MUSTANIR ONLINE
3.18K subscribers
865 photos
163 videos
56 files
900 links
Sharing audio, tulisan karya Dr Adian Husaini, Dr Hamid Fahmy Zarkasyi serta pemikir muslim kontemporer lainnya.
Download Telegram
*CIRI-CIRI ORANG JAHIL*
Dari perilakunya, sifat orang bodoh adalah mengabaikan akibat, terlalu percaya diri pada orang yang belum dikenalnya, ujub, banyak ngomong, cepat menjawab, suka berpaling, kosong dari pengetahuan, tergesa-gesa, sembrono, lalai, dan angkuh. Jika kaya hura-hura, jika miskin putus asa, jika berkata-kata kotor, jika diminta pelit, jika meminta memaksa, jika diterangkan tidak paham, jika tertawa ngakak, dan jika menangis meraung-raung. Apabila kita tilik kerusakan ini pada diri manusia, kita akan mendapatinya pada kebanyakan manusia, sampai-sampai tidak diketahui lagi orang yang bijak di antara orang-orang yang bodoh. (Kitab al-Mustatraf fi kulli fann Muistazraf)
MA'RIFAT
Oleh: Dr. Hamid Fahmy Zarkasyi

“Barangsiapa mengenal dirinya maka ia akan mengenal Tuhannya”. ini memang bukan sabda Nabi, tapi atsar sahabat yang seringkali dinisbatkan kepada Ali bin Abi Talib. Istilah ‘arafa’ memang lebih tepat diterjemahkan menjadi “mengenal”. Perkenalan dalam bahasa Arab disebut ta’aruf.

Mengenal Tuhan dalam wacana ulama salaf dikaitkan perjanjian Tuhan (mitsaq) dengan calon manusia di alam arwah. Di sana arwah Allah swt telah berdialog dengan ruh calon manusia. Allah bertanya pada calon anak manusia “bukankah Aku ini Tuhanmu”. “benar kami menyaksikan” jawab ruh itu. Disitu ruh manusia resmi “mengenal” Tuhannya. Itulah rahasianya mengapa sejarah umat manusia selalu diwarnai oleh aktifitas mempercayai dan meyakini adanya kekuatan Tuhan.

Untuk lebih mengenal Tuhannya umat Islam dibekali dengan amalan peribadatan. Dalam sebuah hadith Qudsi Allah berfirman ”Aku adalah simpanan yang tersembunyi dan Aku suka dikenal; Aku ciptakan makhluq agar aku dikenal”. Dalam al-Zariyat 56 Allah berfirman “dan Aku ciptakan jin dan manusia hanya untuk menyembah”. Mungkin karena hadith itu maka ibn Abbas menafsirkan ayat “hanya untuk menyembah atau beribadah” dengan hanya untuk mengenal Tuhan.

Tafsir ibn Abbas bisa difahami begini: jika seorang hamba mencintai Tuhannya, maka ia akan beribadah sekuat-kuatnya untuk meraih cintaNya. Maka ibadah itu sejatinya adalah jalan-jalan yang bertujuan untuk mendekat (taqarrub) dan mengenal Tuhan.

Tapi manusia kebanyakan berjiwa kotor. Maka untuk itu nasehat Imam al-Ghazali manusia harus membersihkan hatinya. Caranya mudah yaitu tidak mengumbar syahwat, melepaskan diri dari segala keterkaitan dengannya, dan mengosongkan hati dari segala kesibukan duniawi, selalu cinta pada Allah. (Ihya, hal. 3/12-16;l Kimia Kebahagiaan, hal. 516)

Mengapa hati mesti disucikan? Manurut al-Ghazzali karena hati manusia itu juga tempat ma’rifah dan tawhid dan harus disiapkan agar dapat menerima masuknya ilmu dari Tuhan. Sebab terkadang ilmu masuk pada hati melalui ilham dari Tuhan, dengan cara spontanitas dan al-mukasyafah. (Ihya', hal. 3/7).

Maka ibadah mendekat dan mengenal Tuhan harus berbekal cinta. Ibadah dengan bekal cinta pada Allah itu berbuah keyakinan, dan keyakinan yang tinggi itu menjadi cahaya hati. Hati orang ‘arif billah yang bercahaya menurut Dzunnun al-Mashri (w. 155 H), tidak menghilangkan sifat wara'-nya (keperwiraan), tidak meremehkan hukum-hukum syariat, dan karamahNya tidak merusak ketaatannya pada Allah." (Risalah Qusyairiyah, hal. 143). Jadi ketaatan seorang ‘abid meningkat menjadi kecintaan seorang ‘arif.

Namun menjadi seorang menjadi ‘arif ada tiga tingkatan. Pertama tingkat orang awam; kedua tingkat adalah ulama yang mencapai ma’rifat melalui logikanya, dan terakhir adalah wali yang keimanannya sudah tingkatan ihsan. (M.Abdul Mun'im Khofaji, at-Turats ar-Ruhi littashawwuf al-Islami fi Misr, hal. 40). Untuk para wali yang memperoleh al-Kasyf, ia akan melihat sesuatu yang nyata (batin) seperti melihat dengan mata kepalanya (ra'yal ain). (Thusi, Alluma', hal. 422)

Ma’rifat tingkat kedua itu biasa disebut ‘ilm. Ilmu adalah pengetahuan yang biasa diperoleh dengan pancaindera dan nalar melalui I'tibar atau istibshar disebut ilmu. Ma’rifat pada tingkat ketiga (ma’rifah) diperoleh tidak dengan cara ilmiyah bahkan yang bersangkutan tidak tahu bagaimana ia datang.

Ma’rifah jenis ini disebut ilham. Ilham bisa dimiliki siapa saja, namun yang tertinggi dimiliki oleh para wali atau para sufi yang berislam pada tingkat ihsan. Pengetahuan sejenis ilham tapi pada tingkat yang tertinggi disebut wahyu, yang khusus diberikan kepada para nabi.

Mengenal Allah dengan cara-cara sufi perlu dikembangkan untuk mereka-mereka yang sibuk dengan urusan dunia. Hal ini dengan cara menjadikan segala usahanya untuk ibadah pada Allah, mengkaitkan segala cintanya hanya untuk Allah, dan menghilangkan segala ingatannya kecuali ingat Allah.

Orang yang berma’rifah dengan cara begitu, niscaya tidak akan pernah khawatir akan segala masalah yang menimpanya di dunia. Jika ia mendapatkan b
ala’ atau cobaan di dunia ia faham bahwa Allah sedang mengujinya. Ia pun sabar karena cobaan pasti berakhir dengan kelulusan dan ganjaran.

Jika seorang ‘arfi billah mendapatkan nikmat dan karunia Allah swt, ia juga tahu ini juga ujian dari Allah swt, apakah hamba akan bersyukur atau kufur. Ia pun besyukur, sebab ia merasa cintanya tidak sebanding dengan nikmatNya. Disini nasehat Umar ibn Khattab menjadi relevan:”Di dunia ini ada dua kendaraan yang akan membawa seseorang hidup dengan selamat yaitu sabar dan syukur”
AL-GHAZALI DIMATA M. NATSIR
Oleh: Dr. Adian Husaini

Mohammad Natsir (1908-1993) dikenal sebagai pejuang Islam Indonesia yang pada 2008 mendapat penghargaan sebagai Pahlawan Nasional. Natsir juga seorang pemikir dan pelopor pendidikan Islam. Tulisan-tulisannya yang dihimpun dalam buku Capita Selecta menunjukkan ketinggian keilmuan M. Natsir. Meskipun hanya mengenyam pendidikan formal setingkat AMS (Algemene Middelbare School), setingkat SMA sekarang, tetapi Natsir memiliki kacintaan yang sangat tinggi dalam mencari ilmu.

Tumbuh dalam asuhan pendidikan keagamaan oleh A. Hassan, seorang tokoh modernis, Natsir mampu mengembangkan pemikirannya jauh melampui lingkungan pendidikan formalnya. Pada sekitar tahun 1930-an, dalam usia sekitar tiga puluhan, Natsir telah aktif menulis tentang berbagai persoalan keilmuan dan terlibat dalam perdebatan ilmiah dengan berbagai kalangan. Melalui tulisan-tulisannya, ketika itu, tampak Natsir sudah membaca berbagai literatur tentang aqidah, sejarah, ilmu kalam, tasawuf, filsafat, syariah, perbandingan agama, dan sebagainya. Hampir dalam setiap tulisannya, Natsir mampu meramu dengan baik, sumber-sumber dari kalangan Muslim maupun karya-karya orientalis Barat. Ambillah satu contoh sebuah artikel berjudul ”Muhammad al-Ghazali (450-505 H, 1058-1111)”, yang dimuat di majalah Pedoman Masyarakat, April 1937.

Dalam artikel ini, Natsir memaparkan keagungan pemikiran dan kiprah al-Ghazali dibandingkan dengan prestasi ilmuwan-ilmuwan Barat. Kitab Maqashidul Falasifah-nya al-Ghazali, misalnya, sudah diterjemahkan oleh Dominicus Gundisalvus ke bahasa Latin pada abad ke-12 M. Di sini, Natsir juga menguraikan teori kausalitas al-Ghazali yang mendahului teori David Hume (1711-1776) tujuh ratus tahun sebelumnya. Natsir membantah bahwa David Hume lah sarjana pertama yang mengungkap teori kausalitas (causaliteitleer). Natsir tidak menolak jasa David Hume dalam soal ini. Tetapi, tulisnya, ”jangan dilupakan, bahwa 700 tahun sebelum David Hume, telah pernah seorang filosof Muslim di daerah Timur yang mengupas masalah ini dalam Kitabnya, Tahafutul Falasifah.”
Setelah mengupas sedikit teori kausalitas al-Ghazali, Natsir mengingatkan: ”Aneh! Hal ini rupanya tidak hendak diingat orang. Dan kalau kita ketahui bahwa seorang filosof Barat sebagai Immanuel Kant mengakui, bahwa David Hume-lah yang membukakan matanya, dapatlah kita mengira-ngirakan betapa besar kadarnya kekuatan ruhani Ghazali dibandingkan dengan filosof-filosof yang masyhur di Barat itu.”

Kemudian, secara khusus, Natsir memberi komentar terhadap pemikiran al-Ghazali: ”Kalau Imam Ghazali oleh karena ini tidak dinamakan seorang filosof-’aqli, maka itu tidak berarti bahwa akalnya kurang dipakai dibandingkan dengan filosof yang lain-lain. Tak kurang Al-Ghazali mengupas falsafah Socrates, Aristoteles dan memperbincangkan pelbagai masalah yang sulit-sulit dengan cara yang halus dan tajam sekali dalam kitabnya yang tersebut di atas. Tak kurang ia membentangkan ilmu mantik dan tak kurang pula menyusun ilmu-ilmu yang tahan uji dibandingkan dengan karangan-karangan filosof yang lain. Semua ini menunjukkan ketajaman akalnya dan memakai akal itu sebagai salah satu nikmat yang dikurniakan Allah kepada manusia. Tapi dalam pada itu ia tidak hendak lupa, bahwa akal ini pun dapat bekerja hanya sampai kepada suatu batas yang tak dapat dilampaui. Apabila filosof yang lain masih terus juga menurunkan akal itu ke mana-mana, di bawa oleh akal itu sendiri, walaupun sudah bukan medan pekerjaannya lagi, -- serta menjadikan akal sebagai hakim yang menghabiskan dalam semua hal --, pada saat yang demikian itu Imam Ghazali tidak enggan berkata dengan khusyu’ ”wallahu a’lam!” – ”Allah yang lebih mengetahui!” – dan kembali kepada Kitab (Al-Quran), Yang tak syak lagi menjadi petunjuk bagu mereka yang takwa.”

Melalui artikel yang pendek tersebut, Natsir menguraikan jasa-jasa besar al-Ghazali bagi umat Islam, disamping juga kontroversi terhadap pemikirannya dan apresiasi para ilmuwan Barat terhadapnya. Terhadap kontroversi terhadap pemikiran al-Ghazali,
Natsir menulis, bahwa itu: ”... ialah suatu hal yang galib diterima oleh setiap orang yang berjalan di muka bumi merintis jalan baru, yang mendengarkan suara keyakinan yang teguh yang berbisik di dalam hati, dan tidak hendak turut-turut ke hilir ke udik, seperti pucuk aru dihembus angin.”

Penguasaan Natsir terhadap pemikiran-pemikiran para pemikir Muslim klasik bisa dilihat dalam berbagai artikelnya dalam buku Capita Selecta yang mengupas sosok dan pemikiran Ibnu Thufail, Ibnu Sina, Ibnu Maskawaih, Abu Nasr Al-Farabi, Ikhwan as-Shafa, juga kupasannya tentang aliran Mu’tazailah dan Ahli Sunnah. Meskipun sangat memahami seluk beluk peradaban Barat, melalui berbagai tulisannya yang mengupas keagungan sejarah peradaban dan pemikir Muslim, Natsir menyampaikan pesan yang jelas kepada kaum Muslim: ”Jangan merasa rendah diri melihat kehebatan peradaban Barat!” (***).
TAFSIR AL WASITH
Penulis: Prof.Dr. Wahbah Az-Zuhaili

*Harga diskon: Rp. 550.000,-*
Harga normal: Rp 822.000.-
*Free Ongkir wilayah Jawa & Madura*

Sinopsis:
Salah satu cara untuk menambah pengetahuan dan pemahaman kaum muslimin terhadap dinul Islam adalah dengan membaca literaturnya, yaitu tafsir Al-Qur’an. Buku ini hadir untuk memenuhi hal itu. Sebab, buku ini merupakan rujukan tafsir terbaik secara bobot dan kualitas.

Dalam tafsir yang terdiri dari 3 jilid ini, Anda akan mendapatkan poin-poin bahasan penting yaitu:
1. Tafsir ini bersandar pada prinsip-prinsip tafsir bil-matsur dan tafsir bir-rayi.
2. Tafsir ini menjelaskan kandungan ayat secara terperinci dan menyeluruh, serta dengan gaya bahasa sederhana dan mudah dicerna.
3. Tafsir ini menjelaskan sebab turunnya ayat (azbabun nuzul ayat) yang shahih dan terpercaya.
4. Tafsir ini berpedoman pada kitab-kitab induk tafsir dengan berbagai manhaj-Nya.
5. Tafsir ini menghapus riwayat-riwayat Israiliyat.
6. Sebuah referensi tafsir Al-Qur’an terbaik untuk menambah literatur keislaman Anda.
________________
Tafsir Al Wasith
Penulis: Prof.Dr. Wahbah Az-Zuhaili
Harga normal: Rp 822.000.-
*Harga diskon: Rp. 550.000,-*
1 set berisi 3 jilid.
*Free ongkir untuk pulau Jawa dan Madura*. Berat total 4kg.

Pemesanan silahkan sms/whatsapp ke 087878147997.

Syukran...
*AL ISLAM*
Syaikh Said Hawwa
*--Harga Diskon Rp. 190.000,-*(harga normal Rp. 273.000).

Sinopsis:
Islam adalah agama yang sempurna dan ‘syamil’ menyeluruh. Ia membahas kehidupan empiris dan gaib secara integral, memadukan keshalihan jiwa dan baiknya kehidupan dalam sistem yang selaras dengan fitrah, dan masih berjuta keistimewaan lainnya yang disandang oleh agama para nabi dan rasul ini.

Ironisnya, islam yang begitu sempurna dan indah, hanya sekedar dikagumi banyak orang, sementara pemeluknya yang sekarang berada dalam keterbelakangan, berupaya mencari solusi dan pedoman dalam sistem lain. Padahal tiada jalan untuk meraih kejayaan, melainkan bersama islam. Mereka bagaikan seekor unta yang mati kehausan, padahal di punggungnya terdapat air yang segar.

Buku Al-islam ini sangat anda perlukan, karena ia membedah ajaran islam secara mendalam, komperehensif dan lugas yang dilandasi Al-qur`an dan As-sunnah, dan argumen-argumen logika. Setelah melahap buku ini anda akan berkata “sungguh islam adalah agama yang menyeluruh aspek kehidupan. Karena itu, tidak ada alasan untuk tidak menerapkan dan memperjuangkannya”.

ng harus dibawa.

Penulis, seorang mujahid dakwah yang dengan pengalamannya di medan harakah Islamiyah telah menuliskan bekal apa saja yang harus dimiliki oleh seorang jundullah. Terutama yang disoroti adalah tentang intelektualitas dan akhlak seorang jundullah, suatu aspek yang sangat penting dan mendasar. Uraian kajiannya komprehensif sehingga dengannya seseorang siap menjadi jundullah; golongan yang akan selalu dimenangkan Allah dalam medan kehidupan.
--------------------------------

Al Islam
ISBN: 9786022504764
Berat Produk: 1.5 kg
Ukuran: 25cm x 17.3cm (704 halaman)
Sampul: Hard Cover
Harga Diskon Rp. 190.000,- (harga normal Rp. 273.000,-)

Pemesanan silahkan sms/whatsapp ke 087878147997.

Syukran...
Ada narasi yang berbeda beda dalam menunjukkan kesetiaan terhadap NKRI dan Pancasila antara sesama umat Islam, antara para tokoh politik, pejabat dan kelompok nasionalis sekuler. Perbedaan itu mengakibatkan stigmatisasi yang tidak akurat sehingga saling curiga antara anak bangsa tidak bisa dihindarkan. Solusinya ada ditangan penguasa, tapi penguasa harus mampu membawa narasi yang lebih kuat yang secara konseptual relevan dengan Worldview bangsa yaitu Pancasila dan secara praktikal dapat dilaksanakan secara adil dan beradab, serta dapat dibela dan dipertahankan. Jika tidak maka bangsa ini akan mengalami chaos yang sulit diselesaikan.

-Dr. Hamid Fahmy Zarkasyi-
ORIENTALIS DAN DIABOLISME PEMIKIRAN
Penulis: Dr. Syamsuddin Arif

Tulisan-tulisan Dr. Syamsuddin Arif tentang pemikiran Islam dan pemikiran Barat telah membuka cakrawala baru dalam pemikiran Islam di Indonesia. Melalui berbagai tulisannya, ia telah membuktikan sebagai sosok intelektual yang memegang teguh nilai-nilai akademis ilmiah yang tinggi dan sekaligus memegang teguh posisinya sebagai seorang Muslim. Kemunculan Dr. Syamsuddin Arif dalam blantika pemikiran Islam di Indonesia telah mematahkan mitos kaum orientalis dan murid-muridnya di Indonesia, bahwa menjadi sarjana Muslim yang baik tidak harus disertai dengan melepaskan sikapnya sebagai Muslim. Bagi cendikiawan Betawi ini, seorang Muslim bisa menjadi good scholar dan good Muslim pada waktu yang sama. Karena itulah, buku Dr. Syamsuddin Arif ini sangat penting untuk dibaca oleh kaum Muslim di Indonesia.
-Adian Husaini-
---------------
Harga: Rp. 98.000,-
Pemesanan silahkan sms/whatsapp ke 087878147997

Syukran...
*Tanggung Jawab Ayah Terhadap Anak Laki Laki*
Penulis: Adnan Hasan Shalih Baharits
Sampul: Hard Cover
Isi: 488 Halaman

*Harga Diskon: Rp. 80.000,-* (harga normal Rp. 115.000,-

Pemesanan silahkan sms/whatsapp ke 087878147997.

Syukran...
*Harga Diskon Rp 75.000,- (harga normal Rp. 129.000,-)*

*CAHAYA ZAMAN*
*Penulis: Dr. Aidh Al Qarni*

Kehidupan sekedar untuk hari ini karena kehidupan itu sendiri berlomba dengan waktu. Banyak hal hebat yang dapat kita lakukan baik itu untuk kehidupan kita di dunia maupun di akhirat. Memposisikan diri bahwa hidup kita hanya hari ini saja akan memacu diri menuju kekhusyuan beribadah. Kita juga akan terdorong untuk melakukan yang terbaik bagi kehidupan dunia ini karena merasa tidak ada waktu lagi yang tersedia di esok hari.

Aidh al-Qarni mengajak kita mengukir masa depan. Dengan goresan penanya ini seolah ia mengatakan, "Lihatlah peragaan sejarah oleh waktu, bagaimana manusia-manusia menjadi hebat atau tenggelam di dalamnya." ---------

Dr. Aidh al-Qarni adalah ulama kelahiran Saudi tahun 1379 H. Penulis buku-buku "best seller” ini mulai menuntut ilmu di madrasah ibtidaiyah Ali Salman, dan melanjutkan studi di Ma'had llmi sejak bangku murawassitah (setara SMP), hingga lulus sarjana strata 1 dan Magister di tempat yang sama. Salah satu karya ilmiahnya adalah "At-Bid'ah wa atsaruha fi ad-Diraayah wa ar-Riwayah". Disertasi doktoralnya berjudul "Al-Mufahhim ata Mukhtashar Shahih Muslim".

Kelebihan Syaikh al-Qami selain hafiz AI-Quran, ia adalah orang yang mendalami ilmu syariah dan dakwah, serta mendalami ilmu tafsir seperti Ibnu Katsir, Ath-Thabari, al-Qurthubi, bahkan tafsir Fi Zhilalil Qur'an karya Sayyjd Quthb. Sampai saat ini, ia terus menulis dan tetap konsisten untuk berdakwah. Buku-bukunya yang telah kami terbitkan adalah: Tersenyumlah, Berbahagialah, Majelis Orang-Orang Saleh, dan Khotbah Pilihan Aidh al-Qarni.

ISBN: 979-986-410-0
Dimensi: 16.0 x 23.5 cm.
Sampul: Hard Cover
Hal: 496 halaman.
Penerbit: Al Qalam
Harga Diskon Rp 75.000,- (harga normal Rp. 129.000,-)

Pemesanan silahkan sms/whatsapp 087878147997

Syukran...
SANG NABI, TELADAN ABADI
Oleh: Dr. Adian Husaini

“Sungguh, dalam diri dan kehidupan Rasul (Muhammad saw) itu ada teladan yang baik, bagi orang-orang yang berharap pada Allah, Hari Akhir, dan banyak berzikir kepada Allah.” (Lihat, QS al-Ahzab:21).

Nabi Muhammad saw memang manusia biasa; makan dan minum laiknya manusia lainnya; berdagang ke pasar, memimpin negara dan keluarga; bertetangga dengan muslim dan non-Muslim; guru dan sekaligus teman bagi para muridnya; komandan perang dan inspirator saat perang. Beliau uswatun hasanah, suri tauladan yang agung dan abadi sepanjang zaman.

Seribu emat ratus lebih telah berlalu. Sang Nabi terasa hadir dalam setiap derap langkah kehidupan umat Islam. Sang Nabi jadi teladan dalam semua aspek kehidupan umat Islam. Uniknya, selama 24 jam, langit tidak pernah sepi dari lantunan zikir dan shalawat dari 1,3 milyar lebih kaum muslimin yang menyebut namanya. Shalat kaum Muslim tidak sah jika tidak membaca shalawat untuk Nabi. Tidak ada satu manusia pun yang menduduki tempat terhormat seperti ini.

Tidak ada satu umat, bangsa, atau peradaban, yang memiliki suri teladan yang senantiasa ’up to date’ sebagaimana kaum Muslim yang senantiasa meneladani Muhammad saw dalam semua aspek kehidupan. Mulai tidur sampai tidur lagi, berusaha contoh Nabi. Bangun tidur, muslim ikut cara dan doa Nabi. Sejak usia dini, anak-anak Muslim cara Nabi masuk amar mandi; adab dan doanya pula dihafal luar kepala.

Muslim yang jadi kepala negara tak hilang cara bina negara mulia. Sebab, Nabi jadi sumber inspiras dan teladan bangun negara utama, baldatun thayyibatun wa rabbun ghafur. Beliau pemimpin negara. Beliau panglima perang. Nabi pun suami teladan. Dalam Kitab Uqudul Lujain Fi Huquqi al-Zaujain, dikutip satu hadits Nabi: ”Sebaik-baik kamu adalah yang baik terhadap keluarganya, dan aku adalah orang yang terbaik terhadap keluargaku.”

Itulah makna dan fakta kedudukan Nabi Muhammad saw sebagai uswah hasanah; model yang hidup sepanjang zaman. Meskipun sudah 1400 tahun berlalu, keteladannnya tetap hidup dan relevan. Ini unik. Hanya kaum muslim yang memiliki model lengkap sepanjang zaman. Sekagum-kagumnya kaum komunis terhadap Karl Marx, mereka tidak menjadikan Karl Marx sebagai teladan dalam seluruh aspek kehidupan. Mereka tidak akan bertanya, bagaimana cara Karl Marx tidur, bagaimana cara Karl Marx berkeluarga, bagaimana cara Karl Marx bertetangga, dan bagaimana cara Karl Marx memimpin negara.

Bagi bangsa Amerika, Thomas Jefferson dianggap sebagai “the prophet of this country”. Tapi, mereka tidak akan bertanya bagaimana cara Thomas Jefferson menggosok gosok gigi? Kaum Yahudi mengagungkan David dan Solomon. Tapi, anehnya, mereka menggambarkan sosok David dalam Bibel sebagai seorang pezina, yang berselingkuh dengan Batsheba, istri panglima perangnya sendiri. Bahkan, dengan liciknya David menjerumuskan suami Batsheba, Uria, dalam peperangan sehingga menemui ajalnya. Itu dilakukan agar David bisa mengawini Batsheba. Sosok Solomon juga digambarkan dalam Bibel sebagai penyembah berhala, karena terpengaruh oleh istri-istrinya. Tokoh dan pemimpin Yahudi, Yehuda, pun merupakan pezina yang menghamili menantunya sendiri bernama Tamar.

Kaum Nasrani sangat mengagungkan Yesus Kristus. Tetapi, mereka juga tidak menjadikan sosok Yesus sebagai teladan dalam seluruh aspek kehidupan. Sebab, Yesus sudah mereka angkat sebagai Tuhan, dan bukan lagi manusia. Karena itu, mereka tidak akan bertanya, bagaimana cara Yesus membina rumah tangga dan mengasuh anak. Sebab, Yesus dalam kepercayaan mereka, bukanlah manusia, tetapi Tuhan atau “anak Tuhan”.

Karena itulah al-Quran menjelaskan, bahwa salah satu karunia Allah yang sangat besar kepada kaum mukmin adalah diutusnya seorang Rasul dari kalangan mereka sendiri. Rasul itu manusia, bukan malaikat, dan bukan anak Tuhan atau setengah Tuhan. Bedanya, Rasul yang mulia itu menerima wahyu dari Allah. Sebesar apa pun cinta kaum Muslim kepada Sang Nabi, tak pernah terlintas di benak kaum Muslim untuk mengangkatnya sebagai manusia setengah Tuhan atau anak Tuhan. (Lihat, QS Ali Imran: 164, al-Ka
hfi:110).


Tantangan Kenabian
Sebagaimana para Nabi lainnya, tugas dan misi utama para Nabi adalah mengajak manusia untuk bertauhid, hanya menyembah Allah, dan meninggalkan sesembahan lainnya. (QS an-Nahl:36). Tegakkan Tauhid, tinggalkan kemusyrikan! Itulah misi utama kenabian. Manusia dibimbing untuk mengenal dan menyembah Tuhan yang sebenarnya. Misi utama dakwah inilah yang mendapatkan tantangan hebat dari berbagai kalangan musyrik dan kaum kafir.

Bisa dimaklumi, sejak awal menyampaikan misi dakwahnya, Nabi Muhammad saw telah menghadapi tantangan yang sangat keras dari kaum Yahudi dan Nasrani. Sebab, ajaran yang dibawanya membongkar dasar-dasar kepercayaan Yahudi dan Kristen. Bagi kaum Muslim, Nabi Isa adalah utusan Allah untuk kaum Bani Israel, yang secara tegas mengabarkan akan datangnya Nabi terakhir, yaitu Muhammad saw. Bahkan, orang-orang yang menuhankan Isa a.s. oleh Nabi Muhammad saw secara tegas dikatakan sebagai kaum kafir. (QS ash-Shaf:6, al-Maidah:72-75).

Dalam bukunya, Muhammad: A Biography of the Prophet, Karen Armstrong mengungkap bagaimana sejarah kebencian kaum Kristen Barat terhadap Muhammad saw, yang berurat berakar dalam sejarah. Dalam legenda-leganda di zaman pertengahan di Barat, Muhammad digambarkan sebagai tukang sihir, penderita penyakit epilepsi (ayan), seorang yang dikuasai roh jahat, dan penipu berdarah dingin. Kehidupan seksnya digambarkan penuh birahi. Tokoh-tokoh Kristen Barat ketika itu berusaha menciptakan legenda bahwa Islam adalah pecahan Kristen. Konon, ada seorang ’heretic’ (Kristen yang menyimpang) bernama Sergius yang bertemu Muhammad dan mengajarkan versi Kristen yang menyimpang.

Karen Armstrong menyebut sikap Barat terhadap Islam yang tidak sehat sebagai ’schizophrenic’ dan ’Islamophile’. Paus Clement V (1305-1314) menyebut kehadiran Islam di wilayah Kristen sebagai satu penghinaan terhadap Tuhan. Di abad pertengahan, banyak orang Kristen Barat masih menganggap bahwa kaum Muslim adalah penyembah Muhammad sebagaimana kaum Kristen menyembah Kristus. Dalam karyanya, History of Charlemagne, Pseudo-Turpin menggambarkan kaum muslim (Saracen) sebagai penyembah dewa Mahomet, Apollo, dan Tervagant.

Pada abad ke-12, Peter the Venerable dari biara Cluny, mulai melakukan kajian yang lebih serius tentang Islam. Peter membentuk tim penerjemah yang menerjemahkan buku-buku Islam ke dalam bahasa Latin. Proyek terjemahan al-Quran dalam bahasa Latin pertama selesai tahun 1143 dibawah koordinasi Robert of Ketton. Peter terkenal dengan semboyannya agar dalam menghadapi kaum Muslim, jangan menggunakan kekerasan, senjata, atau kebencian. Tetapi, gunakanlah logika, kata-kata, dan kasih. Tetapi, orang seperti Peter the Venerable pun, menurut Armstrong juga mengidap mentalitas ’schizophrenic’ yang anti-Islam. Ketika Raja Louis VII dari Perancis memimpin Perang Salib II tahun 1147, Peter mengirim surat yang meminta Louis membunuh sebanyak mungkin kaum Muslim sebagaimana Moses dan Joshua membunuh kaum Amorit dan Kanaan.

Di era modern, rasa dengki dan permusuhan terhadap Nabi Muhammad saw pun tak pernah pupus. Masih segar dalam ingatan muslim sedunia, pada edisi 30 September 2005 lalu, koran Jyllands-Posten Denmark memuat 12 gambar kartun yang sangat menghina dan melecehkan Nabi Muhammad saw. Dalam satu kartu digambarkan Nabi tampil dalam sorban yang bentuknya mirip bom yang dipasang pada bagian kepalanya. Tentu, maksudnya, si pembuat kartun berusaha menggambarkan Nabi terakhir itu sebagai sosok teroris. Pada kartun lain, Nabi saw digambarkan sedang berteriak kepada sejumlah orang, “Berhenti, kita sudah kehabisan perawan!”

Beberapa waktu sebelumnya, Ratu Denmark, Margrethe II, juga sudah mengumumkan perang terhadap Islam. Kata Sang Ratu: “Selama beberapa tahun terakhir ini, kita terus ditantang Islam, baik secara lokal maupun global. Ini adalah sebuah tantangan yang harus kita tangani dengan serius. Selama ini kita terlalu lama mengambangkan masalah ini karena kita terlalu toleran dan malas… Kita harus menunjukkan perlawanan kita kepada Islam dan pada saatnya, kita juga harus siap menanggung resik
o mendapat sebutan yang tidak mengenakkan, karena kita tidak menunjukkan sikap toleran.” (Biografi Ratu Margrethe II, April 2003, dikutip dari Republika, 7/2/2006).

Konsili Vatikan II, 1962-1965, menjadi tonggak baru bagi Gereja Katolik dalam pendekatan terhadap agama-agama lain, termasuk kepada umat Islam. Doktrin Nostra Aetate memuat kata-kata simpatik terhadap umat Islam dan mengajak kaum Muslim melupakan konflik-konflik masa lalu. Tapi, secara teologis, tokoh Gereja Katolik tetap menegaskan perbedaan mendasar antara Islam dan Kristen.

Paus Benediktus XVI, yang mundur pada 2013, misalnya, dikenal tegas dan lugas pandangannya terhadap Islam. Dalam buku, The Rule of Benedict XVI (New York: HarperCollins Publisher, 2006), karya David Gibson, disebutkan, bahwa Paus Benediktus, yang ketika itu masih sebagai Kardinal Ratzinger, membuat pernyataan, bahwa Turki harus dicegah masuk Uni Eropa karena Turki lebih mewakili kultur Islam ketimbang kultur Kristen; juga karena sejarahnya yang penuh konflik dengan Eropa. Paus Benediktus ini dikenal sebagai sosok yang ingin mengembalikan identitas kekristenan Eropa.
Betapa pun berbagai kaum menolak kenabian Muhammad saw dan sebagian diantaranya melakukan tindakan caci-maki dan fitnah, bagi kaum Muslimin, Muhammad adalah utusan Allah SWT yang diutus untuk membawa rahmat bagi seluruh alam. Nabi Muhammad saw memang membawa rahmat, karena membawa agama Islam, yang mengandung ajaran-ajaran yang sesuai dengan fithrah manusia. Rasulullah, misalnya, menghalalkan perkawinan dan tidak memandang perkawinan sebagai penghalang untuk mendekatkan diri kepada Allah. Bahkan, Rasulullah melarang sahabatnya yang hendak melakukan selibat – tidak kawin selamanya – dengan alasan agar bisa lebih tekun beribadah kepada Allah. Dalam Islam, nikah itu sendiri, dipandang sebagai sunnah Rasul, dan barangsiapa yang membenci sunnah Rasululllah, maka dia bukan termasuk golongan Nabi Muhammad saw.

Ajaran Nabi Muhammad saw ini memang berbeda dengan ajaran sejumlah agama yang melarang pemuka agamanya untuk menikah. Dalam Katolik, misalnya, masalah selibat – larangan kawin bagi pastur – masih terus menjadi bahan perdebatan. Dalam buku The Rule of Benedict XVI, David Gibson menyebutkan sebuah survei tentang selibat di kalangan pemeluk Katolik di AS. Pada tahun 1985, sebanyak 63 persen menyatakan, bahwa sebaiknya soal menikah atau tidak menikah adalah satu pilihan bagi pastor, bukan suatu paksaan. Tahun 2005, jumlah yang berpendapat seperti itu meningkat menjadi 75 persen; dan lebih dari 80 persen responden berpendapat, pastor yang sudah menikah dan keluar dari kepastoran sebaiknya diberi kesempatan menjadi pastor kembali.

Nabi Muhammad saw memang diutus untuk menjadi rahmat bagi seluruh alam (QS al-Anbiya:107). Sang Nabi akan tetap menjadi teladan abadi bagi manusia yang bersedia mendapatkan rahmat, sekalipun dimusuhi dan dibenci kaum musyrik. “Dialah Allah yang mengutus Rasul-Nya dengan membawa petunjuk dan agama yang benar untuk dimenangkan atas agama-agama lainnya, walaupun kaum musyrik benci.” (QS ash-Shaf: 9). (***)
“Kalau saya menonton film porno salahnya di mana?" Tentu kita merasa prihatin dg pernyataan tsb karena itu dilontarkan oleh seorang pejabat populis yg dipilih langsung oleh masyarakat. Ada sebagian, mungkin sebagian besar, rakyatnya yg mengidolakan dirinya. Kalau sang idola merasa nggak apa2 nonton film porno, bisa jadi mereka akan mengikutinya. Toh, bapak juga nonton, pikir mereka. Tidak sekedar idola, orang yg selama ini melakukan hal yg sama atau ingin melakukannya, serasa mendapat angin segar dan justifikasi atas perbuatannya.

Itulah apa yg disebut al-Ghazali dalam kitabnya Ihya' Ulumuddin sbg dosa kecil bisa menjadi dosa besar. Di poin ke-6 dikatakan dosa kecil bisa jadi dosa besar jika dilakukan oleh orang terkenal yg mempunyai pengikut. Mengapa menjadi dosa besar, karena selain menjadi dosa jariyah (dosanya terus mengalir), kalau pelaku awalnya ingin tobat belum tentu diterima. Sebab, bisa jadi dosanya sdh hilang, tp bagaimana dg dosa orang2 yg mengikutinya? Itulah mengapa ia mesti tanggung jawab....

Belum lagi jika alasan perbuatan itu yg dipakai dalil, yaitu "saya menonton film porno karena sdh dewasa dan sehat". Nanti bisa merembet kemana2, seperti di mana salahnya kalau saya minum "topi miring"? Saya sdh dewasa dan minum sedikit aja jadi nggak mabuk. Apa salahnya saya judi wong judinya di kawasan legal (di Genting Island misalnya), dan saya hanya utk bersenang2 saja, tidak utk cari uang.

Seorang jika melakukan kesalahan atau ada kekurangan pada dirinya biasanya malu atau enggan diketahui orang lain. Ia pasti menutup2inya dan kalaupun ada sesesikit mungkin orang yg tahu, misalnya keluarga atau temannyg sangat dekat. Orang jujur harus disertai sikap bertanggung jawab, tidak sekedar jujur atau lugu. Tugas seorang pemimpin adalah menekan sedapat mungkin utk tidak melakukan dosa. Tapi kalaupun terjadi, namanya juga manusia tempatnya salah dan alpa, dia pun harus merahasiakannya agar tidak diketahui pengikutnya. Namun mengapa pejabat ini justru menyampaikannya di depan media yg ditonton jutaan orang. Mengapa ia merasa perlu mengatakannya? Mengapa?

Itu yg kami merasa prihatin....

*Dr. Budi Handrianto*