*BARAT*
Oleh: Dr. Hamid Fahmy Zarkasyi
Suatu hari David Thomas, pendeta dan Profesor teologi di Selly Oak College, Universitas Birmingham, Inggris ditanya seorang mahasiswanya yang Muslim: “Are you happy with the Western civilization?” “No, not at all” jawabnya tegas. “Why?”, tanyanya. Sebab, paparnya, Barat dan orang-orang Barat maju dan berkembang bukan karena Kristen. Bos pabrik cokelat Cadbury, katanya mencontohkan, menyumbang dana jutaan Poundsterling untuk membangun perpustakaan Selly Oak bukan karena ia seorang Kristen, tapi karena ia kaya dan punya dana sosial lebih.
Jawaban Thomas mengungkap fakta sejarah. Barat bukan Kristen. Sejarawan Barat seperti Onians, R.B, Arthur, W.H.A, Jones, W.T.C, atau William McNeill, umumnya menganggap “Ionia is the cradle of Western civilization” dan Bukan Kristen. Agama Kristen malahan telah ter-Baratkan. Thomas sepertinya ingin mengatakan bahwa Barat tidak lahir dari pandangan hidup Kristen.
Sosoknya mulai nampak ketika marah dan protes terhadap otoritas gereja. Agama dipaksa duduk manis di ruang gereja dan tidak boleh ikut campur dalam ruang publik. Diskursus teologi hanya boleh dilakukan dengan bisik-bisik. Tapi orang boleh teriak anti agama. Hegemoni diganti dengan hegemoni. Barat adalah alam pikiran dan pandangan hidup.
Teriakan Nietzsche “God is dead” masih terdengar hingga saat ini. Dalam The Gay Science ia mengatakan, “ketika kami mendengar “tuhan yang tua itu mati” kami para filosof dan “jiwa-jiwa yang bebas” merasa seakan-akan fajar telah menyingsing menyinari kita”.
Kematian tuhan di Barat ditandai oleh penutupan diskursus metafisika tempat teologi bersemayam. Tuhan bukan lagi supreme being. Tidak ada lagi yang absolute. Semua relatif. Kalau anda mengklaim sesuatu itu benar maka orang lain berhak menghakimi itu salah. Tuhan tidak lagi bisa diwakili. Ia telah mati. Barat adalah alam pikiran dan pandangan hidup.
Mengapa tuhan perlu dibunuh? Kalau Marx menganggap agama sebagai candu masyarakat, Nietzsche menganggap tuhan sebagai tirani jiwa (tyrant of the soul). Beriman pada tuhan tidak bebas dan bebas berarti tanpa iman. Sebab beriman berarti sanggup menerima perintah, larangan atau peraturan yang mengikat. Barat adalah alam pikiran pandangan hidup.
Sejarah Barat adalah sejarah pencarian “kebenaran”. Tapi mencari kebenaran di Barat lebih penting dari kebenaran itu sendiri. Mencari untuk mencari, ilmu untuk ilmu, seni untuk seni. Sesudah “membunuh tuhan” Barat mengangkat tuhan baru yakni logocentrisme atau rasionalisme.
Tidak puas dengan tuhan baru mereka mengangkat liberalisme. Namun kini liberalisme seperti moncong bedil. Pandangan-pandangan yang tidak “setuju” harus keluar atau berhadapan. “You are with us or against us”.
Liberalisme membawa gagasan kepelbagaian (multiplicities), kesamarataan, (equal representation) dan keraguan yang menyeluruh (total doubt). Barat kini adalah sosok yang tanpa wajah. Atau seperti kata Ziauddin Sardar wajah yang tanpa kebenaran (no truth), tanpa realitas (no reality), tanpa makna (no meaning). There is no comfort in the truth. Setting alam pikiran Barat ini dihukumi Francis Fukuyama sebagai akhir dari sejarah (the end of History).
Diskursus tentang God-man & God-world relation di abad pertengahan kini sudah tidak relevan. Humanisme telah mendominasi dan menyingkirkan teisme. Akibatnya, teologi tanpa metafisika, agama tanpa spiritualitas atau bahkan religion without god.
Teologi (theos dan logos) secara etimologis tidak lagi memiliki akar ketuhanan. Istilah teologi pembebasan, teologi emansipasi, teologi menstruasi dan sebagainya tidak lagi berurusan dengan Tuhan. Agama bagi postmodernisme tidak lebih dari sebuah narasi besar (grand narrative) yang dapat diotak-atik oleh permainan bahasa. Makna realitas tergantung kepada kekuatan dan kreatifitas imaginasi dan fantasi. Feeling is everything kata Goethe.
Kebenaran itu relatif dan menjadi hak dan milik semua. Kebenaran adalah ilusi verbal yang diterima masyarakat atau tidak beda dari kebohongan yang disepakati. Etika harus di- globalkan agar tidak ada orang yang merasa p
Oleh: Dr. Hamid Fahmy Zarkasyi
Suatu hari David Thomas, pendeta dan Profesor teologi di Selly Oak College, Universitas Birmingham, Inggris ditanya seorang mahasiswanya yang Muslim: “Are you happy with the Western civilization?” “No, not at all” jawabnya tegas. “Why?”, tanyanya. Sebab, paparnya, Barat dan orang-orang Barat maju dan berkembang bukan karena Kristen. Bos pabrik cokelat Cadbury, katanya mencontohkan, menyumbang dana jutaan Poundsterling untuk membangun perpustakaan Selly Oak bukan karena ia seorang Kristen, tapi karena ia kaya dan punya dana sosial lebih.
Jawaban Thomas mengungkap fakta sejarah. Barat bukan Kristen. Sejarawan Barat seperti Onians, R.B, Arthur, W.H.A, Jones, W.T.C, atau William McNeill, umumnya menganggap “Ionia is the cradle of Western civilization” dan Bukan Kristen. Agama Kristen malahan telah ter-Baratkan. Thomas sepertinya ingin mengatakan bahwa Barat tidak lahir dari pandangan hidup Kristen.
Sosoknya mulai nampak ketika marah dan protes terhadap otoritas gereja. Agama dipaksa duduk manis di ruang gereja dan tidak boleh ikut campur dalam ruang publik. Diskursus teologi hanya boleh dilakukan dengan bisik-bisik. Tapi orang boleh teriak anti agama. Hegemoni diganti dengan hegemoni. Barat adalah alam pikiran dan pandangan hidup.
Teriakan Nietzsche “God is dead” masih terdengar hingga saat ini. Dalam The Gay Science ia mengatakan, “ketika kami mendengar “tuhan yang tua itu mati” kami para filosof dan “jiwa-jiwa yang bebas” merasa seakan-akan fajar telah menyingsing menyinari kita”.
Kematian tuhan di Barat ditandai oleh penutupan diskursus metafisika tempat teologi bersemayam. Tuhan bukan lagi supreme being. Tidak ada lagi yang absolute. Semua relatif. Kalau anda mengklaim sesuatu itu benar maka orang lain berhak menghakimi itu salah. Tuhan tidak lagi bisa diwakili. Ia telah mati. Barat adalah alam pikiran dan pandangan hidup.
Mengapa tuhan perlu dibunuh? Kalau Marx menganggap agama sebagai candu masyarakat, Nietzsche menganggap tuhan sebagai tirani jiwa (tyrant of the soul). Beriman pada tuhan tidak bebas dan bebas berarti tanpa iman. Sebab beriman berarti sanggup menerima perintah, larangan atau peraturan yang mengikat. Barat adalah alam pikiran pandangan hidup.
Sejarah Barat adalah sejarah pencarian “kebenaran”. Tapi mencari kebenaran di Barat lebih penting dari kebenaran itu sendiri. Mencari untuk mencari, ilmu untuk ilmu, seni untuk seni. Sesudah “membunuh tuhan” Barat mengangkat tuhan baru yakni logocentrisme atau rasionalisme.
Tidak puas dengan tuhan baru mereka mengangkat liberalisme. Namun kini liberalisme seperti moncong bedil. Pandangan-pandangan yang tidak “setuju” harus keluar atau berhadapan. “You are with us or against us”.
Liberalisme membawa gagasan kepelbagaian (multiplicities), kesamarataan, (equal representation) dan keraguan yang menyeluruh (total doubt). Barat kini adalah sosok yang tanpa wajah. Atau seperti kata Ziauddin Sardar wajah yang tanpa kebenaran (no truth), tanpa realitas (no reality), tanpa makna (no meaning). There is no comfort in the truth. Setting alam pikiran Barat ini dihukumi Francis Fukuyama sebagai akhir dari sejarah (the end of History).
Diskursus tentang God-man & God-world relation di abad pertengahan kini sudah tidak relevan. Humanisme telah mendominasi dan menyingkirkan teisme. Akibatnya, teologi tanpa metafisika, agama tanpa spiritualitas atau bahkan religion without god.
Teologi (theos dan logos) secara etimologis tidak lagi memiliki akar ketuhanan. Istilah teologi pembebasan, teologi emansipasi, teologi menstruasi dan sebagainya tidak lagi berurusan dengan Tuhan. Agama bagi postmodernisme tidak lebih dari sebuah narasi besar (grand narrative) yang dapat diotak-atik oleh permainan bahasa. Makna realitas tergantung kepada kekuatan dan kreatifitas imaginasi dan fantasi. Feeling is everything kata Goethe.
Kebenaran itu relatif dan menjadi hak dan milik semua. Kebenaran adalah ilusi verbal yang diterima masyarakat atau tidak beda dari kebohongan yang disepakati. Etika harus di- globalkan agar tidak ada orang yang merasa p
aling baik. Baik buruk tidak perlu berasal dari apa kata Tuhan, akal manusia boleh menentukan sendiri.
Barat adalah alam pikiran pandangan hidup. Seperti juga Barat, Kristen, Islam, Hindu, bahkan Jawa adalah sama-sama pandangan hidup. Meski sama namun kesamaan hanya pada tingkat genus, bukan species. Masing-masing memiliki karakter dan elemennya sendiri-sendiri.
Jika elemen-elemen suatu pandangan hidup dimasuki oleh elemen pandangan hidup lain, maka akan terjadi con-fusion alias kebingungan. Margaret Marcus (Maryam Jameelah), malah mengingatkan jika pandangan hidup Barat menelusup kedalam sistem kepercayaan Islam, tidak lagi ada sesuatu yang orisinal yang akan tersisa.
Benar, ketika elemen-elemen Barat yang anti Kristen dipinjam anak-anak muda Muslim, maka mulut yang membaca syahadat itu akan mengeluarkan pikiran ateis. Tuhan yang Maha Kuasa, bisa menjadi “Tuhan yang maha lemah”, al-Qur’an yang suci dan sakral tidak beda dari karya William Shakespear, karena ia sama-sama keluar dari mulut manusia.
Jika umat Islam ingin maju seperti Barat maka ia akan menjadi seperti Barat dan bukan seperti Islam. Dan suatu hari nanti akan ingat keluhan David Thomas atau tangisan Tertulian yang sudah lapuk “Apalah artinya Athena tanpa Jerussalem”. Maksudnya apa artinya kemajuan ilmu pengetahuan jika tanpa didukung agama. Apa arti ilmu tanpa iman.
Barat adalah alam pikiran pandangan hidup. Seperti juga Barat, Kristen, Islam, Hindu, bahkan Jawa adalah sama-sama pandangan hidup. Meski sama namun kesamaan hanya pada tingkat genus, bukan species. Masing-masing memiliki karakter dan elemennya sendiri-sendiri.
Jika elemen-elemen suatu pandangan hidup dimasuki oleh elemen pandangan hidup lain, maka akan terjadi con-fusion alias kebingungan. Margaret Marcus (Maryam Jameelah), malah mengingatkan jika pandangan hidup Barat menelusup kedalam sistem kepercayaan Islam, tidak lagi ada sesuatu yang orisinal yang akan tersisa.
Benar, ketika elemen-elemen Barat yang anti Kristen dipinjam anak-anak muda Muslim, maka mulut yang membaca syahadat itu akan mengeluarkan pikiran ateis. Tuhan yang Maha Kuasa, bisa menjadi “Tuhan yang maha lemah”, al-Qur’an yang suci dan sakral tidak beda dari karya William Shakespear, karena ia sama-sama keluar dari mulut manusia.
Jika umat Islam ingin maju seperti Barat maka ia akan menjadi seperti Barat dan bukan seperti Islam. Dan suatu hari nanti akan ingat keluhan David Thomas atau tangisan Tertulian yang sudah lapuk “Apalah artinya Athena tanpa Jerussalem”. Maksudnya apa artinya kemajuan ilmu pengetahuan jika tanpa didukung agama. Apa arti ilmu tanpa iman.
DR. ADIAN HUSAINI:
Adab Hubungan Guru & Anak Didik, Perenungan kasus Guru Budi di sampang
https://m.facebook.com/story.php?story_fbid=1689028351198238&id=212684542165967
Adab Hubungan Guru & Anak Didik, Perenungan kasus Guru Budi di sampang
https://m.facebook.com/story.php?story_fbid=1689028351198238&id=212684542165967
Facebook
Adian Husaini
Adab Hubungan Guru & Anak Didik, Perenungan kasus Guru Budi di sampang
The meaning of īmān
by Al-Ḥabīb Prof. Sayyīd Muḥammad Naquīb al-Aṭṭaṣ
1. Religion (islām) and belief (īmān) are not identical, but they are mutually inseparable and indispensable. Belief in the sense we mean is to have faith, not quite in the sense faith is understood in English, but in the sense that it involves the becoming true to the trust by which God has confided in one, not by profession of belief with the tongue only, without the assent of the heart and the action of the body in conformity with it; and this is more than knowledge, which is prior to faith, so that it is also verification by deeds in accordance with what is known to be the truth. The ‘truth’ here means what has come down by way of revelation to the Prophet about the nature and reality of God, of His creation, of human destiny, of the relation between man and God and man’s individual responsibility and freedom.
2. To all Muslims īmān and taṣdīq means ‘having faith and belief in what the Prophet brought’, and that īmān and islām are inseparable. The authority for affirming this meaning of taṣdīq is not merely based on Arabic grammar; and the authoritative interpretation of it should have been sought by the non-muslim from relevant Muslims sources such as, to quote three of them, al-Ash‘arī’s Kitāb al-Luma‘ fī’l-Radd ‘alā Ahl al-Zaygh wa’l-Bida‘, Bāb al-Kalām fī’l-Īmān (Arabic text, chapter eight); al-Ghazzālī’s Kitāb Qawā‘id al-‘Aqā’id (Iḥyā, first part), Al-Faṣl al-Rābi‘ fī’l-Īmān wa’l-Islām; and al-Taftāzānī’s Sharḥ al-‘Aqā’id al-Nasafiyyah, the chapter on Īmān. This last reference has apparently been translated into Malay by al-Rānīrī.
3. Īmān implies consciousness of God and remembrance of Him that brings about a condition of tranquility in the soul; it is freedom from worry resulting from doubt; freedom from disquietude and from fear that refers to ultimate destiny; it is inward security that comes about when the soul is submissive to God; and being submissive to God is freedom, which causes to arise in the soul the consciousness of peace called islām.
4. The root amina conveys the meaning of becoming secure, becoming free from fear. The infinitive noun of amina: amnu, means security, freedom from fear. The fear that is meant here is the fear of the unknown, of utter solitude and incommunicability, of death and what lies beyond, a foreboding of dread—in short it is the fear that refers to ultimate destiny.
5. According to what has been and still is verified by “those who have faith (āmanū) and whose heart are rendered tranquil (taṭma’innu) by remembrance (dhikr) of God, for surely in the remembrance of God are hearts made tranquil”, faith (īmān) and remembrance (dhikr) are necessary for the attainment of that stable and peaceful calmness of heart that is called ṭuma’ninah.
6. In this most fundamental concept in life—the concept of knowledge—Islām is at variance with Western civilization, in that for Islām (a) knowledge includes faith and true belief (īmān); and that (b) the purpose for seeking knowledge is to inculculate goodness or justice in man as man and individual self, and not merely in man as citizen or integral part of society: it is man’s value as a real man, as spirit, that is stressed, rather than his value as a physical entity measured in terms of the pragmatic or utilitarian sense of his usefulness to state and society and the world.
by Al-Ḥabīb Prof. Sayyīd Muḥammad Naquīb al-Aṭṭaṣ
1. Religion (islām) and belief (īmān) are not identical, but they are mutually inseparable and indispensable. Belief in the sense we mean is to have faith, not quite in the sense faith is understood in English, but in the sense that it involves the becoming true to the trust by which God has confided in one, not by profession of belief with the tongue only, without the assent of the heart and the action of the body in conformity with it; and this is more than knowledge, which is prior to faith, so that it is also verification by deeds in accordance with what is known to be the truth. The ‘truth’ here means what has come down by way of revelation to the Prophet about the nature and reality of God, of His creation, of human destiny, of the relation between man and God and man’s individual responsibility and freedom.
2. To all Muslims īmān and taṣdīq means ‘having faith and belief in what the Prophet brought’, and that īmān and islām are inseparable. The authority for affirming this meaning of taṣdīq is not merely based on Arabic grammar; and the authoritative interpretation of it should have been sought by the non-muslim from relevant Muslims sources such as, to quote three of them, al-Ash‘arī’s Kitāb al-Luma‘ fī’l-Radd ‘alā Ahl al-Zaygh wa’l-Bida‘, Bāb al-Kalām fī’l-Īmān (Arabic text, chapter eight); al-Ghazzālī’s Kitāb Qawā‘id al-‘Aqā’id (Iḥyā, first part), Al-Faṣl al-Rābi‘ fī’l-Īmān wa’l-Islām; and al-Taftāzānī’s Sharḥ al-‘Aqā’id al-Nasafiyyah, the chapter on Īmān. This last reference has apparently been translated into Malay by al-Rānīrī.
3. Īmān implies consciousness of God and remembrance of Him that brings about a condition of tranquility in the soul; it is freedom from worry resulting from doubt; freedom from disquietude and from fear that refers to ultimate destiny; it is inward security that comes about when the soul is submissive to God; and being submissive to God is freedom, which causes to arise in the soul the consciousness of peace called islām.
4. The root amina conveys the meaning of becoming secure, becoming free from fear. The infinitive noun of amina: amnu, means security, freedom from fear. The fear that is meant here is the fear of the unknown, of utter solitude and incommunicability, of death and what lies beyond, a foreboding of dread—in short it is the fear that refers to ultimate destiny.
5. According to what has been and still is verified by “those who have faith (āmanū) and whose heart are rendered tranquil (taṭma’innu) by remembrance (dhikr) of God, for surely in the remembrance of God are hearts made tranquil”, faith (īmān) and remembrance (dhikr) are necessary for the attainment of that stable and peaceful calmness of heart that is called ṭuma’ninah.
6. In this most fundamental concept in life—the concept of knowledge—Islām is at variance with Western civilization, in that for Islām (a) knowledge includes faith and true belief (īmān); and that (b) the purpose for seeking knowledge is to inculculate goodness or justice in man as man and individual self, and not merely in man as citizen or integral part of society: it is man’s value as a real man, as spirit, that is stressed, rather than his value as a physical entity measured in terms of the pragmatic or utilitarian sense of his usefulness to state and society and the world.
*TAFSIR AL AZHAR*
Penulis: Prof. Dr. Hamka.
----------------------------------------
*DISKON Rp. 400.000,- UNTUK PEMBELIAN 1 SET* menjadi 2.327.000,- (Harga normal Rp. 2.727.000,-)
-----------------------------------------
Sinopsis:
Tafsir al-Azhar adalah hasil karya terbesar dari ulama ternama yaitu Prof. Dr. HAMKA. Dalam penyusunan Tafsir al-Azhar (sebagian ditulis ketika beliau di penjara) Buya HAMKA menggunakan metode tahlili (analitis) tafsir Al-Qur’an dengan Al-Qur’an, tafsir Al-Qur’an dengan hadits, pendapat sahabat dan tabi’in, tafsir dengan tafsir muktabar, penggunaan syair, menggunakan analisis bilma’tsur, menganalisis dengan kemampuan analisis sendiri dan disusun tanpa membawa pertikaian antar madzhab.
Tafsir al-Azhar menitikberatkan penjelasan ayat-ayat Al-Qur’an dengan ungkapan yang teliti menjelaskan makna-makna yang dimaksud dalam Al-Qur’an dengan bahasa yang indah dan menarik dan menghubungkan ayat dengan realitas sosial dan sistem budaya yang ada. Buya HAMKA membicarakan permasalahan sejarah sosial dan budaya di Indonesia. Beliau juga mendemonstrasikan keluasan pengetahuan, menekankan pemahaman ayat secara menyeluruh (mengutip ulama-ulama terdahulu) mendialogkan antara teks Al-Qur’an dengan kondisi umat Islam saat Tafsir al-Azhar ditulis.
------------------------------
Tafsir Al-Azhar
Penulis: Buya Hamka
*DISKON Rp. 400.000,- UNTUK PEMBELIAN 1 SET* menjadi 2.327.000,- (Harga normal Rp. 2.727.000,-)
1 set berisi 9 jilid (plus box) dengan berat 16Kg.
Pemesanan silahkan SMS/whatsapp 087878147997.
Syukran....
Penulis: Prof. Dr. Hamka.
----------------------------------------
*DISKON Rp. 400.000,- UNTUK PEMBELIAN 1 SET* menjadi 2.327.000,- (Harga normal Rp. 2.727.000,-)
-----------------------------------------
Sinopsis:
Tafsir al-Azhar adalah hasil karya terbesar dari ulama ternama yaitu Prof. Dr. HAMKA. Dalam penyusunan Tafsir al-Azhar (sebagian ditulis ketika beliau di penjara) Buya HAMKA menggunakan metode tahlili (analitis) tafsir Al-Qur’an dengan Al-Qur’an, tafsir Al-Qur’an dengan hadits, pendapat sahabat dan tabi’in, tafsir dengan tafsir muktabar, penggunaan syair, menggunakan analisis bilma’tsur, menganalisis dengan kemampuan analisis sendiri dan disusun tanpa membawa pertikaian antar madzhab.
Tafsir al-Azhar menitikberatkan penjelasan ayat-ayat Al-Qur’an dengan ungkapan yang teliti menjelaskan makna-makna yang dimaksud dalam Al-Qur’an dengan bahasa yang indah dan menarik dan menghubungkan ayat dengan realitas sosial dan sistem budaya yang ada. Buya HAMKA membicarakan permasalahan sejarah sosial dan budaya di Indonesia. Beliau juga mendemonstrasikan keluasan pengetahuan, menekankan pemahaman ayat secara menyeluruh (mengutip ulama-ulama terdahulu) mendialogkan antara teks Al-Qur’an dengan kondisi umat Islam saat Tafsir al-Azhar ditulis.
------------------------------
Tafsir Al-Azhar
Penulis: Buya Hamka
*DISKON Rp. 400.000,- UNTUK PEMBELIAN 1 SET* menjadi 2.327.000,- (Harga normal Rp. 2.727.000,-)
1 set berisi 9 jilid (plus box) dengan berat 16Kg.
Pemesanan silahkan SMS/whatsapp 087878147997.
Syukran....
Penjelasan Ust Adian Husaini: *"Perlukah Anak Kita Masuk Pondok?"*
https://m.facebook.com/story.php?story_fbid=1694225014011905&id=212684542165967
https://m.facebook.com/story.php?story_fbid=1694225014011905&id=212684542165967
Facebook
Adian Husaini
Perlukah Anak Kita Masuk Pondok?
*Fitnah, Pesantren Sumber LGBT*
Bersama Ust Adian Husaini
https://m.facebook.com/story.php?story_fbid=1323248724481741&id=153825841424041
Bersama Ust Adian Husaini
https://m.facebook.com/story.php?story_fbid=1323248724481741&id=153825841424041
Facebook
Mustanir Online Book Store
Fitnah, Pesantren Sumber LGBT Bersama Ust Adian Husaini
Malaikat penjaga gunung tersebut memanggilku dan memberi salam kepadaku. Kemudian berkata, ’Wahai Muhammad, hal itu terserah padamu. Jika engkau menghendaki aku meratakan mereka dengan Al Akhasyaibain maka akan aku lakukan.”
https://m.facebook.com/story.php?story_fbid=1324511154355498&id=153825841424041
https://m.facebook.com/story.php?story_fbid=1324511154355498&id=153825841424041
Facebook
Mustanir Online Book Store
Beda Pemimpin, Beda Rakyat Biasa Oleh: Dr Budi Handrianto Peristiwa Pertama Setelah Khadijah dan Abu Thalib wafat, tekanan terhadap dakwah Rasulullah saw makin menjadi jadi. Sampai-sampai beliau saw...
Ada pula yang ragu apakah al-Quran benar-benar wahyu Allah, sedangkan ia percaya rukun Iman. Kini malah ada wanita Muslimah berjilbab, tapi protes mengapa Tuhan begitu maskulin. Malah tidak aneh jika seorang ahli tahajjud dengan keningnya yang hitam, juga seorang Marxist.
https://m.facebook.com/story.php?story_fbid=1326597620813518&id=153825841424041
https://m.facebook.com/story.php?story_fbid=1326597620813518&id=153825841424041
Facebook
Mustanir Online Book Store
Clash of Worldview Oleh: Dr. Hamid Fahmy Zarkasyi Samuel P. Huntington adalah pemberi nama konflik global yang terjadi saat ini dengan sebutan “Clash of Civilization” melalui bukunya yang berjudul...
SEJARAH TOLERANSI ISLAM PADA KAUM KAFIR
Oleh: Dr. Adian Husaini
**
”There was no tradition of religious persecution in the Islamic empire”
(Karen Armstrong)
**
Pada tahun 1973, cendekiawan Muslim, H. Zainal Abidin Ahmad (ZAA), menerbitkan bukunya yang berjudul Piagam Nabi Muhammad S.A.W.: Konstitusi Negara Tertulis Pertama di Dunia (Jakarta: Bulan Bintang, 1973). Dalam bukunya, ZAA banyak mengutip pendapat Prof. Hamidullah, seorang pakar manuskrip kuno. (Lihat juga, Muhammad Hamidullah, The Prophet’s Establishing a State and His Succession, (Pakistan Hijra Council, 1988).
Melalui riset yang sangat serius mulai tahun 1961 sampai tahun 1973, ZAA akhirnya berhasil menyajikan sebuah buku yang memuat Piagam Madinah dalam berbagai versi bahasa. Istilah Konsitusi Madinah diberikan oleh seorang orientalis, W. Montgomery Watt. Muhammad Zafrullah Khan, mantan Menlu Pakistan, dan wakil Ketua Mahkamah Internasional, memberikan nama negara Madinah sebagai “Republik Madinah”. Buku ZAA ini memaparkan, bahwa Piagam Madinah sejatinya merupakan kontitusi negara tertulis pertama di dunia, mendahului Magna Charta di Inggris selama enam abad; dan mendahului Konstitusi Amerika Serikat dan Perancis selama 12 abad.
Konstitusi Madinah diawali dengan ungkapan: “Bismillahirrahmanirrahiim. Haadzaa kitaabun min Muhammadin Nabiy Shallallaahu ‘alaihi wa sallam, bainal mu’miniina wal-muslimiina min quraisyin wa-yatsriba wa man tabi’ahum falahiqa bihim wa jaahada ma’ahum.” (Dengan nama Allah yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang. Inilah Piagam tertulis dari Nabi Muhammad saw kepada orang-orang mukmin dan muslim, baik yang berasal dari suku Quraisy maupun suku Yatsrib, dan kepada segenap warga yang ikut bersama mereka, yang telah membentuk kepentingan bersama dengan mereka dan telah berjuang bersama mereka).
Piagam Madinah ditetapkan tahun 622 M (1 Hijriah). Ketika itu, belum ada satu negara pun di dunia yang memiliki peraturan bagaimana cara mengatur hubungan antara umat beragama. Piagam Madinah, dalam beberapa pasalnya, sudah jelas mengatur hubungan tersebut. Misalnya (terjemah oleh ZAA): Pasal 16: “Bahwa sesungguhnya kaum-bangsa Yahudi yang setia kepada (negara) kita, berhak mendapat bantuan dan perlindungan, tidak boleh dikurangi haknya dan tidak boleh diasingkan dari pergaulan umum.” Pasal 24: “Warga negara (dari golongan) Yahudi memikul beaya bersama-sama dengan kaum beriman, selama negara dalam peperangan.” Pasal 25: (1) Kaum Yahudi dari suku Banu ‘Awf adalah satu bangsa-negara (ummah) dengan warga yang beriman. (2) kaum Yahudi bebas memeluk agama mereka, sebagai kaum Muslimin bebas memeluk agama mereka. (3) Kebebasan ini berlaku juga terhadap pengikut-pengikut/sekutu-sekutu mereka, dan diri mereka sendiri. (4) Kecuali kalau ada yang mengacau dan berbuat kejahatan, yang menimpa diri orang yang bersangkutan dan keluarganya.
Sampai dengan wafatnya, Nabi Muhammad saw telah melakukan interaksi intensif dengan seluruh kelompok agama (paganis, Yahudi, Nasrani), budaya-budaya dominan, dan kekuatan-kekuatan politik terbesar ketika itu (Persia dan Romawi). Ayat-ayat Al Quran yang berbicara tentang kaum Yahudi, Nasrani, Persia, Romawi, menggambarkan bagaimana kaum Muslim telah digembleng dan diberi pedoman yang sangat gamblang dalam menyikapi budaya dan agama di luar Islam.
Bahkan, al-Quran juga tidak melarang kaum Muslim untuk berbuat baik terhadap kaum agama lain – tanpa perlu mengubah istilah ‘kafir’. Sejak awal, umat Islam sudah diajarkan untuk menerima kesadaran akan keberagaman dalam agama (pluralitas). Misalnya, dalam surat Al Mumtahanah ayat 8 disebutkan, "Allah tidak mencegahmu berbuat baik kepada mereka yang tidak memerangimu dan tidak mengusirmu dari kampung halamanmu." Bahkan, Nabi Muhammad saw berpesan, "Barangsiapa menyakiti seorang dzimmi, maka sungguh ia menyakitiku, dan barangsiapa menyakitiku, berarti ia menyakiti Allah." (HR Thabrani).
Umar Melanjutkan
Prestasi Rasulullah saw dalam membangun peradaban yang unggul di Madinah dalam soal membangun toleransi beragama kemudian diikuti oleh Umar bin Khattab yang pada
Oleh: Dr. Adian Husaini
**
”There was no tradition of religious persecution in the Islamic empire”
(Karen Armstrong)
**
Pada tahun 1973, cendekiawan Muslim, H. Zainal Abidin Ahmad (ZAA), menerbitkan bukunya yang berjudul Piagam Nabi Muhammad S.A.W.: Konstitusi Negara Tertulis Pertama di Dunia (Jakarta: Bulan Bintang, 1973). Dalam bukunya, ZAA banyak mengutip pendapat Prof. Hamidullah, seorang pakar manuskrip kuno. (Lihat juga, Muhammad Hamidullah, The Prophet’s Establishing a State and His Succession, (Pakistan Hijra Council, 1988).
Melalui riset yang sangat serius mulai tahun 1961 sampai tahun 1973, ZAA akhirnya berhasil menyajikan sebuah buku yang memuat Piagam Madinah dalam berbagai versi bahasa. Istilah Konsitusi Madinah diberikan oleh seorang orientalis, W. Montgomery Watt. Muhammad Zafrullah Khan, mantan Menlu Pakistan, dan wakil Ketua Mahkamah Internasional, memberikan nama negara Madinah sebagai “Republik Madinah”. Buku ZAA ini memaparkan, bahwa Piagam Madinah sejatinya merupakan kontitusi negara tertulis pertama di dunia, mendahului Magna Charta di Inggris selama enam abad; dan mendahului Konstitusi Amerika Serikat dan Perancis selama 12 abad.
Konstitusi Madinah diawali dengan ungkapan: “Bismillahirrahmanirrahiim. Haadzaa kitaabun min Muhammadin Nabiy Shallallaahu ‘alaihi wa sallam, bainal mu’miniina wal-muslimiina min quraisyin wa-yatsriba wa man tabi’ahum falahiqa bihim wa jaahada ma’ahum.” (Dengan nama Allah yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang. Inilah Piagam tertulis dari Nabi Muhammad saw kepada orang-orang mukmin dan muslim, baik yang berasal dari suku Quraisy maupun suku Yatsrib, dan kepada segenap warga yang ikut bersama mereka, yang telah membentuk kepentingan bersama dengan mereka dan telah berjuang bersama mereka).
Piagam Madinah ditetapkan tahun 622 M (1 Hijriah). Ketika itu, belum ada satu negara pun di dunia yang memiliki peraturan bagaimana cara mengatur hubungan antara umat beragama. Piagam Madinah, dalam beberapa pasalnya, sudah jelas mengatur hubungan tersebut. Misalnya (terjemah oleh ZAA): Pasal 16: “Bahwa sesungguhnya kaum-bangsa Yahudi yang setia kepada (negara) kita, berhak mendapat bantuan dan perlindungan, tidak boleh dikurangi haknya dan tidak boleh diasingkan dari pergaulan umum.” Pasal 24: “Warga negara (dari golongan) Yahudi memikul beaya bersama-sama dengan kaum beriman, selama negara dalam peperangan.” Pasal 25: (1) Kaum Yahudi dari suku Banu ‘Awf adalah satu bangsa-negara (ummah) dengan warga yang beriman. (2) kaum Yahudi bebas memeluk agama mereka, sebagai kaum Muslimin bebas memeluk agama mereka. (3) Kebebasan ini berlaku juga terhadap pengikut-pengikut/sekutu-sekutu mereka, dan diri mereka sendiri. (4) Kecuali kalau ada yang mengacau dan berbuat kejahatan, yang menimpa diri orang yang bersangkutan dan keluarganya.
Sampai dengan wafatnya, Nabi Muhammad saw telah melakukan interaksi intensif dengan seluruh kelompok agama (paganis, Yahudi, Nasrani), budaya-budaya dominan, dan kekuatan-kekuatan politik terbesar ketika itu (Persia dan Romawi). Ayat-ayat Al Quran yang berbicara tentang kaum Yahudi, Nasrani, Persia, Romawi, menggambarkan bagaimana kaum Muslim telah digembleng dan diberi pedoman yang sangat gamblang dalam menyikapi budaya dan agama di luar Islam.
Bahkan, al-Quran juga tidak melarang kaum Muslim untuk berbuat baik terhadap kaum agama lain – tanpa perlu mengubah istilah ‘kafir’. Sejak awal, umat Islam sudah diajarkan untuk menerima kesadaran akan keberagaman dalam agama (pluralitas). Misalnya, dalam surat Al Mumtahanah ayat 8 disebutkan, "Allah tidak mencegahmu berbuat baik kepada mereka yang tidak memerangimu dan tidak mengusirmu dari kampung halamanmu." Bahkan, Nabi Muhammad saw berpesan, "Barangsiapa menyakiti seorang dzimmi, maka sungguh ia menyakitiku, dan barangsiapa menyakitiku, berarti ia menyakiti Allah." (HR Thabrani).
Umar Melanjutkan
Prestasi Rasulullah saw dalam membangun peradaban yang unggul di Madinah dalam soal membangun toleransi beragama kemudian diikuti oleh Umar bin Khattab yang pada
tahun 636 M menandatangani Perjanjian Aelia dengan kaum Kristen di Jerusalem. Sebagai pihak yang menang Perang, Umar bin Khathab tidak menerapkan politik pembantaian terhadap pihak Kristen. Karen Armstrong memuji sikap Umar bin Khatab dan ketinggian sikap Islam dalam menaklukkan Jerusalem, yang belum pernah dilakukan para penguasa mana pun sebelumnya.
Karen Armstrong mencatat: “Umar juga mengekspresikan sikap ideal kasih sayang dari penganut (agama) monoteistik, dibandingkan dengan semua penakluk Jerusalem lainnya, dengan kemungkinan perkecualian pada Raja Daud. Ia memimpin satu penaklukan yang sangat damai dan tanpa tetesan darah, yang Kota itu belum pernah menyaksikannya sepanjang sejarahnya yang panjang dan sering tragis. Saat ketika kaum Kristen menyerah, tidak ada pembunuhan di sana, tidak ada penghancuran properti, tidak ada pembakaran symbol-simbol agama lain, tidak ada pengusiran atyau pengambialihan, dan tidak ada usaha untuk memaksa penduduk Jerusalem memeluk Islam. (Lihat, Karen Arsmtrong, A History of Jerusalem: One City, Three Faiths, (London: Harper Collins Publishers, 1997), hal. 228.).
Toleransi Islam terhadap kaum Yahudi dan agama lain sebenarnya tercatat dengan tinta emas dalam sejarah. Setelah diusir dari Spanyol, kaum Yahudi ditampung dan dilindungi di wilayah Turki Utsmani. Sebagai contoh, di Jerusalem, di masa pemerintahan Sultan Sulaiman Agung (Suleiman the Magnificent -- 1520-1566), Yahudi hidup berdampingan dengan kaum Muslim. Sejumlah pengunjung Yahudi dari Eropa sangat tercengang dengan kebebasan yang dinikmati kaum Yahudi di Palestina. Pada tahun 1535, David dei Rossi, seorang Yahudi Italia, mencatat bahwa di wilayah Uthmani, kaum Yahudi bahkan memegang posisi-posisi di pemerintahan, sesuatu yang mustahil terjadi di Eropa. Ia mencatat: “Here we are not in exile, as in our own country.” (Kami di sini bukanlah hidup di buangan, tetapi layaknya di negeri kami sendiri). (Karen Armstrong, A History of Jerusalem, hal. 325-326.)
Karen Armstrong juga menggambarkan harmonisnya hubungan antara Muslim dengan Yahudi di Spanyol dan Palestina. Menurut Armstrong, di bawah Islam, kaum Yahudi menikmati zaman keemasan di al-Andalus. Musnahnya Yahudi Spanyol telah menimbulkan penyesalan seluruh dunia dan dipandang sebagai bencana terbesar yang menimpa Israel sejak kehancuran (Solomon) Temple. Abad ke-15 juga telah menyaksikan meningkatnya persekusi anti-Semitik di Eropa, dimana kaum Yahudi dideportasi dari berbagai kota. (Karen Armstrong, A History of Jerusalem, hal. 326-327).
Begitu besar jasa Islam terhadap Barat, sampai-sampai Tim Wallace-Murphy dalam bukunya, "What Islam Did for Us", mencatat: “Kita di Barat menanggung hutang kepada dunia Islam yang tidak akan pernah lunas terbayarkan.” (We in the West owe a debt to the Muslim world that can be never fully repaid).
Dengan tetap memegang teguh keyakinan akan kebenaran Islam sebagai agama yang diridhai Allah SWT, dan tanpa mengubah istilah ‘kafir’ yang sudah baku dalam al-Quran, umat Islam telah terbukti dalam sejarah, berhasil mewujudkan kehidupan harmonis dalam bermasyarakat dan bernegara, serta mewujudkan Islam sebagai rahmat bagi seluruh umat manusia.
Kini, tugas besar kita, sebagai umat Islam, adalah berjuang untuk menjadi umat terbaik, sehingga kembali menjadi teladan kehidupan bagi umat manusia lainnya. Wallahu A’lam.
---------------------------------------------
NB. Lebih jauh tentang Sejarah Toleransi Islam, lihat buku “Adian Husaini, Tinjauan Historis Konflik Yahudi-Kristen-Islam”, (Jakarta: GIP, 2018). Silakan hubungi SMS/whatsapp ke 087878147997.
Karen Armstrong mencatat: “Umar juga mengekspresikan sikap ideal kasih sayang dari penganut (agama) monoteistik, dibandingkan dengan semua penakluk Jerusalem lainnya, dengan kemungkinan perkecualian pada Raja Daud. Ia memimpin satu penaklukan yang sangat damai dan tanpa tetesan darah, yang Kota itu belum pernah menyaksikannya sepanjang sejarahnya yang panjang dan sering tragis. Saat ketika kaum Kristen menyerah, tidak ada pembunuhan di sana, tidak ada penghancuran properti, tidak ada pembakaran symbol-simbol agama lain, tidak ada pengusiran atyau pengambialihan, dan tidak ada usaha untuk memaksa penduduk Jerusalem memeluk Islam. (Lihat, Karen Arsmtrong, A History of Jerusalem: One City, Three Faiths, (London: Harper Collins Publishers, 1997), hal. 228.).
Toleransi Islam terhadap kaum Yahudi dan agama lain sebenarnya tercatat dengan tinta emas dalam sejarah. Setelah diusir dari Spanyol, kaum Yahudi ditampung dan dilindungi di wilayah Turki Utsmani. Sebagai contoh, di Jerusalem, di masa pemerintahan Sultan Sulaiman Agung (Suleiman the Magnificent -- 1520-1566), Yahudi hidup berdampingan dengan kaum Muslim. Sejumlah pengunjung Yahudi dari Eropa sangat tercengang dengan kebebasan yang dinikmati kaum Yahudi di Palestina. Pada tahun 1535, David dei Rossi, seorang Yahudi Italia, mencatat bahwa di wilayah Uthmani, kaum Yahudi bahkan memegang posisi-posisi di pemerintahan, sesuatu yang mustahil terjadi di Eropa. Ia mencatat: “Here we are not in exile, as in our own country.” (Kami di sini bukanlah hidup di buangan, tetapi layaknya di negeri kami sendiri). (Karen Armstrong, A History of Jerusalem, hal. 325-326.)
Karen Armstrong juga menggambarkan harmonisnya hubungan antara Muslim dengan Yahudi di Spanyol dan Palestina. Menurut Armstrong, di bawah Islam, kaum Yahudi menikmati zaman keemasan di al-Andalus. Musnahnya Yahudi Spanyol telah menimbulkan penyesalan seluruh dunia dan dipandang sebagai bencana terbesar yang menimpa Israel sejak kehancuran (Solomon) Temple. Abad ke-15 juga telah menyaksikan meningkatnya persekusi anti-Semitik di Eropa, dimana kaum Yahudi dideportasi dari berbagai kota. (Karen Armstrong, A History of Jerusalem, hal. 326-327).
Begitu besar jasa Islam terhadap Barat, sampai-sampai Tim Wallace-Murphy dalam bukunya, "What Islam Did for Us", mencatat: “Kita di Barat menanggung hutang kepada dunia Islam yang tidak akan pernah lunas terbayarkan.” (We in the West owe a debt to the Muslim world that can be never fully repaid).
Dengan tetap memegang teguh keyakinan akan kebenaran Islam sebagai agama yang diridhai Allah SWT, dan tanpa mengubah istilah ‘kafir’ yang sudah baku dalam al-Quran, umat Islam telah terbukti dalam sejarah, berhasil mewujudkan kehidupan harmonis dalam bermasyarakat dan bernegara, serta mewujudkan Islam sebagai rahmat bagi seluruh umat manusia.
Kini, tugas besar kita, sebagai umat Islam, adalah berjuang untuk menjadi umat terbaik, sehingga kembali menjadi teladan kehidupan bagi umat manusia lainnya. Wallahu A’lam.
---------------------------------------------
NB. Lebih jauh tentang Sejarah Toleransi Islam, lihat buku “Adian Husaini, Tinjauan Historis Konflik Yahudi-Kristen-Islam”, (Jakarta: GIP, 2018). Silakan hubungi SMS/whatsapp ke 087878147997.
PERNYATAAN SIKAP PIMPINAN PUSAT BADAN KERJASAMA PONDOK PESANTREN INDONESIA (BKsPPI) TENTANG TERMINOLOGI "KAFIR"
1. Diksi 'kafir' merupakan diksi yang sudah baku dalam syariat Islam, yang bermakna tertutupnya jiwa seseorang dari kebenaran Islam yang datang dari Allah dan Rasul-Nya. Diksi ini digunakan dalam ayat-ayat Al-Qur'an baik yang diturunkan di Makkah, maupun di Madinah;
2. Secara makna, setiap agama juga memiliki keyakinan 'kafir' yang sama terhadap siapa pun yang tidak mempercayai kebenaran agama yang dianut masing-masing, dan toleransi justru dibangun di atas saling menghargai iman yang memang berbeda dan tidak boleh disatukan;
3. Umat Islam menolak paham saling mengkafirkan sesama umat Islam, namun hal ini tidak bisa menjadi justifikasi untuk menghilangkan makna kafir bagi non-Muslim yang wajib dibahas dalam ragam forum ilmiah, baik ta'lim, tabligh, khutbah jum'at, maupun di ruang-ruang pendidikan umat Islam karena menyangkut bab aqidah sebagai pondasi iman, dan karena sedikit kasus-kasus yang muncul ditujukan justru kepada Muslim, sehingga diskursus ini dipandang tidak kontekstual;
4. Bangsa Indonesia dari agama mana pun terbukti dalam sejarah yang panjang, bebas untuk mencalonkan diri mereka di wilayah politik, namun Umat Islam juga memiliki panduan politik bagaimana memilih sosok Muslim yang taat,siddiq, amanah, dan profesional;
5. Umat Islam tidak pernah terbiasa dan tidak pernah dibiasakan untuk menyebut kafir kepada Non-Muslim di ruang publik, justru umat Islam wajib menghadirkan adab atau akhlak terbaik kepada Non-Muslim, sehingga mengangkat isu 'kafir' dalam forum ilmiah Bahtsul Masail dipandang tidak memiliki justifikasi yang kuat;
6. Terdapat hal-hal yang lebih penting untuk diprioritaskan bagi keutuhan bangsa Indonesia akhir-akhir ini seperti munculnya RUU Penghapusan Kekerasan Seksual yang dibangun di atas Naskah Akademik yang sarat bermuatan Ideologi Trans Nasional Feminisme Radikal;
7. Sebagai warga negara (muwathin) Indonesia dalam perspektif kebangsaan (muwathanah), umat Islam diberikan hak untuk menggunakan hukum Islam dalam beberapa hal yang dilindungi seperti dalam masalah hukum pernikahan, pewarisan, dan sejenisnya;
8. Negara tidak boleh sampai mengintervensi kandungan keyakinan pemahaman agama yang harus steril dari kepentingan politik praktis dan sesaat;
9. Dalam situasi politik menuju 17 April 2019 ini, hendaknya para ulama dapat bersama-sama menciptakan situasi yang kondusif untuk keutuhan bangsa dan negara Indonesia, terutama untuk mengamalkan pesan Nabi Muhammad Saw.:
المسْلِمُ مَنْ سَلِمَ المسْلِمُوْنَ مِنْ لِسَانِهِ وَيَدِهِ , و المهاجِرَ مَنْ هَجَرَ مَا نهَى اللهُ عَنْهُ
_“Yang disebut dengan muslim sejati adalah orang yang selamat orang muslim lainnya dari lisan dan tangannya. Dan orang yang berhijrah adalah orang yang berhijrah dari perkara yang dilarang oleh Allah.”_ (HR. al-Bukhari No. 10 dan Muslim No. 40 )
10. Masalah kemusliman dan kekufuran adalah masalah aqidah yang jelas garis perbedaannya, tidak boleh mencampur dan mengaburkan antara haq dan batil.
11. Islam adalah satu-satunya agama yang benar dan diridhoi Allah, mencari agama di luar Islam adalah kesesatan dan ditolak oleh Allah.
12. Menolak segala macam upaya untuk meragukan, mengaburkan dan mengubah ajaran Islam yang telah ditetapkan Allah dalam Al Qur'an.
13. Menghimbau kepada seluruh masyarakat, ormas-ormas Islam dan pesantren untuk mewaspadai segala macam bentuk progam liberalisasi ajaran Islam yang menyesatkan umat.
Bogor, 04 Maret 2019 M/27 Jumadil Akhir 1440 H.
TTD
PIMPINAN PUSAT BKsPPI
Ketua
Prof.Dr.KH.Didin Hafidhuddin, MS.
Sekum
Dr.H.Akhmad Alim, Lc.,MA.
1. Diksi 'kafir' merupakan diksi yang sudah baku dalam syariat Islam, yang bermakna tertutupnya jiwa seseorang dari kebenaran Islam yang datang dari Allah dan Rasul-Nya. Diksi ini digunakan dalam ayat-ayat Al-Qur'an baik yang diturunkan di Makkah, maupun di Madinah;
2. Secara makna, setiap agama juga memiliki keyakinan 'kafir' yang sama terhadap siapa pun yang tidak mempercayai kebenaran agama yang dianut masing-masing, dan toleransi justru dibangun di atas saling menghargai iman yang memang berbeda dan tidak boleh disatukan;
3. Umat Islam menolak paham saling mengkafirkan sesama umat Islam, namun hal ini tidak bisa menjadi justifikasi untuk menghilangkan makna kafir bagi non-Muslim yang wajib dibahas dalam ragam forum ilmiah, baik ta'lim, tabligh, khutbah jum'at, maupun di ruang-ruang pendidikan umat Islam karena menyangkut bab aqidah sebagai pondasi iman, dan karena sedikit kasus-kasus yang muncul ditujukan justru kepada Muslim, sehingga diskursus ini dipandang tidak kontekstual;
4. Bangsa Indonesia dari agama mana pun terbukti dalam sejarah yang panjang, bebas untuk mencalonkan diri mereka di wilayah politik, namun Umat Islam juga memiliki panduan politik bagaimana memilih sosok Muslim yang taat,siddiq, amanah, dan profesional;
5. Umat Islam tidak pernah terbiasa dan tidak pernah dibiasakan untuk menyebut kafir kepada Non-Muslim di ruang publik, justru umat Islam wajib menghadirkan adab atau akhlak terbaik kepada Non-Muslim, sehingga mengangkat isu 'kafir' dalam forum ilmiah Bahtsul Masail dipandang tidak memiliki justifikasi yang kuat;
6. Terdapat hal-hal yang lebih penting untuk diprioritaskan bagi keutuhan bangsa Indonesia akhir-akhir ini seperti munculnya RUU Penghapusan Kekerasan Seksual yang dibangun di atas Naskah Akademik yang sarat bermuatan Ideologi Trans Nasional Feminisme Radikal;
7. Sebagai warga negara (muwathin) Indonesia dalam perspektif kebangsaan (muwathanah), umat Islam diberikan hak untuk menggunakan hukum Islam dalam beberapa hal yang dilindungi seperti dalam masalah hukum pernikahan, pewarisan, dan sejenisnya;
8. Negara tidak boleh sampai mengintervensi kandungan keyakinan pemahaman agama yang harus steril dari kepentingan politik praktis dan sesaat;
9. Dalam situasi politik menuju 17 April 2019 ini, hendaknya para ulama dapat bersama-sama menciptakan situasi yang kondusif untuk keutuhan bangsa dan negara Indonesia, terutama untuk mengamalkan pesan Nabi Muhammad Saw.:
المسْلِمُ مَنْ سَلِمَ المسْلِمُوْنَ مِنْ لِسَانِهِ وَيَدِهِ , و المهاجِرَ مَنْ هَجَرَ مَا نهَى اللهُ عَنْهُ
_“Yang disebut dengan muslim sejati adalah orang yang selamat orang muslim lainnya dari lisan dan tangannya. Dan orang yang berhijrah adalah orang yang berhijrah dari perkara yang dilarang oleh Allah.”_ (HR. al-Bukhari No. 10 dan Muslim No. 40 )
10. Masalah kemusliman dan kekufuran adalah masalah aqidah yang jelas garis perbedaannya, tidak boleh mencampur dan mengaburkan antara haq dan batil.
11. Islam adalah satu-satunya agama yang benar dan diridhoi Allah, mencari agama di luar Islam adalah kesesatan dan ditolak oleh Allah.
12. Menolak segala macam upaya untuk meragukan, mengaburkan dan mengubah ajaran Islam yang telah ditetapkan Allah dalam Al Qur'an.
13. Menghimbau kepada seluruh masyarakat, ormas-ormas Islam dan pesantren untuk mewaspadai segala macam bentuk progam liberalisasi ajaran Islam yang menyesatkan umat.
Bogor, 04 Maret 2019 M/27 Jumadil Akhir 1440 H.
TTD
PIMPINAN PUSAT BKsPPI
Ketua
Prof.Dr.KH.Didin Hafidhuddin, MS.
Sekum
Dr.H.Akhmad Alim, Lc.,MA.
IJMA'
Oleh: Dr. Hamid Fahmy Zarkasyi
Pada tanggal 27-28 Mei 2013 yang lalu Gerakan Fathullah Gulen mengadakan perhelatan besar di Istanbul. Acara yang diadakan di Istanbul Convention Center itu dihadiri oleh sekitar 5000 peserta dari 80 negara. Acaranya tidak seserius seminar karena jumlah pesertanya yang cukup banyak, dan tidak sesederhana Tabligh Akbar atau istighatsah karena materinya cukup penting dan berbobot.
Konferensi dua hari dengan tema Ijma wa al-Wa’yu al-jama’i (Ijma’ dan Kesadaran Bersama) menghadirkan kurang lebih 18 pembicara dari negara-negara Arab, India, Tunis, Maroko, Sudan, Qatar, Negeria, dan Turkey sendiri. Diantaranya adalah Prof. Dr. Ali Juma mantan Mufti Besar Mesir, Rashid al-Ghannushi, Tunisia, Prof. Dr. Isam al-Bashir, Sudan, Prof. Dr. Sayfu’d-Din Abdul Fattah, Cairo University, Prof. Dr. Muhammad Babaammi, Aljazair, Mukhtar ash-Shinqitee, Qatar, Prof. Dr. Abdul Majid Najjar, Tunisia dan beberapa ulama dan intelektual asal Turkey sendiri.
Diantara yang topic penting yang diangkat adalah sbb: Ijma Sebagai Sumber Ilmu, Kebenaran Ijma, Pentingnya Ijma Para Sahabat Nabi, Praktek Ijma’ di Zaman Umar, Khulafa al-Rasyidun dan Masyarakat Rasyid, Ijma’ Politik di zaman Sahabat, Institusionalisasi Ijma’, Standar Nilai dan Metode Training bagi Menciptakan Kultur Ijma, Aspek Spiritual dalam Kultur Ijma’, Dinamika Melahirkan Generasi Ijma’.
Dalam Key Note Speech-nya Ali Jum’ah membuka pernyataan yang cukup menarik. Semua bidang umat Islam kini bermasalah, bidang politik misalnya hingga kini belum mencapai periode anak-anak sekalipun. Bidang ekonomi Islam kini masih memerlukan kerja yang lebih keras lagi, dan sebagainya. Maka dari itu kita sangat membutuhkan kesadaran bersama dalam bentuk Ijma’.
Ijma’ dalam tradisi Fiqih berarti kesepakatan semua mujtahid dari ummat Muhammad saw pada zaman tertentu sesudah zaman Nabi Muhammad dalam masalah syariah. Disini tauladan yang diambil para ulama adalah Ijma’ yang dilakukan oleh Khulafa’ al-Rasyidun (para Khalifah Yang Mendapat Petunjuk).
Ijma’ yang diakukan oleh para Khalifah Yang Mendapat Petunjuk dasarnya adalah keimanan, ketaqwaan, keikhlasan, ilmu pengetahuan, kesabaran, kesungguhan, kesadaran individu terhadap jama’ah. Artinya para khalifah yang mendapat petunjuk itu (khulafa’ al-rasyidun) itu didukung oleh masyarakat yang mendapat petunjuk pula (mujtama’ al-rasyid).
Maka kesepakatan (Ijma’) masyarakat di zaman tabi’in untuk memilih pemimpin Abu Bakar, Umar, Usman dan Ali itu adalah termasuk ijma’, dan itu tidak salah karena mendapat petunjuk Allah. Sebab Rasulullah telah meramalkan “Ummatku tidak akan berijma’ (bersepakat) dalam kesesatan.” Mazhab atau kelompok apapun yang menyalahkan ijma’ tersebut maka maka kelompok itu telah menyalahkan Nabi.
Tidak ada yang menafikan bahwa ‘ijma adalah sumber ilmu dalam Islam, dan kini umat Islam kini perlu melakukannya. Namun, persoalannya bagaimana ber-ijma’ di zaman sekarang ini. Ijma’ dalam masalah Fiqih adalah wajib menurut Abdul Hamid Mazkur. Tapi kini tantangannya tidak hanya dalam bidang Fiqih, bidang-bidang lain juga memerlukan ‘ijma.
Sayfu’d-Din Abdul Fattah, guru besar Universitas Kairo, menawarkan trilogi ijma. Pertama memaknai ulang kata ummah, kedua mengkaitkan ijma dengan pembaharuan, dan ketiga pelembagaan pelaksanaan Ijma’. Ketiga komponen ijma’ ini perlu diperjelas sebelum umat Islam melakukan suatu ijma’. Ini akan dapat menentukan apakah suatu kesepakatan dapat disebut Ijma’ atau tidak.
Kata ummah perlu dimaknai ulang, sebab ummah tidak sama dengan nation, kata Prof. Abbadi dari Maroko. Sedangkan ruang lingkup ijma’, menurut Prof. Abd. Hamid Mazkur dapat diperluas kepada masalah-masalah kemanusiaan dan bahkan keilmuan. Disini Abdul Majid Najjar dari Tunis mengusulkan agar universitas dijadikan tempat ijma’ para cendekiawan dalam masalah-masalah keilmuan. Sudah tentu, katanya, prosedur dan syarat ijma’ yang ditetapkan fuqaha harus ditepati.
Majid, bahkan menawarkan agar perlemen Negara Islam dijadikan lembaga ijma’. Jika ada ada angota non-Muslim di dalamnya maka ia harus berdasarkan keahli
Oleh: Dr. Hamid Fahmy Zarkasyi
Pada tanggal 27-28 Mei 2013 yang lalu Gerakan Fathullah Gulen mengadakan perhelatan besar di Istanbul. Acara yang diadakan di Istanbul Convention Center itu dihadiri oleh sekitar 5000 peserta dari 80 negara. Acaranya tidak seserius seminar karena jumlah pesertanya yang cukup banyak, dan tidak sesederhana Tabligh Akbar atau istighatsah karena materinya cukup penting dan berbobot.
Konferensi dua hari dengan tema Ijma wa al-Wa’yu al-jama’i (Ijma’ dan Kesadaran Bersama) menghadirkan kurang lebih 18 pembicara dari negara-negara Arab, India, Tunis, Maroko, Sudan, Qatar, Negeria, dan Turkey sendiri. Diantaranya adalah Prof. Dr. Ali Juma mantan Mufti Besar Mesir, Rashid al-Ghannushi, Tunisia, Prof. Dr. Isam al-Bashir, Sudan, Prof. Dr. Sayfu’d-Din Abdul Fattah, Cairo University, Prof. Dr. Muhammad Babaammi, Aljazair, Mukhtar ash-Shinqitee, Qatar, Prof. Dr. Abdul Majid Najjar, Tunisia dan beberapa ulama dan intelektual asal Turkey sendiri.
Diantara yang topic penting yang diangkat adalah sbb: Ijma Sebagai Sumber Ilmu, Kebenaran Ijma, Pentingnya Ijma Para Sahabat Nabi, Praktek Ijma’ di Zaman Umar, Khulafa al-Rasyidun dan Masyarakat Rasyid, Ijma’ Politik di zaman Sahabat, Institusionalisasi Ijma’, Standar Nilai dan Metode Training bagi Menciptakan Kultur Ijma, Aspek Spiritual dalam Kultur Ijma’, Dinamika Melahirkan Generasi Ijma’.
Dalam Key Note Speech-nya Ali Jum’ah membuka pernyataan yang cukup menarik. Semua bidang umat Islam kini bermasalah, bidang politik misalnya hingga kini belum mencapai periode anak-anak sekalipun. Bidang ekonomi Islam kini masih memerlukan kerja yang lebih keras lagi, dan sebagainya. Maka dari itu kita sangat membutuhkan kesadaran bersama dalam bentuk Ijma’.
Ijma’ dalam tradisi Fiqih berarti kesepakatan semua mujtahid dari ummat Muhammad saw pada zaman tertentu sesudah zaman Nabi Muhammad dalam masalah syariah. Disini tauladan yang diambil para ulama adalah Ijma’ yang dilakukan oleh Khulafa’ al-Rasyidun (para Khalifah Yang Mendapat Petunjuk).
Ijma’ yang diakukan oleh para Khalifah Yang Mendapat Petunjuk dasarnya adalah keimanan, ketaqwaan, keikhlasan, ilmu pengetahuan, kesabaran, kesungguhan, kesadaran individu terhadap jama’ah. Artinya para khalifah yang mendapat petunjuk itu (khulafa’ al-rasyidun) itu didukung oleh masyarakat yang mendapat petunjuk pula (mujtama’ al-rasyid).
Maka kesepakatan (Ijma’) masyarakat di zaman tabi’in untuk memilih pemimpin Abu Bakar, Umar, Usman dan Ali itu adalah termasuk ijma’, dan itu tidak salah karena mendapat petunjuk Allah. Sebab Rasulullah telah meramalkan “Ummatku tidak akan berijma’ (bersepakat) dalam kesesatan.” Mazhab atau kelompok apapun yang menyalahkan ijma’ tersebut maka maka kelompok itu telah menyalahkan Nabi.
Tidak ada yang menafikan bahwa ‘ijma adalah sumber ilmu dalam Islam, dan kini umat Islam kini perlu melakukannya. Namun, persoalannya bagaimana ber-ijma’ di zaman sekarang ini. Ijma’ dalam masalah Fiqih adalah wajib menurut Abdul Hamid Mazkur. Tapi kini tantangannya tidak hanya dalam bidang Fiqih, bidang-bidang lain juga memerlukan ‘ijma.
Sayfu’d-Din Abdul Fattah, guru besar Universitas Kairo, menawarkan trilogi ijma. Pertama memaknai ulang kata ummah, kedua mengkaitkan ijma dengan pembaharuan, dan ketiga pelembagaan pelaksanaan Ijma’. Ketiga komponen ijma’ ini perlu diperjelas sebelum umat Islam melakukan suatu ijma’. Ini akan dapat menentukan apakah suatu kesepakatan dapat disebut Ijma’ atau tidak.
Kata ummah perlu dimaknai ulang, sebab ummah tidak sama dengan nation, kata Prof. Abbadi dari Maroko. Sedangkan ruang lingkup ijma’, menurut Prof. Abd. Hamid Mazkur dapat diperluas kepada masalah-masalah kemanusiaan dan bahkan keilmuan. Disini Abdul Majid Najjar dari Tunis mengusulkan agar universitas dijadikan tempat ijma’ para cendekiawan dalam masalah-masalah keilmuan. Sudah tentu, katanya, prosedur dan syarat ijma’ yang ditetapkan fuqaha harus ditepati.
Majid, bahkan menawarkan agar perlemen Negara Islam dijadikan lembaga ijma’. Jika ada ada angota non-Muslim di dalamnya maka ia harus berdasarkan keahli
an dalam bidang tertentu.
Semua pembicara seperti sepakat bahwa umat Islam perlu melakukan ‘ijma dalam bidang politik, budaya, ekonomi, kemanusiaan dan lain sebagainya. Untuk itu konferensi rekomendasi, diantaranya, agar konferensi seperti ini diadaka disetiap Negara Islam. Yang terpenting adalah agar ummat Islam seluruh dunia menciptakan organisasi khusus dan pusat-pusat studi keilmuan untuk mendukung proses ijma’ dalam berbagai bidang.
Semua pembicara seperti sepakat bahwa umat Islam perlu melakukan ‘ijma dalam bidang politik, budaya, ekonomi, kemanusiaan dan lain sebagainya. Untuk itu konferensi rekomendasi, diantaranya, agar konferensi seperti ini diadaka disetiap Negara Islam. Yang terpenting adalah agar ummat Islam seluruh dunia menciptakan organisasi khusus dan pusat-pusat studi keilmuan untuk mendukung proses ijma’ dalam berbagai bidang.
PERLUKAH UJIAN NASIONAL?
Oleh: Dr. Adian Husaini
Menurut hemat saya, ini bukan masalah pokok pendidikan kita. Ujian nasional bisa perlu, jika materi yang diujikan adalah hal-hal yang fardhu ain bagi siswa muslim. Seperti iman, ibadah wajib, akhlak mulia, dan baca Al Qur'an. Semua siswa muslim wajib lulus ujian hal-hal yang fardhu ain tersebut.
Tapi bisa juga itu tidak perlu dibuat UJIAN secara nasional oleh pemerintah pusat, sehingga perlu anggaran yang besar. Ujian itu bisa dilakukan oleh sekolah/pesantren masing-masing. Yang diutamakan adalah kompetensi nya. Bukan nilai2 formalitasnya.... Jadi, misalnya, secara nasional, di manapun, siswa SD yang muslim, harus TIDAK DILULUSKAN, jika belum bisa sholat yang benar, dan tidak bisa ngaji Al Qur'an. Begitu ketentuan UUD 1945 pasal 31 (C).
Karena itu, kurikulum pendidikan kita harus memberikan kesempatan para siswa/mahasiswa muslim untuk menguasai ilmu-ilmu fardhu ain, sebelum ilmu-ilmu fardhu kifayah, juga mendahulukan adab sebelum ilmu.
Masalah pendidikan kita bukan hanya bagaimana bisa cari makan, tapi yang lebih mendasar adalah bagaimana menjadi manusia yang baik. Manusia yang baik pasti bisa cari makan. Apalagi jika berjuang di jalan Allah, sudah pasti ditolong oleh Allah. Sebaliknya, yang bisa cari makan, belum tentu manusia yang baik. Wallaahu A'lam.
Oleh: Dr. Adian Husaini
Menurut hemat saya, ini bukan masalah pokok pendidikan kita. Ujian nasional bisa perlu, jika materi yang diujikan adalah hal-hal yang fardhu ain bagi siswa muslim. Seperti iman, ibadah wajib, akhlak mulia, dan baca Al Qur'an. Semua siswa muslim wajib lulus ujian hal-hal yang fardhu ain tersebut.
Tapi bisa juga itu tidak perlu dibuat UJIAN secara nasional oleh pemerintah pusat, sehingga perlu anggaran yang besar. Ujian itu bisa dilakukan oleh sekolah/pesantren masing-masing. Yang diutamakan adalah kompetensi nya. Bukan nilai2 formalitasnya.... Jadi, misalnya, secara nasional, di manapun, siswa SD yang muslim, harus TIDAK DILULUSKAN, jika belum bisa sholat yang benar, dan tidak bisa ngaji Al Qur'an. Begitu ketentuan UUD 1945 pasal 31 (C).
Karena itu, kurikulum pendidikan kita harus memberikan kesempatan para siswa/mahasiswa muslim untuk menguasai ilmu-ilmu fardhu ain, sebelum ilmu-ilmu fardhu kifayah, juga mendahulukan adab sebelum ilmu.
Masalah pendidikan kita bukan hanya bagaimana bisa cari makan, tapi yang lebih mendasar adalah bagaimana menjadi manusia yang baik. Manusia yang baik pasti bisa cari makan. Apalagi jika berjuang di jalan Allah, sudah pasti ditolong oleh Allah. Sebaliknya, yang bisa cari makan, belum tentu manusia yang baik. Wallaahu A'lam.
Di dunia ini setidaknya terdapat empat golongan orang dalam berislam: Golongan pertama orang Islam yang berilmu Islam, menjalankan Islam, berakhlaq Islam dan sangat perduli dengan urusan umat Islam. Golongan kedua, orang Islam yang sedikit berilmu Islam, menjalankan Islam, tapi tidak perduli dengan nasib umat Islam. Golongan ketiga, orang Islam yang tidak mempunyai ilmu Islam, tidak menjalankan syariat Islam dan tidak perduli terhadap urusan Islam. Golongan keempat, orang Islam yang belajar Islam, menjalankan sebagian syariat Islam, suka mengkritik dan terkadang benci terhadap Islam dan umat Islam, dan tidak perduli terhadap urusan umat Islam. Sayangnya, golongan pertama adalah minoritas, sedangkan golongan kedua dan ketiga mayoritas, dan golongan keempat sedikit jumlahnya tapi besar bahayanya. Rasulullah bersabda :"Barangsiapa tidak perduli terhadap urusan umat Islam, maka ia bukan dari golongan kita" (al-Hadith)
- Dr. Hamid Fahmy Zarkasyi -
- Dr. Hamid Fahmy Zarkasyi -
"PERGURUAN TINGGI IDEAL DÌ ERA DISRUPSI"
Penulis: Dr. Adian Husaini
Sinopsis:
Saat ini kita memasuki Era disrupsi. Mau tidak mau, era ini memaksa terjadinya perubahan cepat, masif, dan kacau. Pilihannya dua: berubah atau punah.
Dunia Pendidikan Tinggi pun bergegas-gegas menyongsong perubahan. MOOCs (Massive Open Online Courses) makin marak. Sebab, lebih mudah, praktis, murah dan legal. Kedepan, KOMPETENSI -- bukan gelar formal -- yang lebih bernilai!
Disrupsi juga menggoncang iman dan akhlak mulia. Tantangan pembinaan iman taqwa makin berat. Tetapi, peluang justru sangat terbuka bagi Pondok-pondok Pesantren untuk mewujudkan Perguruan Tinggi ideal, sesuai dengan misi pesantren dan Tujuan Pendidikan Tinggi (UU no 12/2012). Bagaimana detilnya, silakan baca buku ini.
Buku ini bukan hanya kumpulan teori. Tapi konsep Pendidikan Tinggi ideal ini sedang diaplikasikan.
Ingat pesan Nabi kita, bahwa setiap anak lahir dalam fitrahnya. Orang tua si anak itu yang mendidik mereka menjadi "Yahudi", "Nasrani" atau "Majuzi". Mau kita jadikan apa anak kita?
------------------------
"PERGURUAN TINGGI IDEAL DÌ ERA DISRUPSI"
Penulis: Dr. Adian Husaini
Harga Rp. 125.000,-
Pemesanan silahkan sms/whatsapp ke 087878147997.
Syukran...
Penulis: Dr. Adian Husaini
Sinopsis:
Saat ini kita memasuki Era disrupsi. Mau tidak mau, era ini memaksa terjadinya perubahan cepat, masif, dan kacau. Pilihannya dua: berubah atau punah.
Dunia Pendidikan Tinggi pun bergegas-gegas menyongsong perubahan. MOOCs (Massive Open Online Courses) makin marak. Sebab, lebih mudah, praktis, murah dan legal. Kedepan, KOMPETENSI -- bukan gelar formal -- yang lebih bernilai!
Disrupsi juga menggoncang iman dan akhlak mulia. Tantangan pembinaan iman taqwa makin berat. Tetapi, peluang justru sangat terbuka bagi Pondok-pondok Pesantren untuk mewujudkan Perguruan Tinggi ideal, sesuai dengan misi pesantren dan Tujuan Pendidikan Tinggi (UU no 12/2012). Bagaimana detilnya, silakan baca buku ini.
Buku ini bukan hanya kumpulan teori. Tapi konsep Pendidikan Tinggi ideal ini sedang diaplikasikan.
Ingat pesan Nabi kita, bahwa setiap anak lahir dalam fitrahnya. Orang tua si anak itu yang mendidik mereka menjadi "Yahudi", "Nasrani" atau "Majuzi". Mau kita jadikan apa anak kita?
------------------------
"PERGURUAN TINGGI IDEAL DÌ ERA DISRUPSI"
Penulis: Dr. Adian Husaini
Harga Rp. 125.000,-
Pemesanan silahkan sms/whatsapp ke 087878147997.
Syukran...
NURANI HOMO
Oleh: Dr. Hamid Fahmy Zarkasyi - Direktur INSISTS
Asal muasal praktek homo (hubungan sejenis) di zaman ini tidak dapat dilepaskan dari gerakan feminism dan kesetaraan gender di Barat. Kelompok yang paling keras memperjuangkan hal ini adalah feminis radikal libertarian dan radikal.
Dalam bukunya The Myth of ….Orgasm Ann Koedt banyak bicara kepuasan seks ini seperti memberi berargumentasi begini: "jika laki-laki berhak memperoleh kepuasan seksualnya sendiri tanpa memperdulikan kepuasan wanita, maka wanita pun berhak memperoleh kepuasan seksualnya tanpa laki-laki". Maka tak pelak lagi sejak 1970 Lesbianisme benar-benar muncul sebagai gerakan perempuan.
Jika kondisi para wanita di Barat demikian, maka tidak aneh jika kemudian laki-laki merespon. Kira-kira para lelaki disana akan sesumbar: "jika para wanita telah dapat memperoleh kepuasan seks mereka sendiri, maka kami pun dapat mendapatkan kepuasan seks kami sendiri". Itu semua merupakan embrio dari praktek dan prilaku homo alias hubungan sejenis alias lesbi dan gay.
Tapi argumen feminis tentang praktek homoseks ini membingungkan dan tidak normal. Para feminis sepakat bahwa ge rak an mereka berdasarkan keyakinan bah wa gender ditentukan oleh konstruk social. Artinya seseorang itu menjadi laki-laki atau perempuan karena masyarakat meng ingin kan demikian. Mengapa laki-laki macho dan masculine sedang perempuan itu feminin adalah karena masyarakat. Itu lah diantara alasannya mengapa gerakan femenisme dan kesetaraan gender men coba merubah masyarakat agar memperlakukan laki-laki dan perempuan setara.
Anehnya, ketika kini mereka membela kaum lesbi, gay, biseksual dan transgender, keyakinan mereka itu berubah. Sese orang menjadi homo itu adalah bawaan sejak lahir dan tidak dapat diubah. Misi yang mereka perjuangkan pun berganti ya itu agar pelaku homo, biseksual dan transgender ini diterima oleh masyarakat. Mengapa harus minta diterima masyara kat jika mereka lahir karena konstruk social.
Di kalangan psikolog di Amerika peru bahan yang terjadi lebih aneh lagi. Jika sebelum ini mereka sepakat bahwa peri kalu homoseks dan lesbi itu dianggap ab normal, maka kini mereka sepakat bahwa perilaku itu diangap normal belaka. Tidak puas dianggap normal kini berkembang menjadi tuntutan agar mereka dibolehkan menikah dengan sesama jenis.
Islam mengajarkan bahwa jenis kela min laki-laki dan perempuan itu dicipta kan demi kelestarian jenis manusia de ngan segala martabat kemanusiaannya (QS. an- Nisa [4]: 1). Perilaku seks yang menyimpang seperti homoseksual, lesbia nisme dan seks diluar pernikahan justru akan memusnahkan jenis makhluq manusia.
Maka jika orang al-Qur'an difahami dengan akal yang cerdas maka LGBT ti dak hanya menjijikkan, tapi bertentang an dengan naluri manusia normal. Me nikah seperti diatur dalam pasal 1 Undang – Undang No. 1 Tahun 1974 adalah "… .ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa".
Jika ada yang masih berdalih "tidak ada larangan khusus dalam al-Qur'an", maka kita perlu faham mengapa Islam mengajarkan agar laki-laki diperlakukan seperti laki-laki dan perempuan seperti perempu an. Nabi saw. melaknat laki-laki yang me nyerupai wanita dan wanita yang menyerupai laki-laki (HR. al-Bukhari). Na bi saw. juga memerintahkan kaum muslim agar me ngeluarkan kaum waria dari rumah-rumah mereka. Dalam riwa yat Abu Daud di ceritakan bahwa Beliau saw. pernah me merintahkan para saha bat mengusir se orang waria dan mengasingkannya ke Baqi'.
Dalam kasus kaum Nabi Luth Allah telah memperingatkan "Sesungguhnya kamu mendatangi lelaki untuk memuas kan nafsu syahwat kamu Dengan meninggalkan perempuan, bahkan kamu ini adalah kaum Yang melampaui batas". (Su rah Al-'Araf : 80 81). Adapun mengenai hukumnya Nabi pun bersabda : Ba rangsiapa yang mendapatinya mela kukan amalan kaum Luth, maka bunuhlah pembuat dan yang kena buat"(Al-Mustad rak ' Ala Sahihain : 4/395 : hadis no : 8049). Sedangkan mereka yang melakukan amalan
Oleh: Dr. Hamid Fahmy Zarkasyi - Direktur INSISTS
Asal muasal praktek homo (hubungan sejenis) di zaman ini tidak dapat dilepaskan dari gerakan feminism dan kesetaraan gender di Barat. Kelompok yang paling keras memperjuangkan hal ini adalah feminis radikal libertarian dan radikal.
Dalam bukunya The Myth of ….Orgasm Ann Koedt banyak bicara kepuasan seks ini seperti memberi berargumentasi begini: "jika laki-laki berhak memperoleh kepuasan seksualnya sendiri tanpa memperdulikan kepuasan wanita, maka wanita pun berhak memperoleh kepuasan seksualnya tanpa laki-laki". Maka tak pelak lagi sejak 1970 Lesbianisme benar-benar muncul sebagai gerakan perempuan.
Jika kondisi para wanita di Barat demikian, maka tidak aneh jika kemudian laki-laki merespon. Kira-kira para lelaki disana akan sesumbar: "jika para wanita telah dapat memperoleh kepuasan seks mereka sendiri, maka kami pun dapat mendapatkan kepuasan seks kami sendiri". Itu semua merupakan embrio dari praktek dan prilaku homo alias hubungan sejenis alias lesbi dan gay.
Tapi argumen feminis tentang praktek homoseks ini membingungkan dan tidak normal. Para feminis sepakat bahwa ge rak an mereka berdasarkan keyakinan bah wa gender ditentukan oleh konstruk social. Artinya seseorang itu menjadi laki-laki atau perempuan karena masyarakat meng ingin kan demikian. Mengapa laki-laki macho dan masculine sedang perempuan itu feminin adalah karena masyarakat. Itu lah diantara alasannya mengapa gerakan femenisme dan kesetaraan gender men coba merubah masyarakat agar memperlakukan laki-laki dan perempuan setara.
Anehnya, ketika kini mereka membela kaum lesbi, gay, biseksual dan transgender, keyakinan mereka itu berubah. Sese orang menjadi homo itu adalah bawaan sejak lahir dan tidak dapat diubah. Misi yang mereka perjuangkan pun berganti ya itu agar pelaku homo, biseksual dan transgender ini diterima oleh masyarakat. Mengapa harus minta diterima masyara kat jika mereka lahir karena konstruk social.
Di kalangan psikolog di Amerika peru bahan yang terjadi lebih aneh lagi. Jika sebelum ini mereka sepakat bahwa peri kalu homoseks dan lesbi itu dianggap ab normal, maka kini mereka sepakat bahwa perilaku itu diangap normal belaka. Tidak puas dianggap normal kini berkembang menjadi tuntutan agar mereka dibolehkan menikah dengan sesama jenis.
Islam mengajarkan bahwa jenis kela min laki-laki dan perempuan itu dicipta kan demi kelestarian jenis manusia de ngan segala martabat kemanusiaannya (QS. an- Nisa [4]: 1). Perilaku seks yang menyimpang seperti homoseksual, lesbia nisme dan seks diluar pernikahan justru akan memusnahkan jenis makhluq manusia.
Maka jika orang al-Qur'an difahami dengan akal yang cerdas maka LGBT ti dak hanya menjijikkan, tapi bertentang an dengan naluri manusia normal. Me nikah seperti diatur dalam pasal 1 Undang – Undang No. 1 Tahun 1974 adalah "… .ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa".
Jika ada yang masih berdalih "tidak ada larangan khusus dalam al-Qur'an", maka kita perlu faham mengapa Islam mengajarkan agar laki-laki diperlakukan seperti laki-laki dan perempuan seperti perempu an. Nabi saw. melaknat laki-laki yang me nyerupai wanita dan wanita yang menyerupai laki-laki (HR. al-Bukhari). Na bi saw. juga memerintahkan kaum muslim agar me ngeluarkan kaum waria dari rumah-rumah mereka. Dalam riwa yat Abu Daud di ceritakan bahwa Beliau saw. pernah me merintahkan para saha bat mengusir se orang waria dan mengasingkannya ke Baqi'.
Dalam kasus kaum Nabi Luth Allah telah memperingatkan "Sesungguhnya kamu mendatangi lelaki untuk memuas kan nafsu syahwat kamu Dengan meninggalkan perempuan, bahkan kamu ini adalah kaum Yang melampaui batas". (Su rah Al-'Araf : 80 81). Adapun mengenai hukumnya Nabi pun bersabda : Ba rangsiapa yang mendapatinya mela kukan amalan kaum Luth, maka bunuhlah pembuat dan yang kena buat"(Al-Mustad rak ' Ala Sahihain : 4/395 : hadis no : 8049). Sedangkan mereka yang melakukan amalan