menginthil Kyai Dahlan”.
Tokoh Persatuan Islam (Persis), A. Hassan pun, sangat menekankan adab guru-murid dalam pendidikannya. Beliau menulis buku berjudul ”Kesopanan Tinggi”, dan juga diktat berjudul ”Hai Poetrakoe!” (tahun 1946), yang dikaji dalam sebuah disertasi doktor pendidikan Islam di Universitas Ibn Khaldun Bogor.
Dalam kitab Ādabul ’Ālim wal-Muta’allim, Kyai Hasyim Asy’ari menuliskan rumus: ”Siapa yang tidak mempunyai adab, sejatinya ia tidak bersyariat, tidak beriman, dan tidak bertauhid.” (Hasyim Asy’ari, Ādabul Ālim wal-Muta’allim, Jombang: Maktabah Turats Islamiy, 1415 H).
Dari judul Kitab Ādabul Ālim wal-Muta’allim, bisa dipahami, bahwa penerapan adab harus dimulai dari dunia pendidikan. Guru harus beradab; murid pun demikian! Sebab, itulah pondasi pembangunan manusia mulia dan juga asas untuk membangun bangsa dan peradaban mulia.
Reformasi Pendidikan!
Sejak merdeka, Indonesia telah mengalami ’gonta-ganti presiden’, ’gonta-ganti menteri’ dan juga ’gonta-ganti kurikulum pendidikan’. Tapi, harus diakui, kondisi bangsa kita masih ’seperti ini’. Berbagai peristiwa di tengah masyarakat masih menunjukkan adanya krisis serius dalam bidang akhlak. Bahkan, mungkin, semakin mengkhawatirkan.
Padahal, UUD 1945 (pasal 31, ayat 3) menegaskan: "Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional, yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, yang diatur dengan undang-undang." Tujuan pembentukan manusia mulia itu ditegaskan lagi dalam UU No 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional dan UU No 12 tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi.
Semua tujuan pendidikan yang hebat itu tidak mungkin diraih tanpa peranan guru yang hebat, yakni guru yang beradab. Dalam Kitabnya tersebut, Kyai Hasyim Asy’ari menyebutkan sejumlah adab bagi guru. Misalnya, guru harus selalu berusaha mendekatkan diri (taqarrub) kepada Allah, memiliki rasa takut kepada Allah, rendah hati (tawadhu’), khusyu’ dalam ibadah, mentaati hukum Allah, menggunakan ilmunya dengan benar, zuhud (tidak cinta dunia), selalu mensucikan jiwanya, menegakkan sunnah Rasul, dan sebagainya.
Pemerintah seyogyanya mengusahakan terciptanya guru-guru mulia semacam ini; bukan guru serakah dunia, malas ibadah dan malas mencari ilmu. Bahkan, para pemimpin bangsa itulah yang harus menjadi contoh sebagai guru yang baik. Para pemimpin bangsa kita dulu adalah para guru. Panglima Sudirman, misalnya, adalah seorang guru dan menjadi kepala sekolah Muhammadiyah di usia 20 tahun. Mohammad Natsir, Pahlawan Nasional, disamping seorang negarawan, juga dikenal sebagai guru teladan dan menekankan pentingnya peran guru-guru yang ikhlas dalam kebangkitan suatu bangsa.
Jika guru harus beradab, apalagi santri atau pelajar! Kyai Hasyim Asy’ari menjelaskan diantara adab yang harus dimiliki oleh santri adalah: senantiasa berusaha membersihkan hati dari segala penyakit hati, seperti kedengkian, akidah dan akhlak yang rusak, ikhlas dalam mencari ilmu untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT dan tidak bermaksud mengejar keuntungan duniawi. Pelajar juga harus sabar atas kehidupan yang sederhana, mampu membagi waktu dengan baik, mengurangi makan dan minum, sed
Di Indonesia, salah satu buku penting dalam dunia pendidikan yang menjelaskan masalah ini adalah Kitab Ādabul ’Ālim wal-Muta’allim karya K.H. Hasyim Asy’ari. Judul kitab ini sama dengan judul Kitab yang ditulis oleh Imam Nawawi. Dan itu tidak aneh. Sebab, tradisi keilmuan dalam Islam memang mengikuti pola yang pernah disampaikan Umar Ibn Khathab r.a., yakni: ”taaddabū tsumma ta’allamū!” Beradablah kalian, kemudian berilmulah kalian!
Pendiri Muhammadiyah KH Ahmad Dahlan, misalnya, dikenal memiliki adab yang tinggi dalam mendidik para santrinya. Selain memberikan teladan, beliau juga tak henti-hentinya memberikan motivasi dan inspirasi dalam perjuangan. Sampai-sampai Bung Karno mengakui, ketika berusia 15 tahun, beliau sudah ”menginthil Kyai Dahlan”.
Tokoh Persatuan Islam (Persis), A. Hassan pun, sangat menekankan adab guru-murid dalam pendidikannya. Beliau menulis buku berjudul ”Kesopanan Tinggi”, dan juga diktat berjudul ”Hai Poetrakoe!” (tahun 1946), yang dikaji dalam sebuah disertasi doktor pendidikan Islam di Universitas Ibn Khaldun Bogor.
Dalam kitab Ādabul ’Ālim wal-Muta’allim, Kyai Hasyim Asy’ari menuliskan rumus: ”Siapa yang tidak mempunyai adab, sejatinya ia tidak bersyariat, tidak beriman, dan tidak bertauhid.” (Hasyim Asy’ari, Ādabul Ālim wal-Muta’allim, Jombang: Maktabah Turats Islamiy, 1415 H).
Dari judul Kitab Ādabul Ālim wal-Muta’allim, bisa dipahami, bahwa penerapan adab harus dimulai dari dunia pendidikan. Guru harus beradab; murid pun demikian! Sebab, itulah pondasi pembangunan manusia mulia dan juga asas untuk membangun bangsa dan peradaban mulia.
Reformasi Pendidikan!
Sejak merdeka, Indonesia telah mengalami ’gonta-ganti presiden’, ’gonta-ganti menteri’ dan juga ’gonta-ganti kurikulum pendidikan’. Tapi, harus diakui, kondisi bangsa kita masih ’seperti ini’. Berbagai peristiwa di tengah masyarakat masih menunjukkan adanya krisis serius dalam bidang akhlak. Bahkan, mungkin, semakin mengkhawatirkan.
Padahal, UUD 1945 (pasal 31, ayat 3) menegaskan: "Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional, yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, yang diatur dengan undang-undang." Tujuan pembentukan manusia mulia itu ditegaskan lagi dalam UU No 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional dan UU No 12 tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi.
Semua tujuan pendidikan yang hebat itu tidak mungkin diraih tanpa peranan guru yang hebat, yakni guru yang beradab. Dalam Kitabnya tersebut, Kyai Hasyim Asy’ari menyebutkan sejumlah adab bagi guru. Misalnya, guru harus selalu berusaha mendekatkan diri (taqarrub) kepada Allah, memiliki rasa takut kepada Allah, rendah hati (tawadhu’), khusyu’ dalam ibadah, mentaati hukum Allah, menggunakan ilmunya dengan benar, zuhud (tidak cinta dunia), selalu mensucikan jiwanya, menegakkan sunnah Rasul, dan sebagainya.
Pemerintah seyogyanya mengusahakan terciptanya guru-guru mulia semacam ini; bukan guru serakah dunia, malas ibadah dan malas mencari ilmu. Bahkan, para pemimpin bangsa itulah yang harus menjadi contoh sebagai guru yang baik. Para pemimpin bangsa kita dulu adalah para guru. Panglima Sudirman, misalnya, adalah seorang guru dan menjadi kepala sekolah Muhammadiyah di usia 20 tahun. Mohammad Natsir, Pahlawan Nasional, disamping seorang negarawan, juga dikenal sebagai guru teladan dan menekankan pentingnya peran guru-guru yang ikhlas dalam kebangkitan suatu bangsa.
Jika guru harus beradab, apalagi santri atau pelajar! Kyai Hasyim Asy’ari menjelaskan diantara adab yang harus dimiliki oleh santri adalah: senantiasa berusaha membersihkan hati dari segala penyakit hati, seperti kedengkian, akidah dan akhlak yang rusak, ikhlas dalam mencari ilmu untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT dan tidak bermaksud mengejar keuntungan duniawi. Pelajar juga harus sabar atas kehidupan yang sederhana, mampu membagi waktu dengan baik, mengurangi makan dan minum, sed
ikit tidur, pandai memilih teman yang baik, dan sebagainya.
Santri juga dinasehatkan oleh Kyai Hasyim Asy’ari untuk berhati-hati dalam memilih guru. Dalam hal ini ia perlu memohon petunjuk kepada allah, kepada siapa ia harus menimba ilmu dan mencari pembimbing akhlaknya. Pelajar pun diminta mentaati gurunya, laksana pasien mentaati nasehat dokternya. Pelajar jangan melupakan jasa dan keutamaan guru, sehingga ia perlu terus mendoakan gurunya, baik ketika hidup atau sesudah wafatnya.
Generasi Emas Santri!
Sejarah membuktikan, bahwa konsep pendidikan berbasis adab itulah yang diterapkan selama ratusan tahun di pondok-pondok pesantren, madrasah, dan berbagai lembaga pendidikan Islam di seluruh pelosok Nusantara. Dan memang, inilah sejatinya konsep pendidikan yang diterapkan umat Islam sejak masa Nabi Muhammad saw, yang kemudian melahirkan generasi Sahabat Nabi, generasi Shalahuddin al-Ayyubi, generasi Muhamamd al-Fatih, dan juga “Generasi Emas Santri” tahun 1945.
Dari pendidikan yang berporos pada proses “pembersihan jiwa” (tazkiyyatun nafs) inilah, lahir para pejuang yang gigih mengusir penjajah dan mempertahankan kemerdekaan. Sebutlah, misalnya, Syekh Yusuf al-Maqassari (1627-1629M), yang bukan hanya mengajar dan menulis, tetapi juga memimpin perang di wilayah Jawa Barat. Syekh Abd al-Shamad al-Falimbani (1704-1789), seorang ulama sufi dari Palembang, menulis kitab tentang keutamaan jihad fi-sabilillah: Nashihah al-Muslim wa-Tadzkirah al-mu’minin fi-Fadhail al-Jihad fi-Sabilillah wa-Karamah al-Mujahidin fi-Sabilillah.
Bahkan, setelah kemerdekaan diraih, para ulama tetap mengawal kemerdekaan Indonesia. Itu ditunjukkan oleh kepahlawanan KH Hasyim Asy’ari dengan fatwa jihadnya, 22 Oktober 1945, yang menegaskan, bahwa mempertahankan Kemerdekaan Indonesia adalah wajib bagi kaum muslimin Indonesia. Puluhan ribu kyai dan santri turun langsung dalam jihad fi sabilillah! Mereka tidak gentar menghadapi pesawat tempur, tank, meriam dan bedil-bedil canggih tentara Eropa.
Fatwa jihad ini sungguh dahsyat pengaruhnya. Seluruh kaum Muslimin menyokong. Koran Kedaulatan Rakjat, menurunkan headline berjudul: “60 Miljoen Kaoem Moeslimin Indonesia Siap Berjihad Fi Sabilillah!” Ujungnya, meskipun didukung pemenang Perang Dunia Kedua, Belanda gagal menjajah kembali Indonesia. Salah satu jenderal Sekutu mati di Surabaya.
Jadi, terbukti, dunia pesantren di Indonesia pernah melahirkan satu “Generasi Emas Santri” yang memiliki tradisi ilmu dan perjuangan yang tinggi. Generasi santri seperti ini insyaAllah akan lahir kembali jika dunia Pesantren tetap teguh menjaga tradisi ilmu yang benar dan mampu berinteraksi secara kreatif dengan tantangan global dan budaya lokal. Wallahu A’lam bish-shawab.
-------------------------
(Artikel ini, pernah dimuat di Jurnal Islamia-Republika-INSISTS, 18 Oktober 2018).
Santri juga dinasehatkan oleh Kyai Hasyim Asy’ari untuk berhati-hati dalam memilih guru. Dalam hal ini ia perlu memohon petunjuk kepada allah, kepada siapa ia harus menimba ilmu dan mencari pembimbing akhlaknya. Pelajar pun diminta mentaati gurunya, laksana pasien mentaati nasehat dokternya. Pelajar jangan melupakan jasa dan keutamaan guru, sehingga ia perlu terus mendoakan gurunya, baik ketika hidup atau sesudah wafatnya.
Generasi Emas Santri!
Sejarah membuktikan, bahwa konsep pendidikan berbasis adab itulah yang diterapkan selama ratusan tahun di pondok-pondok pesantren, madrasah, dan berbagai lembaga pendidikan Islam di seluruh pelosok Nusantara. Dan memang, inilah sejatinya konsep pendidikan yang diterapkan umat Islam sejak masa Nabi Muhammad saw, yang kemudian melahirkan generasi Sahabat Nabi, generasi Shalahuddin al-Ayyubi, generasi Muhamamd al-Fatih, dan juga “Generasi Emas Santri” tahun 1945.
Dari pendidikan yang berporos pada proses “pembersihan jiwa” (tazkiyyatun nafs) inilah, lahir para pejuang yang gigih mengusir penjajah dan mempertahankan kemerdekaan. Sebutlah, misalnya, Syekh Yusuf al-Maqassari (1627-1629M), yang bukan hanya mengajar dan menulis, tetapi juga memimpin perang di wilayah Jawa Barat. Syekh Abd al-Shamad al-Falimbani (1704-1789), seorang ulama sufi dari Palembang, menulis kitab tentang keutamaan jihad fi-sabilillah: Nashihah al-Muslim wa-Tadzkirah al-mu’minin fi-Fadhail al-Jihad fi-Sabilillah wa-Karamah al-Mujahidin fi-Sabilillah.
Bahkan, setelah kemerdekaan diraih, para ulama tetap mengawal kemerdekaan Indonesia. Itu ditunjukkan oleh kepahlawanan KH Hasyim Asy’ari dengan fatwa jihadnya, 22 Oktober 1945, yang menegaskan, bahwa mempertahankan Kemerdekaan Indonesia adalah wajib bagi kaum muslimin Indonesia. Puluhan ribu kyai dan santri turun langsung dalam jihad fi sabilillah! Mereka tidak gentar menghadapi pesawat tempur, tank, meriam dan bedil-bedil canggih tentara Eropa.
Fatwa jihad ini sungguh dahsyat pengaruhnya. Seluruh kaum Muslimin menyokong. Koran Kedaulatan Rakjat, menurunkan headline berjudul: “60 Miljoen Kaoem Moeslimin Indonesia Siap Berjihad Fi Sabilillah!” Ujungnya, meskipun didukung pemenang Perang Dunia Kedua, Belanda gagal menjajah kembali Indonesia. Salah satu jenderal Sekutu mati di Surabaya.
Jadi, terbukti, dunia pesantren di Indonesia pernah melahirkan satu “Generasi Emas Santri” yang memiliki tradisi ilmu dan perjuangan yang tinggi. Generasi santri seperti ini insyaAllah akan lahir kembali jika dunia Pesantren tetap teguh menjaga tradisi ilmu yang benar dan mampu berinteraksi secara kreatif dengan tantangan global dan budaya lokal. Wallahu A’lam bish-shawab.
-------------------------
(Artikel ini, pernah dimuat di Jurnal Islamia-Republika-INSISTS, 18 Oktober 2018).
Sultan Abdul Hamid II:
The Last Khalifa
“Jika khilafah Utsmaniyah dimusnahkan suatu hari, maka mereka boleh mengambil Palestina tanpa membayar harganya. Tetapi, bila aku masih hidup, aku lebih rela menusukkan pedang ke tubuhku daripada melihat tanah Palestina dikhianati dan dipisahkan dari khilafah islamiyah.” — Abdul Hamid II, 1902
Sultan Abdul Hamid II adalah tokoh besar di penghujung senja Khilafah Turki Utsmani. Beliau juga dikenal sebagai “benteng terakhir” yang menghalangi upaya Gerakan Zionisme Internasional untuk membeli Palestina. Setelah diusir oleh Sultan, Bapak Zionis Internasional Theodor Herzl bersama rekannya banker Yahudi Mizray Qrasow pergi ke Italia. Kemudian Qrasow mengirim telegram kepada Sultan, “Anda akan membayar pertemuan itu dengan nyawa dan kekuasaan Anda.”
Setelah upaya itu gagal, orang-orang pro-Zionis berkonspirasi untuk menjatuhkan Sultan dari dalam. Mereka memiliki agen-agen yang menjadi pejabat-pejabat tinggi Negara. Pelengseran Sultan Abdul Hamid dari tampuk khilafah pada bulan April 1909 menjadi pukulan yang sangat telak bagi umat Islam. Ketika Sultan Abdul Hamid turun tahta, pada dasarnya Palestina juga sudah jatuh ke tangan Zionis.
Bernard Lewis, sejarawan Yahudi ternama dari Amerika, “Rekan-rekan kita dari kalangan Masonis dan Yahudi telah bekerjasama secara diam-diam untuk menyingkirkan Sultan Abdul Hamid. Dia adalah penghalang yang kuat bagi bangsa Yahudi, sebab dia menolak memberikan Tanah Palestina untuk Yahudi walaupun hanya sejengkal.”
Keteladanan Sultan Abdul Hamid II terpotret dalam buku ini. Kehebatannya pun diakui oleh Kaisar Jerman Wilhelm II, yang pernah mengunjungi Sultan pada tahun 1898. Dia berkomentar, "Aku telah menemui banyak raja dan penguasa sepanjang hidupku. Aku temukan mereka semua lebih lemah jika dibandingkan denganku, atau yang terkuat sekalipun adalah yang sebanding denganku. Namun, jika berhadapan dengan Abdul Hamid, aku merasa gentar."
--------------
Sultan Abdul Hamid II: The Last Khalifa
Penulis: Prof. Dr. Ali Muhammad Ash-Shallabi
Ukuran: 14 x 20,5 cm
Tebal: 352 hlm
Berat: 0.5 kg
Cover: Soft Cover
ISBN: 978-979-039-600-5
Harga: Rp 75.000,-
Pemesanan silahkan sms ke 087878147997 atau Whatsapp:
https://wa.me/6287878147997
Syukran.
The Last Khalifa
“Jika khilafah Utsmaniyah dimusnahkan suatu hari, maka mereka boleh mengambil Palestina tanpa membayar harganya. Tetapi, bila aku masih hidup, aku lebih rela menusukkan pedang ke tubuhku daripada melihat tanah Palestina dikhianati dan dipisahkan dari khilafah islamiyah.” — Abdul Hamid II, 1902
Sultan Abdul Hamid II adalah tokoh besar di penghujung senja Khilafah Turki Utsmani. Beliau juga dikenal sebagai “benteng terakhir” yang menghalangi upaya Gerakan Zionisme Internasional untuk membeli Palestina. Setelah diusir oleh Sultan, Bapak Zionis Internasional Theodor Herzl bersama rekannya banker Yahudi Mizray Qrasow pergi ke Italia. Kemudian Qrasow mengirim telegram kepada Sultan, “Anda akan membayar pertemuan itu dengan nyawa dan kekuasaan Anda.”
Setelah upaya itu gagal, orang-orang pro-Zionis berkonspirasi untuk menjatuhkan Sultan dari dalam. Mereka memiliki agen-agen yang menjadi pejabat-pejabat tinggi Negara. Pelengseran Sultan Abdul Hamid dari tampuk khilafah pada bulan April 1909 menjadi pukulan yang sangat telak bagi umat Islam. Ketika Sultan Abdul Hamid turun tahta, pada dasarnya Palestina juga sudah jatuh ke tangan Zionis.
Bernard Lewis, sejarawan Yahudi ternama dari Amerika, “Rekan-rekan kita dari kalangan Masonis dan Yahudi telah bekerjasama secara diam-diam untuk menyingkirkan Sultan Abdul Hamid. Dia adalah penghalang yang kuat bagi bangsa Yahudi, sebab dia menolak memberikan Tanah Palestina untuk Yahudi walaupun hanya sejengkal.”
Keteladanan Sultan Abdul Hamid II terpotret dalam buku ini. Kehebatannya pun diakui oleh Kaisar Jerman Wilhelm II, yang pernah mengunjungi Sultan pada tahun 1898. Dia berkomentar, "Aku telah menemui banyak raja dan penguasa sepanjang hidupku. Aku temukan mereka semua lebih lemah jika dibandingkan denganku, atau yang terkuat sekalipun adalah yang sebanding denganku. Namun, jika berhadapan dengan Abdul Hamid, aku merasa gentar."
--------------
Sultan Abdul Hamid II: The Last Khalifa
Penulis: Prof. Dr. Ali Muhammad Ash-Shallabi
Ukuran: 14 x 20,5 cm
Tebal: 352 hlm
Berat: 0.5 kg
Cover: Soft Cover
ISBN: 978-979-039-600-5
Harga: Rp 75.000,-
Pemesanan silahkan sms ke 087878147997 atau Whatsapp:
https://wa.me/6287878147997
Syukran.
Ensiklopedi Sahabat
(1 set berisi 3 Jilid)
Penulis: Mahmud Al-Mishri
Sahabat adalah generasi terbaik dari semua generasi umat Islam, mereka turut serta mengemban dan menyebarkan agama Islam, sangat sedih ketika manusia di zaman sekarang justru malah menghina para sahabat, mengkafirkan sahabat, bahkan ada golongan tertentu yang mengaku Islam padahal sejatinya mereka bukan dari golongan Islam dan mereka sangat membenci para sahabat, mengkafirkan sahabat, melaknat sahabat.
Ada satu hadits dari Rasulullah yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Muslim tentang tidak boleh kita mencela para sahabat, Rasulullah Shallallahu’alaihi wa Sallam bersabda“Jangan engkau cela sahabatku, andai ada diantara kalian yang berinfaq emas sebesar gunung Uhud, tetap tidak akan bisa menyamai pahala infaq sahabatku yang hanya satu mud (satu genggam), bahkan tidak menyamai setengahnya” HR. Bukhari no. 3673, Muslim no. 2540.
Sudah saatnya kita sebagai umat Islam untuk mencintai para sahabat, mendoakan mereka, mencontohkan keteladanan mereka, mencontohkan akhlak mereka, dan juga sudah saatnya kita mengetahui tentang kisah-kisah mereka dalam mengemban dan menyebarkan agama Islam bersama Rasulullah Shallallahu’alaihi wa Sallam. Insya Allah.
Buku ini merangkum kisah-kisah 104 sahabat Nabi, tentang sepak terjangnya mereka bersama Rasulullah, peperangannya, dan banyak lagi. Di dalam buku ini juga termasuk kisah 10 sahabat Nabi yang dijamin masuk surga oleh Rasulullah Shallallahu’alaihi wa Sallam (lihat daftar isi). Penjelasan lengkapnya bisa dibaca di buku ini.
Daftar Isi Buku Islam Ensiklopedia Jilid 1 :
1. Abu Bakar Ash-Shiddiq
2. Umar bin al-Khatthab
3. Utsman bin Affan
4. Ali bin Abu Thalib
5. Thalhah bin Ubaidullah
6. Az-Zubair bin Al-Awwam
7. Sa’ad bin Abu Waqqash
8. Sa’id bin Zaid
9. Abu Ubaidah bin al-Jarrah
10. Shuhaib ar-Rumi
11. Salim maula Abu Hudzaifah
12. Mush’ab bin Umar
13. Zaid bin Tsabit
14. Anas bin Malik
15. Khabbab bin al-Arat
16. Sa’ad bin Mu’adz
Daftar Isi Buku Islam Ensiklopedia Jilid 2 :
1. Umair bin Sa’ad
2. Abdullah bin Mas’ud
3. Tsabit bin Qais
4. Abu Thalhah al-Anshari
5. Bilal bin Rabah
6. Ikrimah bin Abu Jahal
7. Hamzah bin Abdul Muthalib
8. Umair bin Wahab
9. Hudzaifah bin al-Yaman
10. Ammar bin Yasir
11. Ukasyah bin Mihshan
12. Ja’far bin Abu Thalib
13. Jabir bin Abdullah
14. Amr bin jamuh
15. Sa’ad bin ar-Rabi
16. Haritsah bin an-Nu’man
17. Mu’awiyah bin Abu Sufyan
18. Amir bin al-Akwa
19. Abdullah bin Amr bin Haram
20. Abu Hurairah
21. Zaid bin Haritshah
22. Usamah bin Zaid
23. Sa’ad bin Ubadah
24. Abu Sufyan bin al-Harits
25. Abdullah bin salam
26. Utbah bin Ghazwan
27. Salman al-Farisi
28. Tsumamah bin Utsa
29. lAbdullah bin Rawahah
30. Abu Dujanah
31. Ubadah bin ash-Shamit
32. Sa’id bin Amir
33. Abu Ayyub al-Anshari
34. Zaid bin Arqam
35. Abu Salamah
36. Abdullah bin Ummi Maktum
37. Ashim bin Tsabit
Daftar Isi Buku Islam Ensiklopedia Jilid 3 :
1. Abu Musa al-Asy’ari
2. Utsman bin Mazh’un
3. Abu Darda
4. Al-Bara bin Malik
5. Usaid bin Khudair
6. Imran bin Hushain
7. An- Nu’man bin Murqarrin
8. Suhail bin Amr
9. Abu Dzar al-Ghifari
10. Khalid bin Sa’id
11. Abdullah bin Hudzafah
12. Abbad bin Bisyr
13. Thuwailah bin Khuwailid
14. Zaid bin al-Khathab
15. Khalid bin al-Walid
16. Suraqah bin Malik
17. Abdullah bin Malik
18. Abdullah bin Umar
19. Nu’aim bin Mas’ud
20. Al-Abbas bin Abdul Muthalib
21. Abu Jandal
22. Abu Bushair
23. Amir bin Fuhairah
24. Amr bin al-Ash
25. Hanzhalah
26. Abdullah bin Amr bin al-Ash
27. Haram bin Milhan
28. Mu’adz bin Jabal
29. Hakim bin Hizam
30. Abul Ash bin ar-Rabi
31. Ubay bin Ka’ad
32. Abu Tsa’labah al-Khusyani
33. Abdullah bin Jahsy
34. Al-Miqdad bin Amr
35. Ka’ab bin Malik
36. Wahsyi bin Harb
37. Julaibib
38. Abdullah bin Abbas
39. Jarir bin Abdullah al-Bajali
40. Ath-Thufail bin Amr ad-Dausi
41. Salamah bin al-Akwa
42. Umar bin ala-Humam
43. Muhammad bin Maslamah
44. Abdullah bin Unais
45. Hassan bin Tsabit
46. Qatadah bin an-Nu’man
47. Khuzaimah bin Tsabit
48. Mu’adz bin Amr
49. Mu’awwidz bin Afra
50. Abu Qatadah al-Anshari
51. Abdullah Dzul Bijadain
---------------------------
(1 set berisi 3 Jilid)
Penulis: Mahmud Al-Mishri
Sahabat adalah generasi terbaik dari semua generasi umat Islam, mereka turut serta mengemban dan menyebarkan agama Islam, sangat sedih ketika manusia di zaman sekarang justru malah menghina para sahabat, mengkafirkan sahabat, bahkan ada golongan tertentu yang mengaku Islam padahal sejatinya mereka bukan dari golongan Islam dan mereka sangat membenci para sahabat, mengkafirkan sahabat, melaknat sahabat.
Ada satu hadits dari Rasulullah yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Muslim tentang tidak boleh kita mencela para sahabat, Rasulullah Shallallahu’alaihi wa Sallam bersabda“Jangan engkau cela sahabatku, andai ada diantara kalian yang berinfaq emas sebesar gunung Uhud, tetap tidak akan bisa menyamai pahala infaq sahabatku yang hanya satu mud (satu genggam), bahkan tidak menyamai setengahnya” HR. Bukhari no. 3673, Muslim no. 2540.
Sudah saatnya kita sebagai umat Islam untuk mencintai para sahabat, mendoakan mereka, mencontohkan keteladanan mereka, mencontohkan akhlak mereka, dan juga sudah saatnya kita mengetahui tentang kisah-kisah mereka dalam mengemban dan menyebarkan agama Islam bersama Rasulullah Shallallahu’alaihi wa Sallam. Insya Allah.
Buku ini merangkum kisah-kisah 104 sahabat Nabi, tentang sepak terjangnya mereka bersama Rasulullah, peperangannya, dan banyak lagi. Di dalam buku ini juga termasuk kisah 10 sahabat Nabi yang dijamin masuk surga oleh Rasulullah Shallallahu’alaihi wa Sallam (lihat daftar isi). Penjelasan lengkapnya bisa dibaca di buku ini.
Daftar Isi Buku Islam Ensiklopedia Jilid 1 :
1. Abu Bakar Ash-Shiddiq
2. Umar bin al-Khatthab
3. Utsman bin Affan
4. Ali bin Abu Thalib
5. Thalhah bin Ubaidullah
6. Az-Zubair bin Al-Awwam
7. Sa’ad bin Abu Waqqash
8. Sa’id bin Zaid
9. Abu Ubaidah bin al-Jarrah
10. Shuhaib ar-Rumi
11. Salim maula Abu Hudzaifah
12. Mush’ab bin Umar
13. Zaid bin Tsabit
14. Anas bin Malik
15. Khabbab bin al-Arat
16. Sa’ad bin Mu’adz
Daftar Isi Buku Islam Ensiklopedia Jilid 2 :
1. Umair bin Sa’ad
2. Abdullah bin Mas’ud
3. Tsabit bin Qais
4. Abu Thalhah al-Anshari
5. Bilal bin Rabah
6. Ikrimah bin Abu Jahal
7. Hamzah bin Abdul Muthalib
8. Umair bin Wahab
9. Hudzaifah bin al-Yaman
10. Ammar bin Yasir
11. Ukasyah bin Mihshan
12. Ja’far bin Abu Thalib
13. Jabir bin Abdullah
14. Amr bin jamuh
15. Sa’ad bin ar-Rabi
16. Haritsah bin an-Nu’man
17. Mu’awiyah bin Abu Sufyan
18. Amir bin al-Akwa
19. Abdullah bin Amr bin Haram
20. Abu Hurairah
21. Zaid bin Haritshah
22. Usamah bin Zaid
23. Sa’ad bin Ubadah
24. Abu Sufyan bin al-Harits
25. Abdullah bin salam
26. Utbah bin Ghazwan
27. Salman al-Farisi
28. Tsumamah bin Utsa
29. lAbdullah bin Rawahah
30. Abu Dujanah
31. Ubadah bin ash-Shamit
32. Sa’id bin Amir
33. Abu Ayyub al-Anshari
34. Zaid bin Arqam
35. Abu Salamah
36. Abdullah bin Ummi Maktum
37. Ashim bin Tsabit
Daftar Isi Buku Islam Ensiklopedia Jilid 3 :
1. Abu Musa al-Asy’ari
2. Utsman bin Mazh’un
3. Abu Darda
4. Al-Bara bin Malik
5. Usaid bin Khudair
6. Imran bin Hushain
7. An- Nu’man bin Murqarrin
8. Suhail bin Amr
9. Abu Dzar al-Ghifari
10. Khalid bin Sa’id
11. Abdullah bin Hudzafah
12. Abbad bin Bisyr
13. Thuwailah bin Khuwailid
14. Zaid bin al-Khathab
15. Khalid bin al-Walid
16. Suraqah bin Malik
17. Abdullah bin Malik
18. Abdullah bin Umar
19. Nu’aim bin Mas’ud
20. Al-Abbas bin Abdul Muthalib
21. Abu Jandal
22. Abu Bushair
23. Amir bin Fuhairah
24. Amr bin al-Ash
25. Hanzhalah
26. Abdullah bin Amr bin al-Ash
27. Haram bin Milhan
28. Mu’adz bin Jabal
29. Hakim bin Hizam
30. Abul Ash bin ar-Rabi
31. Ubay bin Ka’ad
32. Abu Tsa’labah al-Khusyani
33. Abdullah bin Jahsy
34. Al-Miqdad bin Amr
35. Ka’ab bin Malik
36. Wahsyi bin Harb
37. Julaibib
38. Abdullah bin Abbas
39. Jarir bin Abdullah al-Bajali
40. Ath-Thufail bin Amr ad-Dausi
41. Salamah bin al-Akwa
42. Umar bin ala-Humam
43. Muhammad bin Maslamah
44. Abdullah bin Unais
45. Hassan bin Tsabit
46. Qatadah bin an-Nu’man
47. Khuzaimah bin Tsabit
48. Mu’adz bin Amr
49. Mu’awwidz bin Afra
50. Abu Qatadah al-Anshari
51. Abdullah Dzul Bijadain
---------------------------
------
Ensiklopedi Sahabat
(1 set berisi 3 Jilid)
Penulis: Mahmud Al-Mishri
Jumlah halaman:
-Jilid 1: 583 halaman,
- Jjilid 2: 542 halaman,
- Jilid 3: 587 halaman.
Sampul: Hardcover
Ukuran: 18 x 24,5 cm,
Berat: 3,1 Kg.
Harga: Rp. 420.000,-
Pemesanan silahkan sms ke 087878147997 atau Whatsapp:
https://wa.me/6287878147997
Syukran.
Ensiklopedi Sahabat
(1 set berisi 3 Jilid)
Penulis: Mahmud Al-Mishri
Jumlah halaman:
-Jilid 1: 583 halaman,
- Jjilid 2: 542 halaman,
- Jilid 3: 587 halaman.
Sampul: Hardcover
Ukuran: 18 x 24,5 cm,
Berat: 3,1 Kg.
Harga: Rp. 420.000,-
Pemesanan silahkan sms ke 087878147997 atau Whatsapp:
https://wa.me/6287878147997
Syukran.
Ketika Rasulullah Harus Berperang
Penulis: Prof. DR. Ali Muhammad Ash-Shallabi
Selama Rasulullah Saw diangkat menjadi Rasul, tidak pelak, beberapa perang dijalaninya. Perang dalam Islam, bukan untuk membuat kerusakan. Tapi lebih untuk menegakkan kebenaran di muka bumi. Perang dalam Islam dilakukan sangat santun dan memperhatikan nilai-nilai kemanusiaan yang tinggi. Rasulullah melarang kaum muslimin untuk menyerang perempuan, anak kecil, dan orang usia lanjut. Beliau bahkan melarang untuk merusak pepohonan.
Dalam buku, “Ketika Rasulullah Harus Berperang” ini, pembaca tidak sekedar mempelajari perang-perang yang pernah dijalani Rasulullah selam hidupnya, tapi juga belajar sebab-sebab yang memicu perang, strategi yang harus diterapkan dari satu perang ke perang lain, kapan saatnya harus berperang dan kapan saatnya harus menahan diri untuk tidak perang, juga kejadian-kejadian unik selama perang. Bahkan penulis juga menghadirkan analisa, pelajaran, hikmah menarik pada setiap bahasan perang.
Buku ini ditulis oleh pakar sejarah Islam terkenal, Syaikh DR. Ali Muhammad Ash-Shallabi. Dengan gaya bahasa yang mudah dipahami, kita dapat memahami arti mulia dari sebuah peperangan yang dijalankan oleh Rasulullah dan sahabatnya. Tak pelak, buku ini layak Anda milki untuk melengkapi wawasan sejarah Islam
---------------------------------------
Ketika Rasulullah Harus Berperang
Penulis: Prof. DR. Ali Muhammad Ash-Shallabi
ISBN: 9789795927648
Isi: 622 Hlm
Ukuran: 16.00 x 24.50 Cm
Berat: 1000 gr
Harga: Rp 142.000,-
Pemesanan silahkan sms ke 087878147997 atau Whatsapp:
https://wa.me/6287878147997
Syukran.
Penulis: Prof. DR. Ali Muhammad Ash-Shallabi
Selama Rasulullah Saw diangkat menjadi Rasul, tidak pelak, beberapa perang dijalaninya. Perang dalam Islam, bukan untuk membuat kerusakan. Tapi lebih untuk menegakkan kebenaran di muka bumi. Perang dalam Islam dilakukan sangat santun dan memperhatikan nilai-nilai kemanusiaan yang tinggi. Rasulullah melarang kaum muslimin untuk menyerang perempuan, anak kecil, dan orang usia lanjut. Beliau bahkan melarang untuk merusak pepohonan.
Dalam buku, “Ketika Rasulullah Harus Berperang” ini, pembaca tidak sekedar mempelajari perang-perang yang pernah dijalani Rasulullah selam hidupnya, tapi juga belajar sebab-sebab yang memicu perang, strategi yang harus diterapkan dari satu perang ke perang lain, kapan saatnya harus berperang dan kapan saatnya harus menahan diri untuk tidak perang, juga kejadian-kejadian unik selama perang. Bahkan penulis juga menghadirkan analisa, pelajaran, hikmah menarik pada setiap bahasan perang.
Buku ini ditulis oleh pakar sejarah Islam terkenal, Syaikh DR. Ali Muhammad Ash-Shallabi. Dengan gaya bahasa yang mudah dipahami, kita dapat memahami arti mulia dari sebuah peperangan yang dijalankan oleh Rasulullah dan sahabatnya. Tak pelak, buku ini layak Anda milki untuk melengkapi wawasan sejarah Islam
---------------------------------------
Ketika Rasulullah Harus Berperang
Penulis: Prof. DR. Ali Muhammad Ash-Shallabi
ISBN: 9789795927648
Isi: 622 Hlm
Ukuran: 16.00 x 24.50 Cm
Berat: 1000 gr
Harga: Rp 142.000,-
Pemesanan silahkan sms ke 087878147997 atau Whatsapp:
https://wa.me/6287878147997
Syukran.
*WORLDVIEW ISLAM*
Pengantar: Dr. Hamid Fahmy Zarkasyi
Karya yang diedit oleh Dr. M. Kholid Muslih tersebut, ditulis oleh 9 dosen Islamisasi. Isinya khusus membahas tentang penjelasan konsep-konsep penting dalam Islam. Mengapa ini penting? Karena kesalahpahaman mengenai konsep penting dalam Islam mengakibatkan kebingungan berfikir dan melaksanakan ajaran Islam itu sendiri.
Kajian mengenai worldview masih hangat dan diminati akademisi. Menurut Dr Hamid Fahmy Zarkasyi, worldview seringkali dipadankan dengan pandangan hidup atau filsafat hidup. Islam yang diturunkan melalui Rasulullah saw juga membawa suatu pandangan hidup yang khas.
WORLDVIEW ISLAM
Harga Rp. 115.000,-
Pemesanan silahkan sms ke 087878147997 atau Whatsapp:
https://wa.me/6287878147997
Syukran.
Pengantar: Dr. Hamid Fahmy Zarkasyi
Karya yang diedit oleh Dr. M. Kholid Muslih tersebut, ditulis oleh 9 dosen Islamisasi. Isinya khusus membahas tentang penjelasan konsep-konsep penting dalam Islam. Mengapa ini penting? Karena kesalahpahaman mengenai konsep penting dalam Islam mengakibatkan kebingungan berfikir dan melaksanakan ajaran Islam itu sendiri.
Kajian mengenai worldview masih hangat dan diminati akademisi. Menurut Dr Hamid Fahmy Zarkasyi, worldview seringkali dipadankan dengan pandangan hidup atau filsafat hidup. Islam yang diturunkan melalui Rasulullah saw juga membawa suatu pandangan hidup yang khas.
WORLDVIEW ISLAM
Harga Rp. 115.000,-
Pemesanan silahkan sms ke 087878147997 atau Whatsapp:
https://wa.me/6287878147997
Syukran.
BIOGRAFI UMAR BIN ABDUL AZIZ
“Demi Allah, aku sangat ingin seandainya dapat berlaku adil walaupun hanya satu hari, dan Allah mencabut nyawaku pada saat itu.” (Umar bin Abdul Aziz)
“Umar bin Abdul Aziz hanya menjabat khalifah selama tiga puluh bulan saja. Namun hasil dari kepemimpinannya sungguh terlihat. Banyak orang kaya yang kecewa di masanya, karena tidak menemukan orang-orang fakir untuk dibantu. Karena Umar bin Abdul Aziz sudah memberikan kecukupan kepada seluruh masyarakat ketika itu.” (Ibnu Abdil Hakam dalam Sirah Umar bin Abdul Aziz)
“Setiap awal seratus tahun Allah mengutus orang yang akan meluruskan perkara umat ini. Kami pun memperhatikan di masa seratus tahun pertama, ternyata dia adalah Umar bin Abdul Aziz.” (Imam Az-Zuhri dan Ahmad bin Hambal)
Di masa kekhalifahan Umar bin Abdul Aziz ini, dengan dasar Syari’at, keadilan menjadi tegak, hingga tidak ada tirani minoritas dan tidak ada minoritas yang tertindas. Semua ini bermuara dari keperibadian Umar yang agung: memiliki akidah yang lurus, rasa takutnya yang sangat kepada Allah, jujur, amanah, zuhud, wara’, tawadhu’, pribadi yang tenang, sifat pemaaf, lapang dada, sabar, tegas, adil, rendah hati, ulet dalam bekerja, dan menegakkan kebenaran dan keadilan tanpa pamrih. Umar bin Abdul Aziz adalah contoh Pemimpin yang Adil, Jujur, Amanah dan shalih, Ulama Pembaru Agama, dan Reformis Sosial sejati.
---------------------------------
Biografi Umar Bin Abdul Aziz
Penulis : Prof. Dr. Ali Muhammad Ash Shallabi
Ukuran: 16 x 24,5 cm
Isi: 596 Halaman
Berat: 900gr
Sampul: Hard Cover
Harga: Rp. 130.000,-
Pemesanan silahkan sms ke 087878147997 atau Whatsapp:
https://wa.me/6287878147997
Syukran.
“Demi Allah, aku sangat ingin seandainya dapat berlaku adil walaupun hanya satu hari, dan Allah mencabut nyawaku pada saat itu.” (Umar bin Abdul Aziz)
“Umar bin Abdul Aziz hanya menjabat khalifah selama tiga puluh bulan saja. Namun hasil dari kepemimpinannya sungguh terlihat. Banyak orang kaya yang kecewa di masanya, karena tidak menemukan orang-orang fakir untuk dibantu. Karena Umar bin Abdul Aziz sudah memberikan kecukupan kepada seluruh masyarakat ketika itu.” (Ibnu Abdil Hakam dalam Sirah Umar bin Abdul Aziz)
“Setiap awal seratus tahun Allah mengutus orang yang akan meluruskan perkara umat ini. Kami pun memperhatikan di masa seratus tahun pertama, ternyata dia adalah Umar bin Abdul Aziz.” (Imam Az-Zuhri dan Ahmad bin Hambal)
Di masa kekhalifahan Umar bin Abdul Aziz ini, dengan dasar Syari’at, keadilan menjadi tegak, hingga tidak ada tirani minoritas dan tidak ada minoritas yang tertindas. Semua ini bermuara dari keperibadian Umar yang agung: memiliki akidah yang lurus, rasa takutnya yang sangat kepada Allah, jujur, amanah, zuhud, wara’, tawadhu’, pribadi yang tenang, sifat pemaaf, lapang dada, sabar, tegas, adil, rendah hati, ulet dalam bekerja, dan menegakkan kebenaran dan keadilan tanpa pamrih. Umar bin Abdul Aziz adalah contoh Pemimpin yang Adil, Jujur, Amanah dan shalih, Ulama Pembaru Agama, dan Reformis Sosial sejati.
---------------------------------
Biografi Umar Bin Abdul Aziz
Penulis : Prof. Dr. Ali Muhammad Ash Shallabi
Ukuran: 16 x 24,5 cm
Isi: 596 Halaman
Berat: 900gr
Sampul: Hard Cover
Harga: Rp. 130.000,-
Pemesanan silahkan sms ke 087878147997 atau Whatsapp:
https://wa.me/6287878147997
Syukran.
77 Kisah Adab dan Akhlak Nabi Muhammad untuk Anak
-buku cerita bergambar full colour-
Suatu ketika, Nabi Muhammad memasuki sebuah kebun milik seorang laki-laki Anshar. Dijumpainya seekor unta sedang menangis. Nabi Muhammad Saw pun mendekati dan mengusapnya dengan sayang. Ternyata unta itu mengadu sesuatu kepada Rasulullah Saw. Kemudian, Rasulullah Saw menegur pemilik unta. Mengapa unta itu dibiarkan keletihan dan kelaparan?
Masya Allah, ya. Begitu sayangnya Rasulullah Saw kepada hewan sehingga tidak tega melihat ada unta yang menangis. Itu adalah salah satu kisah akhlak Nabi yang ada di dalam buku ini. Masih ada lagi, lho, kisah-kisah lainnya.
Hisyam bin Amir pernah bertanya kepada Aisyah tentang akhlak Rasulullah Saw, Aisyah menjawab “Akhlak Nabi Saw adalah Al Quran.” (HR. Muslim).
Akhlak dan Adab Nabi demikian agungnya dan sesuai dengan Al Quran. Bahkan Allah sendiri di dalam firman-Nya jelas-jelas mengatakan, “ Dan sesungguhnya kamu benar-benar berbudi pekerti yang agung.” (Al Qalam :4 ).
--------------------------------------
77 Kisah Adab dan Akhlak Nabi Muhammad untuk Anak
-buku cerita bergambar full colour-
Penulis: Muhammad Yasir, Lc.
Ukuran: 20 x 25 cm
Sampul: Hard Cover
Tebal: 172 halaman
Berat: 620 gram
ISBN: 9786021694619
Harga: Rp. 160.000,-
Pemesanan silahkan sms ke 087878147997 atau Whatsapp:
https://wa.me/6287878147997
Syukran.
-buku cerita bergambar full colour-
Suatu ketika, Nabi Muhammad memasuki sebuah kebun milik seorang laki-laki Anshar. Dijumpainya seekor unta sedang menangis. Nabi Muhammad Saw pun mendekati dan mengusapnya dengan sayang. Ternyata unta itu mengadu sesuatu kepada Rasulullah Saw. Kemudian, Rasulullah Saw menegur pemilik unta. Mengapa unta itu dibiarkan keletihan dan kelaparan?
Masya Allah, ya. Begitu sayangnya Rasulullah Saw kepada hewan sehingga tidak tega melihat ada unta yang menangis. Itu adalah salah satu kisah akhlak Nabi yang ada di dalam buku ini. Masih ada lagi, lho, kisah-kisah lainnya.
Hisyam bin Amir pernah bertanya kepada Aisyah tentang akhlak Rasulullah Saw, Aisyah menjawab “Akhlak Nabi Saw adalah Al Quran.” (HR. Muslim).
Akhlak dan Adab Nabi demikian agungnya dan sesuai dengan Al Quran. Bahkan Allah sendiri di dalam firman-Nya jelas-jelas mengatakan, “ Dan sesungguhnya kamu benar-benar berbudi pekerti yang agung.” (Al Qalam :4 ).
--------------------------------------
77 Kisah Adab dan Akhlak Nabi Muhammad untuk Anak
-buku cerita bergambar full colour-
Penulis: Muhammad Yasir, Lc.
Ukuran: 20 x 25 cm
Sampul: Hard Cover
Tebal: 172 halaman
Berat: 620 gram
ISBN: 9786021694619
Harga: Rp. 160.000,-
Pemesanan silahkan sms ke 087878147997 atau Whatsapp:
https://wa.me/6287878147997
Syukran.