*ESENSI ISLAM ADALAH ILMU*
Oleh: Dr. Hamid Fahmy Zarkasyi
Sejak jatuhnya Baghdad 1258 dan pengusiran Muslim dari Spanyol 1492, kondisi umat Islam dianggap mundur. Anggapan ini tampaknya benar sebab Barat terbukti telah sukses menjajah dunia Islam hingga abad ke-20. Kemunduran umat dan kolonialisasi menggenggam masalah. Tapi, apa masalahnya dan apa pula solusinya?
Para politikus Muslim akan menganggap politik sebagai masalah utama dan solusinya tentu melalui politik. Penggerak ekonomi Islam tentu akan mengklaim ekonomi adalah solusi. Para juru dakwah mungkin menekankan pada kesalehan ritual dan sosial. Demikian yang lain-lain akan memiliki skala prioritasnya sendiri-sendiri.
Namun, dari sekian banyak tawaran solusi, tawaran Syed Mohammad Naquib al-Attas sungguh menarik. Baginya, ilmu adalah solusi dari segala persoalan umat. Tawaran ini tampaknya relevan dengan esensi dari kekuatan Islam sendiri.
Memang, esensi Islam adalah ilmu. Alquran merupakan kitab suci yang sarat dengan ilmu dan harus dipahami dengan ilmu. Bahkan, sejarah membuktikan bahwa dari Alquran keluar puluhan disiplin ilmu (ilmu tafsir, ilmu hukum, ilmu waris, ilmu kesehatan, ilmu gramatika, dsb). Akidah Islam harus diyakini dengan ilmu. Syariat Islam hanya dapat diamalkan dengan ilmu dan dapat menghasilkan ilmu.
Bahkan, dalam Islam pemilik ilmu lebih utama dari pada ahli ibadah (HR Abu Daud no 3641). Mu'adz bin Jabal pun malah menganggap aktivitas mencari ilmu sama dengan ibadah dan jihad.
Namun, ilmu yang dimaksud al-Attas bukan sekadar ilmu pengetahuan. Ilmu dalam Islam adalah ilmu untuk menanamkan kebaikan ataupun keadilan dalam diri manusia. Manusia baik dalam Islam adalah manusia beradab. Karena makna adab berasal dari Alquran (ma'dubah atau hidangan adab), maka pengajaran ilmu yang sesungguhnya adalah transformasi kandungan Alquran. Itulah rahasianya mengapa akhlak Rasulullah adalah Alquran.
Secara disipliner, al-Attas memahami makna ilmu dalam Islam tidak terbatas pada suatu disiplin yang sempit dalam bentuk spesialisasi khusus. Ilmu meliputi berbagai bidang studi secara integral dan koheren yang mencerminkan worldview Islam. Maka dari itu, ilmuwan Muslim (ulama) bukan spesialis-spesialis yang lepas dari induk dan sumber ilmu dalam Islam. Ilmuwan Muslim harus berilmu universal meski berangkat dari yang spesial.
Dengan makna seperti itu, ilmuwan Muslim (ulama) bagi al-Attas adalah ulama yang memiliki kapasitas untuk mengonseptualisasikan, menjelaskan, dan mendefinisikan konsep-konsep penting yang relevan dalam masalah-masalah budaya, pendidikan, keilmuan, dan epistemologi yang dihadapi Muslim pada zaman sekarang ini.
Selanjutnya, tugas ilmuwan Muslim dengan kapasitas itu adalah memberikan jawaban Islam terhadap tantangan-tantangan intelektual dan kebudayaan dari dunia modern dan berbagai macam kelompok aliran pemikiran, agama, dan ideologi.
Tampaknya, al-Attas melihat bahwa ulama selama ini belum melakukan penjelasan, konseptualisasi, dan definisi masalah-masalah penting yang dihadapi umat. Benar! Memang dalam soal politik, misalnya, umat Islam masih gamang membedakan antara makna syura dan demokrasi, pemimpin Muslim dan kafir, dsb. Dalam ekonomi, makna welfare dan fallah masih tumpang tindih dan banyak yang lain. Kekaburan konsep tersebut akan berpengaruh pada bagaimana ulama memberikan solusi terhadap problematika umat.
Jika memang tidak ada ulama yang dapat memberi solusi, mungkin kita sudah sampai pada suatu kondisi yang digambarkan Rasulullah, "Sesungguhnya Allah tidak akan mencabut ilmu dari hamba-Nya sekaligus, akan tetapi akan mencabut ilmu dengan menghilangkan para ulama, sehingga apabila tidak ada seorang pun yang berilmu maka orang-orang akan menjadikan pemimpin dari orang-orang yang tidak berilmu, kemudian mereka memberikan fatwa yang sesat dan menyesatkan." (HR Bukhari).
Dari uraian di atas jelaslah bahwa esensi Islam adalah ilmu dan ilmu dalam Islam berdimensi adab, maka peradaban Islam adalah peradaban yang harus dihidupkan dengan ilmu yang berdimensi adab. Oleh sebab itu, seluruh persoalan yang timbul dalam peradaba
Oleh: Dr. Hamid Fahmy Zarkasyi
Sejak jatuhnya Baghdad 1258 dan pengusiran Muslim dari Spanyol 1492, kondisi umat Islam dianggap mundur. Anggapan ini tampaknya benar sebab Barat terbukti telah sukses menjajah dunia Islam hingga abad ke-20. Kemunduran umat dan kolonialisasi menggenggam masalah. Tapi, apa masalahnya dan apa pula solusinya?
Para politikus Muslim akan menganggap politik sebagai masalah utama dan solusinya tentu melalui politik. Penggerak ekonomi Islam tentu akan mengklaim ekonomi adalah solusi. Para juru dakwah mungkin menekankan pada kesalehan ritual dan sosial. Demikian yang lain-lain akan memiliki skala prioritasnya sendiri-sendiri.
Namun, dari sekian banyak tawaran solusi, tawaran Syed Mohammad Naquib al-Attas sungguh menarik. Baginya, ilmu adalah solusi dari segala persoalan umat. Tawaran ini tampaknya relevan dengan esensi dari kekuatan Islam sendiri.
Memang, esensi Islam adalah ilmu. Alquran merupakan kitab suci yang sarat dengan ilmu dan harus dipahami dengan ilmu. Bahkan, sejarah membuktikan bahwa dari Alquran keluar puluhan disiplin ilmu (ilmu tafsir, ilmu hukum, ilmu waris, ilmu kesehatan, ilmu gramatika, dsb). Akidah Islam harus diyakini dengan ilmu. Syariat Islam hanya dapat diamalkan dengan ilmu dan dapat menghasilkan ilmu.
Bahkan, dalam Islam pemilik ilmu lebih utama dari pada ahli ibadah (HR Abu Daud no 3641). Mu'adz bin Jabal pun malah menganggap aktivitas mencari ilmu sama dengan ibadah dan jihad.
Namun, ilmu yang dimaksud al-Attas bukan sekadar ilmu pengetahuan. Ilmu dalam Islam adalah ilmu untuk menanamkan kebaikan ataupun keadilan dalam diri manusia. Manusia baik dalam Islam adalah manusia beradab. Karena makna adab berasal dari Alquran (ma'dubah atau hidangan adab), maka pengajaran ilmu yang sesungguhnya adalah transformasi kandungan Alquran. Itulah rahasianya mengapa akhlak Rasulullah adalah Alquran.
Secara disipliner, al-Attas memahami makna ilmu dalam Islam tidak terbatas pada suatu disiplin yang sempit dalam bentuk spesialisasi khusus. Ilmu meliputi berbagai bidang studi secara integral dan koheren yang mencerminkan worldview Islam. Maka dari itu, ilmuwan Muslim (ulama) bukan spesialis-spesialis yang lepas dari induk dan sumber ilmu dalam Islam. Ilmuwan Muslim harus berilmu universal meski berangkat dari yang spesial.
Dengan makna seperti itu, ilmuwan Muslim (ulama) bagi al-Attas adalah ulama yang memiliki kapasitas untuk mengonseptualisasikan, menjelaskan, dan mendefinisikan konsep-konsep penting yang relevan dalam masalah-masalah budaya, pendidikan, keilmuan, dan epistemologi yang dihadapi Muslim pada zaman sekarang ini.
Selanjutnya, tugas ilmuwan Muslim dengan kapasitas itu adalah memberikan jawaban Islam terhadap tantangan-tantangan intelektual dan kebudayaan dari dunia modern dan berbagai macam kelompok aliran pemikiran, agama, dan ideologi.
Tampaknya, al-Attas melihat bahwa ulama selama ini belum melakukan penjelasan, konseptualisasi, dan definisi masalah-masalah penting yang dihadapi umat. Benar! Memang dalam soal politik, misalnya, umat Islam masih gamang membedakan antara makna syura dan demokrasi, pemimpin Muslim dan kafir, dsb. Dalam ekonomi, makna welfare dan fallah masih tumpang tindih dan banyak yang lain. Kekaburan konsep tersebut akan berpengaruh pada bagaimana ulama memberikan solusi terhadap problematika umat.
Jika memang tidak ada ulama yang dapat memberi solusi, mungkin kita sudah sampai pada suatu kondisi yang digambarkan Rasulullah, "Sesungguhnya Allah tidak akan mencabut ilmu dari hamba-Nya sekaligus, akan tetapi akan mencabut ilmu dengan menghilangkan para ulama, sehingga apabila tidak ada seorang pun yang berilmu maka orang-orang akan menjadikan pemimpin dari orang-orang yang tidak berilmu, kemudian mereka memberikan fatwa yang sesat dan menyesatkan." (HR Bukhari).
Dari uraian di atas jelaslah bahwa esensi Islam adalah ilmu dan ilmu dalam Islam berdimensi adab, maka peradaban Islam adalah peradaban yang harus dihidupkan dengan ilmu yang berdimensi adab. Oleh sebab itu, seluruh persoalan yang timbul dalam peradaba
n Islam, baik bersumber dari luar ataupun dalam diri umat Islam, semestinya dapat diselesaikan dengan ilmu.
Maka, sabda Nabi sungguh tepat, "Barang siapa menghendaki dunia maka wajib berilmu, barang siapa menghendaki akhirat maka ia wajib berilmu, dan barang siapa menghendaki keduanya maka wajib baginya berilmu." (HR Tirmidhi).
Maka, sabda Nabi sungguh tepat, "Barang siapa menghendaki dunia maka wajib berilmu, barang siapa menghendaki akhirat maka ia wajib berilmu, dan barang siapa menghendaki keduanya maka wajib baginya berilmu." (HR Tirmidhi).
YANG PENTING TUJUAN DAN GURUNYA
Kurikulum adalah jalan untuk mencapai tujuan pendidikan nasional. Menurut UUD 1945 pasal 31 ayat 3, Pendidikan Nasional harus meningkatkan keimanan, ketaqwaan, dan akhlak mulia! Kalo kurikulum dan guru2 nya tidak mengarah kepada Tujuan tersebut, maka Pendidikan Kita akan tetap terpuruk. Percayalah!
-Dr. Adian Husaini-
Kurikulum adalah jalan untuk mencapai tujuan pendidikan nasional. Menurut UUD 1945 pasal 31 ayat 3, Pendidikan Nasional harus meningkatkan keimanan, ketaqwaan, dan akhlak mulia! Kalo kurikulum dan guru2 nya tidak mengarah kepada Tujuan tersebut, maka Pendidikan Kita akan tetap terpuruk. Percayalah!
-Dr. Adian Husaini-
*HIKMAH*
Oleh: Dr Hamid Fahmy Zarkasyi
Sila keempat dari Pancasila berbunyi: “Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan”. Hikmat ini tentu bukan personal, bukan Presiden atau kedua DPR atau MPR.
Hikmat adalah suatu kondisi kejiwaan dan dalam sila ini dikaitkan dengan sikap dalam bermusyawarah dan menentukan kebijakan. Artinya sistem permusyawaratan dan perwakilan dalam bernegara di Indonesia ini mestinya dipimpin oleh moralitas yang tinggi.
Dalam bahasa umum hikmah dipahami sebagai kebijaksanaan atau bijaksana. Dalam al-Qur’an terdapat perintah untuk berdakwah dengan bijaksana (bi al-hikmah). Maka orang yang memutuskan perkara demi menegakkan keadilan disebut hakim.
Hikmah juga berkaitan dengan berpikir yang logis dan mendalam. Karena itu Ibn Rusyd menerjemahkan “hikmah” dengan filsafat dan hakim dengan filosof. Lalu apa sebenarnya makna “hikmah” itu?
Istilah itu asli dari al-Qur’an dan disebut sebanyak 20 kali. Namun para ulama mengembangkannya menjadi berbagai makna. Ada hikmah ilahiyah, hikmah khuluqiyah, hikmah tabi’iyyah, hikmah amaliyyah dan sebagainya. Namun dalam konteks kehidupan individu dalam berbangsa pendapat para filosof dan sufi menarik dicermati.
Menurut al-Ghazzali hikmah adalah salah satu dari unsur akhlaq mulia selain keberanian, kejujuran dan keadilan. Maka berakhlaq mulia dalam Islam itu bukan sekedar berperilaku baik, tapi juga berilmu tentang kebaikan, bersikap berani menyatakan kebenaran, berlaku adil terhadap segala sesuatu alias tidak zalim.
Agar memiliki hikmah, keberanian, kejujuran dan keadilan diperlukan ilmu. Sebab berani dan adil tanpa ilmu bisa salah jalan alias sesat. Orang berilmu yang tidak jujur, ilmunya tidak manfaat. Demikian pula kekuatan dan manfaat ilmu dapat dilihat ketika seseorang itu dapat membedakan antara kejujuran dan kebohongan, antara haq dan batil, antara baik dan buruk.
Jadi hikmah menurut al-Ghazzali adalah keadaan kejiwaan seseorang yang dapat mengetahui yang baik dari yang buruk benar dalam segala perbuatan. (Ihya, III, hal. 54). Ibn Arabi dalam Futuhat juga berpendapat sama.
Lisan al-Din al-Khatib, ulama abad ke 14, dalam kitab Raudat al-Ta’rif memahami hikmah seperti keadilan, yaitu meletakkan sesuatu pada tempatnya. Syaratnya, harus memahami letak-letak segala sesuatu.
Tapi meletakkan sesuatu pada tempat bukanlah kerja mudah. Menurut Naqsyabandi, dalam kitab Jami al-Usul, hikmah itu adalah ilmu tentang segala sesuatu, sifat-sifatnya, kekhususannya, hukum-hukumnya, hubungan sebab-akibat dan mengamalkan sesuai yang dibutuhkan.
Ikhwanussafa menjelaskan orang yang memiliki hikmah atau “al-hakim” adalah yang perbuatannya dapat dipertanggungjawabkan; kerjanya tekun, perkataannya benar, moralnya baik, pendapatnya betul, amalnya bersih dan ilmunya benar, yaitu ilmu tentang segala sesuatu.
al-Ghazzali menambahkan al-hakim adalah orang yang jiwanya memiliki kekuatan mengontrol dirinya sendiri (tamakkun) dalam soal keimanan, akhlak dan dalam berbicara. Jika kekuatan ini terbentuk maka akan diperoleh buah dari hikmah, sebab hikmah itu adalah inti dari akhlak mulia.
Maka “Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan” menggambarkan nilai sebuah sistem yang dikusai oleh semangat hikmat. Artinya sistem kenegaraan Indonesia harus berada di tangan orang-orang yang “hakim”. Yaitu orang yang berilmu hikmah, yang pasti tahu kebenaran yang berkata benar; yang tahu dan berani memutuskan yang salah itu salah dan yang benar itu benar; yang tahu meletakkan segala sesuatu pada tempatnya; tidak akan pernah meletakkan kepentingan dirinya diatas kepentingan rakyat atau umat, tidak meletakkan perbuatan dosa atau maksiat dalam dirinya yang fitri dan seterusnya.
Walhasil, jika sistem permusyawaratan di negeri ini dikontrol oleh akal pikiran dan jiwa yang demikian itu maka tidak akan ada kebijakan yang salah di negeri ini. Tidak akan ada korupsi di pemerintahan dan tidak akan ada kebohongan publik.
Negeri ini pasti akan menjadi makmur dan sejahtera karena semua berjalan diatas jiwa-jiwa yang penuh hikmah alias hakim. Sebab al-
Oleh: Dr Hamid Fahmy Zarkasyi
Sila keempat dari Pancasila berbunyi: “Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan”. Hikmat ini tentu bukan personal, bukan Presiden atau kedua DPR atau MPR.
Hikmat adalah suatu kondisi kejiwaan dan dalam sila ini dikaitkan dengan sikap dalam bermusyawarah dan menentukan kebijakan. Artinya sistem permusyawaratan dan perwakilan dalam bernegara di Indonesia ini mestinya dipimpin oleh moralitas yang tinggi.
Dalam bahasa umum hikmah dipahami sebagai kebijaksanaan atau bijaksana. Dalam al-Qur’an terdapat perintah untuk berdakwah dengan bijaksana (bi al-hikmah). Maka orang yang memutuskan perkara demi menegakkan keadilan disebut hakim.
Hikmah juga berkaitan dengan berpikir yang logis dan mendalam. Karena itu Ibn Rusyd menerjemahkan “hikmah” dengan filsafat dan hakim dengan filosof. Lalu apa sebenarnya makna “hikmah” itu?
Istilah itu asli dari al-Qur’an dan disebut sebanyak 20 kali. Namun para ulama mengembangkannya menjadi berbagai makna. Ada hikmah ilahiyah, hikmah khuluqiyah, hikmah tabi’iyyah, hikmah amaliyyah dan sebagainya. Namun dalam konteks kehidupan individu dalam berbangsa pendapat para filosof dan sufi menarik dicermati.
Menurut al-Ghazzali hikmah adalah salah satu dari unsur akhlaq mulia selain keberanian, kejujuran dan keadilan. Maka berakhlaq mulia dalam Islam itu bukan sekedar berperilaku baik, tapi juga berilmu tentang kebaikan, bersikap berani menyatakan kebenaran, berlaku adil terhadap segala sesuatu alias tidak zalim.
Agar memiliki hikmah, keberanian, kejujuran dan keadilan diperlukan ilmu. Sebab berani dan adil tanpa ilmu bisa salah jalan alias sesat. Orang berilmu yang tidak jujur, ilmunya tidak manfaat. Demikian pula kekuatan dan manfaat ilmu dapat dilihat ketika seseorang itu dapat membedakan antara kejujuran dan kebohongan, antara haq dan batil, antara baik dan buruk.
Jadi hikmah menurut al-Ghazzali adalah keadaan kejiwaan seseorang yang dapat mengetahui yang baik dari yang buruk benar dalam segala perbuatan. (Ihya, III, hal. 54). Ibn Arabi dalam Futuhat juga berpendapat sama.
Lisan al-Din al-Khatib, ulama abad ke 14, dalam kitab Raudat al-Ta’rif memahami hikmah seperti keadilan, yaitu meletakkan sesuatu pada tempatnya. Syaratnya, harus memahami letak-letak segala sesuatu.
Tapi meletakkan sesuatu pada tempat bukanlah kerja mudah. Menurut Naqsyabandi, dalam kitab Jami al-Usul, hikmah itu adalah ilmu tentang segala sesuatu, sifat-sifatnya, kekhususannya, hukum-hukumnya, hubungan sebab-akibat dan mengamalkan sesuai yang dibutuhkan.
Ikhwanussafa menjelaskan orang yang memiliki hikmah atau “al-hakim” adalah yang perbuatannya dapat dipertanggungjawabkan; kerjanya tekun, perkataannya benar, moralnya baik, pendapatnya betul, amalnya bersih dan ilmunya benar, yaitu ilmu tentang segala sesuatu.
al-Ghazzali menambahkan al-hakim adalah orang yang jiwanya memiliki kekuatan mengontrol dirinya sendiri (tamakkun) dalam soal keimanan, akhlak dan dalam berbicara. Jika kekuatan ini terbentuk maka akan diperoleh buah dari hikmah, sebab hikmah itu adalah inti dari akhlak mulia.
Maka “Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan” menggambarkan nilai sebuah sistem yang dikusai oleh semangat hikmat. Artinya sistem kenegaraan Indonesia harus berada di tangan orang-orang yang “hakim”. Yaitu orang yang berilmu hikmah, yang pasti tahu kebenaran yang berkata benar; yang tahu dan berani memutuskan yang salah itu salah dan yang benar itu benar; yang tahu meletakkan segala sesuatu pada tempatnya; tidak akan pernah meletakkan kepentingan dirinya diatas kepentingan rakyat atau umat, tidak meletakkan perbuatan dosa atau maksiat dalam dirinya yang fitri dan seterusnya.
Walhasil, jika sistem permusyawaratan di negeri ini dikontrol oleh akal pikiran dan jiwa yang demikian itu maka tidak akan ada kebijakan yang salah di negeri ini. Tidak akan ada korupsi di pemerintahan dan tidak akan ada kebohongan publik.
Negeri ini pasti akan menjadi makmur dan sejahtera karena semua berjalan diatas jiwa-jiwa yang penuh hikmah alias hakim. Sebab al-
Qur’an sendiri menjamin “Barangsiapa yang dianugerahi hikmah, ia benar-benar telah dianugerahi karunia yang banyak....” (QS. 2 : 269).
SYARAH KITAB AL-JAMI'
Penulis: Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-Asqalany
Kita tentu sudah tidak asing dengan kitab Bulūghul Marām min Adillatil Ahkām karya Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-Asqalany bukan? Ia adalah sebuah kitab masyhur yang menghimpun hadits-hadits Nabi terkait berbagai masalah fikih, mulai dari Thaharah, Shalat, Jana’iz, Zakat, Jihad, dan sebagainya.
Namun uniknya, Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-Asqalany meletakkan sebuah bab dengan nama Kitābul Jāmi‘ di penghujung akhir kitab Bulūghul Marām. Padahal, Kitābul Jāmi' ini sama sekali tidak ada kaitannya dengan masalah fikih, tetapi lebih erat hubungannya dengan masalah tazkiyatun nafs (penyucian jiwa), yakni terkait dengan adab kesopanan, perbuatan baik dan silaturahmi, zuhud dan wara, berbagai akhlak yang baik yang harus dibiasakan, berbagai akhlak yang buruk yang harus ditinggalkan, serta tentang dzikir dan doa dengan lafazh-lafazh yang diajarkan oleh Rasulullah Shallallaahu Alaihi Wa Sallam.
Dengan meletakkannya di bagian akhir kitab Bulughul Maram seolah-olah Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-Asqalany Rahimahullah ingin mengingatkan kepada segenap pembaca kitabnya, bahwa penyucian jiwa adalah perkara yang sangat penting. Terlebih lagi bagi orang-orang yang telah menguasai berbagai bab ilmu dan masalah fikih.
-------------------------------------
Syarah Kitab Al-Jami'
Penulis: Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-Asqalany
Pensyarah & Pentakhrij : Abdullah bin Abdurrahman AlBassam
Ukuran: 17,5 x 24,5 cm
Tebal: 386 Halaman
Berat: 800gr
Sampul: Hard Cover
Harga: Rp.85.000,-
Pemesanan silahkan sms ke 087878147997 atau Whatsapp:
https://wa.me/6287878147997
Syukran.
Penulis: Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-Asqalany
Kita tentu sudah tidak asing dengan kitab Bulūghul Marām min Adillatil Ahkām karya Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-Asqalany bukan? Ia adalah sebuah kitab masyhur yang menghimpun hadits-hadits Nabi terkait berbagai masalah fikih, mulai dari Thaharah, Shalat, Jana’iz, Zakat, Jihad, dan sebagainya.
Namun uniknya, Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-Asqalany meletakkan sebuah bab dengan nama Kitābul Jāmi‘ di penghujung akhir kitab Bulūghul Marām. Padahal, Kitābul Jāmi' ini sama sekali tidak ada kaitannya dengan masalah fikih, tetapi lebih erat hubungannya dengan masalah tazkiyatun nafs (penyucian jiwa), yakni terkait dengan adab kesopanan, perbuatan baik dan silaturahmi, zuhud dan wara, berbagai akhlak yang baik yang harus dibiasakan, berbagai akhlak yang buruk yang harus ditinggalkan, serta tentang dzikir dan doa dengan lafazh-lafazh yang diajarkan oleh Rasulullah Shallallaahu Alaihi Wa Sallam.
Dengan meletakkannya di bagian akhir kitab Bulughul Maram seolah-olah Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-Asqalany Rahimahullah ingin mengingatkan kepada segenap pembaca kitabnya, bahwa penyucian jiwa adalah perkara yang sangat penting. Terlebih lagi bagi orang-orang yang telah menguasai berbagai bab ilmu dan masalah fikih.
-------------------------------------
Syarah Kitab Al-Jami'
Penulis: Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-Asqalany
Pensyarah & Pentakhrij : Abdullah bin Abdurrahman AlBassam
Ukuran: 17,5 x 24,5 cm
Tebal: 386 Halaman
Berat: 800gr
Sampul: Hard Cover
Harga: Rp.85.000,-
Pemesanan silahkan sms ke 087878147997 atau Whatsapp:
https://wa.me/6287878147997
Syukran.
100 ULAMA NUSANTARA DI TANAH SUCI
---Mereka adalah para Ulama di Tanah Suci Mekah yang berasal dari Nusantara.---
Kita tahu bahwa ulama adalah pewaris para Nabi. Figur teladan yang derajat mereka sangat agung di sisi Allah. Mereka dipenuhi ketakwaan dan kesalehan. Bersungguh-sungguh menuntut ilmu, beribadah, mendakwahkan Islam, dan ikut serta menjayakan peradaban dan kebangkitan Islam.
Di antara mereka adalah para Ulama di Tanah Suci Mekah yang berasal dari Nusantara . Mungkin banyak di antara kita yang buta sejarah tentang para ulama asli Nusantara ini.
Selain itu, di tengah gencarnya usaha de-Islamisasi dengan label Nusantara dan kearifan lokal, buku ini menjawab bahwa sejak dulu sampai sekarang tak ada yang berubah dari wajah Islam di Indonesia. Islam yang satu, yang nyambung tanpa putus dengan tempat kelahiran Islam itu sendiri.
Membaca buku ini, akan menyiratkan sepercik rasa bangga para pendahulu kita. Bangga terhadap luhurnya tradisi keilmuan yang membuat sebagian mereka menjadi obor jihad fi sabilillah untuk memerdekakan negeri ini dari cengkeraman para penjajah.
-----------------------------------
100 Ulama Nusantara Di Tanah Suci
Penulis: Maulana La Eda, M.A.
Pengantar: K.H. Dr. M. Zaitun Rasmin, M.A.
Ukuran: 15 x 23 cm
Tebal: 366 Halaman
Berat: 500 gr
Sampul: Soft Cover
Harga: Rp. 115.000,-
Pemesanan silahkan sms ke 087878147997 atau Whatsapp:
https://wa.me/6287878147997
Syukran.
---Mereka adalah para Ulama di Tanah Suci Mekah yang berasal dari Nusantara.---
Kita tahu bahwa ulama adalah pewaris para Nabi. Figur teladan yang derajat mereka sangat agung di sisi Allah. Mereka dipenuhi ketakwaan dan kesalehan. Bersungguh-sungguh menuntut ilmu, beribadah, mendakwahkan Islam, dan ikut serta menjayakan peradaban dan kebangkitan Islam.
Di antara mereka adalah para Ulama di Tanah Suci Mekah yang berasal dari Nusantara . Mungkin banyak di antara kita yang buta sejarah tentang para ulama asli Nusantara ini.
Selain itu, di tengah gencarnya usaha de-Islamisasi dengan label Nusantara dan kearifan lokal, buku ini menjawab bahwa sejak dulu sampai sekarang tak ada yang berubah dari wajah Islam di Indonesia. Islam yang satu, yang nyambung tanpa putus dengan tempat kelahiran Islam itu sendiri.
Membaca buku ini, akan menyiratkan sepercik rasa bangga para pendahulu kita. Bangga terhadap luhurnya tradisi keilmuan yang membuat sebagian mereka menjadi obor jihad fi sabilillah untuk memerdekakan negeri ini dari cengkeraman para penjajah.
-----------------------------------
100 Ulama Nusantara Di Tanah Suci
Penulis: Maulana La Eda, M.A.
Pengantar: K.H. Dr. M. Zaitun Rasmin, M.A.
Ukuran: 15 x 23 cm
Tebal: 366 Halaman
Berat: 500 gr
Sampul: Soft Cover
Harga: Rp. 115.000,-
Pemesanan silahkan sms ke 087878147997 atau Whatsapp:
https://wa.me/6287878147997
Syukran.
Paket buku:
JAS HITAM: Jangan Sekali-kali Menghitamkan Sejarah Islam*
Dan
JAS PUTIH: Jadikan Ajaran dan Sejarah Islam Memutih
JAS HITAM:
-Benarkah Agama Samawi itu Yahudi, Kristen dan Islam?
-Benarkah Islam pertama kali dibawa Nabi Muhammad saw. sehingga dituduh plagiat Yahudi dan Nashrani? Juga menyebut pengikutnya sebagai Muhammadisme?
- Benarkah cara pandang Prof. Sartono Kartodirjo tentang Historiografi Eropa-sentris ke Indonesia-sentris berakibat menyingkirkan peran umat Islam melawan penjajahan dan meraih kemerdekaan?
- Benarkah Periodesasi Sejarah: Klasik, Pertengahan, dan Modern?
- Benarkah Socrates adalah Nabi untuk Athena Yunani? Buddha adalah seorang Rasul (Bu'tsa)? Dan Hindu berasal dari ajaran Nabi di India?
Apa kelebihan buku ini?
- Mengungkap distorsi sejarah Islam yang disembunyikan.
- Menjungkirbalikkan pemahaman umum yang selama ini dianggap benar oleh banyak orang.
- Ditulis oleh penulis sejarah dengan karyanya yang terkenal mendobrak mainstream dan Best Seller.
--**--
JAS PUTIH:
Sesungguhnya ajaran Islam adalah haq. Bagaikan cahaya putih yang terang benderang sejak awalnya. Akan tetapi sebagian manusia telah melakukan tahrîf (pengubahan) terhadap sebagian ajaran Islam agar tampak hitam dan kelam.
Menyingkap kembali kabut gelap sehingga cahaya putih kebenaran ajaran & sejarah Islam kembali terpancar dan bersinar semakin terang.
Apa kelebihan buku ini?
- Menjelaskan kisah-kisah Islami (sejarah Islam) secara sekilas berdasarkan ayat-ayat Al-Qur'an sejak awal penciptaan, para nabi hingga rasul terakhir.
- Menjelaskan sejarah turunnya Al-Qur'an secara singkat dalam masa kenabian di Makkah dan Madinah.
- Menjelaskan sejarah Islam dunia, di timur dan barat dengan dasar cara pandang Al-Qur'an, tentang perseteruan iman melawan kekufuran.
--------------------------
JAS HITAM
Jangan Sekali-kali Menghitamkan Sejarah Islam
Penulis: Rachmad Abdullah
Sampul: Soft Cover
Ukuran: 14x20,5 cm
Isi: 374 halaman
Berat: 400 gram
Harga: Rp. 80.000,-
JAS PUTIH
Jadikan Ajaran dan Sejarah Islam Memutih
Penulis: Rachmad Abdullah
Sampul: Soft Cover
Ukuran: 14x20,5 cm
Isi: 292 halaman
Berat: 310 gram
Harga: Rp. 70.000,-
Harga 1 paket berisi 2 buku di atas Rp. 160.000,-
Pemesanan silahkan sms ke 087878147997 atau Whatsapp:
https://wa.me/6287878147997
Syukran...
JAS HITAM: Jangan Sekali-kali Menghitamkan Sejarah Islam*
Dan
JAS PUTIH: Jadikan Ajaran dan Sejarah Islam Memutih
JAS HITAM:
-Benarkah Agama Samawi itu Yahudi, Kristen dan Islam?
-Benarkah Islam pertama kali dibawa Nabi Muhammad saw. sehingga dituduh plagiat Yahudi dan Nashrani? Juga menyebut pengikutnya sebagai Muhammadisme?
- Benarkah cara pandang Prof. Sartono Kartodirjo tentang Historiografi Eropa-sentris ke Indonesia-sentris berakibat menyingkirkan peran umat Islam melawan penjajahan dan meraih kemerdekaan?
- Benarkah Periodesasi Sejarah: Klasik, Pertengahan, dan Modern?
- Benarkah Socrates adalah Nabi untuk Athena Yunani? Buddha adalah seorang Rasul (Bu'tsa)? Dan Hindu berasal dari ajaran Nabi di India?
Apa kelebihan buku ini?
- Mengungkap distorsi sejarah Islam yang disembunyikan.
- Menjungkirbalikkan pemahaman umum yang selama ini dianggap benar oleh banyak orang.
- Ditulis oleh penulis sejarah dengan karyanya yang terkenal mendobrak mainstream dan Best Seller.
--**--
JAS PUTIH:
Sesungguhnya ajaran Islam adalah haq. Bagaikan cahaya putih yang terang benderang sejak awalnya. Akan tetapi sebagian manusia telah melakukan tahrîf (pengubahan) terhadap sebagian ajaran Islam agar tampak hitam dan kelam.
Menyingkap kembali kabut gelap sehingga cahaya putih kebenaran ajaran & sejarah Islam kembali terpancar dan bersinar semakin terang.
Apa kelebihan buku ini?
- Menjelaskan kisah-kisah Islami (sejarah Islam) secara sekilas berdasarkan ayat-ayat Al-Qur'an sejak awal penciptaan, para nabi hingga rasul terakhir.
- Menjelaskan sejarah turunnya Al-Qur'an secara singkat dalam masa kenabian di Makkah dan Madinah.
- Menjelaskan sejarah Islam dunia, di timur dan barat dengan dasar cara pandang Al-Qur'an, tentang perseteruan iman melawan kekufuran.
--------------------------
JAS HITAM
Jangan Sekali-kali Menghitamkan Sejarah Islam
Penulis: Rachmad Abdullah
Sampul: Soft Cover
Ukuran: 14x20,5 cm
Isi: 374 halaman
Berat: 400 gram
Harga: Rp. 80.000,-
JAS PUTIH
Jadikan Ajaran dan Sejarah Islam Memutih
Penulis: Rachmad Abdullah
Sampul: Soft Cover
Ukuran: 14x20,5 cm
Isi: 292 halaman
Berat: 310 gram
Harga: Rp. 70.000,-
Harga 1 paket berisi 2 buku di atas Rp. 160.000,-
Pemesanan silahkan sms ke 087878147997 atau Whatsapp:
https://wa.me/6287878147997
Syukran...
*PARA PANGLIMA ISLAM PENAKLUK DUNIA*
Buku ini merangkum kisah dua puluh panglima Islam yang berhasil menuliskan sejarahnya dengan tinta emas. Terdapat nama-nama besar seperti:
- An-Nu`man bin Muqarrin,
- Uqbah bin Nafi’,
- Saifuddin Quthuz,
- Rukhudin Baibars,
- Nurudin Az-Zanki,
- Shalahudin Al-Ayyubi,
- Muhammad bin Qasim,
- Qutaibah bin Muslim,
- Musa bin Nushair,
- Thariq bin Ziyad,
- Abdurrahman Al-Ghafiqi,
- Yusuf bin Tasyfin,
- Muhammad Al-Fatih.
- Dll
Meluasnya dakwah Islam tak terlepas dari peran para panglima Islam. Mereka memiliki satu tujuan: “membebaskan manusia dari perbudakan para tiran menuju penghambaan kepada Allah semata.” Dengan keberanian, keuletan, dan keyakinan akan kemuliaan misi suci yang diembannya, para panglima Islam berhasil menaklukkan daerah-daerah baru.
Barangkali tak terbayangkan sebelumnya bahwa dua kekuatan ‘superpower’ dunia-yaitu Kekaisaran Romawi Bizantium dan Imperium Persia Sassania- kalah melawan pasukan Islam. Bukan hanya kalah, tetapi berhasil meruntuhkan dan menggantikan kedua imperium dengan negara Islam meliputi Persia, Irak, Syam, Siprus, Turki, Mesir, hingga maghrib yang membentang dari Libia hingga Marutania di pesisir Samudra Atlantik dalam waktu 18 tahun saja.
Kisah gemilang penaklukkan para panglima Islam itu terus berlanjut selama dalam kepemimpinan tiga khilafah: Umawiyah, Abbasiyah, dan Ustmaniyah. Pada masa itu pula sebagian wilayah Eropa (Spanyol, Portugal, Prancis, Sisilia, Balkan, Eropa Tengah), bahkan pedalaman Afrika dan Asia Tengah berhasil dinaungi kasih sayang dalam keadilan Islam.
Kelebihan buku ini ada pada kepiawaian penulis dalam menarasikan jalinan fakta sejarah menjadi sebuah alur cerita yang menarik dengan gaya Bahasa sastra, namun tanpa kehilangan pijakan referensi yang shahih. Membacanya serasa dibawa ke situasi zaman itu, penuh dengan perasaan bangga dan haru. Karenanya, buku ini cocok untuk menjadi bacaan pemuda maupun orang tua dan guru dalam membangun karakter generasi harapan umat.
----------------------
Para Panglima Islam Penakluk Dunia
Penulis: Muhammad Ali
Ukuran: 17×24 Cm
Isi: 527 halaman
Sampul: Hardcover
ISBN: 978-602-7637-51-1
Harga: Rp 135.000,-
Pemesanan silahkan sms ke 087878147997 atau Whatsapp:
https://wa.me/6287878147997
Syukran...
Buku ini merangkum kisah dua puluh panglima Islam yang berhasil menuliskan sejarahnya dengan tinta emas. Terdapat nama-nama besar seperti:
- An-Nu`man bin Muqarrin,
- Uqbah bin Nafi’,
- Saifuddin Quthuz,
- Rukhudin Baibars,
- Nurudin Az-Zanki,
- Shalahudin Al-Ayyubi,
- Muhammad bin Qasim,
- Qutaibah bin Muslim,
- Musa bin Nushair,
- Thariq bin Ziyad,
- Abdurrahman Al-Ghafiqi,
- Yusuf bin Tasyfin,
- Muhammad Al-Fatih.
- Dll
Meluasnya dakwah Islam tak terlepas dari peran para panglima Islam. Mereka memiliki satu tujuan: “membebaskan manusia dari perbudakan para tiran menuju penghambaan kepada Allah semata.” Dengan keberanian, keuletan, dan keyakinan akan kemuliaan misi suci yang diembannya, para panglima Islam berhasil menaklukkan daerah-daerah baru.
Barangkali tak terbayangkan sebelumnya bahwa dua kekuatan ‘superpower’ dunia-yaitu Kekaisaran Romawi Bizantium dan Imperium Persia Sassania- kalah melawan pasukan Islam. Bukan hanya kalah, tetapi berhasil meruntuhkan dan menggantikan kedua imperium dengan negara Islam meliputi Persia, Irak, Syam, Siprus, Turki, Mesir, hingga maghrib yang membentang dari Libia hingga Marutania di pesisir Samudra Atlantik dalam waktu 18 tahun saja.
Kisah gemilang penaklukkan para panglima Islam itu terus berlanjut selama dalam kepemimpinan tiga khilafah: Umawiyah, Abbasiyah, dan Ustmaniyah. Pada masa itu pula sebagian wilayah Eropa (Spanyol, Portugal, Prancis, Sisilia, Balkan, Eropa Tengah), bahkan pedalaman Afrika dan Asia Tengah berhasil dinaungi kasih sayang dalam keadilan Islam.
Kelebihan buku ini ada pada kepiawaian penulis dalam menarasikan jalinan fakta sejarah menjadi sebuah alur cerita yang menarik dengan gaya Bahasa sastra, namun tanpa kehilangan pijakan referensi yang shahih. Membacanya serasa dibawa ke situasi zaman itu, penuh dengan perasaan bangga dan haru. Karenanya, buku ini cocok untuk menjadi bacaan pemuda maupun orang tua dan guru dalam membangun karakter generasi harapan umat.
----------------------
Para Panglima Islam Penakluk Dunia
Penulis: Muhammad Ali
Ukuran: 17×24 Cm
Isi: 527 halaman
Sampul: Hardcover
ISBN: 978-602-7637-51-1
Harga: Rp 135.000,-
Pemesanan silahkan sms ke 087878147997 atau Whatsapp:
https://wa.me/6287878147997
Syukran...
*DZULQARNAIN: SANG PENAKLUK TIMUR DAN BARAT*
Siapakah Dzulqarnain? Apakah ia Alexander Mecadonia, Koresh Akhmeniyah, Ash-Sha'ab atau laki-laki shaleh hidup di masa Nabi Ibrahim?
Raja dunia itu ada empat; Dua mukmin dan dua kafir. Yang mukmin: Sulaiman bin Dawud dan Dzulqarnain. Yang kafir; Namrud dan Nebukadnezar." (Tarikh Ibnul Jauzi dari Ibnu Abbas). Dzulqarnain pemimpin hebat disebut dalam Al-Qur'an.
Siapakah Dzulqarnain? Apakah ia Alexander Mecadonia, Koresh Akhmeniyah, Ash-Sha'ab atau laki-laki shaleh hidup di masa Nabi Ibrahim? Dalam hal ini, para pakar sejarah masih memperdebatkannya.
Di buku ini, Syaikh Ramadhan Yusuf paparkan studi mendalam tentang Dzulqarnain berdasarkan sudut pandang Al-Qur'an, hadits dan literatur sejarah klasik; mulai siapakah Dzulqarnain, mengapa ia digelari dzulqarnain (bertanduk dua), hidup di masa siapa? Apakah ia nabi, malaikat atau hamba shaleh. Serta, bagaimana tinjauan literatur Timur dan Barat serta sejarah Islam? Apa sifat dan karakter utamanya, siapa Ya'juj wa Ma'juj, apa dan dimana benteng Ya'juj wa Ma'juj hari ini? Serta aneka pelajaran dan catatan berharga bagi pemimpin dunia dan masyarakat awam.
Dengan lebih dari 131 sumber referensi, penulis sajikan semua tema dengan ilmiah dan bahasa mudah dipahami. Kehadiran buku ini diharapkan memberikan wawasan luas dan pemahaman lurus tentang Dzulqarnain.
----------------------------------
DZULQARNAIN: SANG PENAKLUK TIMUR DAN BARAT
Tinjuan Al-Qur'an, Hadits, dan Sejarah
Penulis: Syaikh Muhammad Khair Ramadhan Yusuf
ISBN: 9789795928911
Sampul: Soft Cover
Isi: 449 halaman.
Ukuran: 15,5 x 24 cm
Berat: 500 gr
Harga: Rp 99.000,-
Pemesanan silahkan sms ke 087878147997 atau Whatsapp:
https://wa.me/6287878147997
Syukran.
Siapakah Dzulqarnain? Apakah ia Alexander Mecadonia, Koresh Akhmeniyah, Ash-Sha'ab atau laki-laki shaleh hidup di masa Nabi Ibrahim?
Raja dunia itu ada empat; Dua mukmin dan dua kafir. Yang mukmin: Sulaiman bin Dawud dan Dzulqarnain. Yang kafir; Namrud dan Nebukadnezar." (Tarikh Ibnul Jauzi dari Ibnu Abbas). Dzulqarnain pemimpin hebat disebut dalam Al-Qur'an.
Siapakah Dzulqarnain? Apakah ia Alexander Mecadonia, Koresh Akhmeniyah, Ash-Sha'ab atau laki-laki shaleh hidup di masa Nabi Ibrahim? Dalam hal ini, para pakar sejarah masih memperdebatkannya.
Di buku ini, Syaikh Ramadhan Yusuf paparkan studi mendalam tentang Dzulqarnain berdasarkan sudut pandang Al-Qur'an, hadits dan literatur sejarah klasik; mulai siapakah Dzulqarnain, mengapa ia digelari dzulqarnain (bertanduk dua), hidup di masa siapa? Apakah ia nabi, malaikat atau hamba shaleh. Serta, bagaimana tinjauan literatur Timur dan Barat serta sejarah Islam? Apa sifat dan karakter utamanya, siapa Ya'juj wa Ma'juj, apa dan dimana benteng Ya'juj wa Ma'juj hari ini? Serta aneka pelajaran dan catatan berharga bagi pemimpin dunia dan masyarakat awam.
Dengan lebih dari 131 sumber referensi, penulis sajikan semua tema dengan ilmiah dan bahasa mudah dipahami. Kehadiran buku ini diharapkan memberikan wawasan luas dan pemahaman lurus tentang Dzulqarnain.
----------------------------------
DZULQARNAIN: SANG PENAKLUK TIMUR DAN BARAT
Tinjuan Al-Qur'an, Hadits, dan Sejarah
Penulis: Syaikh Muhammad Khair Ramadhan Yusuf
ISBN: 9789795928911
Sampul: Soft Cover
Isi: 449 halaman.
Ukuran: 15,5 x 24 cm
Berat: 500 gr
Harga: Rp 99.000,-
Pemesanan silahkan sms ke 087878147997 atau Whatsapp:
https://wa.me/6287878147997
Syukran.
Konsep Menuntut Ilmu - Ustadz Hamid Fahmy Zarkasyi
https://www.facebook.com/153825841424041/posts/1832097503596858/
https://www.facebook.com/153825841424041/posts/1832097503596858/
Mempersiapkan Kekuatan Umat Islam
Penulis: Ustadz Farid Okbah
Umat Islam secara umum menempati wilayah yang sangat luas: 35 juta km2. Sumberdaya alam yang kaya dan jumlah yang mencapai seperempat penduduk dunia. Namun, mengapa kenyataan Umat Islam lebih banyak sebagai konsumen, bahkan menjadi objek kepentingan Barat dan Timur? Apa yang salah?
Di dalam buku ini, penulis mengajak pembaca untuk membangun kesadaran tentang pentingnya unsur-unsur kekuatan yang perlu dibangun umat Islam. Sebenarnya, unsur-unsur tersebut telah melekat dalam ajaran Islam. Hanya saja, Muslimin perlu diingatkan bahwa mereka harus kembali kepada ajaran Islam. Imam Malik berkata, "Umat ini barulah menjadi baik jika mengikuti baiknya generasi awal."
---------------------------------------
Mempersiapkan Kekuatan Umat Islam
Penulis: Ustadz Farid Okbah
Ukuran: 14 x 20.5 cm
Sampul: Soft Cover
Isi: HVS 280 hal
Berat: 330 gr
ISBN: 9789790397675
Harga: Rp. 75.000,-
Pemesanan silahkan sms ke 087878147997 atau Whatsapp:
https://wa.me/6287878147997
Syukran.
Penulis: Ustadz Farid Okbah
Umat Islam secara umum menempati wilayah yang sangat luas: 35 juta km2. Sumberdaya alam yang kaya dan jumlah yang mencapai seperempat penduduk dunia. Namun, mengapa kenyataan Umat Islam lebih banyak sebagai konsumen, bahkan menjadi objek kepentingan Barat dan Timur? Apa yang salah?
Di dalam buku ini, penulis mengajak pembaca untuk membangun kesadaran tentang pentingnya unsur-unsur kekuatan yang perlu dibangun umat Islam. Sebenarnya, unsur-unsur tersebut telah melekat dalam ajaran Islam. Hanya saja, Muslimin perlu diingatkan bahwa mereka harus kembali kepada ajaran Islam. Imam Malik berkata, "Umat ini barulah menjadi baik jika mengikuti baiknya generasi awal."
---------------------------------------
Mempersiapkan Kekuatan Umat Islam
Penulis: Ustadz Farid Okbah
Ukuran: 14 x 20.5 cm
Sampul: Soft Cover
Isi: HVS 280 hal
Berat: 330 gr
ISBN: 9789790397675
Harga: Rp. 75.000,-
Pemesanan silahkan sms ke 087878147997 atau Whatsapp:
https://wa.me/6287878147997
Syukran.
Diabolisme Intelektual
Oleh: Dr. Syamsuddin Arif
Diábolos adalah Iblis dalam bahasa Yunani kuno, menurut A. Jeffery dalam bukunya the Foreign Vocabulary of the Qur’an, cetakan Baroda 1938, hlm. 48. Maka istilah “diabolisme” berarti pemikiran, watak dan perilaku ala Iblis ataupun pengabdian padanya. Dalam kitab suci al-Qur’an dinyatakan bahwa Iblis termasuk bangsa jin (18:50), yang diciptakan dari api (15:27). Sebagaimana kita ketahui, ia dikutuk dan dihalau karena menolak perintah Tuhan untuk bersujud kepada Adam. Apakah Iblis atheist? Tidak. Apakah ia agnostik? Tidak. Iblis tidak mengingkari adanya Tuhan. Iblis tidak meragukan wujud maupun ketunggalan-Nya. Iblis bukan tidak kenal Tuhan. Ia tahu dan percaya seratus persen. Lalu mengapa ia dilaknat dan disebut ‘kafir’? Di sinilah letak persoalannya.
Kenal dan tahu saja, tidak cukup. Percaya dan mengakui saja, tidak cukup. Mereka yang kafir dari kalangan Ahli Kitab pun kenal dan tahu persis siapa dan bagaimana terpercayanya Rasulullah SAW, sebagaimana orangtua mengenali anak kandungnya sendiri (ya’rifunahu kama ya’rifuna abna’ahum). Namun tetap saja mereka enggan masuk Islam.
Jelaslah bahwa pengetahuan, kepercayaan, dan pernyataan harus disertai dengan kepatuhan dan ketundukan, harus diikuti dengan kesediaan dan kemauan untuk merendah, menurut dan melaksanakan perintah. “Knowledge and recognition should be followed by acknowledgement and submission, ” tegas Profesor Naquib al-Attas.
Kesalahan Iblis bukan karena ia tak tahu atau tak berilmu. Kesalahannya karena ia membangkang (aba, QS 2:34, 15:31, 20:116), menganggap dirinya hebat (istakbara, QS 2:34, 38:73, 38:75), dan melawan perintah Tuhan (fasaqa ?an amri rabbihi, QS 18:50). Dalam hal ini, Iblis tidak sendirian. Sudah banyak orang yang berhasil direkrut sebagai staf dan kroninya, berpikiran dan berprilaku seperti yang dicontohkannya.
Iblis adalah ‘prototype’ intelektual ‘keblinger’. Sebagaimana dikisahkan dalam al-Qur’an, sejurus setelah ia divonis, Iblis mohon agar ajalnya ditangguhkan. Dikabulkan dan dibebaskan untuk sementara waktu, ia pun bersumpah untuk menyeret orang lain ke jalannya, dengan segala cara.
“Hasutlah siapa saja yang kau bisa dari kalangan mereka dengan seruanmu. Kerahkan seluruh pasukanmu, kavalri maupun infantri. Menyusuplah dalam urusan keuangan dan keluarga mereka. Janjikan mereka [kenikmatan dan keselamatan]!” Demikian difirmankan kepada Iblis (QS 17:64).
Maka Iblis pun bertekad: “Sungguh akan kuhalangi mereka dari jalan-Mu yang lurus. Akan kudatangi mereka dari arah depan dan belakang, dari sebelah kanan dan kiri mereka!” (QS 7:16-17). Maksudnya, menurut Ibnu ‘Abbas ra, Iblis bertekad untuk menyesatkan orang dengan menebar keraguan, membuat orang ragu dan lupa pada akhirat, alergi dan anti terhadap kebaikan dan kebenaran, gandrung dan tergila-gila pada dunia, hobi dan cuek berbuat dosa, ragu dan bingung soal agama (Lihat: Ibn Katsir, Tafsir al-Qur’an al-?Az?im, cetakan Beirut, al-Maktabah al-?As?riyyah, 1995, vol. 2, hlm. 190).
Tidak sulit untuk mengidentifikasi cendekiawan bermental Iblis. Sebab, ciri-cirinya telah cukup diterangkan dalam al-Qur’an sebagai berikut. Pertama, selalu membangkang dan membantah (6:121). Meskipun ia kenal, tahu dan faham, namun tidak akan pernah mau menerima kebenaran. Seperti ingkarnya Fir’aun berikut hulu-balangnya, zulman wa ‘uluwwan, meskipun dan padahal hati kecilnya mengakui dan meyakini (wa istayqanat-ha anfusuhum).
Maka selalu dicarinya argumen untuk menyanggah dan menolak kebenaran demi mempertahankan opininya. Sebab, yang penting baginya bukan kebenaran, akan tetapi pembenaran. Jadi, bukan karena ia tak tahu mana yang benar, tetapi karena ia memang tidak mau mengikuti dan tunduk pada kebenaran itu. Jadi jangan heran bila selalu saja ada cendekiawan yang meskipun nota bene Muslim, namun sifatnya seperti itu. Ideologi dan opini pemikirannya yang liar lebih ia pentingkan dan ia pertahankan ketimbang kebenaran dan aqidah Islamnya.
Dalam tradisi keilmuan Islam, sikap membangkang semacam ini disebut juga al-‘inadiyyah (Lihat: Abu Hafs Najmuddin Umar ib
Oleh: Dr. Syamsuddin Arif
Diábolos adalah Iblis dalam bahasa Yunani kuno, menurut A. Jeffery dalam bukunya the Foreign Vocabulary of the Qur’an, cetakan Baroda 1938, hlm. 48. Maka istilah “diabolisme” berarti pemikiran, watak dan perilaku ala Iblis ataupun pengabdian padanya. Dalam kitab suci al-Qur’an dinyatakan bahwa Iblis termasuk bangsa jin (18:50), yang diciptakan dari api (15:27). Sebagaimana kita ketahui, ia dikutuk dan dihalau karena menolak perintah Tuhan untuk bersujud kepada Adam. Apakah Iblis atheist? Tidak. Apakah ia agnostik? Tidak. Iblis tidak mengingkari adanya Tuhan. Iblis tidak meragukan wujud maupun ketunggalan-Nya. Iblis bukan tidak kenal Tuhan. Ia tahu dan percaya seratus persen. Lalu mengapa ia dilaknat dan disebut ‘kafir’? Di sinilah letak persoalannya.
Kenal dan tahu saja, tidak cukup. Percaya dan mengakui saja, tidak cukup. Mereka yang kafir dari kalangan Ahli Kitab pun kenal dan tahu persis siapa dan bagaimana terpercayanya Rasulullah SAW, sebagaimana orangtua mengenali anak kandungnya sendiri (ya’rifunahu kama ya’rifuna abna’ahum). Namun tetap saja mereka enggan masuk Islam.
Jelaslah bahwa pengetahuan, kepercayaan, dan pernyataan harus disertai dengan kepatuhan dan ketundukan, harus diikuti dengan kesediaan dan kemauan untuk merendah, menurut dan melaksanakan perintah. “Knowledge and recognition should be followed by acknowledgement and submission, ” tegas Profesor Naquib al-Attas.
Kesalahan Iblis bukan karena ia tak tahu atau tak berilmu. Kesalahannya karena ia membangkang (aba, QS 2:34, 15:31, 20:116), menganggap dirinya hebat (istakbara, QS 2:34, 38:73, 38:75), dan melawan perintah Tuhan (fasaqa ?an amri rabbihi, QS 18:50). Dalam hal ini, Iblis tidak sendirian. Sudah banyak orang yang berhasil direkrut sebagai staf dan kroninya, berpikiran dan berprilaku seperti yang dicontohkannya.
Iblis adalah ‘prototype’ intelektual ‘keblinger’. Sebagaimana dikisahkan dalam al-Qur’an, sejurus setelah ia divonis, Iblis mohon agar ajalnya ditangguhkan. Dikabulkan dan dibebaskan untuk sementara waktu, ia pun bersumpah untuk menyeret orang lain ke jalannya, dengan segala cara.
“Hasutlah siapa saja yang kau bisa dari kalangan mereka dengan seruanmu. Kerahkan seluruh pasukanmu, kavalri maupun infantri. Menyusuplah dalam urusan keuangan dan keluarga mereka. Janjikan mereka [kenikmatan dan keselamatan]!” Demikian difirmankan kepada Iblis (QS 17:64).
Maka Iblis pun bertekad: “Sungguh akan kuhalangi mereka dari jalan-Mu yang lurus. Akan kudatangi mereka dari arah depan dan belakang, dari sebelah kanan dan kiri mereka!” (QS 7:16-17). Maksudnya, menurut Ibnu ‘Abbas ra, Iblis bertekad untuk menyesatkan orang dengan menebar keraguan, membuat orang ragu dan lupa pada akhirat, alergi dan anti terhadap kebaikan dan kebenaran, gandrung dan tergila-gila pada dunia, hobi dan cuek berbuat dosa, ragu dan bingung soal agama (Lihat: Ibn Katsir, Tafsir al-Qur’an al-?Az?im, cetakan Beirut, al-Maktabah al-?As?riyyah, 1995, vol. 2, hlm. 190).
Tidak sulit untuk mengidentifikasi cendekiawan bermental Iblis. Sebab, ciri-cirinya telah cukup diterangkan dalam al-Qur’an sebagai berikut. Pertama, selalu membangkang dan membantah (6:121). Meskipun ia kenal, tahu dan faham, namun tidak akan pernah mau menerima kebenaran. Seperti ingkarnya Fir’aun berikut hulu-balangnya, zulman wa ‘uluwwan, meskipun dan padahal hati kecilnya mengakui dan meyakini (wa istayqanat-ha anfusuhum).
Maka selalu dicarinya argumen untuk menyanggah dan menolak kebenaran demi mempertahankan opininya. Sebab, yang penting baginya bukan kebenaran, akan tetapi pembenaran. Jadi, bukan karena ia tak tahu mana yang benar, tetapi karena ia memang tidak mau mengikuti dan tunduk pada kebenaran itu. Jadi jangan heran bila selalu saja ada cendekiawan yang meskipun nota bene Muslim, namun sifatnya seperti itu. Ideologi dan opini pemikirannya yang liar lebih ia pentingkan dan ia pertahankan ketimbang kebenaran dan aqidah Islamnya.
Dalam tradisi keilmuan Islam, sikap membangkang semacam ini disebut juga al-‘inadiyyah (Lihat: Abu Hafs Najmuddin Umar ib
n Muhammad an-Nasafi (w. 537 H/1142 M), al-‘Aqa’id, dalam Majmu’ min Muhimmat al-Mutun, Kairo: al-Matba’ah al-Khayriyyah, 1306 H, hlm. 19).
Kedua, intelektual diabolik bersikap takabbur (sombong, angkuh, congkak, arrogans). Pengertian takabbur ini dijelaskan dalam hadis Nabi SAW yang diriwayatkan oleh Imam Muslim (no.147): “Sombong ialah menolak yang haq dan meremehkan orang lain (al-kibru batarul-haqq wa ghamtu n-nas)”.
Akibatnya, orang yang mengikuti kebenaran sebagaimana dinyatakan dalam al-Qur’an atau hadis Nabi SAW dianggapnya dogmatis, literalis, logosentris, fundamentalis, konservatif dan lain sebagainya.
Sebaliknya, orang yang berpikiran liberal, berpandangan relativistik dan skeptis, menghujat al-Qur’an maupun Hadis, meragukan dan menolak kebenarannya, justru disanjung sebagai intelektual kritis, reformis dan sebagainya, meskipun terbukti zindiq, heretik dan bermental Iblis.
Mereka bermuka dua, menggunakan standar ganda (2:14). Mereka menganggap orang beriman itu bodoh, padahal merekalah yang bodoh dan dungu (sufaha’). Intelektual semacam inilah yang diancam Allah dalam al-Qur’an : “Akan Aku palingkan mereka yang arogan tanpa kebenaran itu dari ayat-ayat-Ku. Sehingga, meskipun menyaksikan setiap ayat, tetap saja mereka tidak akan mempercayainya. Dan kalaupun melihat jalan kebenaran, mereka tidak akan mau menempuhnya. Namun jika melihat jalan kesesatan, mereka justru menelusurinya” (7:146).
Ciri yang ketiga ialah mengaburkan dan menyembunyikan kebenaran (talbis wa kitman al-haqq). Cendekiawan diabolik bukan tidak tahu mana yang benar dan mana yang salah. Namun ia sengaja memutarbalikkan data dan fakta. Yang batil dipoles dan dikemas sedemikian rupa sehingga nampak seolah-olah haq.
Sebaliknya, yang haq digunting dan di’preteli’ sehingga kelihatan seperti batil. Ataupun dicampur-aduk dua-duanya sehingga tidak jelas lagi beda antara yang benar dan yang salah. Strategi semacam ini memang sangat efektif untuk membuat orang lain bingung dan terkecoh.
Contohnya seperti yang dilakukan oleh para pengasong gagasan inklusivisme dan pluralisme agama. Mereka mengutip ayat-ayat al-Qur’an (2:62 dan 5:69) untuk menjustifikasi pemikiran liarnya, untuk mengatakan semua agama adalah sama, tanpa mempedulikan konteks siyaq, sibaq dan lihaq maupun tafsir bi l-ma’tsur dari ayat-ayat tersebut.
Sama halnya yang dilakukan oleh para orientalis Barat dalam kajian mereka terhadap al-Qur’an dan Hadis. Mereka mempersoalkan dan membesar-besarkan perkara-perkara kecil, mengutak-atik yang sudah jelas dan tuntas, sambil mendistorsi dan memanipulasi (tahrif) sumber-sumber yang ada. Hal ini tidak terlalu mengejutkan, mengingat kebanyakan mereka adalah Yahudi dan Nasrani yang karakternya telah dijelaskan dalam al-Qur’an 3:71, “Ya ahla l-kitab lima talbisuna l-haqq bi l-batil wa taktumu l-haqq wa antum ta’lamun?” Yang sangat mengherankan ialah ketika hal yang sama dilakukan oleh mereka yang zahirnya Muslim.
Karena watak dan peran yang dilakoninya itu, Iblis disebut juga Setan (syaitan), kemungkinan dari bahasa Ibrani ‘syatan’, yang artinya lawan atau musuh (Lihat: W. Gesenius, Lexicon Manuale Hebraicum et Chaldaicum in Veteris Testamenti Libros). Dalam al-Qur’an memang ditegaskan bahwa setan adalah musuh nyata manusia (12:5, 17:53 dan 35:6). Selain pembangkang (‘asiyy), setan berwatak jahat, liar, dan kurang ajar (marid dan marid). Untuk menggelincirkan (istazalla), menjerumuskan (yughwi) dan menyesatkan (yudillu) orang, setan juga memakai strategi. Caranya dengan menyusup dan mempengaruhi (yatakhabbat), merasuk dan merusak (yanzagh), menaklukkan (istahwa) dan menguasai (istah’wadza), menghalang-halangi (yasudd) dan menakut-nakuti (yukhawwif), merekomendasi (sawwala) dan menggiring (ta’uzz), menyeru (yad’u) dan menjebak (yaftin), menciptakan imej positif untuk kebatilan (zayyana lahum a’malahum), membisikkan hal-hal negatif ke dalam hati dan pikiran seseorang (yuwaswis), menjanjikan dan memberikan iming-iming (ya’iduhum wa yumannihim), memperdaya dengan tipu muslihat (dalla bi-ghurur), membuat orang lupa dan lalai (yunsi), menyulut konflik da
Kedua, intelektual diabolik bersikap takabbur (sombong, angkuh, congkak, arrogans). Pengertian takabbur ini dijelaskan dalam hadis Nabi SAW yang diriwayatkan oleh Imam Muslim (no.147): “Sombong ialah menolak yang haq dan meremehkan orang lain (al-kibru batarul-haqq wa ghamtu n-nas)”.
Akibatnya, orang yang mengikuti kebenaran sebagaimana dinyatakan dalam al-Qur’an atau hadis Nabi SAW dianggapnya dogmatis, literalis, logosentris, fundamentalis, konservatif dan lain sebagainya.
Sebaliknya, orang yang berpikiran liberal, berpandangan relativistik dan skeptis, menghujat al-Qur’an maupun Hadis, meragukan dan menolak kebenarannya, justru disanjung sebagai intelektual kritis, reformis dan sebagainya, meskipun terbukti zindiq, heretik dan bermental Iblis.
Mereka bermuka dua, menggunakan standar ganda (2:14). Mereka menganggap orang beriman itu bodoh, padahal merekalah yang bodoh dan dungu (sufaha’). Intelektual semacam inilah yang diancam Allah dalam al-Qur’an : “Akan Aku palingkan mereka yang arogan tanpa kebenaran itu dari ayat-ayat-Ku. Sehingga, meskipun menyaksikan setiap ayat, tetap saja mereka tidak akan mempercayainya. Dan kalaupun melihat jalan kebenaran, mereka tidak akan mau menempuhnya. Namun jika melihat jalan kesesatan, mereka justru menelusurinya” (7:146).
Ciri yang ketiga ialah mengaburkan dan menyembunyikan kebenaran (talbis wa kitman al-haqq). Cendekiawan diabolik bukan tidak tahu mana yang benar dan mana yang salah. Namun ia sengaja memutarbalikkan data dan fakta. Yang batil dipoles dan dikemas sedemikian rupa sehingga nampak seolah-olah haq.
Sebaliknya, yang haq digunting dan di’preteli’ sehingga kelihatan seperti batil. Ataupun dicampur-aduk dua-duanya sehingga tidak jelas lagi beda antara yang benar dan yang salah. Strategi semacam ini memang sangat efektif untuk membuat orang lain bingung dan terkecoh.
Contohnya seperti yang dilakukan oleh para pengasong gagasan inklusivisme dan pluralisme agama. Mereka mengutip ayat-ayat al-Qur’an (2:62 dan 5:69) untuk menjustifikasi pemikiran liarnya, untuk mengatakan semua agama adalah sama, tanpa mempedulikan konteks siyaq, sibaq dan lihaq maupun tafsir bi l-ma’tsur dari ayat-ayat tersebut.
Sama halnya yang dilakukan oleh para orientalis Barat dalam kajian mereka terhadap al-Qur’an dan Hadis. Mereka mempersoalkan dan membesar-besarkan perkara-perkara kecil, mengutak-atik yang sudah jelas dan tuntas, sambil mendistorsi dan memanipulasi (tahrif) sumber-sumber yang ada. Hal ini tidak terlalu mengejutkan, mengingat kebanyakan mereka adalah Yahudi dan Nasrani yang karakternya telah dijelaskan dalam al-Qur’an 3:71, “Ya ahla l-kitab lima talbisuna l-haqq bi l-batil wa taktumu l-haqq wa antum ta’lamun?” Yang sangat mengherankan ialah ketika hal yang sama dilakukan oleh mereka yang zahirnya Muslim.
Karena watak dan peran yang dilakoninya itu, Iblis disebut juga Setan (syaitan), kemungkinan dari bahasa Ibrani ‘syatan’, yang artinya lawan atau musuh (Lihat: W. Gesenius, Lexicon Manuale Hebraicum et Chaldaicum in Veteris Testamenti Libros). Dalam al-Qur’an memang ditegaskan bahwa setan adalah musuh nyata manusia (12:5, 17:53 dan 35:6). Selain pembangkang (‘asiyy), setan berwatak jahat, liar, dan kurang ajar (marid dan marid). Untuk menggelincirkan (istazalla), menjerumuskan (yughwi) dan menyesatkan (yudillu) orang, setan juga memakai strategi. Caranya dengan menyusup dan mempengaruhi (yatakhabbat), merasuk dan merusak (yanzagh), menaklukkan (istahwa) dan menguasai (istah’wadza), menghalang-halangi (yasudd) dan menakut-nakuti (yukhawwif), merekomendasi (sawwala) dan menggiring (ta’uzz), menyeru (yad’u) dan menjebak (yaftin), menciptakan imej positif untuk kebatilan (zayyana lahum a’malahum), membisikkan hal-hal negatif ke dalam hati dan pikiran seseorang (yuwaswis), menjanjikan dan memberikan iming-iming (ya’iduhum wa yumannihim), memperdaya dengan tipu muslihat (dalla bi-ghurur), membuat orang lupa dan lalai (yunsi), menyulut konflik da