Maka dengan menggunakan teori batas Syahrur, apa yang disebut aurat bagi wanita menjadi sangat fleksibel. Batasan minimal yang ditetapkan Syahrur, akan mendorong wanita muslimah berbondong-bondong terjun ke dunia hiburan yang permisif. Mereka pun tidak ragu lagi untuk berbikini di pantai-pantai maupun di pusat perbelanjaan.
https://m.facebook.com/story.php?story_fbid=1606097229530221&id=153825841424041
https://m.facebook.com/story.php?story_fbid=1606097229530221&id=153825841424041
Negara dan Agama
Oleh: Dr Hamid Fahmy Zarkasyi
RUU Sisdiknas khususnya pasal 12 ayat 1 (a) menghadapi keberatan kaum Nasrani karena motif tertentu. Kini muncul pandangan yang mulai meragukan urgensi dan efektifitas pendidikan agama dan bahkan agama bagi peningkatan moralitas bangsa.
Diskursus mengenai urgensi pendidikan agama di negeri ini sebaiknya dihubungkan dengan ideologi formal negeri ini. Terlepas dari wacana yang berkembang, secara ideologis negeri ini telah mendasarkan dirinya pada Ketuhanan Yang Maha Esa (Sila Pertama).
Secara konstitusional negara memberi hak hidup kepada agama-agama (UUD pasal 29). Dan pada prakteknya negara ikut campur dalam urusan agama. Institusi atau departemen yang mengatur agama didirikan dan bahkan partai politik yang berdasarkan agama dibolehkan. Para pemimpin negeri ini bisa menggunakan isu agama untuk kepentingan politik.
Jika Pancasila dipahami dalam bentuk piramida terbalik, maka sila: “Ketuhanan Yang Maha Esa”, harus menjadi landasan segala sistem di negeri ini. Dan jikapun dipahami dalam bentuk struktur kerucut maka sila itu menjadi tujuan segala sistemnya.
Oleh sebab itu negara Republik Indonesia secara ideologis dan konstitusional berhak mengatur kehidupan beragama rakyatnya, termasuk pendidikan agama. Negara ini adalah negara berketuhanan dan bukan negara sekuler.
Jika negara ini telah disepakati sebagai negara berketuhanan, maka baik-buruk moralitas bangsa ini tidak lepas dari tanggungjawab pemerintah. Ini berarti bahwa sistem dan kebijaksanaan pemerintah di segala bidang harus senantiasa berdasarkan pada prinsip ketuhanan yang kondusif bagi pembinaan moralitas bangsa. Sistem pendidikan nasional adalah salah satu dari sekian sistem yang berhubungan dengan pembinaan moral bangsa.
Adanya pendidikan agama di sekolah-sekolah negeri dan swasta memiliki landasan konstitusional. Bahkan harus terus dipertahankan dan dikembangkan sehingga efektif dalam mendukung pembinaan moral (character building) bangsa ini.
Persoalannya, apakah pendidikan agama yang sekarang ini dilaksanakan telah benar-benar efektif. Jika jawabnya adalah negatif maka diperlukan clinical remedy atau rekonstruksi materi pelajaran agama. Dan disini perlu melibatkan pakar masing-masing agama untuk menentukan kualitas materi dan pakar bidang pendidikan untuk metodologi.
Seperti disinggung diatas, di negeri yang menjunjung prinsip ketuhanan ini, rasanya tidak perlu lagi mempersoalkan apakah pendidikan agama perlu diajarkan di sekolah atau tidak. Ide meniadakan pendidikan agama dengan alasan masih adanya dekadensi moral di masyarakat, rasanya terlalu simplistik. Sama halnya dengan logika Gulliver Traveller, “Jika sepatu anda kotor anda tidak perlu membersihkan karena nanti akan kotor lagi”. Juga jika ekonomi negara ini mundur maka pelajaran dan fakultas ekonomi sebaiknya dibubarkan.
Kebobrokan moral bangsa saat ini tidak dapat dinilai dari variable agama saja. Bahkan variable-variable dalam agama seperti jumlah pelaksana haji, jumlah masjid dan gereja, atau simbol-simbol ritual lainnya tidaklah cukup. Variable lain-lain seperti kebijakan politik pemerintah, rekrutmen pegawai, pembangunan suprastruktur dan infrastruktur dan lain sebagainya, selama ini tidak meletakkan peran agama secara proporsional.
Korelasi bahwa “Semakin banyak jumlah penduduk yang naik haji semakin baiklah moralitas bangsa” adalah korelasi yang tidak signifikan. Haji sendiri bukan ukuran keimanan dan moralitas seseorang.
Selain itu perlu dipertanyakan pula apakah populasi pelaksanakan haji atau pengunjung gereja dan populasi yang melakukan tindakan amoral itu sama. Apakah para koruptor itu adalah orang yang benar-benar taat beragama.
Korupsi, manipulasi, kolusi dan tindakan amoral lainnya, sejatinya adalah produk dari sistem yang tidak adil. Kotornya sungai Ciliwung bukan karena salah ulama atau pelajaran agama di sekolah, tapi karena bobroknya sistem sanitasi yang dibangun pemerintah yang korup. Perampokan, pembunuhan, penipuan dan lain-lain adalah buah dari ketidakadilan sosial dan ekonomi.
Sekarang marilah kita lihat negara
Oleh: Dr Hamid Fahmy Zarkasyi
RUU Sisdiknas khususnya pasal 12 ayat 1 (a) menghadapi keberatan kaum Nasrani karena motif tertentu. Kini muncul pandangan yang mulai meragukan urgensi dan efektifitas pendidikan agama dan bahkan agama bagi peningkatan moralitas bangsa.
Diskursus mengenai urgensi pendidikan agama di negeri ini sebaiknya dihubungkan dengan ideologi formal negeri ini. Terlepas dari wacana yang berkembang, secara ideologis negeri ini telah mendasarkan dirinya pada Ketuhanan Yang Maha Esa (Sila Pertama).
Secara konstitusional negara memberi hak hidup kepada agama-agama (UUD pasal 29). Dan pada prakteknya negara ikut campur dalam urusan agama. Institusi atau departemen yang mengatur agama didirikan dan bahkan partai politik yang berdasarkan agama dibolehkan. Para pemimpin negeri ini bisa menggunakan isu agama untuk kepentingan politik.
Jika Pancasila dipahami dalam bentuk piramida terbalik, maka sila: “Ketuhanan Yang Maha Esa”, harus menjadi landasan segala sistem di negeri ini. Dan jikapun dipahami dalam bentuk struktur kerucut maka sila itu menjadi tujuan segala sistemnya.
Oleh sebab itu negara Republik Indonesia secara ideologis dan konstitusional berhak mengatur kehidupan beragama rakyatnya, termasuk pendidikan agama. Negara ini adalah negara berketuhanan dan bukan negara sekuler.
Jika negara ini telah disepakati sebagai negara berketuhanan, maka baik-buruk moralitas bangsa ini tidak lepas dari tanggungjawab pemerintah. Ini berarti bahwa sistem dan kebijaksanaan pemerintah di segala bidang harus senantiasa berdasarkan pada prinsip ketuhanan yang kondusif bagi pembinaan moralitas bangsa. Sistem pendidikan nasional adalah salah satu dari sekian sistem yang berhubungan dengan pembinaan moral bangsa.
Adanya pendidikan agama di sekolah-sekolah negeri dan swasta memiliki landasan konstitusional. Bahkan harus terus dipertahankan dan dikembangkan sehingga efektif dalam mendukung pembinaan moral (character building) bangsa ini.
Persoalannya, apakah pendidikan agama yang sekarang ini dilaksanakan telah benar-benar efektif. Jika jawabnya adalah negatif maka diperlukan clinical remedy atau rekonstruksi materi pelajaran agama. Dan disini perlu melibatkan pakar masing-masing agama untuk menentukan kualitas materi dan pakar bidang pendidikan untuk metodologi.
Seperti disinggung diatas, di negeri yang menjunjung prinsip ketuhanan ini, rasanya tidak perlu lagi mempersoalkan apakah pendidikan agama perlu diajarkan di sekolah atau tidak. Ide meniadakan pendidikan agama dengan alasan masih adanya dekadensi moral di masyarakat, rasanya terlalu simplistik. Sama halnya dengan logika Gulliver Traveller, “Jika sepatu anda kotor anda tidak perlu membersihkan karena nanti akan kotor lagi”. Juga jika ekonomi negara ini mundur maka pelajaran dan fakultas ekonomi sebaiknya dibubarkan.
Kebobrokan moral bangsa saat ini tidak dapat dinilai dari variable agama saja. Bahkan variable-variable dalam agama seperti jumlah pelaksana haji, jumlah masjid dan gereja, atau simbol-simbol ritual lainnya tidaklah cukup. Variable lain-lain seperti kebijakan politik pemerintah, rekrutmen pegawai, pembangunan suprastruktur dan infrastruktur dan lain sebagainya, selama ini tidak meletakkan peran agama secara proporsional.
Korelasi bahwa “Semakin banyak jumlah penduduk yang naik haji semakin baiklah moralitas bangsa” adalah korelasi yang tidak signifikan. Haji sendiri bukan ukuran keimanan dan moralitas seseorang.
Selain itu perlu dipertanyakan pula apakah populasi pelaksanakan haji atau pengunjung gereja dan populasi yang melakukan tindakan amoral itu sama. Apakah para koruptor itu adalah orang yang benar-benar taat beragama.
Korupsi, manipulasi, kolusi dan tindakan amoral lainnya, sejatinya adalah produk dari sistem yang tidak adil. Kotornya sungai Ciliwung bukan karena salah ulama atau pelajaran agama di sekolah, tapi karena bobroknya sistem sanitasi yang dibangun pemerintah yang korup. Perampokan, pembunuhan, penipuan dan lain-lain adalah buah dari ketidakadilan sosial dan ekonomi.
Sekarang marilah kita lihat negara
Amerika atau negara Barat lainya. Ekonomi mereka maju, kehidupan publiknya nyaman, sistem sosialnya nampak rapi. Kesadaran masyarakat terhadap peraturan publik tinggi.
Tapi, perlu diingat bahwa disana agama ditinggalkan, gereja-gereja kosong. Agama dilindungi secara hukum tapi agama tidak boleh bersifat publik. Perayaan natal meriah, hari raya idul adha tidak boleh di lapangan, azan tidak boleh pakai mikrofon.
Pelajaran agama tidak saja absen di sekolah, tapi murid-murid khususnya Muslim tidak mudah melaksanakan shalat 5 waktu di sekolah. Kegiatan seks di kalangan anak sekolah bebas, asal tidak melanggar moral publik. Narkoba juga bebas asal untuk diri sendiri. Jadi dalam kehidupan publik kita tidak boleh melihat wajah agama.
Apa yang disebut prinsip moral, sejatinya tidak jelas, ia berbeda dan malah bertentangan dengan arti akhlak dalam Islam. Agama direduksi menjadi convensi publik, tuhan telah lama mati. Seorang Muslimah yang menikah umur 17 tahun dan hamil, misalnya melanggar hukum, tapi seorang gadis Amerika yang hamil di luar nikah tidak salah. Dimanakah letak kebebasan beragamanya?
Di negara yang berketuhanan ini, agama perlu masuk kedalam urusan publik. Bahkan pemerintah perlu memasukkan kedalam setiap sistem secara jelas. Prinsip keadilan harus ditegakkan, “Segala sesuatu diletakkan sesuai dengan tempat dan proporsinya.” Pendidikan agama di sekolah ditingkatkan dan kalau perlu ditambah.
Dalam konteks RUU Sisdiknas, khususnya pasal 13 ayat 1 yang memberi hak setiap siswa untuk memperoleh pendidikan dan guru agama sesuai dengan agama masing-masing, sudah cukup adil.
Jika hak warga negara memperoleh pendidikan agama dicabut, itu jelas tidak adil. Lebih tidak adil lagi jika semua siswa diwajibkan belajar semua agama, sebab seorang murid Muslim akan menerima sesuatu yang tidak diperlukannya, demikian pula murid Kristen, Hindu dan sebagainya.
Adil artinya meletakkan sesuatu pada tempatnya atau sesuai proporsinya. Dan ini bukan perkara mudah, sehingga yang berhasil dapat dicap paling dekat dengan ketakwaan (aqrabu li al-taqwa).
Tapi, perlu diingat bahwa disana agama ditinggalkan, gereja-gereja kosong. Agama dilindungi secara hukum tapi agama tidak boleh bersifat publik. Perayaan natal meriah, hari raya idul adha tidak boleh di lapangan, azan tidak boleh pakai mikrofon.
Pelajaran agama tidak saja absen di sekolah, tapi murid-murid khususnya Muslim tidak mudah melaksanakan shalat 5 waktu di sekolah. Kegiatan seks di kalangan anak sekolah bebas, asal tidak melanggar moral publik. Narkoba juga bebas asal untuk diri sendiri. Jadi dalam kehidupan publik kita tidak boleh melihat wajah agama.
Apa yang disebut prinsip moral, sejatinya tidak jelas, ia berbeda dan malah bertentangan dengan arti akhlak dalam Islam. Agama direduksi menjadi convensi publik, tuhan telah lama mati. Seorang Muslimah yang menikah umur 17 tahun dan hamil, misalnya melanggar hukum, tapi seorang gadis Amerika yang hamil di luar nikah tidak salah. Dimanakah letak kebebasan beragamanya?
Di negara yang berketuhanan ini, agama perlu masuk kedalam urusan publik. Bahkan pemerintah perlu memasukkan kedalam setiap sistem secara jelas. Prinsip keadilan harus ditegakkan, “Segala sesuatu diletakkan sesuai dengan tempat dan proporsinya.” Pendidikan agama di sekolah ditingkatkan dan kalau perlu ditambah.
Dalam konteks RUU Sisdiknas, khususnya pasal 13 ayat 1 yang memberi hak setiap siswa untuk memperoleh pendidikan dan guru agama sesuai dengan agama masing-masing, sudah cukup adil.
Jika hak warga negara memperoleh pendidikan agama dicabut, itu jelas tidak adil. Lebih tidak adil lagi jika semua siswa diwajibkan belajar semua agama, sebab seorang murid Muslim akan menerima sesuatu yang tidak diperlukannya, demikian pula murid Kristen, Hindu dan sebagainya.
Adil artinya meletakkan sesuatu pada tempatnya atau sesuai proporsinya. Dan ini bukan perkara mudah, sehingga yang berhasil dapat dicap paling dekat dengan ketakwaan (aqrabu li al-taqwa).
SATU TUHAN, SATU AGAMA!
Oleh: Dr. Adian Husaini
Dalam beberapa hari belakangan, ada sejumlah SMS yang masuk ke HP saya. Isinya, meminta saya mengkaji sebuah buku berjudul Satu Tuhan Banyak Agama, Pandangan Sufistik Ibn ‘Arabi, Rumi dan al-Jili, (Mizan, 2011). Rabu (19/10/2011), saya baru sempat mencari buku ini di sebuah toko buku. Setelah membaca dengan seksama, saya segera berusaha memberikan sejumlah ulasan berikut ini.
Dari segi penampilan luar, buku karya Dr. Media Zainul Bahri (dosen Fakultas Ushuluddin dan Filsafat UIN Jakarta) tampak berwibawa, dengan tebal 500 halaman lebih. Ada pengantar dari Rektor UIN Jakarta, Prof. Komaruddin Hidayat dan juga pujian dari Prof. Kautsar Azhari Noer, guru besar Perbandingan Agama, UIN Jakarta. Dengan tampilan semacam itu, wajar jika orang menyangka bahwa buku ini berbobot ilmiah yang tinggi. Apalagi, ini juga disertasi doktor di UIN Jakarta.
Tentu, usaha penulis buku ini dalam mengkaji pemikiran-pemikiran tiga tokoh sufi tersebut perlu diberikan apresiasi. Harapannya, ke depan, makin terbuka kajian-kajian semacam ini yang lebih serius dan lebih Islami. Akan tetapi, sebagai karya terbuka, tentu buku ini wajib dikaji secara kritis. Berikut ini catatan kritis untuk buku ini:
Pertama, buku ini mengambil konsep Pluralisme, Perenialisme dan Kesatuan Transendensi Agama-agama/KTAA (Transcendent Unity of Religions) sebagai dasar analisis. Pemikiran tiga tokoh sufi dianalisis dari konsep ini. Tidak ada catatan kritis apa pun terhadap konsep KTAA tersebut. Penulis buku ini sudah meyakini kebenaran konsep tersebut dan kemudian berusaha mencari legitimasi pada karya-karya klasik dan kontemporer dari para ulama dan sarjana Muslim klasik dan kontemporer.
Padahal, jika ditelaah sepintas saja, kita akan menjumpai berbagai paradoks dan kerancuan dalam pemikiran-pemikiran yang disajikan. Sebagai contoh, tertulis: “Dalam diskursus pluralisme agama, penjelasan tentang transendensi Ilahi ini dan bahwa setiap agama lahir dan terikat pada konteks tertentu menjadi argumen bahwa tidak ada agama yang lebih tinggi/sempurna atas yang lain. Semua bentuk-bentuk agama adalah sederajat, karena semuanya sedang mewadahi ke-Mahabenaran dan ke-Mahamutlakan Tuhan.” (hal. 21).
Itulah salah satu keganjilan pemikiran pluralisme agama. Mereka menolak “klaim kebenaran” dari masing-masing pemeluk agama, tetapi pada saat yang sama mereka justru menolak keberagaman. Mereka memaksa semua pemeluk agama melepaskan klaim kebenarannya masing-masing lalu dipaksa berpindah menuju satu keyakinan, bahwa “semuanya benar”, sebagaimana paham kaum pluralis tersebut. Bukankah ini satu sikap yang paradoks dan justru anti-pluralisme!
Simaklah, betapa paradoks dan absurdnya logika penganut pluralisme ini! Di dalam buku ini, dikatakan: “Semua jalan-jalan itu menuju kepada puncak yang sama. Ibarat ribuan bahkan jutaan aliran air sungai dan anak sungai semuanya mengalir dan sedang meluncur ke samudera yang sama.” (hal. 379).
Logikanya, jika ia mengakui kebenaran semua agama, aliran, atau paham, seharusnya dia juga mengakui kebenaran paham para penganut agama yang meyakini kebenaran agamanya sendiri (bersikap eksklusif). Tetapi, anehnya, kita banyak menjumpai berbagai kecaman terhadap orang-orang yang tidak sejalan dengan pemikiran pluralisme. Dikutip, misalnya, pendapat Paul F. Knitter, bahwa kita tidak dapat mengatakan agama yang satu lebih baik dari yang lain. Semua agama adalah relatif, terbatas, parsial, tidak lengkap, satu cara melihat sesuatu. Saat ini, menganggap bahwa satu agama pada dirinya lebih baik dari agama lain adalah sebuah pandangan keliru, ofensif, dan berpandangan sempit. (hal. 379-380).
Kita balik bertanya, jika orang hanya mengakui paham Pluralisme saja yang benar, dan menyerang paham yang berbeda dengannya, bukankah orang itu juga berpandangan sempit? Seorang “pluralis sejati”, seharusnya bersikap permisif terhadap semua paham dan agama, karena semuanya dianggap benar! Terbuktilah, logika kaum pluralis ini memang mau menang sendiri dan asal-asalan: merasa benar sendiri dengan pendapatnya, tetapi
Oleh: Dr. Adian Husaini
Dalam beberapa hari belakangan, ada sejumlah SMS yang masuk ke HP saya. Isinya, meminta saya mengkaji sebuah buku berjudul Satu Tuhan Banyak Agama, Pandangan Sufistik Ibn ‘Arabi, Rumi dan al-Jili, (Mizan, 2011). Rabu (19/10/2011), saya baru sempat mencari buku ini di sebuah toko buku. Setelah membaca dengan seksama, saya segera berusaha memberikan sejumlah ulasan berikut ini.
Dari segi penampilan luar, buku karya Dr. Media Zainul Bahri (dosen Fakultas Ushuluddin dan Filsafat UIN Jakarta) tampak berwibawa, dengan tebal 500 halaman lebih. Ada pengantar dari Rektor UIN Jakarta, Prof. Komaruddin Hidayat dan juga pujian dari Prof. Kautsar Azhari Noer, guru besar Perbandingan Agama, UIN Jakarta. Dengan tampilan semacam itu, wajar jika orang menyangka bahwa buku ini berbobot ilmiah yang tinggi. Apalagi, ini juga disertasi doktor di UIN Jakarta.
Tentu, usaha penulis buku ini dalam mengkaji pemikiran-pemikiran tiga tokoh sufi tersebut perlu diberikan apresiasi. Harapannya, ke depan, makin terbuka kajian-kajian semacam ini yang lebih serius dan lebih Islami. Akan tetapi, sebagai karya terbuka, tentu buku ini wajib dikaji secara kritis. Berikut ini catatan kritis untuk buku ini:
Pertama, buku ini mengambil konsep Pluralisme, Perenialisme dan Kesatuan Transendensi Agama-agama/KTAA (Transcendent Unity of Religions) sebagai dasar analisis. Pemikiran tiga tokoh sufi dianalisis dari konsep ini. Tidak ada catatan kritis apa pun terhadap konsep KTAA tersebut. Penulis buku ini sudah meyakini kebenaran konsep tersebut dan kemudian berusaha mencari legitimasi pada karya-karya klasik dan kontemporer dari para ulama dan sarjana Muslim klasik dan kontemporer.
Padahal, jika ditelaah sepintas saja, kita akan menjumpai berbagai paradoks dan kerancuan dalam pemikiran-pemikiran yang disajikan. Sebagai contoh, tertulis: “Dalam diskursus pluralisme agama, penjelasan tentang transendensi Ilahi ini dan bahwa setiap agama lahir dan terikat pada konteks tertentu menjadi argumen bahwa tidak ada agama yang lebih tinggi/sempurna atas yang lain. Semua bentuk-bentuk agama adalah sederajat, karena semuanya sedang mewadahi ke-Mahabenaran dan ke-Mahamutlakan Tuhan.” (hal. 21).
Itulah salah satu keganjilan pemikiran pluralisme agama. Mereka menolak “klaim kebenaran” dari masing-masing pemeluk agama, tetapi pada saat yang sama mereka justru menolak keberagaman. Mereka memaksa semua pemeluk agama melepaskan klaim kebenarannya masing-masing lalu dipaksa berpindah menuju satu keyakinan, bahwa “semuanya benar”, sebagaimana paham kaum pluralis tersebut. Bukankah ini satu sikap yang paradoks dan justru anti-pluralisme!
Simaklah, betapa paradoks dan absurdnya logika penganut pluralisme ini! Di dalam buku ini, dikatakan: “Semua jalan-jalan itu menuju kepada puncak yang sama. Ibarat ribuan bahkan jutaan aliran air sungai dan anak sungai semuanya mengalir dan sedang meluncur ke samudera yang sama.” (hal. 379).
Logikanya, jika ia mengakui kebenaran semua agama, aliran, atau paham, seharusnya dia juga mengakui kebenaran paham para penganut agama yang meyakini kebenaran agamanya sendiri (bersikap eksklusif). Tetapi, anehnya, kita banyak menjumpai berbagai kecaman terhadap orang-orang yang tidak sejalan dengan pemikiran pluralisme. Dikutip, misalnya, pendapat Paul F. Knitter, bahwa kita tidak dapat mengatakan agama yang satu lebih baik dari yang lain. Semua agama adalah relatif, terbatas, parsial, tidak lengkap, satu cara melihat sesuatu. Saat ini, menganggap bahwa satu agama pada dirinya lebih baik dari agama lain adalah sebuah pandangan keliru, ofensif, dan berpandangan sempit. (hal. 379-380).
Kita balik bertanya, jika orang hanya mengakui paham Pluralisme saja yang benar, dan menyerang paham yang berbeda dengannya, bukankah orang itu juga berpandangan sempit? Seorang “pluralis sejati”, seharusnya bersikap permisif terhadap semua paham dan agama, karena semuanya dianggap benar! Terbuktilah, logika kaum pluralis ini memang mau menang sendiri dan asal-asalan: merasa benar sendiri dengan pendapatnya, tetapi
menyalahkan umat beragama yang meyakini kebenaran agamanya sendiri!
Kedua, dalam buku ini tidak didefinisikan apa yang disebut “agama” dan apa batasannya? Misalnya, ditulis: “Dengan kata lain, semua agama adalah sama, dalam arti sama-sama mengandung kebenaran yang terbatas. Tidak ada yang lebih baik atau lebih sempurna antara satu dengan yang lain. Tuhan Yang Mahabenar secara mutlak – meminjam ungkapan Schuon – tidak mungkin kebenaran-Nya secara sempurna dikandung hanya oleh satu agama atau berapa agama, bahkan jutaan agama sekali pun.” (hal. 380).
Mari kita uji logika Doktor lulusan UIN Jakarta ini. Ia tentu paham bahwa jumlah agama di dunia ini adalah ribuan. Ambillah satu contoh agama bernama Bhairawatantra yang hidup di Indonesia sebelum kedatangan Islam. Bhairawatantra memiliki ajaran, bahwa manusia hendaknya jangan menahan hawa nafsu, bahkan sebaiknya manusia itu memperturutkan hawa nafsu. Sebab bila manusia terpuaskan nafsunya, maka jiwanya akan menjadi merdeka. (Dr. Prijohutomo. Sedjarah Kebudajaan Indonesia I: Bangsa Hindu. (J.B. Wolter, Jakarta-Groningen, 1953). Hal. 89). Salah satu bentuk ritual yang paling esoterik, adalah pemujaan yang memerlukan persembahan berupa manusia. Ritualnya meliputi persembahan berupa meminum darah manusia dan memakan dagingnya. (Paul Michel Munoz. Kerajaan-kerajaan Awal Kepulauan Indonesia dan Semenanjung Malaysia. Terjemahan. (Mitra Abadi, Yogyakarta, 2006). Hal. 253 dan 448). (Lihat lebih jauh tentang aliran ini di Jurnal Islamia-Republika, Kamis 20 Oktober 2011).
Apakah agama Bhairawatantra yang mengajarkan ritual seks bebas dan penyembelihan manusia ini sama derajatnya dengan agama Islam? Di era modern ini, masih banyak dijumpai agama yang mengajarkan agar pemimpin dan jemaatnya semuanya bertelanjang bulat saat melakukan ritual. Ada juga agama pemuja setan. Maka, bisa juga ditanyakan, saat menulis bukunya ini, si dosen Ushuluddin UIN Jakarta tersebut sedang memeluk dan meyakini agama apa? Sulit dibayangkan, jika logika si dosen ini suatu ketika dipungut oleh para pelacur, sehingga mereka berlogika, bahwa praktik prostitusi adalah satu bentuk ritual suci kepada Tuhan!
Ketiga, sebagaimana kebiasaan kaum yang mengaku pluralis agama, penulis buku ini juga mengutip sejumlah ayat dari Kitab suatu agama menuruti pemahamannya sendiri, yang berbeda dengan pemahaman para pemeluk agama tersebut. Sebagai contoh, ia menulis: “Di antara agama-agama dunia, Hinduisme dan Bahaisme adalah dua agama yang secara eksplisit mengapresiasi pluralisme agama, dalam arti mengakui jalan-jalan keselamatan pada agama-agama lain, Bhagawatgita, salah satu kitab suci Hindu, memuat dua sloka popular yang selalu menjadi rujukan bagi pluralisme. Sloka itu berbunyi:
“Jalan mana pun ditempuh manusia
ke arah-Ku, semuanya Kuterima.
Wahai Arjuna, manusia mengikuti jalan-Ku
pada semua jalan.” (hal. 381).
Benarkah agama Hindu kondisinya seperti itu? Ternyata, ungkapan itu hanya khayalan penulis saja! Tahun 2006, terbit sebuah buku berjudul Semua Agama Tidak Sama. Editor buku ini, Ngakan Made Madrasuta menulis kata pengantarnya dengan judul “Mengapa Takut Perbedaan?” Ngakan mengkritik pandangan yang menyamakan semua agama, termasuk yang dipromosikan oleh sebagian kaum Pluralis yang suka mengutip Bagawadgita IV:11: “Jalan mana pun yang ditempuh manusia ke arah-Ku, semuanya Aku terima.”
Padahal, jelas Ngakan: “Yang disebut “Jalan” dalam Gita adalah empat yoga yaitu Karma Yoga, Jnana Yoga, Bhakti Yoga, dan Raja Yoga. Semua yoga ini ada dalam agama Hindu, dan tidak ada dalam agama lain. Agama Hindu menyediakan banyak jalan, bukan hanya satu – bagi pemeluknya, sesuai dengan kemampuan dan kecenderungannya.” (Lihat, Ngakan Made Madrasuta (ed), Semua Agama Tidak Sama, (Media Hindu, 2006) hal. xxx.)
Bahkan, majalah MEDIA HINDU, edisi Oktober 2011, menurunkan laporan utama berjudul “Kembali ke Hindu, Bila Indonesia Ingin Berjaya Kembali Seperti Majapahit” dengan menyimpulkan: “Kembali menjadi Hindu adalah mutlak perlu bagi bangsa Indonesia apabila ingin menjadi Negara Adidaya ke depan, karena hanya Hi
Kedua, dalam buku ini tidak didefinisikan apa yang disebut “agama” dan apa batasannya? Misalnya, ditulis: “Dengan kata lain, semua agama adalah sama, dalam arti sama-sama mengandung kebenaran yang terbatas. Tidak ada yang lebih baik atau lebih sempurna antara satu dengan yang lain. Tuhan Yang Mahabenar secara mutlak – meminjam ungkapan Schuon – tidak mungkin kebenaran-Nya secara sempurna dikandung hanya oleh satu agama atau berapa agama, bahkan jutaan agama sekali pun.” (hal. 380).
Mari kita uji logika Doktor lulusan UIN Jakarta ini. Ia tentu paham bahwa jumlah agama di dunia ini adalah ribuan. Ambillah satu contoh agama bernama Bhairawatantra yang hidup di Indonesia sebelum kedatangan Islam. Bhairawatantra memiliki ajaran, bahwa manusia hendaknya jangan menahan hawa nafsu, bahkan sebaiknya manusia itu memperturutkan hawa nafsu. Sebab bila manusia terpuaskan nafsunya, maka jiwanya akan menjadi merdeka. (Dr. Prijohutomo. Sedjarah Kebudajaan Indonesia I: Bangsa Hindu. (J.B. Wolter, Jakarta-Groningen, 1953). Hal. 89). Salah satu bentuk ritual yang paling esoterik, adalah pemujaan yang memerlukan persembahan berupa manusia. Ritualnya meliputi persembahan berupa meminum darah manusia dan memakan dagingnya. (Paul Michel Munoz. Kerajaan-kerajaan Awal Kepulauan Indonesia dan Semenanjung Malaysia. Terjemahan. (Mitra Abadi, Yogyakarta, 2006). Hal. 253 dan 448). (Lihat lebih jauh tentang aliran ini di Jurnal Islamia-Republika, Kamis 20 Oktober 2011).
Apakah agama Bhairawatantra yang mengajarkan ritual seks bebas dan penyembelihan manusia ini sama derajatnya dengan agama Islam? Di era modern ini, masih banyak dijumpai agama yang mengajarkan agar pemimpin dan jemaatnya semuanya bertelanjang bulat saat melakukan ritual. Ada juga agama pemuja setan. Maka, bisa juga ditanyakan, saat menulis bukunya ini, si dosen Ushuluddin UIN Jakarta tersebut sedang memeluk dan meyakini agama apa? Sulit dibayangkan, jika logika si dosen ini suatu ketika dipungut oleh para pelacur, sehingga mereka berlogika, bahwa praktik prostitusi adalah satu bentuk ritual suci kepada Tuhan!
Ketiga, sebagaimana kebiasaan kaum yang mengaku pluralis agama, penulis buku ini juga mengutip sejumlah ayat dari Kitab suatu agama menuruti pemahamannya sendiri, yang berbeda dengan pemahaman para pemeluk agama tersebut. Sebagai contoh, ia menulis: “Di antara agama-agama dunia, Hinduisme dan Bahaisme adalah dua agama yang secara eksplisit mengapresiasi pluralisme agama, dalam arti mengakui jalan-jalan keselamatan pada agama-agama lain, Bhagawatgita, salah satu kitab suci Hindu, memuat dua sloka popular yang selalu menjadi rujukan bagi pluralisme. Sloka itu berbunyi:
“Jalan mana pun ditempuh manusia
ke arah-Ku, semuanya Kuterima.
Wahai Arjuna, manusia mengikuti jalan-Ku
pada semua jalan.” (hal. 381).
Benarkah agama Hindu kondisinya seperti itu? Ternyata, ungkapan itu hanya khayalan penulis saja! Tahun 2006, terbit sebuah buku berjudul Semua Agama Tidak Sama. Editor buku ini, Ngakan Made Madrasuta menulis kata pengantarnya dengan judul “Mengapa Takut Perbedaan?” Ngakan mengkritik pandangan yang menyamakan semua agama, termasuk yang dipromosikan oleh sebagian kaum Pluralis yang suka mengutip Bagawadgita IV:11: “Jalan mana pun yang ditempuh manusia ke arah-Ku, semuanya Aku terima.”
Padahal, jelas Ngakan: “Yang disebut “Jalan” dalam Gita adalah empat yoga yaitu Karma Yoga, Jnana Yoga, Bhakti Yoga, dan Raja Yoga. Semua yoga ini ada dalam agama Hindu, dan tidak ada dalam agama lain. Agama Hindu menyediakan banyak jalan, bukan hanya satu – bagi pemeluknya, sesuai dengan kemampuan dan kecenderungannya.” (Lihat, Ngakan Made Madrasuta (ed), Semua Agama Tidak Sama, (Media Hindu, 2006) hal. xxx.)
Bahkan, majalah MEDIA HINDU, edisi Oktober 2011, menurunkan laporan utama berjudul “Kembali ke Hindu, Bila Indonesia Ingin Berjaya Kembali Seperti Majapahit” dengan menyimpulkan: “Kembali menjadi Hindu adalah mutlak perlu bagi bangsa Indonesia apabila ingin menjadi Negara Adidaya ke depan, karena hanya Hi
ndu satu-satunya agama yang dapat memelihara & mengembangkan Jatidiri bangsa sebagai modal dasar untuk menjadi Negara maju.”
Itulah agama Hindu yang ditulis oleh orang Hindu sendiri!
Sebagaimana sejumlah penganut paham pluralis, dosen Ushuluddin UIN Jakarta ini pun mencoba mencari legitimasi pemikirannya dengan mengutip pendapat Rasyid Ridha dan Muhammad Abduh, yang – katanya – berpendapat, bahwa tidak ada persyaratan bagi orang Yahudi, Nasrani, dan Sabean untuk beriman kepada Nabi Muhammad Saw., karena masing-masing umat memiliki wahyu dan nabi yang khusus, unik dan berbeda satu sama lain. (hal. 382-383).
Jika si penulis buku tersebut mau meneliti dengan sungguh-sungguh dan jujur pendapat Rasyid Ridha dan Muhammad Abduh, tentu dia tidak akan berani menulis semacam itu. Dalam Tafsir al-Manar Jilid IV yang membahas tentang keselamatan Ahlul Kitab, disebutkan, bahwa QS 2:62 dan 5:69 adalah membicarakan keselamatan Ahlul Kitab yang kepada mereka dakwah Nabi (Islam) tidak sampai menurut yang sebenarnya dan kebenaran agama tidak tampak bagi mereka. Karena itu, mereka diperlakukan seperti Ahlul Kitab yang hidup sebelum kedatangan Nabi.
Sedangkan bagi Ahli Kitab yang dakwah Islam sampai kepada mereka (sesuai rincian QS 3:199), Abduh dan Ridha menetapkan lima syarat keselamatan, yaitu: (1) beriman kepada Allah dengan iman yang benar, yakni iman yang tidak bercampur dengan kemusyrikan dan disertai dengan ketundukan yang mendorong untuk melakukan kebaikan, (2) beriman kepada al-Quran yang diwahyukan kepada Nabi Muhammad. Mereka mengatakan bahwa syarat ini disebutkan lebih dahulu daripada tiga syarat yang lainnya, karena al-Quran merupakan landasan untuk berbuat dan menjadi pemberi koreksi serta kata putus ketika terjadi perbedaan. Hal ini lantaran kitab itu terjamin keutuhannya, tidak ada yang hilang dan tidak mengalami pengubahan, (3) beriman kepada kitab-kitab yang diwahyukan bagi mereka, (4) rendah hati (khusyu') yang merupakan buah dari iman yang benar dan membantu untuk melakukan perbuatan yang dituntut oleh iman, (5) tidak menjual ayat-ayat Allah dengan apapun dari kesenangan dunia. (Lebih jauh tentang keselamatan Ahli Kitab, kekafiran dan kemusyrikannya, lihat, Dr. Hamim Ilyas, Dan Ahli Kitab Pun Masuk Surga: Pandangan Muslim Modernis Terhadap Keselamatan Non-Muslim, (Yogyakarta: Safiria Insania Press, 2005), hal. 71-99).
Jadi, di sini tampak jelas kekeliruan si penulis. Rasyid Ridha dan Muhammad Abduh sama sekali tidak berpendapat seperti yang ditulis oleh penulis buku ini. Secara ilmiah, cara-cara seperti ini tidak patut dilakukan, apalagi oleh seorang dosen Ushuluddin.
Keempat, penulis buku menyimpulkan bahwa dia telah mematahkan argumentasi dari para sarjana ISTAC, seperti Sani Badron, Syamsuddin Arif dan Anis Malik Thoha. (hal. 2). Sayangnya, penulis tidak mengkaji karya-karya para sarjana tersebut dengan mendalam dan cermat. Penulis hanya mengutip artikel Sani Badron di Majalah Islamia, Vol. 1, no. 3 (2004) yang berjudul “Ibn al-Arabi Tentang Pluralisme Agama.” Padahal, Dr Mohd. Sani bin Badron telah menulis Tesis yang serius berjudul “Ibn al-Arabi’s Conception of Religion.” Tesis Sani bin Badron ini tidak ditemukan dalam daftar referensi buku ini.
Di akhir kesimpulan Tesisnya, Sani bin Badron mengkritik cara berpikir kaum Transendentalis yang memaksakan posisi teologis Ibn Arabi ke dalam pola pikir mereka: “Then only may we see clearly – at least in the case of Ibn al-‘Arabi – how far the Trancendentalists have been right or have been deviated by their own belief.”
Dr. Syamsuddin Arif juga sudah melakukan kajian serius tentang konsep agama-agama Ibn Arabi yang mengkritik cara-cara kaum Transendentalis dalam membaca karya Ibn Arabi. Berikut ini petikan sebuah artikel Dr. Syamsuddin Arif berjudul “Pluralisme” dan Manipulasi Orientalis.” Oleh kaum Pluralis, Ibn Arabi ‘dijadikan bemper’ untuk melegitimasi asumsi para penganut ‘agama perennial’ (religio perennis) bahwa dalam aspek esoteris dan pada dataran transenden, semua agama adalah sama, karena semuanya sama benarnya, sama sumbernya (Tuhan), dan
Itulah agama Hindu yang ditulis oleh orang Hindu sendiri!
Sebagaimana sejumlah penganut paham pluralis, dosen Ushuluddin UIN Jakarta ini pun mencoba mencari legitimasi pemikirannya dengan mengutip pendapat Rasyid Ridha dan Muhammad Abduh, yang – katanya – berpendapat, bahwa tidak ada persyaratan bagi orang Yahudi, Nasrani, dan Sabean untuk beriman kepada Nabi Muhammad Saw., karena masing-masing umat memiliki wahyu dan nabi yang khusus, unik dan berbeda satu sama lain. (hal. 382-383).
Jika si penulis buku tersebut mau meneliti dengan sungguh-sungguh dan jujur pendapat Rasyid Ridha dan Muhammad Abduh, tentu dia tidak akan berani menulis semacam itu. Dalam Tafsir al-Manar Jilid IV yang membahas tentang keselamatan Ahlul Kitab, disebutkan, bahwa QS 2:62 dan 5:69 adalah membicarakan keselamatan Ahlul Kitab yang kepada mereka dakwah Nabi (Islam) tidak sampai menurut yang sebenarnya dan kebenaran agama tidak tampak bagi mereka. Karena itu, mereka diperlakukan seperti Ahlul Kitab yang hidup sebelum kedatangan Nabi.
Sedangkan bagi Ahli Kitab yang dakwah Islam sampai kepada mereka (sesuai rincian QS 3:199), Abduh dan Ridha menetapkan lima syarat keselamatan, yaitu: (1) beriman kepada Allah dengan iman yang benar, yakni iman yang tidak bercampur dengan kemusyrikan dan disertai dengan ketundukan yang mendorong untuk melakukan kebaikan, (2) beriman kepada al-Quran yang diwahyukan kepada Nabi Muhammad. Mereka mengatakan bahwa syarat ini disebutkan lebih dahulu daripada tiga syarat yang lainnya, karena al-Quran merupakan landasan untuk berbuat dan menjadi pemberi koreksi serta kata putus ketika terjadi perbedaan. Hal ini lantaran kitab itu terjamin keutuhannya, tidak ada yang hilang dan tidak mengalami pengubahan, (3) beriman kepada kitab-kitab yang diwahyukan bagi mereka, (4) rendah hati (khusyu') yang merupakan buah dari iman yang benar dan membantu untuk melakukan perbuatan yang dituntut oleh iman, (5) tidak menjual ayat-ayat Allah dengan apapun dari kesenangan dunia. (Lebih jauh tentang keselamatan Ahli Kitab, kekafiran dan kemusyrikannya, lihat, Dr. Hamim Ilyas, Dan Ahli Kitab Pun Masuk Surga: Pandangan Muslim Modernis Terhadap Keselamatan Non-Muslim, (Yogyakarta: Safiria Insania Press, 2005), hal. 71-99).
Jadi, di sini tampak jelas kekeliruan si penulis. Rasyid Ridha dan Muhammad Abduh sama sekali tidak berpendapat seperti yang ditulis oleh penulis buku ini. Secara ilmiah, cara-cara seperti ini tidak patut dilakukan, apalagi oleh seorang dosen Ushuluddin.
Keempat, penulis buku menyimpulkan bahwa dia telah mematahkan argumentasi dari para sarjana ISTAC, seperti Sani Badron, Syamsuddin Arif dan Anis Malik Thoha. (hal. 2). Sayangnya, penulis tidak mengkaji karya-karya para sarjana tersebut dengan mendalam dan cermat. Penulis hanya mengutip artikel Sani Badron di Majalah Islamia, Vol. 1, no. 3 (2004) yang berjudul “Ibn al-Arabi Tentang Pluralisme Agama.” Padahal, Dr Mohd. Sani bin Badron telah menulis Tesis yang serius berjudul “Ibn al-Arabi’s Conception of Religion.” Tesis Sani bin Badron ini tidak ditemukan dalam daftar referensi buku ini.
Di akhir kesimpulan Tesisnya, Sani bin Badron mengkritik cara berpikir kaum Transendentalis yang memaksakan posisi teologis Ibn Arabi ke dalam pola pikir mereka: “Then only may we see clearly – at least in the case of Ibn al-‘Arabi – how far the Trancendentalists have been right or have been deviated by their own belief.”
Dr. Syamsuddin Arif juga sudah melakukan kajian serius tentang konsep agama-agama Ibn Arabi yang mengkritik cara-cara kaum Transendentalis dalam membaca karya Ibn Arabi. Berikut ini petikan sebuah artikel Dr. Syamsuddin Arif berjudul “Pluralisme” dan Manipulasi Orientalis.” Oleh kaum Pluralis, Ibn Arabi ‘dijadikan bemper’ untuk melegitimasi asumsi para penganut ‘agama perennial’ (religio perennis) bahwa dalam aspek esoteris dan pada dataran transenden, semua agama adalah sama, karena semuanya sama benarnya, sama sumbernya (Tuhan), dan
sama misinya (pesan moral, perdamaian, dsb). Pemahaman semacam ini dipopulerkan oleh F. Schuon, S.H. Nasr, W.C. Chittick dalam tulisan-tulisan mereka yang kini tampak mendapat banyak pengikut di Indonesia.
Untuk mendukung klaimnya, biasanya ‘kalangan’ ini mengutip tiga bait puisi Ibn Arabi dalam karya kontroversialnya, Tarjuman al-Asywaq, yang berbunyi: “Hatiku telah mampu menerima aneka bentuk dan rupa; ia merupakan padang rumput bagi menjangan, biara bagi para rahib, kuil anjungan berhala, ka‘bah tempat orang bertawaf, batu tulis Taurat, dan mushaf bagi al-Qur’an. Agamaku adalah agama cinta, yang senantiasa kuikuti kemana pun langkahnya; demikianlah agama dan keimananku.”
Seolah membenarkan asumsinya sendiri (self-fulfilling prophecy), SH Nasr menyimpulkan bahwa di sinilah Ibnu Arabi “came to realize that the divinely revealed paths lead to the same summit” (Lihat: Three Muslim Sages [Delmar, New York: Caravan Books, 1964], hlm.118).
Sebenarnya, Ibnu Arabi telah menjelaskan maksud semua ungkapannya dalam syarah yang ditulisnya sendiri, yaitu Dzakha’ir al-A‘laq syarh Tarjuman al-Asywaq (ed. Dr. M.‘Alamuddin asy-Syaqiri, Cairo: Ein for Human and Social Studies, 1995, hlm.245-6).
Di situ dinyatakan bahwa yang ia maksudkan dengan ‘agama cinta’ adalah agama Nabi Muhammad saw., merujuk kepada firman Allah dalam al-Quran 3 (Ali Imran):31, “Katakanlah [hai Muhammad!], kalau kalian betul-betul mencintai Allah, maka ikutilah aku! --niscaya Allah akan mencintai kalian.”
Dalam kitab Futuhat-nya (bab 178, fi Maqam al-Mahabbah), Ibn Arabi menyatakan bahwa cinta kepada Tuhan harus dibuktikan dengan mengikuti syari‘at dan sunnah Rasul-Nya saw (al-ittiba‘ li-rasulihi saw fima syara‘a). Jadi, ‘agama cinta’ yang dimaksud Ibn Arabi adalah Islam, yaitu agama syari‘at dan sunnah Nabi Muhammad saw, dan bukan ‘la religion du coeur’ versi Schuon dan para pengikutnya itu.
Menurut Ibn Arabi, semua agama dan kitab suci terdahulu harus diakui kebenarannya dalam konteks sejarah masing-masing -- yakni sebelum diutusnya Nabi Muhammad saw. muncul. Dan ini merupakan bagian dari rukun iman. Validitas itu tidak berlanjut setelah kedatangan Rasulullah saw. “Nabi Isa pun, seandainya sekarang ini turun, niscaya tidak akan mengimami kita, kecuali dengan mengikut sunnah kita [Ummat Muhammad], dan tidak akan memutuskan suatu perkara kecuali dengan syari‘at kita.” (Wa hadza ‘Isa idza nazala ma ya’ummuna illa minna, ay bi sunnatina, wa la yahkumu fina illa bi syar‘ina),” tegas Ibn Arabi (Lihat: Futuhat, bab 36).
Sikap Ibn Arabi tentang konsep mukmin-kafir juga jelas. Orang Yahudi atau Nasrani yang masuk Islam tidak dikatakan murtad, karena ajaran murni agama mereka memang mengharuskan beriman mengikuti ajaran Nabi Muhammad saw. (Futuhat, bab 495, fi Ma‘rifati hal quthb kana manziluhu “wa man yartadid minkum ‘an dinihi fayamut wa huwa kafir”).
Demikian hasil kajian Dr. Syamsuddin Arif tentang konsep agama Ibn Arabi yang berbeda dengan cara pandang penulis buku ini, yang sudah beriman secara bulat-bulat kepada teori Transendentalisme Fritjoph Schuon. Pembaca bisa membandingkan hasil kajian Sani bin Badron dan Dr Syamsuddin Arif dengan kajian penulis disertasi ini.
Kelima, kesalahan fatal penulis buku ini adalah menjiplak mentah-mentah dan mengimani tanpa kritis sosok dan pemikiran KTAA, yaitu Fritjoph Schuon. Padahal, banyak sekali kritik terhadap pemikiran Schuon dan praktik ritual tarekat Maryamiyya yang dibentuknya. Salah satu kritik tajam disampaikan oleh Mark Sedwigk melalui bukunya Againts the Modern World. Sedwigk memaparkan beberapa penyimpangan yang dilakukan oleh Schuon maupun tarekat Maryammiyah. (Mark Sedgwick, Against the Modern World ; Traditionalism and the Secret Intellectual History of Twentieth Century, Oxford University Press, 2004).
Mark Sedgwick menulis, bahwa Schuon sangat permisif dalam soal pelaksanaan syariat Islam. “He believed that esoteric practice was what really mattered and that its esoteric framework was less important.” (Ibid, hal. 124). Schuon memiliki hobi melukis. Ia juga tak segan-segan membuat luki
Untuk mendukung klaimnya, biasanya ‘kalangan’ ini mengutip tiga bait puisi Ibn Arabi dalam karya kontroversialnya, Tarjuman al-Asywaq, yang berbunyi: “Hatiku telah mampu menerima aneka bentuk dan rupa; ia merupakan padang rumput bagi menjangan, biara bagi para rahib, kuil anjungan berhala, ka‘bah tempat orang bertawaf, batu tulis Taurat, dan mushaf bagi al-Qur’an. Agamaku adalah agama cinta, yang senantiasa kuikuti kemana pun langkahnya; demikianlah agama dan keimananku.”
Seolah membenarkan asumsinya sendiri (self-fulfilling prophecy), SH Nasr menyimpulkan bahwa di sinilah Ibnu Arabi “came to realize that the divinely revealed paths lead to the same summit” (Lihat: Three Muslim Sages [Delmar, New York: Caravan Books, 1964], hlm.118).
Sebenarnya, Ibnu Arabi telah menjelaskan maksud semua ungkapannya dalam syarah yang ditulisnya sendiri, yaitu Dzakha’ir al-A‘laq syarh Tarjuman al-Asywaq (ed. Dr. M.‘Alamuddin asy-Syaqiri, Cairo: Ein for Human and Social Studies, 1995, hlm.245-6).
Di situ dinyatakan bahwa yang ia maksudkan dengan ‘agama cinta’ adalah agama Nabi Muhammad saw., merujuk kepada firman Allah dalam al-Quran 3 (Ali Imran):31, “Katakanlah [hai Muhammad!], kalau kalian betul-betul mencintai Allah, maka ikutilah aku! --niscaya Allah akan mencintai kalian.”
Dalam kitab Futuhat-nya (bab 178, fi Maqam al-Mahabbah), Ibn Arabi menyatakan bahwa cinta kepada Tuhan harus dibuktikan dengan mengikuti syari‘at dan sunnah Rasul-Nya saw (al-ittiba‘ li-rasulihi saw fima syara‘a). Jadi, ‘agama cinta’ yang dimaksud Ibn Arabi adalah Islam, yaitu agama syari‘at dan sunnah Nabi Muhammad saw, dan bukan ‘la religion du coeur’ versi Schuon dan para pengikutnya itu.
Menurut Ibn Arabi, semua agama dan kitab suci terdahulu harus diakui kebenarannya dalam konteks sejarah masing-masing -- yakni sebelum diutusnya Nabi Muhammad saw. muncul. Dan ini merupakan bagian dari rukun iman. Validitas itu tidak berlanjut setelah kedatangan Rasulullah saw. “Nabi Isa pun, seandainya sekarang ini turun, niscaya tidak akan mengimami kita, kecuali dengan mengikut sunnah kita [Ummat Muhammad], dan tidak akan memutuskan suatu perkara kecuali dengan syari‘at kita.” (Wa hadza ‘Isa idza nazala ma ya’ummuna illa minna, ay bi sunnatina, wa la yahkumu fina illa bi syar‘ina),” tegas Ibn Arabi (Lihat: Futuhat, bab 36).
Sikap Ibn Arabi tentang konsep mukmin-kafir juga jelas. Orang Yahudi atau Nasrani yang masuk Islam tidak dikatakan murtad, karena ajaran murni agama mereka memang mengharuskan beriman mengikuti ajaran Nabi Muhammad saw. (Futuhat, bab 495, fi Ma‘rifati hal quthb kana manziluhu “wa man yartadid minkum ‘an dinihi fayamut wa huwa kafir”).
Demikian hasil kajian Dr. Syamsuddin Arif tentang konsep agama Ibn Arabi yang berbeda dengan cara pandang penulis buku ini, yang sudah beriman secara bulat-bulat kepada teori Transendentalisme Fritjoph Schuon. Pembaca bisa membandingkan hasil kajian Sani bin Badron dan Dr Syamsuddin Arif dengan kajian penulis disertasi ini.
Kelima, kesalahan fatal penulis buku ini adalah menjiplak mentah-mentah dan mengimani tanpa kritis sosok dan pemikiran KTAA, yaitu Fritjoph Schuon. Padahal, banyak sekali kritik terhadap pemikiran Schuon dan praktik ritual tarekat Maryamiyya yang dibentuknya. Salah satu kritik tajam disampaikan oleh Mark Sedwigk melalui bukunya Againts the Modern World. Sedwigk memaparkan beberapa penyimpangan yang dilakukan oleh Schuon maupun tarekat Maryammiyah. (Mark Sedgwick, Against the Modern World ; Traditionalism and the Secret Intellectual History of Twentieth Century, Oxford University Press, 2004).
Mark Sedgwick menulis, bahwa Schuon sangat permisif dalam soal pelaksanaan syariat Islam. “He believed that esoteric practice was what really mattered and that its esoteric framework was less important.” (Ibid, hal. 124). Schuon memiliki hobi melukis. Ia juga tak segan-segan membuat luki
bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah, dan saya bersaksi bahwa Muhammad adalah utusan Allah. Jadi, Tuhan saya jelas,yaitu Allah! Bukan asal Tuhan, atau Tuhan asal--asalan. Itu karena posisi saya sudah jelas, yaitu saya Muslim, saya sudah memilih Islam. Saya bukan Kristen, saya bukan Yahudi, saya bukan Hindu, atau penganut paham kebenaran semua agama. Itu keyakinan saya, dan saya sangat menghormati keyakinan yang berbeda dengan saya, meskipun saya tidak membenarkannya. Saya tidak boleh memaksa orang lain mengikuti pendapat saya. Itulah makna toleransi dan mutual understanding.
Jadi, sejatinya, teori Kesatuan Transendensi Agama-agama (KTAA) adalah teori yang absurd (senseless). KTAA bukannya memperkuat basis ushuluddin (dasar-dasar agama) seorang Muslim, tetapi justru mengajak Muslim untuk menjadi “uculuddin” (bahasa Jawa: lepas agamanya). Padahal, penulis buku ini adalah dosen di Fakultas Ushuluddin, bukan Fakultas “Uculuddin”! Wallahu a’lam.
(Depok, 20 Oktober 2011).
Jadi, sejatinya, teori Kesatuan Transendensi Agama-agama (KTAA) adalah teori yang absurd (senseless). KTAA bukannya memperkuat basis ushuluddin (dasar-dasar agama) seorang Muslim, tetapi justru mengajak Muslim untuk menjadi “uculuddin” (bahasa Jawa: lepas agamanya). Padahal, penulis buku ini adalah dosen di Fakultas Ushuluddin, bukan Fakultas “Uculuddin”! Wallahu a’lam.
(Depok, 20 Oktober 2011).
san telanjang, sebagai simbol esoterisme. (Ibid, hal. 148). Setelah mengaku “bertemu” dengan Bunda Maria (Virgin Mary), Schuon juga membuat lukisan yang terkadang menggambarkan Bunda Maria dalam keadaan telanjang bulat atau telanjang sebagian yang mempertontonkan payudaranya. Katanya, itu sebagai simbol untuk mengungkapkan kebenaran dan membebaskan kasih sayang. (to the unveiling of truth in the sense of gnosis and to liberating mercy.” (Ibid, hal 151). Tahun 1965, Schuon menikah lagi. Uniknya, kali ini ia menikahi salah satu muridnya sendiri, tanpa perlu bercerai dengan suaminya terdahulu. Perkawinan ini dijuluki sebagai “perkawinan vertikal” atau “perkawinan spiritual”. (Ibid, hal. 152-153).
Penutup.
Sebenarnya, teori KTAA, bahwa semua agama menuju Tuhan yang sama, atau ibaratnya, semua sungai akan mengalir ke Laut yang sama, adalah sebuah teori fabrikasi dan khayalan belaka. Faktanya, tidak semua sungai mengalir ke laut. Ada sungai yang kering duluan. Faktanya juga, tidak semua sungai airnya jernih. Ada sungai yang airnya keruh, bahkan ada yang busuk dan beracun.
Faktanya, saat ini, ada agama yang mengajarkan bahwa zina adalah perbuatan bejat, tetapi ada juga agama yang mengajarkan praktik seks bebas! Ada agama yang mengharamkan babi. Tetapi ada juga yang menghalalkannya. Ada agama yang mewajibkan khitan. Tapi ada juga yang melarang khitan! Ada agama yang melarang kawin sejenis (homo/lesbi). Ada juga agama yang membolehkan kawin sejenis. Orang yang sehat akalnya pasti menyatakan, tidak mungkin semua ajaran itu sama-sama benar dan berasal dari Tuhan yang sama!
Adalah sebuah khayalan belaka, bahwa agama-agama akan bertemu pada level esoterik/transenden. Ingatlah, bahwa Iblis pernah berdialog dengan Allah di level itu. Faktanya, dia tetap iblis dan kafir. Jadi, di level transenden pun ada Iblis yang kafir.
Teori KTAA juga menafikan bahwa Tuhan Yang Satu itu sudah mengenalkan diri-Nya melalui wahyu yang disampaikan kepada Nabi Terakhir, yakni Muhammad saw. Nama-Nya pun sudah disebutkan. Jadi, manusia tidak perlu mengarang nama Tuhan Yang Satu itu. Kalau ada orang menyebut Tuhan Yang Satu itu dengan nama “Setan Gundul” – menurut seorang Muslim – nama itu harus ditolak. Tapi, menurut penganut KTAA, nama apa pun untuk Tuhan, sah-sah saja! Kata mereka, yang penting Tuhan.
Lalu, juga sebuah khayalan dari pengikut paham KTAA, bahwa aspek esoterik (batin) lebih penting dari aspek eksoterik (aspek syariah). Seorang Muslim -- yang telah bersaksi bahwa tidak ada Tuhan selain Allah dan bahwa Muhammad adalah Rasul Allah – pasti meyakini bahwa salah satu tugas penting dari Nabi Muhammad saw adalah mengajarkan bagaimana cara menyembah Tuhan Yang Satu itu! Itu aspek syariat. Tanpa panduan dan contoh dari Nabi, manusia pasti akan menyembah Tuhan sesuai dengan imajinasi dan kreativitasnya masing-masing! Jika semuanya dikatakan sah dan benar, lalu untuk apa Nabi Muhammad saw diutus?
Yang bisa dinilai dari suatu agama adalah justru aspek eksoterisnya. Sedangkan aspek esoterik adalah sesuatu yang abstrak, yang dalam pandangan Islam tidak dapat dipisahkan dari aspek syariat. Jika konsep eksoteris direlatifkan dan dibebaskan dalam bentuk apa pun, itu sama saja dengan merusak agama itu sendiri.
Jika kita renungkan, yang logis bukan konsep “Satu Tuhan, Banyak Agama”, tetapi yang benar adalah “Satu Tuhan, Satu Agama!” Sebagai Muslim, sesuai penjelasan ayat-ayat al-Quran, misalnya QS 16:36, 3:19, 85, saya memahami, bahwa Tuhan itu SATU, dan Tuhan yang SATU itu hanya menurunkan SATU agama kepada para Nabi-Nya, yaitu agama Tauhid. Selama tidak mengajarkan TAUHID – yakni mengakui dan tunduk kepada Allah, sebagai SATU-SATU-nya Tuhan – maka jelas itu bukan agama dari Allah, dan bukan agamanya para Nabi; bukan pula agama wahyu (revealed religion), melainkan agama budaya (cultural religion). Agama Tauhid menuhankan Allah, sebagai satu-satunya Tuhan; bukan menuhankan Iblis.
Dan untuk mengenal Allah – bukan Genderuwo atau Setan Gundhul – mutlak perlu beriman kepada kenabian Muhammad saw. Karena itulah, saya membaca syahadat: Saya
Penutup.
Sebenarnya, teori KTAA, bahwa semua agama menuju Tuhan yang sama, atau ibaratnya, semua sungai akan mengalir ke Laut yang sama, adalah sebuah teori fabrikasi dan khayalan belaka. Faktanya, tidak semua sungai mengalir ke laut. Ada sungai yang kering duluan. Faktanya juga, tidak semua sungai airnya jernih. Ada sungai yang airnya keruh, bahkan ada yang busuk dan beracun.
Faktanya, saat ini, ada agama yang mengajarkan bahwa zina adalah perbuatan bejat, tetapi ada juga agama yang mengajarkan praktik seks bebas! Ada agama yang mengharamkan babi. Tetapi ada juga yang menghalalkannya. Ada agama yang mewajibkan khitan. Tapi ada juga yang melarang khitan! Ada agama yang melarang kawin sejenis (homo/lesbi). Ada juga agama yang membolehkan kawin sejenis. Orang yang sehat akalnya pasti menyatakan, tidak mungkin semua ajaran itu sama-sama benar dan berasal dari Tuhan yang sama!
Adalah sebuah khayalan belaka, bahwa agama-agama akan bertemu pada level esoterik/transenden. Ingatlah, bahwa Iblis pernah berdialog dengan Allah di level itu. Faktanya, dia tetap iblis dan kafir. Jadi, di level transenden pun ada Iblis yang kafir.
Teori KTAA juga menafikan bahwa Tuhan Yang Satu itu sudah mengenalkan diri-Nya melalui wahyu yang disampaikan kepada Nabi Terakhir, yakni Muhammad saw. Nama-Nya pun sudah disebutkan. Jadi, manusia tidak perlu mengarang nama Tuhan Yang Satu itu. Kalau ada orang menyebut Tuhan Yang Satu itu dengan nama “Setan Gundul” – menurut seorang Muslim – nama itu harus ditolak. Tapi, menurut penganut KTAA, nama apa pun untuk Tuhan, sah-sah saja! Kata mereka, yang penting Tuhan.
Lalu, juga sebuah khayalan dari pengikut paham KTAA, bahwa aspek esoterik (batin) lebih penting dari aspek eksoterik (aspek syariah). Seorang Muslim -- yang telah bersaksi bahwa tidak ada Tuhan selain Allah dan bahwa Muhammad adalah Rasul Allah – pasti meyakini bahwa salah satu tugas penting dari Nabi Muhammad saw adalah mengajarkan bagaimana cara menyembah Tuhan Yang Satu itu! Itu aspek syariat. Tanpa panduan dan contoh dari Nabi, manusia pasti akan menyembah Tuhan sesuai dengan imajinasi dan kreativitasnya masing-masing! Jika semuanya dikatakan sah dan benar, lalu untuk apa Nabi Muhammad saw diutus?
Yang bisa dinilai dari suatu agama adalah justru aspek eksoterisnya. Sedangkan aspek esoterik adalah sesuatu yang abstrak, yang dalam pandangan Islam tidak dapat dipisahkan dari aspek syariat. Jika konsep eksoteris direlatifkan dan dibebaskan dalam bentuk apa pun, itu sama saja dengan merusak agama itu sendiri.
Jika kita renungkan, yang logis bukan konsep “Satu Tuhan, Banyak Agama”, tetapi yang benar adalah “Satu Tuhan, Satu Agama!” Sebagai Muslim, sesuai penjelasan ayat-ayat al-Quran, misalnya QS 16:36, 3:19, 85, saya memahami, bahwa Tuhan itu SATU, dan Tuhan yang SATU itu hanya menurunkan SATU agama kepada para Nabi-Nya, yaitu agama Tauhid. Selama tidak mengajarkan TAUHID – yakni mengakui dan tunduk kepada Allah, sebagai SATU-SATU-nya Tuhan – maka jelas itu bukan agama dari Allah, dan bukan agamanya para Nabi; bukan pula agama wahyu (revealed religion), melainkan agama budaya (cultural religion). Agama Tauhid menuhankan Allah, sebagai satu-satunya Tuhan; bukan menuhankan Iblis.
Dan untuk mengenal Allah – bukan Genderuwo atau Setan Gundhul – mutlak perlu beriman kepada kenabian Muhammad saw. Karena itulah, saya membaca syahadat: Saya
Equality (Persamaan)
Oleh: Dr. Hamid Fahmy Zarkasyi
Nancy, sebut saja begitu, tiba-tiba minta cerai dari James, suaminya seorang profesional. Padahal ia sudah 10 tahun menikah. Sebagai ibu rumah tangga dengan 2 orang anak Nancy begitu menikmati kehidupannya. Penghasilan suami, sekolah anak-anak, dan kehidupan rumah tangganya tergolong sejahtera.
Tapi, Nancy ternyata telah “kerasukan” paham kesetaraan gender. Ia menjadi tidak nyaman berkeluarga. Mengurus rumah tangga tiba-tiba serasa seperti pembantu atau budak.
Di kepalanya serasa ada yang terus membisikkan tulisan Berger The family now appears as an age-old evil. Heterosexual is rape; motherhood is slavery, all relation between the sexes are struggle of power. (Keluarga sekarang nampak seperti setan tua. Hubungan seks pria wanita adalah perkosaan; peran keibuan adalah perbudakan; semua hubungan antarjenis kelamin adalah perjuangan untuk kekuasaan).
Maka, sukses suaminya dirasa menambah rasa superioritas dan penguasaan terhadap dirinya. Meski itu tidak secuil pun terbesit dalam pikiran suaminya.
Setelah cerai ia berharap akan bebas dari suami, bisa berkarir sendiri, dan tidak terikat di dalam rumah tangga. Tapi itu hanya harapan. Setelah cerai ternyata karirnya tidak sejaya mantan suaminya. Rumah tangga dan anak-anak masih di urusnya sendiri dan nyaris kehilangan perhatian. Di dunia kerjanya banyak masalah yang tidak mudah dihadapi.
Di dalam benaknya terdetik penyesalan “ternyata sendiri itu tidak nyaman”. Tanpa suami hidupnya terasa pincang. Benarlah wisdom dari Nabi: ”Sungguh miskin! wanita tanpa laki-laki. Sungguh miskin! laki-laki tanpa wanita”. Kalau saja Nancy pernah membaca hadis ini dia tentu akan mengumpat para feminis atau berpikir panjang untuk cerai. Asalkan dia tidak membaca hadis itu dengan hermeneutika.
Mimpi Nancy adalah equality. Itu adalah tuntutan zaman postmo yang sarat kepentingan sesaat dan selalu berubah-rubah. Mimpi Nancy adalah misi postmo, yakni membangun persamaan total.
Jargonnya sayup-sayup seperti berbunyi “persamaan adalah keadilan”. Artinya kerja menyetarakan adalah kebaikan, dan membeda-bedakan adalah kejahatan. Sebab teori menyama-nyamakan adalah bawaan pluralisme dan relativisme. Dua doktrin penting yang berada pada melting pot postmodern.
Tapi penyamaan adalah utopia fatamorganis. Menjanjikan tapi tidak menjamin. Membela tapi untuk menguasai. Sebab para pakar di Barat yang sadar mengkritik misi ini.
Di tahun 1715-1747 Marquis De Vauvenargues sudah wanti-wanti “Alam tidak mengenal kesamaan; hukum, yang berlaku adalah subordinasi dan ketergantungan”. Hampir seabad kemudian James Anthony Fuller, (m. 1894) mengulangi pesan Marquis “Man are made by nature unequal, it is vain, therefore to treat them as if they were equal”.
Fakta sosial juga menunjukkan bahwa in-equality antara sesama laki-laki sekalipun bisa diterima. Apalagi antara laki-laki dan wanita. Fakta biologis menjelaskan strukur tubuh laki-laki dan perempuan berbeda dan membawa perbedaan psikologis. Karena itu Dr. Ratna Megawangi dengan tepat dan cerdas memberi judul bukunya “Membiarkan Berbeda”.
Jika demikian apa berarti tuntutan equality tidak universal? Memang! Sebab kebebasan dan persamaan adalah bagian dari Americas core culture (Fukuyama).
Malahan, kata Ronald Inglehart dan Pippa Norris kesetaraan gender, kebebasan seks, perceraian, aborsi, dan hak-hak gay adalah ciri khas Barat. Maka benturan IslamBarat adalah Sexual clash of Civilization”, tulisnya. Itulah, equality memang tidak universal.
Tapi mengapa kini tiba-tiba menjadi seperti universal? Sebab equality satu paket dengan Westernisasi, modernisasi dan globalisasi. Mulanya (abad 19 hingga awal abad 20) hanya sekedar menuntut kesamaan hak pilih, tapi kemudian (1960an-1980an) persamaan bidang hukum dan budaya. Periode selanjutnya (1990an) adalah evaluasi kegagalan gerakan pertama dan intensifikasi gerakan kedua.
Penyebarannya berbasis teori Foucault “untuk menjajah pemikiran kuasai wacana!”. Caranya, semua bangsa dan bahkan agama didorong untuk bicara gender. Yang menolak berarti ndeso ali
Oleh: Dr. Hamid Fahmy Zarkasyi
Nancy, sebut saja begitu, tiba-tiba minta cerai dari James, suaminya seorang profesional. Padahal ia sudah 10 tahun menikah. Sebagai ibu rumah tangga dengan 2 orang anak Nancy begitu menikmati kehidupannya. Penghasilan suami, sekolah anak-anak, dan kehidupan rumah tangganya tergolong sejahtera.
Tapi, Nancy ternyata telah “kerasukan” paham kesetaraan gender. Ia menjadi tidak nyaman berkeluarga. Mengurus rumah tangga tiba-tiba serasa seperti pembantu atau budak.
Di kepalanya serasa ada yang terus membisikkan tulisan Berger The family now appears as an age-old evil. Heterosexual is rape; motherhood is slavery, all relation between the sexes are struggle of power. (Keluarga sekarang nampak seperti setan tua. Hubungan seks pria wanita adalah perkosaan; peran keibuan adalah perbudakan; semua hubungan antarjenis kelamin adalah perjuangan untuk kekuasaan).
Maka, sukses suaminya dirasa menambah rasa superioritas dan penguasaan terhadap dirinya. Meski itu tidak secuil pun terbesit dalam pikiran suaminya.
Setelah cerai ia berharap akan bebas dari suami, bisa berkarir sendiri, dan tidak terikat di dalam rumah tangga. Tapi itu hanya harapan. Setelah cerai ternyata karirnya tidak sejaya mantan suaminya. Rumah tangga dan anak-anak masih di urusnya sendiri dan nyaris kehilangan perhatian. Di dunia kerjanya banyak masalah yang tidak mudah dihadapi.
Di dalam benaknya terdetik penyesalan “ternyata sendiri itu tidak nyaman”. Tanpa suami hidupnya terasa pincang. Benarlah wisdom dari Nabi: ”Sungguh miskin! wanita tanpa laki-laki. Sungguh miskin! laki-laki tanpa wanita”. Kalau saja Nancy pernah membaca hadis ini dia tentu akan mengumpat para feminis atau berpikir panjang untuk cerai. Asalkan dia tidak membaca hadis itu dengan hermeneutika.
Mimpi Nancy adalah equality. Itu adalah tuntutan zaman postmo yang sarat kepentingan sesaat dan selalu berubah-rubah. Mimpi Nancy adalah misi postmo, yakni membangun persamaan total.
Jargonnya sayup-sayup seperti berbunyi “persamaan adalah keadilan”. Artinya kerja menyetarakan adalah kebaikan, dan membeda-bedakan adalah kejahatan. Sebab teori menyama-nyamakan adalah bawaan pluralisme dan relativisme. Dua doktrin penting yang berada pada melting pot postmodern.
Tapi penyamaan adalah utopia fatamorganis. Menjanjikan tapi tidak menjamin. Membela tapi untuk menguasai. Sebab para pakar di Barat yang sadar mengkritik misi ini.
Di tahun 1715-1747 Marquis De Vauvenargues sudah wanti-wanti “Alam tidak mengenal kesamaan; hukum, yang berlaku adalah subordinasi dan ketergantungan”. Hampir seabad kemudian James Anthony Fuller, (m. 1894) mengulangi pesan Marquis “Man are made by nature unequal, it is vain, therefore to treat them as if they were equal”.
Fakta sosial juga menunjukkan bahwa in-equality antara sesama laki-laki sekalipun bisa diterima. Apalagi antara laki-laki dan wanita. Fakta biologis menjelaskan strukur tubuh laki-laki dan perempuan berbeda dan membawa perbedaan psikologis. Karena itu Dr. Ratna Megawangi dengan tepat dan cerdas memberi judul bukunya “Membiarkan Berbeda”.
Jika demikian apa berarti tuntutan equality tidak universal? Memang! Sebab kebebasan dan persamaan adalah bagian dari Americas core culture (Fukuyama).
Malahan, kata Ronald Inglehart dan Pippa Norris kesetaraan gender, kebebasan seks, perceraian, aborsi, dan hak-hak gay adalah ciri khas Barat. Maka benturan IslamBarat adalah Sexual clash of Civilization”, tulisnya. Itulah, equality memang tidak universal.
Tapi mengapa kini tiba-tiba menjadi seperti universal? Sebab equality satu paket dengan Westernisasi, modernisasi dan globalisasi. Mulanya (abad 19 hingga awal abad 20) hanya sekedar menuntut kesamaan hak pilih, tapi kemudian (1960an-1980an) persamaan bidang hukum dan budaya. Periode selanjutnya (1990an) adalah evaluasi kegagalan gerakan pertama dan intensifikasi gerakan kedua.
Penyebarannya berbasis teori Foucault “untuk menjajah pemikiran kuasai wacana!”. Caranya, semua bangsa dan bahkan agama didorong untuk bicara gender. Yang menolak berarti ndeso ali
as kampungan. Strategi dan aplikasinya menjadikan kesetaraan gender sebagai neraca pembanguan di PBB. Pembangunan diukur dari peran wanita didalamnya dalam bentuk GDI (Gender Development Index).
Tapi benarkah peran wanita dapat menjadi neraca pembangunan?, Ternyata tidak. di Negara-negara seperti Jepang, Korea, Singapura, Amerika Serikat dan sebagainya telah ada equality dan equal opportunity dalam pendidikan dan pekerjaan. Tapi itu tidak juga mengangkat share income dalam keluarga.
Korelasi antara equality dan kemajuan pembangunan tidak terbukti. Prosentase anggota parlemen di AS misalnya hanya 10.3%, di Jepang 6.7%, di Singapura hanya 3.7%, sedangkan Indonesia 12.2%. Meski begitu Indonesia juga tidak lebih maju dari AS, Singapura dan Jepang, dalam semua bidang, khususnya pembangunan ekonomi.
Di Timur seperti Jepang, Taiwan, Indonesia, Pakistan, India, Saudi, Mesir dan sebagainya total equality tidak benar-benar dikehendaki wanita. Di negeri-negeri itu profesi ibu rumah tangga masih banyak diminati. Di Jepang antara wanita praktis tidak bekerja ketika menjadi istri dan mengurus keluarga. Tapi tidak ada pengaruh ekonomi yang signifikan terhadap Negara.
Lucunya, di negeri ini ulama, kyai dan cendekiawan Muslimnya tergiur untuk “mengimpor” paham kesetaraan ini. Mereka menjadi pongah lalu melabrak syariat. Fikih empat mazhab itu “dicaci” sebagai terlalu maskulin dan harus dirombak. Ayat-ayat gender ditafsirkan ulang demi equality. Yang muhkamat (pasti) diangggap mutasyabihat (ambigu).
Akhirnya, lahirlah konsep fikih berwawasan gender, lesbianisme dianggap fitrah dan perilaku homoseks dianggap amal saleh. Lucu! bak shalawat dilantunkan secara rap atau R&B, atau bagaikan masjid dihias pohon natal.
Jika para pegiat feminisme, mendapat berbagai awards dari Barat tidak aneh. Semakin galak menista syariat semakin bertaburan awards-nya. Tapi ide penerima awards tidak berarti benar dan sebaliknya. Sebab dari penelitian Yayasan Ibu Harapan di 6 kota besar di Indonesia, gagasan fikih itu ditolak oleh 90% responden dari 500 muslimah.
Ide persamaan hak waris pun ditolak 91% responden. Bahkan mayoritas (97.4%) tidak sepakat dengan ulah Aminah Wadud menjadi Imam. Apalagi perilaku Irsyad Manji yang lesbi dan pendukungnya di negeri ini.
Masalahnya apakah tuntutan kesetaraan itu setingkat 50-50? Jika benar, apakah tuntutan hak juga perlu disamakan dengan pelaksanaan kewajiban, khususnya dalam agama?, Padahal dalam Islam ada hak-hak (huquq) dan kewajiban (waajibat). Jika kesetaraan penuh tidak mungkin, apa saja yang harus disamakan?
Mungkin benar pepatah Latin kuno yang berbunyi Omne Simile claudicate itaque de singulis verbis age (Semua persamaan itu pincang, oleh karena itu jelaskanlah secara rinci). Dan sungguh benar firman Allah bahwa laki-laki adalah pemimpin bagi wanita meski tidak harus beda surga.
Tapi benarkah peran wanita dapat menjadi neraca pembangunan?, Ternyata tidak. di Negara-negara seperti Jepang, Korea, Singapura, Amerika Serikat dan sebagainya telah ada equality dan equal opportunity dalam pendidikan dan pekerjaan. Tapi itu tidak juga mengangkat share income dalam keluarga.
Korelasi antara equality dan kemajuan pembangunan tidak terbukti. Prosentase anggota parlemen di AS misalnya hanya 10.3%, di Jepang 6.7%, di Singapura hanya 3.7%, sedangkan Indonesia 12.2%. Meski begitu Indonesia juga tidak lebih maju dari AS, Singapura dan Jepang, dalam semua bidang, khususnya pembangunan ekonomi.
Di Timur seperti Jepang, Taiwan, Indonesia, Pakistan, India, Saudi, Mesir dan sebagainya total equality tidak benar-benar dikehendaki wanita. Di negeri-negeri itu profesi ibu rumah tangga masih banyak diminati. Di Jepang antara wanita praktis tidak bekerja ketika menjadi istri dan mengurus keluarga. Tapi tidak ada pengaruh ekonomi yang signifikan terhadap Negara.
Lucunya, di negeri ini ulama, kyai dan cendekiawan Muslimnya tergiur untuk “mengimpor” paham kesetaraan ini. Mereka menjadi pongah lalu melabrak syariat. Fikih empat mazhab itu “dicaci” sebagai terlalu maskulin dan harus dirombak. Ayat-ayat gender ditafsirkan ulang demi equality. Yang muhkamat (pasti) diangggap mutasyabihat (ambigu).
Akhirnya, lahirlah konsep fikih berwawasan gender, lesbianisme dianggap fitrah dan perilaku homoseks dianggap amal saleh. Lucu! bak shalawat dilantunkan secara rap atau R&B, atau bagaikan masjid dihias pohon natal.
Jika para pegiat feminisme, mendapat berbagai awards dari Barat tidak aneh. Semakin galak menista syariat semakin bertaburan awards-nya. Tapi ide penerima awards tidak berarti benar dan sebaliknya. Sebab dari penelitian Yayasan Ibu Harapan di 6 kota besar di Indonesia, gagasan fikih itu ditolak oleh 90% responden dari 500 muslimah.
Ide persamaan hak waris pun ditolak 91% responden. Bahkan mayoritas (97.4%) tidak sepakat dengan ulah Aminah Wadud menjadi Imam. Apalagi perilaku Irsyad Manji yang lesbi dan pendukungnya di negeri ini.
Masalahnya apakah tuntutan kesetaraan itu setingkat 50-50? Jika benar, apakah tuntutan hak juga perlu disamakan dengan pelaksanaan kewajiban, khususnya dalam agama?, Padahal dalam Islam ada hak-hak (huquq) dan kewajiban (waajibat). Jika kesetaraan penuh tidak mungkin, apa saja yang harus disamakan?
Mungkin benar pepatah Latin kuno yang berbunyi Omne Simile claudicate itaque de singulis verbis age (Semua persamaan itu pincang, oleh karena itu jelaskanlah secara rinci). Dan sungguh benar firman Allah bahwa laki-laki adalah pemimpin bagi wanita meski tidak harus beda surga.
Inikah Al-Mahdi Yang Dijanjikan?
Sinopsis:
Fenomena akhir zaman di abad 21 terkhusus memasuki era 2020, isu Imam Mahdi menjadi sangat santer dikaji, baik dalam forum ilmiah maupun media sosial. Era yang setiap orang bebas untuk mengupload dan mendownload apa saja tentang akhir zaman, terkhusus Imam Mahdi, telah membuat siapa pun bebas berkomentar dan menyatakan pendapatnya.
Fenomena ini akan membuat banyak masyarakat Islam yang awam menjadi bingung dan tersesat. Karenanya, umat butuh panduan yang detail yang lengkap tentang fenomena yang sedang menjadi trending topik di banyak media.
Mudah-mudahan dengan hadirnya buku ini bisa menjawab tentang semua persoalan Imam Mahdi, sosok pemimpin akhir zaman yang dijanjikan.
---------------------------
Inikah Al-Mahdi Yang Dijanjikan?
Penulis: Abu Ammar Dan Abu Fatiah Al-Adnani
Ukuran: 17 cm x 24 cm
Cover: Hard Cover
Berat: 1,6 Kg
Tebal: 976 halaman
Harga Rp. 210.000,-
Pemesanan silahkan sms/whatsapp ke 087878147997.
Syukran...
Sinopsis:
Fenomena akhir zaman di abad 21 terkhusus memasuki era 2020, isu Imam Mahdi menjadi sangat santer dikaji, baik dalam forum ilmiah maupun media sosial. Era yang setiap orang bebas untuk mengupload dan mendownload apa saja tentang akhir zaman, terkhusus Imam Mahdi, telah membuat siapa pun bebas berkomentar dan menyatakan pendapatnya.
Fenomena ini akan membuat banyak masyarakat Islam yang awam menjadi bingung dan tersesat. Karenanya, umat butuh panduan yang detail yang lengkap tentang fenomena yang sedang menjadi trending topik di banyak media.
Mudah-mudahan dengan hadirnya buku ini bisa menjawab tentang semua persoalan Imam Mahdi, sosok pemimpin akhir zaman yang dijanjikan.
---------------------------
Inikah Al-Mahdi Yang Dijanjikan?
Penulis: Abu Ammar Dan Abu Fatiah Al-Adnani
Ukuran: 17 cm x 24 cm
Cover: Hard Cover
Berat: 1,6 Kg
Tebal: 976 halaman
Harga Rp. 210.000,-
Pemesanan silahkan sms/whatsapp ke 087878147997.
Syukran...
*MUAWIYAH BIN ABU SUFYAN*
Di akhir hidupnya, mengapa Mu’awiyah membai’at putranya, Yazid?
Padahal kala itu masih banyak para sahabat hebat yang masih hidup. Kemudian di zaman Yazid inilah cucu Nabi SAW, al-Husain bin Ali terbunuh.
Apa yang sebenarnya terjadi? Siapa yang bertanggung jawab?
*Sinopsis:*
Mu’awiyah bin Abu Sufyan telah menjadi orang besar sejak Rasulullah SAW, yaitu sebagai salah seorang penulis wahyu.
Di zaman kekhalifahan Abu Bakar, Mu’awiyah adalah salah seorang panglima penting dalam penaklukan Syam. Pada masa Umar, Mu’awiyah telah muncul menjadi sosok yang unggul hingga khalifah Umar menyerahkan Damaskus dan Ba’labak di bawah kepemimpinannya. Dan di masa Utsman, Mu’awiyah meraih puncak pencapaian yang gemilang; berhasil menaklukkan banyak wilayah di Syam, salah satu pusat kekuatan Romawi paling kokoh ketika itu. Dan di masa itu pula, untuk pertama kali, umat Islam berhasil membentuk pasukan angkatan laut yang hebat, dan ini sekali lagi adalah jasa Mu’awiyah.
Tetapi ketika Ali bin Abi Thalib menjadi khalifah, kenapa Mu’awiyah tidak mau berbai’at? Sikap Mu’awiyah ini kemudian memicu berbagai peristiwa besar: Perang Shiffin, peristiwa tahkim, munculnya Khawarij, munculnya agama Syi’ah; yang hingga kini semua itu terus menjadi bahan kajian menarik.
Buku ini, mengulas secara faktual disertai dengan analisa yang kuat, semua yang terjadi dalam kurun waktu itu, kasus demi kasus; sehingga berbagai peristiwa yang tampak bagaikan tumpukan peristiwa acak, dan fitnah tumpang tindih menjadi terurai dan terpetakan dengan jelas. Di antara gerakan Jihad yang dilakukan Mu’awiyah adalah menghadapi Romawi Byzantium yang berpusat di Konstantinopel, yang ketika itu adalah palang pintu benua Eropa.
Juga keberhasilan Mu’awiyah menaklukkan Afrika Utara seluruhnya. Kemudian menaklukkan ke arah timur hingga mencapai Khurasan, Sijistan, dan negeri-negeri seberang sungai Jaihun (kini: Sungai Amu Darya). Mu’awiyah telah mengabdikan hidupnya di jalan Allah selama empat puluh tahun; dua puluh tahun sebagai gubernur dan dua puluh tahun sebagai khalifah, yang sepanjang masa itu penuh dengan torehan jasa yang luar biasa bagi kaum Muslimin. Tetapi di akhir hidupnya, mengapa Mu’awiyah membai’at putranya, Yazid? Padahal kala itu masih banyak para sahabat hebat yang masih hidup. Kemudian di zaman Yazid inilah cucu Nabi SAW, al-Husain bin Ali terbunuh.
Apa yang sebenarnya terjadi? Siapa yang bertanggung jawab? Lebih dari itu, apa sebenarnya yang menyebabkan hari terbunuhnya al-Husain diperingati oleh agama Syi’ah sebagai hari yang utama dalam agama mereka? Kemudian, jauh hari setelah al-Husain terbunuh, khurafat tersebar simpang siur, hingga tidak kurang dari enam kota besar di berbagai belahan bumi ini mengklaim bahwa kepala al-Husain dimakamkan di sana; di mana sebenarnya kepala al-Husain dimakamkan? Buku ini adalah salah satu rujukan sejarah yang penting bagi kaum Muslimin. Dan ini adalah salah satu usaha kami untuk ikut mengurai sejarah yang telah dibuat kusut oleh para Orientalis dan Syi’ah.
-----------------------
Muawiyah Bin Abu Sufyan
Penulis: Dr. Ali bin Muhammad ash-Shallabi
Ukuran: 16 x 24,5 cm
Sampul: Hard Cover
Tebal buku: 1076 halaman.
Berat buku: 1,6 Kg.
Harga: Rp. 160.000.
Pemesanan silahkan sms/whatsapp ke 087878147997.
Syukran.
Di akhir hidupnya, mengapa Mu’awiyah membai’at putranya, Yazid?
Padahal kala itu masih banyak para sahabat hebat yang masih hidup. Kemudian di zaman Yazid inilah cucu Nabi SAW, al-Husain bin Ali terbunuh.
Apa yang sebenarnya terjadi? Siapa yang bertanggung jawab?
*Sinopsis:*
Mu’awiyah bin Abu Sufyan telah menjadi orang besar sejak Rasulullah SAW, yaitu sebagai salah seorang penulis wahyu.
Di zaman kekhalifahan Abu Bakar, Mu’awiyah adalah salah seorang panglima penting dalam penaklukan Syam. Pada masa Umar, Mu’awiyah telah muncul menjadi sosok yang unggul hingga khalifah Umar menyerahkan Damaskus dan Ba’labak di bawah kepemimpinannya. Dan di masa Utsman, Mu’awiyah meraih puncak pencapaian yang gemilang; berhasil menaklukkan banyak wilayah di Syam, salah satu pusat kekuatan Romawi paling kokoh ketika itu. Dan di masa itu pula, untuk pertama kali, umat Islam berhasil membentuk pasukan angkatan laut yang hebat, dan ini sekali lagi adalah jasa Mu’awiyah.
Tetapi ketika Ali bin Abi Thalib menjadi khalifah, kenapa Mu’awiyah tidak mau berbai’at? Sikap Mu’awiyah ini kemudian memicu berbagai peristiwa besar: Perang Shiffin, peristiwa tahkim, munculnya Khawarij, munculnya agama Syi’ah; yang hingga kini semua itu terus menjadi bahan kajian menarik.
Buku ini, mengulas secara faktual disertai dengan analisa yang kuat, semua yang terjadi dalam kurun waktu itu, kasus demi kasus; sehingga berbagai peristiwa yang tampak bagaikan tumpukan peristiwa acak, dan fitnah tumpang tindih menjadi terurai dan terpetakan dengan jelas. Di antara gerakan Jihad yang dilakukan Mu’awiyah adalah menghadapi Romawi Byzantium yang berpusat di Konstantinopel, yang ketika itu adalah palang pintu benua Eropa.
Juga keberhasilan Mu’awiyah menaklukkan Afrika Utara seluruhnya. Kemudian menaklukkan ke arah timur hingga mencapai Khurasan, Sijistan, dan negeri-negeri seberang sungai Jaihun (kini: Sungai Amu Darya). Mu’awiyah telah mengabdikan hidupnya di jalan Allah selama empat puluh tahun; dua puluh tahun sebagai gubernur dan dua puluh tahun sebagai khalifah, yang sepanjang masa itu penuh dengan torehan jasa yang luar biasa bagi kaum Muslimin. Tetapi di akhir hidupnya, mengapa Mu’awiyah membai’at putranya, Yazid? Padahal kala itu masih banyak para sahabat hebat yang masih hidup. Kemudian di zaman Yazid inilah cucu Nabi SAW, al-Husain bin Ali terbunuh.
Apa yang sebenarnya terjadi? Siapa yang bertanggung jawab? Lebih dari itu, apa sebenarnya yang menyebabkan hari terbunuhnya al-Husain diperingati oleh agama Syi’ah sebagai hari yang utama dalam agama mereka? Kemudian, jauh hari setelah al-Husain terbunuh, khurafat tersebar simpang siur, hingga tidak kurang dari enam kota besar di berbagai belahan bumi ini mengklaim bahwa kepala al-Husain dimakamkan di sana; di mana sebenarnya kepala al-Husain dimakamkan? Buku ini adalah salah satu rujukan sejarah yang penting bagi kaum Muslimin. Dan ini adalah salah satu usaha kami untuk ikut mengurai sejarah yang telah dibuat kusut oleh para Orientalis dan Syi’ah.
-----------------------
Muawiyah Bin Abu Sufyan
Penulis: Dr. Ali bin Muhammad ash-Shallabi
Ukuran: 16 x 24,5 cm
Sampul: Hard Cover
Tebal buku: 1076 halaman.
Berat buku: 1,6 Kg.
Harga: Rp. 160.000.
Pemesanan silahkan sms/whatsapp ke 087878147997.
Syukran.
PANDUAN ILMU DAN HIKMAH SYARAH LENGKAP AL-ARBAIN AN-NAWAWI
Penulis: Ibnu Rajab
Sinopsis:
Buku Jami’ul Ulum wal Hikam siapa yang tidak mengenalnya? Buku yang berbobot di mata penuntut ilmu ini memuat syarah (penjelasan) 50 hadits yang diambil dari jawami’ul kalim Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Hadits komprehensif tersebut mengandung banyak sekali makna dalam kata-kata singkat dan merupakan salah satu kehususan yang diberikan Allah Ta’ala kepada Rasulullah shallalahu ‘alaihi wa sallam.
Dalam penjelasan ini, Imam Ibnu Rajab menjelaskan kata-kata asing dan makna-maknanya, menerangkan hadits-hadits yang sejenis dengannya, menjelaskan hukum-hukumnya, fiqih dan perbedaan pendapat para ulama di dalamnya. Jadi, buku Imam Ibnu Rajab ini termasuk buku syarah hadits yang terbaik yang sampai kepada kita, paling banyak urgensinya, dan paling sarat manfaatnya.
Buku ini di awali dengan potret sejarah penulis, mulai dari kehidupannya mencari ilmu, karya-karya tulisnya, guru-guru, dan murid-murid beliau yang tersebar ke pelosok daerah. Lalu setelah menyebutkan biografi yang panjang, pembaca diajak untuk mengkaji satu demi satu hadits yang disajikan.
SETIAP AMAL TERGANTUNG NIAT
Rasululullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إنَّمَا الأعمَال بالنِّيَّاتِ وإِنَّما لِكُلِّ امريءٍ ما نَوَى فَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ إلى اللهِ ورَسُولِهِ فهِجْرَتُهُ إلى اللهِ ورَسُوْلِهِ ومَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ لِدُنْيَا يُصِيْبُها أو امرأةٍ يَنْكِحُهَا فهِجْرَتُهُ إلى ما هَاجَرَ إليهِ
“Sesungguhnya setiap amalan tergantung pada niatnya. Setiap orang akan mendapatkan apa yang ia niatkan. Siapa yang hijrahnya karena Allah dan Rasul-Nya, maka hijrahnya untuk Allah dan Rasul-Nya. Siapa yang hijrahnya karena mencari dunia atau karena wanita yang dinikahinya, maka hijrahnya kepada yang ia tuju.”
Niat menurut pendapat para ulama mempunyai dua pengertian: pertama, untuk membedakan sebagian ibadah dengan ibadah lainnya. Kedua, untuk membedakan yang menjadi tujuan amal perbuatan.
Asal kata hijrah ialah meninggalkan negeri syirik dan pindah ke negeri Islam. Dengan kalimat hijrah ini Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjelaskan bahwa hijrah berbeda sesuai dengan perbedaan niat dan maksudnya. Barangsiapa hijrah ke negeri Islam karena cinta Allah dan Rasul-Nya, ingin mempelajari agama Islam, dan memenangkan agama-Nya yang tidak sanggup ia kerjakan di negeri syirik, sungguh ia hijrah kepada Allah dan Rasul-Nya dengan hijrah yang hakiki.
-----------------------------
Panduan Ilmu Dan Hikmah Syarah Lengkap Al-Arbain An-Nawawi
Penulis: Ibnu Rajab
Sampul: Hardcover
Tebal buku: 1034 halaman,
Ukuran buku: 16 x 24.5 cm,
Berat buku + packing: 1,7Kg
Harga Rp. 195.000,-
Pemesanan silahkan sms/whatsapp ke 087878147997.
Syukran...
Penulis: Ibnu Rajab
Sinopsis:
Buku Jami’ul Ulum wal Hikam siapa yang tidak mengenalnya? Buku yang berbobot di mata penuntut ilmu ini memuat syarah (penjelasan) 50 hadits yang diambil dari jawami’ul kalim Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Hadits komprehensif tersebut mengandung banyak sekali makna dalam kata-kata singkat dan merupakan salah satu kehususan yang diberikan Allah Ta’ala kepada Rasulullah shallalahu ‘alaihi wa sallam.
Dalam penjelasan ini, Imam Ibnu Rajab menjelaskan kata-kata asing dan makna-maknanya, menerangkan hadits-hadits yang sejenis dengannya, menjelaskan hukum-hukumnya, fiqih dan perbedaan pendapat para ulama di dalamnya. Jadi, buku Imam Ibnu Rajab ini termasuk buku syarah hadits yang terbaik yang sampai kepada kita, paling banyak urgensinya, dan paling sarat manfaatnya.
Buku ini di awali dengan potret sejarah penulis, mulai dari kehidupannya mencari ilmu, karya-karya tulisnya, guru-guru, dan murid-murid beliau yang tersebar ke pelosok daerah. Lalu setelah menyebutkan biografi yang panjang, pembaca diajak untuk mengkaji satu demi satu hadits yang disajikan.
SETIAP AMAL TERGANTUNG NIAT
Rasululullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إنَّمَا الأعمَال بالنِّيَّاتِ وإِنَّما لِكُلِّ امريءٍ ما نَوَى فَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ إلى اللهِ ورَسُولِهِ فهِجْرَتُهُ إلى اللهِ ورَسُوْلِهِ ومَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ لِدُنْيَا يُصِيْبُها أو امرأةٍ يَنْكِحُهَا فهِجْرَتُهُ إلى ما هَاجَرَ إليهِ
“Sesungguhnya setiap amalan tergantung pada niatnya. Setiap orang akan mendapatkan apa yang ia niatkan. Siapa yang hijrahnya karena Allah dan Rasul-Nya, maka hijrahnya untuk Allah dan Rasul-Nya. Siapa yang hijrahnya karena mencari dunia atau karena wanita yang dinikahinya, maka hijrahnya kepada yang ia tuju.”
Niat menurut pendapat para ulama mempunyai dua pengertian: pertama, untuk membedakan sebagian ibadah dengan ibadah lainnya. Kedua, untuk membedakan yang menjadi tujuan amal perbuatan.
Asal kata hijrah ialah meninggalkan negeri syirik dan pindah ke negeri Islam. Dengan kalimat hijrah ini Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjelaskan bahwa hijrah berbeda sesuai dengan perbedaan niat dan maksudnya. Barangsiapa hijrah ke negeri Islam karena cinta Allah dan Rasul-Nya, ingin mempelajari agama Islam, dan memenangkan agama-Nya yang tidak sanggup ia kerjakan di negeri syirik, sungguh ia hijrah kepada Allah dan Rasul-Nya dengan hijrah yang hakiki.
-----------------------------
Panduan Ilmu Dan Hikmah Syarah Lengkap Al-Arbain An-Nawawi
Penulis: Ibnu Rajab
Sampul: Hardcover
Tebal buku: 1034 halaman,
Ukuran buku: 16 x 24.5 cm,
Berat buku + packing: 1,7Kg
Harga Rp. 195.000,-
Pemesanan silahkan sms/whatsapp ke 087878147997.
Syukran...
*PANDUAN LENGKAP TARBIYATUL AULAD*
Penulis: Syaikh DR. Sa’id bin Ali bin Wahf al-Qahthani, Zam-Zam
Sinopsis:
Tahukah Anda senjata terampuh untuk menundukkan putra-putri Anda? Senjata ini bukan cacian, kemarahan yang bertubi-tubi, atau bukan pula sebuah pukulan dan ayunan tendangan kaki. Senjata ini terbukti efektif dalam mengambil hati anak-anak Anda. Apakah itu? Ia adalah kelembutan. Terdapat sejumlah hadits yang mengisyaratkan hal demikian,
عن عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا زَوْج النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَتْ قال رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الرِّفْقَ فِي الأَمْرِ كُلِّهِ رواه البخاري6024
Dari ‘Aisyah, istri Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam, semoga Allah meridhai beliau, berkata: Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Sesungguhnya Allah mencintai kelembutan dalam segala hal.” (Diriwayatkan oleh al-Bukhari, 6024).
وروى مسلم (2592) عَنْ جَرِيرٍ ، عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: ( مَنْ يُحْرَمِ الرِّفْقَ ، يُحْرَمِ الْخَيْرَ
Dari Jarir bahwa Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Barangsiapa yang terhalangi dari kelembutan, maka dia akan terhalangi dari kebaikan.’”(HR. Muslim, no.2592)
وعَنْ عَائِشَةَ ، زَوْجِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ، عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ إِنَّ الرِّفْقَ لاَ يَكُونُ فِي شيء إِلاَّ زَانَهُ ، وَلاَ يُنْزَعُ مِنْ شيء إِلاَّ شَانَهُ ) رواه مسلم (2594
Dari ‘Aisyah, istri Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam, semoga Allah meridhai beliau, berkata, Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Sesungguhnya kelembutan, tidaklah berada pada sesuatu kecuali pasti menghiasinya, dan tidaklah kelembutan diambil dari sesuatu, pasti merusaknya.’” (HR. Muslim, no.2594)
وعَنْ عَائِشَةَ : أَنَّهَا قَالَتْ: قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا أَرَادَ اللهُ عَزَّ وَجَلَّ بِأَهْلِ
بَيْتٍ خَيْرًاأَدْخَلَ عَلَيْهِمُ الرِّفْقَ. رواه الإمام أحمد في مسنده (24427) ، وصححه الألباني في ” صحيح الجامع الصغير ” رقم (303
Dari ‘Aisyah semoga Allah meridhai beliau, bahwa dia berkata: Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Jika Allah ‘Azza wa Jalla menginginkan kebaikan bagi anggota rumah tangga, Dia akan memasukkan kelembutan kepada mereka.” (Diriwayatkan oleh Imam Ahmad dalam Musnad-nya (24427); yang dishahihkan oleh al-Albani dalam Shahih al-Jaami ‘as-Shaghir (303)).
Lalu senjata apa selanjutnya? Masih adakah yang lain? Iya ada, ia adalah do’a. Dan inilah hakekat senjata seorang muslim yang sebenarnya. Dan disebutkan dalam sebuah ayat yang menyatakan bahwa ciri khas hamba Allah yang shalih adalah dikenal dengan senantiasa berdo’a kepada Rabb-Nya,
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
وَالَّذِينَ يَقُولُونَ رَبَّنَا هَبْ لَنَا مِنْ أَزْوَاجِنَا وَذُرِّيَّاتِنَا قُرَّةَ أَعْيُنٍ وَاجْعَلْنَا لِلْمُتَّقِينَ إِمَامًا الفرقان ( 74)
“Dan (hamba-hamba ar-Rahman adalah) mereka yang mengatakan:” Ya Tuhan kami! Anugerahkan kepada kami, istri-istri dan keturunan kami yang akan menjadi penyejuk mata kami, dan jadikanlah kami sebagai pemimpin untuk orang-orang yang bertakwa.” (Surat al-Furqaan: 74)
-----------------------------------
*Panduan Lengkap Tarbiyatul Aulad*
Penulis: Syaikh Dr. Sa'id bin Ali bin Wahf Al-Qahthani
Sampul: Hardcover
Tebal buku: 355 halaman
Ukuran buku 15,4 x 23,5 cm
Berat 441 gram.
Harga Rp. 84.000,-
Pemesanan silahkan sms/whatsapp ke 087878147997.
Syukran...
Penulis: Syaikh DR. Sa’id bin Ali bin Wahf al-Qahthani, Zam-Zam
Sinopsis:
Tahukah Anda senjata terampuh untuk menundukkan putra-putri Anda? Senjata ini bukan cacian, kemarahan yang bertubi-tubi, atau bukan pula sebuah pukulan dan ayunan tendangan kaki. Senjata ini terbukti efektif dalam mengambil hati anak-anak Anda. Apakah itu? Ia adalah kelembutan. Terdapat sejumlah hadits yang mengisyaratkan hal demikian,
عن عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا زَوْج النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَتْ قال رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الرِّفْقَ فِي الأَمْرِ كُلِّهِ رواه البخاري6024
Dari ‘Aisyah, istri Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam, semoga Allah meridhai beliau, berkata: Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Sesungguhnya Allah mencintai kelembutan dalam segala hal.” (Diriwayatkan oleh al-Bukhari, 6024).
وروى مسلم (2592) عَنْ جَرِيرٍ ، عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: ( مَنْ يُحْرَمِ الرِّفْقَ ، يُحْرَمِ الْخَيْرَ
Dari Jarir bahwa Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Barangsiapa yang terhalangi dari kelembutan, maka dia akan terhalangi dari kebaikan.’”(HR. Muslim, no.2592)
وعَنْ عَائِشَةَ ، زَوْجِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ، عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ إِنَّ الرِّفْقَ لاَ يَكُونُ فِي شيء إِلاَّ زَانَهُ ، وَلاَ يُنْزَعُ مِنْ شيء إِلاَّ شَانَهُ ) رواه مسلم (2594
Dari ‘Aisyah, istri Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam, semoga Allah meridhai beliau, berkata, Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Sesungguhnya kelembutan, tidaklah berada pada sesuatu kecuali pasti menghiasinya, dan tidaklah kelembutan diambil dari sesuatu, pasti merusaknya.’” (HR. Muslim, no.2594)
وعَنْ عَائِشَةَ : أَنَّهَا قَالَتْ: قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا أَرَادَ اللهُ عَزَّ وَجَلَّ بِأَهْلِ
بَيْتٍ خَيْرًاأَدْخَلَ عَلَيْهِمُ الرِّفْقَ. رواه الإمام أحمد في مسنده (24427) ، وصححه الألباني في ” صحيح الجامع الصغير ” رقم (303
Dari ‘Aisyah semoga Allah meridhai beliau, bahwa dia berkata: Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Jika Allah ‘Azza wa Jalla menginginkan kebaikan bagi anggota rumah tangga, Dia akan memasukkan kelembutan kepada mereka.” (Diriwayatkan oleh Imam Ahmad dalam Musnad-nya (24427); yang dishahihkan oleh al-Albani dalam Shahih al-Jaami ‘as-Shaghir (303)).
Lalu senjata apa selanjutnya? Masih adakah yang lain? Iya ada, ia adalah do’a. Dan inilah hakekat senjata seorang muslim yang sebenarnya. Dan disebutkan dalam sebuah ayat yang menyatakan bahwa ciri khas hamba Allah yang shalih adalah dikenal dengan senantiasa berdo’a kepada Rabb-Nya,
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
وَالَّذِينَ يَقُولُونَ رَبَّنَا هَبْ لَنَا مِنْ أَزْوَاجِنَا وَذُرِّيَّاتِنَا قُرَّةَ أَعْيُنٍ وَاجْعَلْنَا لِلْمُتَّقِينَ إِمَامًا الفرقان ( 74)
“Dan (hamba-hamba ar-Rahman adalah) mereka yang mengatakan:” Ya Tuhan kami! Anugerahkan kepada kami, istri-istri dan keturunan kami yang akan menjadi penyejuk mata kami, dan jadikanlah kami sebagai pemimpin untuk orang-orang yang bertakwa.” (Surat al-Furqaan: 74)
-----------------------------------
*Panduan Lengkap Tarbiyatul Aulad*
Penulis: Syaikh Dr. Sa'id bin Ali bin Wahf Al-Qahthani
Sampul: Hardcover
Tebal buku: 355 halaman
Ukuran buku 15,4 x 23,5 cm
Berat 441 gram.
Harga Rp. 84.000,-
Pemesanan silahkan sms/whatsapp ke 087878147997.
Syukran...
Sikap dan perilaku jahat kaum munafik – yang secara lahir mengaku beriman, tetapi batinnya mencintai kekufuran – bahkan diabadikan dalam satu surat khusus, yaitu Surat al-Munafiqun (63). Mereka dikenal sebagai pendusta, mengaku-aku iman padahal selalu memusuhi kaum Muslimin. Kadang mereka tak segan bersumpah-sumpah agar bisa dipercaya. Padahal, mereka selalu berusaha menghalangi manusia untuk mendekat kepada Allah. Juga, tak jarang penampilan lahiriah kaum munafik itu sangat memukau; ucapan-ucapan mereka pun banyak didengar orang. Jika diajak beriman, mereka bersikap angkuh, membuang muka, enggan menerima kebenaran. (QS 63:1-5).
-Dr. Adian Husaini-
-Dr. Adian Husaini-