rlakukan Pancasila yang sekarang. Prof. Kasman Singodimedjo, yang terlibat dalam lobi-lobi tanggal 18 Agustus 1945 di PPKI, menyatakan, bahwa Dekrit 5 Juli 1959 bersifat “einmalig”, artinya berlaku untuk selama-lamanya (tidak dapat dicabut). “Maka, Piagam Jakarta sejak tanggal 5 Juli 1959 menjadi sehidup semati dengan Undang-undang Dasar 1945 itu, bahkan merupakan jiwa yang menjiwai Undang-undang Dasar 1945 tersebut,” tulis Kasman dalam bukunya, Hidup Itu Berjuang, Kasman Singodimedjo 75 Tahun (Jakarta: Bulan Bintang, 1982).
Karena itu, adalah sangat aneh jika masih saja ada pihak-pihak tertentu di Indonesia yang alergi dengan Piagam Jakarta. Dr. Roeslan Abdulgani, tokoh utama PNI, selaku Wakil Ketua DPA dan Ketua Pembina Jiwa Revolusi, menulis: “Tegas-tegas di dalam Dekrit ini ditempatkan secara wajar dan secara histories-jujur posisi dan fungsi Jakarta Charter tersebut dalam hubungannya dengan UUD Proklamasi dan Revolusi kita yakni: Jakarta Charter sebagai menjiwai UUD ’45 dan Jakarta Charter sebagai merupakan rangkaian kesatuan dengan UUD ’45.” (Dikutip dari Endang Saifuddin Anshari, Piagam Jakarta 22 Juni 1945: Sebuah Konsensus Nasional Tentang Dasar Negara Republik Indonesia (1945-1949), (Jakarta: GIP, 1997), hal. 130).
Dalam pidatonya pada hari peringatan Piagam Jakarta tanggal 29 Juni 1968 di Gedung Pola Jakarta, KHM Dahlan, tokoh NU, yang juga Menteri Agama ketika itu mengatakan: “Bahwa di atas segala-galanya, memang syariat Islam di Indonesia telah berabad-abad dilaksanakan secra konsekuen oleh rakyat Indonesia, sehingga ia bukan hanya sumber hukum, malahan ia telah menjadi kenyataan, di dalam kehidupan rakyat Indonesia sehari-hari yang telah menjadi adat yang mendarah daging. Hanya pemerintah kolonial Belandalah yang tidak mau menformilkan segala hukum yang berlaku di kalangan rakyat kita itu, walaupun ia telah menjadi ikatan-ikatan hukum dalam kehidupan mereka sehari-hari.” (Ibid, hal. 135).
Meskipun Piagam Jakarta adalah bagian yang sah dan tidak terpisahkan dari UUD 1945, tetapi dalam sejarah perjalanan bangsa, senantiasa ada usaha keras untuk menutup-nutupi hal ini. Di zaman Orde Lama, sebelum G-30S/PKI, kalangan komunis sangat aktif dalam upaya memanipulasi kedudukan Piagam Jakarta. Ajip Rosidi, sastrawan terkenal menulis dalam buku, Beberapa Masalah Umat Islam Indonesia (1970): “Pada zaman pra-Gestapu, PKI beserta antek-anteknyalah yang paling takut kalau mendengar perkataan Piagam Jakarta… Tetapi agaknya ketakutan akan Piagam Jakarta, terutama ke-7 patah kata itu bukan hanya monopoli PKI dan antek-anteknya saja. Sekarang pun setelah PKI beserta antek-anteknya dinyatakan bubar, masih ada kita dengar tanggapan yang aneh terhadapnya.” (Ibid, hal. 138).
Jadi, sikap alergi terhadap Piagam Jakarta jelas-jelas bertentangan dengan Konstitusi Negara RI, UUD 1945. Meskipun secara verbal “tujuh kata” (dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya) telah terhapus dari naskah Pembukaan UUD 1945, tetapi kedudukan Piagam Jakarta sangatlah jelas, sebagaimana ditegaskan dalam Dekrit Presiden 5 Juli 1959. Setelah itu, Piagam Jakarta juga merupakan sumber hukum yang hidup. Sejumlah peraturan perundang-undangan yang dikeluarkan setelah tahun 1959 merujuk atau menjadikan Piagam Jakarta sebagai konsideran.
Sebagai contoh, penjelasan atas Penpres 1/1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama, dibuka dengan ungkapan: “Dekrit Presiden tanggal 5 Juli 1959 yang menetapkan Undang-undang Dasar 1945 berlaku lagi bagi segenap bangsa Indonesia ia telah menyatakan bahwa Piagam Jakarta tertanggal 22 Juni 1945 menjiwai dan merupakan suatu rangkaian kesatuan dengan konstitusi tersebut.”
Dalam Peraturan Presiden No 11 tahun 1960 tentang Pembentukan Institut Agama Islam Negeri (IAIN), juga dicantumkan pertimbangan pertama: “bahwa sesuai dengan Piagam Djakarta tertanggal 22 Djuni 1945, yang mendjiwai Undang-undang Dasar 1945 dan merupakan rangkaian kesatuan dengan Konstitusi tersebut…”.
Sebuah buku yang cukup komprehensif tentang Piagam Jakarta ditulis oleh sejarawan Ridwan Saidi, berjudul Status
Karena itu, adalah sangat aneh jika masih saja ada pihak-pihak tertentu di Indonesia yang alergi dengan Piagam Jakarta. Dr. Roeslan Abdulgani, tokoh utama PNI, selaku Wakil Ketua DPA dan Ketua Pembina Jiwa Revolusi, menulis: “Tegas-tegas di dalam Dekrit ini ditempatkan secara wajar dan secara histories-jujur posisi dan fungsi Jakarta Charter tersebut dalam hubungannya dengan UUD Proklamasi dan Revolusi kita yakni: Jakarta Charter sebagai menjiwai UUD ’45 dan Jakarta Charter sebagai merupakan rangkaian kesatuan dengan UUD ’45.” (Dikutip dari Endang Saifuddin Anshari, Piagam Jakarta 22 Juni 1945: Sebuah Konsensus Nasional Tentang Dasar Negara Republik Indonesia (1945-1949), (Jakarta: GIP, 1997), hal. 130).
Dalam pidatonya pada hari peringatan Piagam Jakarta tanggal 29 Juni 1968 di Gedung Pola Jakarta, KHM Dahlan, tokoh NU, yang juga Menteri Agama ketika itu mengatakan: “Bahwa di atas segala-galanya, memang syariat Islam di Indonesia telah berabad-abad dilaksanakan secra konsekuen oleh rakyat Indonesia, sehingga ia bukan hanya sumber hukum, malahan ia telah menjadi kenyataan, di dalam kehidupan rakyat Indonesia sehari-hari yang telah menjadi adat yang mendarah daging. Hanya pemerintah kolonial Belandalah yang tidak mau menformilkan segala hukum yang berlaku di kalangan rakyat kita itu, walaupun ia telah menjadi ikatan-ikatan hukum dalam kehidupan mereka sehari-hari.” (Ibid, hal. 135).
Meskipun Piagam Jakarta adalah bagian yang sah dan tidak terpisahkan dari UUD 1945, tetapi dalam sejarah perjalanan bangsa, senantiasa ada usaha keras untuk menutup-nutupi hal ini. Di zaman Orde Lama, sebelum G-30S/PKI, kalangan komunis sangat aktif dalam upaya memanipulasi kedudukan Piagam Jakarta. Ajip Rosidi, sastrawan terkenal menulis dalam buku, Beberapa Masalah Umat Islam Indonesia (1970): “Pada zaman pra-Gestapu, PKI beserta antek-anteknyalah yang paling takut kalau mendengar perkataan Piagam Jakarta… Tetapi agaknya ketakutan akan Piagam Jakarta, terutama ke-7 patah kata itu bukan hanya monopoli PKI dan antek-anteknya saja. Sekarang pun setelah PKI beserta antek-anteknya dinyatakan bubar, masih ada kita dengar tanggapan yang aneh terhadapnya.” (Ibid, hal. 138).
Jadi, sikap alergi terhadap Piagam Jakarta jelas-jelas bertentangan dengan Konstitusi Negara RI, UUD 1945. Meskipun secara verbal “tujuh kata” (dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya) telah terhapus dari naskah Pembukaan UUD 1945, tetapi kedudukan Piagam Jakarta sangatlah jelas, sebagaimana ditegaskan dalam Dekrit Presiden 5 Juli 1959. Setelah itu, Piagam Jakarta juga merupakan sumber hukum yang hidup. Sejumlah peraturan perundang-undangan yang dikeluarkan setelah tahun 1959 merujuk atau menjadikan Piagam Jakarta sebagai konsideran.
Sebagai contoh, penjelasan atas Penpres 1/1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama, dibuka dengan ungkapan: “Dekrit Presiden tanggal 5 Juli 1959 yang menetapkan Undang-undang Dasar 1945 berlaku lagi bagi segenap bangsa Indonesia ia telah menyatakan bahwa Piagam Jakarta tertanggal 22 Juni 1945 menjiwai dan merupakan suatu rangkaian kesatuan dengan konstitusi tersebut.”
Dalam Peraturan Presiden No 11 tahun 1960 tentang Pembentukan Institut Agama Islam Negeri (IAIN), juga dicantumkan pertimbangan pertama: “bahwa sesuai dengan Piagam Djakarta tertanggal 22 Djuni 1945, yang mendjiwai Undang-undang Dasar 1945 dan merupakan rangkaian kesatuan dengan Konstitusi tersebut…”.
Sebuah buku yang cukup komprehensif tentang Piagam Jakarta ditulis oleh sejarawan Ridwan Saidi, berjudul Status
Piagam Jakarta: Tinjauan Hukum dan Sejarah (Jakarta: Mahmilub, 2007). Ridwan menulis, bahwa hukum Islam adalah hukum yang hidup di tengah masyarakat Muslim. Tanpa UUD atau tanpa negara pun, umat Islam akan menjalankan syariat Islam. Karena itu, Piagam Jakarta, sebenarnya mengakui hak orang Islam untuk menjalankan syariatnya. Dan itu telah diatur dalam Dekrit Presiden 5 Juli 1959 yang dituangkan dalam Keppres No. 150/tahun 1959 sebagaimana ditempatkan dalam Lembaran Negara No. 75/tahun 1959.
Hukum Islam telah diterapkan di bumi Indonesia ini selama ratusan tahun, jauh sebelum kauh penjajah Kristen datang ke negeri ini. Selama beratus-ratus tahun pula, penjajah Kristen Belanda berusaha menggusur hukum Islam dari bumi Indonesia. C. van Vollenhoven dan Christian Snouck Hurgronje, misalnya, tercatat sebagai sarjana Belanda yang sangat gigih dalam menggusur hukum Islam. Tapi, usaha mereka tidak berhasil sepenuhnya. Hukum Islam akhirnya tetap diakui sebagai bagian dari sistem hukum di wilayah Hindia Belanda. Melalui RegeeringsReglement, disingkat RR, biasa diterjemahkan sebagai Atoeran Pemerintahan Hindia Belanda (APH), pasal 173 ditentukan bahwa: “Tiap-tiap orang boleh mengakui hukum dan aturan agamanya dengan semerdeka-merdekanya, asal pergaulan umum (maatschappij) dan anggotanya diperlindungi dari pelanggaran undang-undang umum tentang hukum hukuman (strafstrecht).” (Ridwan Saidi, Status Piagam Jakarta hal. 96).
Jadi, meskipun sudah berusaha sekuat tenaga, Belanda akhirnya tidak berhasil sepenuhnya menggusur syariat Islam dari bumi Indonesia. Ridwan menulis: “Sampai dengan berakhirnya masa VOC tahun 1799, VOC terus berkutat untuk melakukan unifikasi hukum dengan sedapat mungkin menyingkirkan hukum Islam, tetapi sampai munculnya Pemerintah Hindia Belanda usaha itu sia-sia belaka.” (Ibid, hal. 94).
Kegagalan penjajah Kristen Belanda untuk menggusur syariat Islam, harusnya menjadi pelajaran berharga bagi kaum Kristen di Indonesia. Mereka harusnya menyadari bahwa kedudukan syariat Islam bagi kaum Muslim sangat berbeda dengan kedudukan hukum Taurat bagi Kristen. Dengan mengikuti ajaran Paulus, kaum Kristen memang kemudian berlepas diri dari hukum Taurat dengan berbagai pertimbangan.
Dalam bukunya yang berjudul Syariat Taurat atau Kemerdekaan Injil? (Mitra Pustaka, 2008), Pendeta Herlianto menguraikan bagaimana kedudukan hukum Taurat bagi kaum Kristen saat ini. Dalam konsep Kristen, menurut Herlianto, keselamatan dan kebenaran bukanlah tergantung dari melakukan perbuatan hukum-hukum Taurat, melainkan karena Iman dan Kasih Karunia dengan menjalankan hukum Kasih. Jadi, hukum Kasih itulah yang kemudian dipegang kaum Kristen. Hukum sunat (khitan), misalnya, meskipun jelas-jelas disyariatkan dalam Taurat, tetapi tidak lagi diwajibkan bagi kaum Kristen. ‘Sunat’ yang dimaksud, bukan lagi syariat sunat sebagaimana dipahami umat-umat para Nabi sebelumnya, tetapi ditafsirkan sebagai “sunat rohani”. (Rm. 2:29). (Herlianto, Syariat Taurat atau Kemerdekaan Injil? Hal. 16-17).
Babi, misalnya, juga secara tegas diharamkan dalam Kitab Imamat, 11:7-8. Tetapi, teks Bibel versi Indonesia tentang babi itu sendiri memang sangat beragam, meskipun diterbitkan oleh Lembaga Alkitab Indonesia (LAI). Dalam Alkitab versi LAI, tahun 1968 ditulis: “dan lagi babi, karena sungguh pun kukunya terbelah dua, ia itu bersiratan kukunya, tetapi dia tiada memamah biak, maka haramlah ia kepadamu. Djanganlah kamu makan daripada dagingnya dan djangan pula kamu mendjamah bangkainya, maka haramlah ia kepadamu.” (Dalam Alkitab versi LAI tahun 2007, kata babi berubah menjadi babi hutan: “Demikian juga babi hutan, karena memang berkuku belah, yaitu kukunya bersela panjang, tetapi tidak memamah biak, haram itu bagimu. Daging binatang-binatang itu janganlah kamu makan dan bangkainya janganlah kamu sentuh; haram semuanya itu bagimu.”). Pada tahun yang sama, 2007, LAI juga menerbitkan Alkitab dalam Bahasa Indonesia Masa Kini, yang menulis ayat tersebut: “Jangan makan babi. Binatang itu haram, karena walaupun kukunya terbelah, ia tidak memamah biak. Dagingnya tak boleh dimaka
Hukum Islam telah diterapkan di bumi Indonesia ini selama ratusan tahun, jauh sebelum kauh penjajah Kristen datang ke negeri ini. Selama beratus-ratus tahun pula, penjajah Kristen Belanda berusaha menggusur hukum Islam dari bumi Indonesia. C. van Vollenhoven dan Christian Snouck Hurgronje, misalnya, tercatat sebagai sarjana Belanda yang sangat gigih dalam menggusur hukum Islam. Tapi, usaha mereka tidak berhasil sepenuhnya. Hukum Islam akhirnya tetap diakui sebagai bagian dari sistem hukum di wilayah Hindia Belanda. Melalui RegeeringsReglement, disingkat RR, biasa diterjemahkan sebagai Atoeran Pemerintahan Hindia Belanda (APH), pasal 173 ditentukan bahwa: “Tiap-tiap orang boleh mengakui hukum dan aturan agamanya dengan semerdeka-merdekanya, asal pergaulan umum (maatschappij) dan anggotanya diperlindungi dari pelanggaran undang-undang umum tentang hukum hukuman (strafstrecht).” (Ridwan Saidi, Status Piagam Jakarta hal. 96).
Jadi, meskipun sudah berusaha sekuat tenaga, Belanda akhirnya tidak berhasil sepenuhnya menggusur syariat Islam dari bumi Indonesia. Ridwan menulis: “Sampai dengan berakhirnya masa VOC tahun 1799, VOC terus berkutat untuk melakukan unifikasi hukum dengan sedapat mungkin menyingkirkan hukum Islam, tetapi sampai munculnya Pemerintah Hindia Belanda usaha itu sia-sia belaka.” (Ibid, hal. 94).
Kegagalan penjajah Kristen Belanda untuk menggusur syariat Islam, harusnya menjadi pelajaran berharga bagi kaum Kristen di Indonesia. Mereka harusnya menyadari bahwa kedudukan syariat Islam bagi kaum Muslim sangat berbeda dengan kedudukan hukum Taurat bagi Kristen. Dengan mengikuti ajaran Paulus, kaum Kristen memang kemudian berlepas diri dari hukum Taurat dengan berbagai pertimbangan.
Dalam bukunya yang berjudul Syariat Taurat atau Kemerdekaan Injil? (Mitra Pustaka, 2008), Pendeta Herlianto menguraikan bagaimana kedudukan hukum Taurat bagi kaum Kristen saat ini. Dalam konsep Kristen, menurut Herlianto, keselamatan dan kebenaran bukanlah tergantung dari melakukan perbuatan hukum-hukum Taurat, melainkan karena Iman dan Kasih Karunia dengan menjalankan hukum Kasih. Jadi, hukum Kasih itulah yang kemudian dipegang kaum Kristen. Hukum sunat (khitan), misalnya, meskipun jelas-jelas disyariatkan dalam Taurat, tetapi tidak lagi diwajibkan bagi kaum Kristen. ‘Sunat’ yang dimaksud, bukan lagi syariat sunat sebagaimana dipahami umat-umat para Nabi sebelumnya, tetapi ditafsirkan sebagai “sunat rohani”. (Rm. 2:29). (Herlianto, Syariat Taurat atau Kemerdekaan Injil? Hal. 16-17).
Babi, misalnya, juga secara tegas diharamkan dalam Kitab Imamat, 11:7-8. Tetapi, teks Bibel versi Indonesia tentang babi itu sendiri memang sangat beragam, meskipun diterbitkan oleh Lembaga Alkitab Indonesia (LAI). Dalam Alkitab versi LAI, tahun 1968 ditulis: “dan lagi babi, karena sungguh pun kukunya terbelah dua, ia itu bersiratan kukunya, tetapi dia tiada memamah biak, maka haramlah ia kepadamu. Djanganlah kamu makan daripada dagingnya dan djangan pula kamu mendjamah bangkainya, maka haramlah ia kepadamu.” (Dalam Alkitab versi LAI tahun 2007, kata babi berubah menjadi babi hutan: “Demikian juga babi hutan, karena memang berkuku belah, yaitu kukunya bersela panjang, tetapi tidak memamah biak, haram itu bagimu. Daging binatang-binatang itu janganlah kamu makan dan bangkainya janganlah kamu sentuh; haram semuanya itu bagimu.”). Pada tahun yang sama, 2007, LAI juga menerbitkan Alkitab dalam Bahasa Indonesia Masa Kini, yang menulis ayat tersebut: “Jangan makan babi. Binatang itu haram, karena walaupun kukunya terbelah, ia tidak memamah biak. Dagingnya tak boleh dimaka
n dan bangkainya pun tak boleh disentuh karena binatang itu haram.”
Jika dibaca secara literal, maka jelaslah, harusnya babi memang diharamkan. Tetapi, kaum Kristen mempunyai cara tersendiri dalam memahami kitabnya. Menurut Herlianto, Rasul Paulus telah memberikan pengertian hukum Taurat dengan jelas: “Tetapi sekarang kita telah dibebaskan dari hukum Taurat, sebab kita telah mati bagi dia, yang mengurung kita, sehingga kita sekarang melayani dalam keadaan baru dan bukan dalam keadaan lama menurut hukum-hukum Taurat.” (Rm. 7:6). (Herlianto, Syariat Taurat atau Kemerdekaan Injil? Hal. 20).
Pandangan kaum Kristen terhadap hukum Taurat tentu saja sangat berbeda dengan pandangan dan sikap umat Islam terhadap syariat Islam. Sampai kiamat, umat Islam tetap menyatakan, bahwa babi adalah haram. Teks al-Quran yang mengharamkan babi juga tidak pernah berubah sepanjang zaman, sampai kiamat. Hingga kini, tidak ada satu pun umat Islam yang menolak syariat khitan, dan menggantikannya dengan “khitan ruhani”. Sebab, umat Islam bukan hanya menerima ajaran, tetapi juga mempunyai contoh dalam pelaksanaan syariat, yaitu Nabi Muhammad saw. Karena sifatnya yang final dan universal, maka syariat Islam berlaku sepanjang zaman dan untuk semua umat manusia. Apa pun latar belakang budayanya, umat Islam pasti mengharamkan babi dan mewajibkan shalat lima waktu. Apalagi, dalam pandangan Islam, syariat Islam itu mencakup seluruh aspek kehidupan manusia; mulai tata cara mandi sampai mengatur perekonomian.
Pandangan dan sikap umat Islam terhadap syariat Islam semacam ini harusnya dipahami dan dihormati oleh kaum Kristen. Sangat disayangkan, tampaknya, kaum Kristen di Indonesia masih saja melihat syariat Islam dalam perspektif yang sama dengan penjajah Kristen Belanda, dahulu. Padahal. sudah bukan zamannya lagi menuduh kaum Muslimin yang melaksanakan ajaran Islam sebagai “anti-Pancasila”, “anti-NKRI”, dan sebagainya. [Depok, 16 Juni 2009]
Jika dibaca secara literal, maka jelaslah, harusnya babi memang diharamkan. Tetapi, kaum Kristen mempunyai cara tersendiri dalam memahami kitabnya. Menurut Herlianto, Rasul Paulus telah memberikan pengertian hukum Taurat dengan jelas: “Tetapi sekarang kita telah dibebaskan dari hukum Taurat, sebab kita telah mati bagi dia, yang mengurung kita, sehingga kita sekarang melayani dalam keadaan baru dan bukan dalam keadaan lama menurut hukum-hukum Taurat.” (Rm. 7:6). (Herlianto, Syariat Taurat atau Kemerdekaan Injil? Hal. 20).
Pandangan kaum Kristen terhadap hukum Taurat tentu saja sangat berbeda dengan pandangan dan sikap umat Islam terhadap syariat Islam. Sampai kiamat, umat Islam tetap menyatakan, bahwa babi adalah haram. Teks al-Quran yang mengharamkan babi juga tidak pernah berubah sepanjang zaman, sampai kiamat. Hingga kini, tidak ada satu pun umat Islam yang menolak syariat khitan, dan menggantikannya dengan “khitan ruhani”. Sebab, umat Islam bukan hanya menerima ajaran, tetapi juga mempunyai contoh dalam pelaksanaan syariat, yaitu Nabi Muhammad saw. Karena sifatnya yang final dan universal, maka syariat Islam berlaku sepanjang zaman dan untuk semua umat manusia. Apa pun latar belakang budayanya, umat Islam pasti mengharamkan babi dan mewajibkan shalat lima waktu. Apalagi, dalam pandangan Islam, syariat Islam itu mencakup seluruh aspek kehidupan manusia; mulai tata cara mandi sampai mengatur perekonomian.
Pandangan dan sikap umat Islam terhadap syariat Islam semacam ini harusnya dipahami dan dihormati oleh kaum Kristen. Sangat disayangkan, tampaknya, kaum Kristen di Indonesia masih saja melihat syariat Islam dalam perspektif yang sama dengan penjajah Kristen Belanda, dahulu. Padahal. sudah bukan zamannya lagi menuduh kaum Muslimin yang melaksanakan ajaran Islam sebagai “anti-Pancasila”, “anti-NKRI”, dan sebagainya. [Depok, 16 Juni 2009]
DEBAT POLIGAMI MENJELANG KEMERDEKAAN RI
Oleh: Dr. Adian Husaini
Pada tahun 1937, seorang cendekiawan Muslim Indonesia bernama Mr. Yusuf Wibisono, menulis sebuah buku berjudul "Monogami atau Poligami: Masalah Sepanjang Masa". Aslinya, buku ini ditulis dalam bahasa Belanda dan diterjemahkan dalam bahasa Indonesia oleh Soemantri Mertodipuro pada tahun 1954. Karena tidak memiliki biaya, baru pada tahun 1980, buku Mr. Yusuf Wibisono ini diterbitkan.
Yusuf Wibisono sendiri tidak berpoligami. Ia adalah seorang tokoh Masyumi, tokoh ekonomi, keuangan dan perbankan. Dia pernah menjadi menteri keuangan pada 1951-1952 dan direktur sejumlah bank di Jakarta dan Yogya. Sebagai tokoh pers, dia adalah pemimpin redaksi Mimbar Indonesia. Jabatan penting lain yang pernah dipegangnya adalah rektor Universitas Muhammadiyah dan Universitas Tjokroaminoto. Tapi, hidupnya sangat bersahaja. Hingga istrinya meninggal, dia tidak memiliki rumah pribadi.
Meskipun buku ini ditulis Yusuf Wibisono saat menjadi mahasiswa di zaman penjajahan, buku ini tampak memiliki kualitas ilmiah yang tinggi, dan memberikan penjelasan yang komprehensif tentang masalah poligami, bukan hanya dari sudut pandang hukum Islam, tetapi juga memuat pandangan banyak ilmuwan Barat tentang poligami. Yusuf juga memberikan kritik-kritik terhadap sebagian ilmuwan dari kalangan Muslim, seperti Ameer Ali, yang menolak hukum poligami. Selain buku-buku berbahasa Belanda, Yusuf juga merujuk buku-buku berbahasa Inggris, Perancis, dan Jerman.
Beberapa tahun sebelumnya, pada 1932, seorang wanita bernama Soewarni Pringgodigdo, menulis satu artikel tentang poligami di Koran 'Suluh Indonesia Muda' yang memberikan kritikan keras terhadap poligami. Menurut Soewarni, poligami adalah hal yang nista bagi wanita, dan bahwasanya Indonesia merdeka tak akan bisa sempurna, selama rakyatnya masih menyukai lembaga poligami.
Mr. Yusuf Wibisono memberikan bukti-bukti ilmiah tentang keunggulan pandangan Islam yang membuka pintu poligami dengan syarat-syarat tertentu. Sistem ini merupakan 'jalan tengah' dari sistem perkawinan kuno yang tidak memberi batasan poligami atau sistem Barat yang menutup pintu poligami sama sekali. Dalam pengantarnya untuk edisi Indonesia, tahun 1980, Yusuf Wibisono menulis bahwa, "Saya rasa umat manusia akhirnya akan dihadapkan kepada dua pilihan yang tidak bisa dihindari yakni poligami legal atau poligami tidak legal (gelap). Islam memilih poligami legal, dengan pembatasan-pembatasan yang mencegah penyalahgunaan kekuasaan kaum pria, sehingga lembaga poligami ini betul-betul merupakan kebahagiaan bagi masyarakat manusia, di mana dia sungguh-sungguh diperlukan."
Salah seorang ilmuwan yang dikutip pendapatnya tentang poligami oleh Yusuf Wibisono adalah Georges Anquetil, pakar sosiologi Perancis, yang menulis buku setebal 460 halaman, berjudul "La maitresse legimitime".
Anquetil menulis dalam bukunya:
"Suatu pertimbangan yang sudah cukup terlukis harus diingat-ingat dan diperkembangkan, yakni, mengapa semua orang-orang besar adalah penyokong poligami, seperti yang dinyatakan secara kritis oleh seorang pengarang dari buku Inggris : "History and philosophy of marriege." Bahkan, mereka yang hidup di bawah kekuasaan kemunafikan monogami, tidak mau tunduk kepadanya, tak pula mau taat kepada undang-undang yang bersifat melawan kodrat; baik mereka itu filsuf, seperti Plato, Aristoteles, Bacon, Auguste Comte, atau perajurit seperti Alexander, Cesar, Napoleon, atau Nelson, atau penyair-penyair seperti Goethe, Burns, Byron, Hugo, Verlaine, Chateaubriand atau Catulie Mendes, maupun negarawan-negarawan seperti Pericles, Augustus, Buckingham, Mirabeau atau Gambetta. Apakah hasil daripada sistem yang munafik ini bagi orang-orang besar ini ? Mereka dipaksa untuk selama-lamanya menyembunyikan perasaan-perasaannya, selalu berdusta, baik terhadap istrinya sendiri maupun terhadap dunia yang mewajibkan mereka itu menyembunyikan anak-anaknya dan kurang menghormati mereka yang hanya merupakan maitressenya. Sebenarnya ialah, bahwasanya poligami yang semata-mata sesuai dengan hukum alam telah d
Oleh: Dr. Adian Husaini
Pada tahun 1937, seorang cendekiawan Muslim Indonesia bernama Mr. Yusuf Wibisono, menulis sebuah buku berjudul "Monogami atau Poligami: Masalah Sepanjang Masa". Aslinya, buku ini ditulis dalam bahasa Belanda dan diterjemahkan dalam bahasa Indonesia oleh Soemantri Mertodipuro pada tahun 1954. Karena tidak memiliki biaya, baru pada tahun 1980, buku Mr. Yusuf Wibisono ini diterbitkan.
Yusuf Wibisono sendiri tidak berpoligami. Ia adalah seorang tokoh Masyumi, tokoh ekonomi, keuangan dan perbankan. Dia pernah menjadi menteri keuangan pada 1951-1952 dan direktur sejumlah bank di Jakarta dan Yogya. Sebagai tokoh pers, dia adalah pemimpin redaksi Mimbar Indonesia. Jabatan penting lain yang pernah dipegangnya adalah rektor Universitas Muhammadiyah dan Universitas Tjokroaminoto. Tapi, hidupnya sangat bersahaja. Hingga istrinya meninggal, dia tidak memiliki rumah pribadi.
Meskipun buku ini ditulis Yusuf Wibisono saat menjadi mahasiswa di zaman penjajahan, buku ini tampak memiliki kualitas ilmiah yang tinggi, dan memberikan penjelasan yang komprehensif tentang masalah poligami, bukan hanya dari sudut pandang hukum Islam, tetapi juga memuat pandangan banyak ilmuwan Barat tentang poligami. Yusuf juga memberikan kritik-kritik terhadap sebagian ilmuwan dari kalangan Muslim, seperti Ameer Ali, yang menolak hukum poligami. Selain buku-buku berbahasa Belanda, Yusuf juga merujuk buku-buku berbahasa Inggris, Perancis, dan Jerman.
Beberapa tahun sebelumnya, pada 1932, seorang wanita bernama Soewarni Pringgodigdo, menulis satu artikel tentang poligami di Koran 'Suluh Indonesia Muda' yang memberikan kritikan keras terhadap poligami. Menurut Soewarni, poligami adalah hal yang nista bagi wanita, dan bahwasanya Indonesia merdeka tak akan bisa sempurna, selama rakyatnya masih menyukai lembaga poligami.
Mr. Yusuf Wibisono memberikan bukti-bukti ilmiah tentang keunggulan pandangan Islam yang membuka pintu poligami dengan syarat-syarat tertentu. Sistem ini merupakan 'jalan tengah' dari sistem perkawinan kuno yang tidak memberi batasan poligami atau sistem Barat yang menutup pintu poligami sama sekali. Dalam pengantarnya untuk edisi Indonesia, tahun 1980, Yusuf Wibisono menulis bahwa, "Saya rasa umat manusia akhirnya akan dihadapkan kepada dua pilihan yang tidak bisa dihindari yakni poligami legal atau poligami tidak legal (gelap). Islam memilih poligami legal, dengan pembatasan-pembatasan yang mencegah penyalahgunaan kekuasaan kaum pria, sehingga lembaga poligami ini betul-betul merupakan kebahagiaan bagi masyarakat manusia, di mana dia sungguh-sungguh diperlukan."
Salah seorang ilmuwan yang dikutip pendapatnya tentang poligami oleh Yusuf Wibisono adalah Georges Anquetil, pakar sosiologi Perancis, yang menulis buku setebal 460 halaman, berjudul "La maitresse legimitime".
Anquetil menulis dalam bukunya:
"Suatu pertimbangan yang sudah cukup terlukis harus diingat-ingat dan diperkembangkan, yakni, mengapa semua orang-orang besar adalah penyokong poligami, seperti yang dinyatakan secara kritis oleh seorang pengarang dari buku Inggris : "History and philosophy of marriege." Bahkan, mereka yang hidup di bawah kekuasaan kemunafikan monogami, tidak mau tunduk kepadanya, tak pula mau taat kepada undang-undang yang bersifat melawan kodrat; baik mereka itu filsuf, seperti Plato, Aristoteles, Bacon, Auguste Comte, atau perajurit seperti Alexander, Cesar, Napoleon, atau Nelson, atau penyair-penyair seperti Goethe, Burns, Byron, Hugo, Verlaine, Chateaubriand atau Catulie Mendes, maupun negarawan-negarawan seperti Pericles, Augustus, Buckingham, Mirabeau atau Gambetta. Apakah hasil daripada sistem yang munafik ini bagi orang-orang besar ini ? Mereka dipaksa untuk selama-lamanya menyembunyikan perasaan-perasaannya, selalu berdusta, baik terhadap istrinya sendiri maupun terhadap dunia yang mewajibkan mereka itu menyembunyikan anak-anaknya dan kurang menghormati mereka yang hanya merupakan maitressenya. Sebenarnya ialah, bahwasanya poligami yang semata-mata sesuai dengan hukum alam telah d
ilakukan pada setiap zaman karena hukum alam itu tetap saja, tetapi pikiran manusia dibuat demikian rupa, dan sangat suka kepada serba berbelit-belit, sehingga bukannya ia memilih sistem yang semata-mata menguntungkan, akan tetapi justru memilih sistem yang penuh dengan dusta dan penipuan, yang membuat berputus asanya berjuta-juta wanita dan yang memaksanya hidup dalam kesedihan, kekacauan, atau dosa-dosa sebagai akibat dari hidup sengsara, terjerumus hidupnya dalam kemunafikan hewani, dan bahwa semua drama percintaan melahirkan turunan-turunan yang diliputi oleh perasaan iri hati yang pandir dan penuh kebencian, yang jumlahnya setiap harinya bertambah-tambah saja."
Salah satu keuntungan poligami yang dijelaskan oleh Anquetil adalah: "Poligami akan memungkinkan berjuta-juta wanita melaksanakan haknya akan kecintaan dan keibuan, yang kalau tidak, akan terpaksa hidup tak bersuami karena sistem monogami."
Yusuf Wibisono juga mengutip tulisan seorang ilmuwan bernama Leonard yang menulis: "In a great measure polygamy is much more a theoretical than a practical institution. Not one on twenty Moslems has even two wives. In any case it is not the proper and legitimate practice of polygamy, but in the abuse of it that the evil lies." (Pada umumnya poligami lebih merupakan lembaga teoritis daripada praktis. Tidak ada satu dari duapuluh orang Islam beristri bahkan lebih dari seorang. Setidak-tidaknya keburukannya tak terletak dalam berpoligami menurut hukum, akan tetapi dalam penyelahgunaan poligami).
Mr. Yusuf Wibisono kemudian menunjukkan bukti-bukti statistik perkawinan di berbagai negara Islam pada tahun-tahun itu. Di India, misalnya, 95 persen kaum Muslim tetap bermonogami. Di Iran, 98 persennya tetap memilih bermonogami. Di Aljazair tahun 1869, dari 18.282 perkawinan Islam, 17.319 adalah monogami, 888 bigami, dan hanya 75 orang Muslim yang mempunyai lebih dari dua orang istri. Di Indonesia -- menurut data statistik Indische Verlag tahun 1935 -- dalam tahun 1930 ada 11.418.297 orang bermonogami dan hanya 75 orang Muslim mempunyai lebih dari dua orang istri.
Buku Mr. Yusuf Wibisono ini menjadi lebih menarik karena pada tahun 1937 sudah diberi kata pengantar oleh H. Agus Salim, seorang cendekiawan dan diplomat genius yang sangat dikagumi di dunia internasional.
Kiranya ada baiknya kita mengutip agak panjang pengantar H. Agus Salim tersebut:
"Tidak bisa disangkal, pokok karangan ini aktuil. Tidak saja karena tindakan-tindakan luas di lapangan ini, yang dipertimbangkan oleh Pemerintah dan sebagian bahkan sudah dilaksanakan, akan tetapi terutama sekali juga karena adanya propaganda - baik yang terpengaruh oleh sikap anti-Islam, maupun yang tidak - yang dilancarkan oleh beberapa fihak. Mereka ini menganjurkan agar kepada perundang-undangan perkawinan bagi bangsa Indonesia dan kepada anggapan-anggapan tentang perkawinan pada umumnya diberi corak Barat.
Namun, bukannya tak diperlukan keberanian untuk memasuki lapangan ini dalam suasana yang penuh dengan anggapan-anggapan tersebut. Anggapan-anggapan Barat ini terutama sekali merajalela di kalangan kaum intelektuil yang nasionalistis. Dan di lapangan ini tradisi dan sentimen Barat, yang "dus beradab" masih selalu berhasil mencekik kesaksian fakta-fakta serta suara hati nurani dan nalar yang wajar (logika).
Bahkan oleh karena inilah penulis patut mendapat penghargaan dan sokongan, sebab berdasarkan fakta-fakta yang telah ditetapkan oleh ilmu pengatahuan serta teori-teori yang kuat, ia berusaha menunjukkan kepalsuan moral seksuil dan etika perkawinan yang munafik, seperti yang dianut oleh masyarakat Barat, dan membela anggapan-anggapan tentang perkawinan maupun perundang-undangan perkawinan menurut agama Islam, tanpa memperindahkannya melebihi kenyataannya.
Terutama sekali yang tersebut terakhir inilah yang patut dihargai. Akhir-akhir ini terlalu banyak dilancarka propaganda agama Islam yang bersifat menonjolkan "persetujuan" pihak Islam terhadap moral dan etika Barat, malahan moral dan etika yang terang-terangan bernada "Kristen", seperti yang lazim dianut di kalangan m
Salah satu keuntungan poligami yang dijelaskan oleh Anquetil adalah: "Poligami akan memungkinkan berjuta-juta wanita melaksanakan haknya akan kecintaan dan keibuan, yang kalau tidak, akan terpaksa hidup tak bersuami karena sistem monogami."
Yusuf Wibisono juga mengutip tulisan seorang ilmuwan bernama Leonard yang menulis: "In a great measure polygamy is much more a theoretical than a practical institution. Not one on twenty Moslems has even two wives. In any case it is not the proper and legitimate practice of polygamy, but in the abuse of it that the evil lies." (Pada umumnya poligami lebih merupakan lembaga teoritis daripada praktis. Tidak ada satu dari duapuluh orang Islam beristri bahkan lebih dari seorang. Setidak-tidaknya keburukannya tak terletak dalam berpoligami menurut hukum, akan tetapi dalam penyelahgunaan poligami).
Mr. Yusuf Wibisono kemudian menunjukkan bukti-bukti statistik perkawinan di berbagai negara Islam pada tahun-tahun itu. Di India, misalnya, 95 persen kaum Muslim tetap bermonogami. Di Iran, 98 persennya tetap memilih bermonogami. Di Aljazair tahun 1869, dari 18.282 perkawinan Islam, 17.319 adalah monogami, 888 bigami, dan hanya 75 orang Muslim yang mempunyai lebih dari dua orang istri. Di Indonesia -- menurut data statistik Indische Verlag tahun 1935 -- dalam tahun 1930 ada 11.418.297 orang bermonogami dan hanya 75 orang Muslim mempunyai lebih dari dua orang istri.
Buku Mr. Yusuf Wibisono ini menjadi lebih menarik karena pada tahun 1937 sudah diberi kata pengantar oleh H. Agus Salim, seorang cendekiawan dan diplomat genius yang sangat dikagumi di dunia internasional.
Kiranya ada baiknya kita mengutip agak panjang pengantar H. Agus Salim tersebut:
"Tidak bisa disangkal, pokok karangan ini aktuil. Tidak saja karena tindakan-tindakan luas di lapangan ini, yang dipertimbangkan oleh Pemerintah dan sebagian bahkan sudah dilaksanakan, akan tetapi terutama sekali juga karena adanya propaganda - baik yang terpengaruh oleh sikap anti-Islam, maupun yang tidak - yang dilancarkan oleh beberapa fihak. Mereka ini menganjurkan agar kepada perundang-undangan perkawinan bagi bangsa Indonesia dan kepada anggapan-anggapan tentang perkawinan pada umumnya diberi corak Barat.
Namun, bukannya tak diperlukan keberanian untuk memasuki lapangan ini dalam suasana yang penuh dengan anggapan-anggapan tersebut. Anggapan-anggapan Barat ini terutama sekali merajalela di kalangan kaum intelektuil yang nasionalistis. Dan di lapangan ini tradisi dan sentimen Barat, yang "dus beradab" masih selalu berhasil mencekik kesaksian fakta-fakta serta suara hati nurani dan nalar yang wajar (logika).
Bahkan oleh karena inilah penulis patut mendapat penghargaan dan sokongan, sebab berdasarkan fakta-fakta yang telah ditetapkan oleh ilmu pengatahuan serta teori-teori yang kuat, ia berusaha menunjukkan kepalsuan moral seksuil dan etika perkawinan yang munafik, seperti yang dianut oleh masyarakat Barat, dan membela anggapan-anggapan tentang perkawinan maupun perundang-undangan perkawinan menurut agama Islam, tanpa memperindahkannya melebihi kenyataannya.
Terutama sekali yang tersebut terakhir inilah yang patut dihargai. Akhir-akhir ini terlalu banyak dilancarka propaganda agama Islam yang bersifat menonjolkan "persetujuan" pihak Islam terhadap moral dan etika Barat, malahan moral dan etika yang terang-terangan bernada "Kristen", seperti yang lazim dianut di kalangan m
asyarakat Barat. Terlalu sering pula orang berusaha menyembunyikan ajaran-ajaran Islam yang tak cocok dengan anggapan Barat dengan jalan "Umdeutung", dengan menggunakan tafsiran yang dicari-cari. Ya, bahkan menghukum ajaran-ajaran itu sebagai bid'ah dan kufur. Itulah caranya mereka mencoba supaya Islam bisa diterima kaum muda yang meskipun berasal dari keluarga Islam, tapi karena pendidikan Barat dan simpati-simpati serta kecenderungannya yang ke-Barat-baratan menjadi terasing dari agama Islam. Selain dari pada itu, propaganda itu ditujukan pula kepada orang-orang yang tidak beragama Islam.
Akan tetapi agama Islam sangat menyangsikan keuntungan yang diperoleh dengan menggunakan cara-cara semacam itu. Sebab dengan jalan "menyesuaikan" agama Islam dengan anggapan-anggapan yang lazim dan berlaku dalam dunia Barat yang umumnya bersifat prinsipil anti Islam, yaitu dunia Barat yang mendasarkan "keunggulannya" kepada hal-hal yang berbeda dengan Islam - antara lain perundang-undangan perkawinan berdasarkan monogami - maka hilanglah pula tujuan tertinggi agama Islam. Padahal, untuk inilah Nabi terakhir diutus oleh TUHAN, untuk membimbing umat manusia dari kegelapan ke arah cahaya pengetahuan dan kebenaran. Dengan demikian, bukanlah anggapan-anggapan yang ada yang diuji dan disesuaikan dengan Islam, akan tetapi sebaliknya : Anggapan-anggapan itulah yang dipandangnya benar dan agama Islam diperiksa dari sudut anggapan-anggapan itu."
Kata-kata Haji Agus Salim tersebut sangat mendasar untuk direnungkan. Apalagi, saat ini, begitu banyak kalangan yang berani menentang dan melecehkan Islam, juga dengan menggunakan ayat-ayat Al-Quran. Padahal, yang terpenting dalam memahami Al-Quran adalah soal 'anggapan-anggapan' atau cara pandang serta metodologi penafsiran yang digunakan. Jika Al-Quran dipahami dari perspektif Marxisme dan gender equality yang bersemangat 'dendam' terhadap laki-laki, maka yang muncul adalah pemikiran-pemikiran yang bersemangat pemberontakan terhadap laki-laki, dalam segala hal. Orang-orang seperti ini akan mencari-cari ayat dan menafsirkannya sesuai dengan 'anggapan' nya sendiri.
Seorang sarjana satu perguruan tinggi Islam di Jakarta menceritakan pengalaman menariknya dimaki-maki wanita teman kuliahnya, hanya karena ia mempersilakan si wanita menempati tempat duduknya dalam bus kota. Si wanita mengaku terhina karena dianggap sebagai makhluk yang lemah. Bagi seorang wanita yang menolak hak kepemimpinan laki-laki dalam rumah tangga, maka dia bisa menganggap tindakan menyuguhkan minuman bagi suaminya adalah satu bentuk pelecehan dan penghinaan.
Amina Wadud misalnya menganggap penempatan shaf wanita di belakang laki-laki saat shalat adalah satu bentuk pelecehan terhadap wanita. Tentu cara pandang ini sangat berbeda dengan Muslimah yang mengakui konsep pengabdian dan ketaatan kepada suami.
Dalam soal poligami sama saja. Seorang wanita Muslimah yang memahami posisinya dalam konsep Islam, akan melihat poligami dengan pandangan yang sangat berbeda dengan kaum feminis sekular. Sebagai wanita mandiri, si Muslimah akan melihat suaminya sebagai partner dalam menggapai ridho Allah; bukan sebagai milik pribadinya.
Dia secara pribadi bisa keberatan dengan poligami terhadap dirinya, tanpa menolak hukum poligami. Dia bisa mengingatkan suaminya, bahwa poligami memerlukan kemampuan dan tanggung jawab yang tidak ringan, dunia akhirat.
Sebaliknya, bagi laki-laki, poligami bukanlah hanya semata-mata hak, tetapi juga melekat tanggung jawab dunia dan akhirat. Selain dituntut kemampuan berlaku adil secara materi, juga dituntut kemampuan menjaga seluruh keluarganya dari api neraka. Tentu saja menjaga 4 istri lebih berat daripada menjaga 1 istri; menjaga 20 anak tentu lebih berat ketimbang 2 anak.
Karena itu, bagi seorang yang memiliki pandangan berdimensi akhirat, poligami adalah sesuatu yang berat, yang perlu berpikir serius sebelum mempraktikkannya. Islam mengizinkan dan mengatur soal poligami. Islam membuka jalan, dan tidak menutup jalan itu. Islam adalah agama wasathiyah, yang tidak bersifat ekstrim. Tidak melarang poligami
Akan tetapi agama Islam sangat menyangsikan keuntungan yang diperoleh dengan menggunakan cara-cara semacam itu. Sebab dengan jalan "menyesuaikan" agama Islam dengan anggapan-anggapan yang lazim dan berlaku dalam dunia Barat yang umumnya bersifat prinsipil anti Islam, yaitu dunia Barat yang mendasarkan "keunggulannya" kepada hal-hal yang berbeda dengan Islam - antara lain perundang-undangan perkawinan berdasarkan monogami - maka hilanglah pula tujuan tertinggi agama Islam. Padahal, untuk inilah Nabi terakhir diutus oleh TUHAN, untuk membimbing umat manusia dari kegelapan ke arah cahaya pengetahuan dan kebenaran. Dengan demikian, bukanlah anggapan-anggapan yang ada yang diuji dan disesuaikan dengan Islam, akan tetapi sebaliknya : Anggapan-anggapan itulah yang dipandangnya benar dan agama Islam diperiksa dari sudut anggapan-anggapan itu."
Kata-kata Haji Agus Salim tersebut sangat mendasar untuk direnungkan. Apalagi, saat ini, begitu banyak kalangan yang berani menentang dan melecehkan Islam, juga dengan menggunakan ayat-ayat Al-Quran. Padahal, yang terpenting dalam memahami Al-Quran adalah soal 'anggapan-anggapan' atau cara pandang serta metodologi penafsiran yang digunakan. Jika Al-Quran dipahami dari perspektif Marxisme dan gender equality yang bersemangat 'dendam' terhadap laki-laki, maka yang muncul adalah pemikiran-pemikiran yang bersemangat pemberontakan terhadap laki-laki, dalam segala hal. Orang-orang seperti ini akan mencari-cari ayat dan menafsirkannya sesuai dengan 'anggapan' nya sendiri.
Seorang sarjana satu perguruan tinggi Islam di Jakarta menceritakan pengalaman menariknya dimaki-maki wanita teman kuliahnya, hanya karena ia mempersilakan si wanita menempati tempat duduknya dalam bus kota. Si wanita mengaku terhina karena dianggap sebagai makhluk yang lemah. Bagi seorang wanita yang menolak hak kepemimpinan laki-laki dalam rumah tangga, maka dia bisa menganggap tindakan menyuguhkan minuman bagi suaminya adalah satu bentuk pelecehan dan penghinaan.
Amina Wadud misalnya menganggap penempatan shaf wanita di belakang laki-laki saat shalat adalah satu bentuk pelecehan terhadap wanita. Tentu cara pandang ini sangat berbeda dengan Muslimah yang mengakui konsep pengabdian dan ketaatan kepada suami.
Dalam soal poligami sama saja. Seorang wanita Muslimah yang memahami posisinya dalam konsep Islam, akan melihat poligami dengan pandangan yang sangat berbeda dengan kaum feminis sekular. Sebagai wanita mandiri, si Muslimah akan melihat suaminya sebagai partner dalam menggapai ridho Allah; bukan sebagai milik pribadinya.
Dia secara pribadi bisa keberatan dengan poligami terhadap dirinya, tanpa menolak hukum poligami. Dia bisa mengingatkan suaminya, bahwa poligami memerlukan kemampuan dan tanggung jawab yang tidak ringan, dunia akhirat.
Sebaliknya, bagi laki-laki, poligami bukanlah hanya semata-mata hak, tetapi juga melekat tanggung jawab dunia dan akhirat. Selain dituntut kemampuan berlaku adil secara materi, juga dituntut kemampuan menjaga seluruh keluarganya dari api neraka. Tentu saja menjaga 4 istri lebih berat daripada menjaga 1 istri; menjaga 20 anak tentu lebih berat ketimbang 2 anak.
Karena itu, bagi seorang yang memiliki pandangan berdimensi akhirat, poligami adalah sesuatu yang berat, yang perlu berpikir serius sebelum mempraktikkannya. Islam mengizinkan dan mengatur soal poligami. Islam membuka jalan, dan tidak menutup jalan itu. Islam adalah agama wasathiyah, yang tidak bersifat ekstrim. Tidak melarang poligami
sama sekali, dan tidak membebaskannya sama sekali.
Jika pintu poligami ditutup sama sekali, maka tidak sedikit wanita yang menjadi korban. Sepanjang zaman, banyak wanita yang ikhlas dan siap menjadi istri ke-2, ke-3 atau ke-4. Tidak percaya? Andaikan suatu ketika, pihak istana negara BBM mengumumkan, Sang Presiden yang gagah perkasa membuka lowongan bagi istri ke-2, ke-3, dan ke-4, bisa diduga, dalam beberapa jam saja, ribuan wanita dengan ikhlas akan antri mendaftar.
Maka, bagi seorang wanita Muslimah sejati, yang menyadari kemampuan suaminya untuk berpoligami, tentu tidak sulit mengizinkan suaminya menikah lagi. Yang banyak terjadi saat ini, ternyata banyak suami yang tidak berpoligami, karena takut terhadap istri. Wallahu a'lam. (Depok, 15 Desember 2006).
Jika pintu poligami ditutup sama sekali, maka tidak sedikit wanita yang menjadi korban. Sepanjang zaman, banyak wanita yang ikhlas dan siap menjadi istri ke-2, ke-3 atau ke-4. Tidak percaya? Andaikan suatu ketika, pihak istana negara BBM mengumumkan, Sang Presiden yang gagah perkasa membuka lowongan bagi istri ke-2, ke-3, dan ke-4, bisa diduga, dalam beberapa jam saja, ribuan wanita dengan ikhlas akan antri mendaftar.
Maka, bagi seorang wanita Muslimah sejati, yang menyadari kemampuan suaminya untuk berpoligami, tentu tidak sulit mengizinkan suaminya menikah lagi. Yang banyak terjadi saat ini, ternyata banyak suami yang tidak berpoligami, karena takut terhadap istri. Wallahu a'lam. (Depok, 15 Desember 2006).
Fe-Minus
Oleh: Dr. Hamid Fahmy Zarkasyi
Istilah femina, feminisme, feminis berasal dari bahasa Latin fei-minus. Fei artinya iman, minus artinya kurang, jadi feminus artinya kurang iman. Wanita di Barat, sejarahnya, memang diperlakukan seperti manusia kurang iman. Wajah dunia Barat pun dianggap terlalu macho.
Tapi lawan kata feminis, yakni masculine tidak lantas berarti penuh iman. Masculinus atau masculinity sering diartikan sebagai strength of sexuality. Maka dari itu dalam agama wanita Barat itu korban inquisisi dan di masyarakat jadi korban perkosaan laki-laki. Tak pelak lagi agama dan laki-laki menjadi musuh wanita Barat.
Itulah worldview Barat asal feminisme lahir. Dan memang worldview, menurut al-Attas, Alparslan, Thomas Wall, Ninian Smart dan lainnya adalah sumber aktifitas intelektual dan sosial. Buktinya worldview Barat liberal menghasilkan feminis liberal, Barat Marxis membuahkan feminis Marxis, Barat postmodern melahirkan feminisme posmo dan seterusnya.
Seperti liberalisme tuntutan feminis liberal adalah hak ekonomi dan kemudian hak politik. Dalam bukunya a Vindication of the Rights of Women, Mary Wollstonecraft menyimpulkan di abad ke 18, wanita mulai kerja diluar rumah karena didorong oleh kapitalisme industri. Awalnya untuk memenuhi kebutuhan jasmani (perut), tapi berkembang menjadi ambisi sosial. Taylor dalam Enfranchisement of Women (1851) malah memprovokasi agar perempuan memilih jadi ibu atau wanita karir.
Tapi berkarir bukan tanpa masalah. Para feminis itu ternyata berkarir diluar rumah tapi di rumah ia mempekerjakan pembantu wanita. Taylor sendiri begitu. Bagi feminis liberal berkarir apapun wanita harus dibela.
Bahkan menurut Rosemarie Putnam Tong dalam Feminist Thought-nya feminis liberal terang-terangan membela “karir” wanita pelacur dan ibu yang mengomersialkan rahimnya.
“Semua berhak melakukan semua dan harus dibela,” begitu kira-kira doktrinnya. Membela wanita berarti membela wanita yang melecehkan dirinya sekalipun. Memberdayakan wanita berarti membenci laki-laki. Aroma adagium barbar masih kental “membela diri artinya menyakiti orang lain”. Biar wirang asal menang. Begitulah, gerakan ini memang tanpa iman.
Karena kapitalisme dilawan sosialisme, maka feminis liberal dilawan juga oleh feminis Marxis. Idenya sudah tentu menolak kapitalisme. Sebab struktur politik, sosial dan ekonomi kapitalis liberal telah meletakkan wanita dalam kelas sosial yang lain. Kapitalis-liberal juga menciptakan sistem patriarkis. Karena itu gagasan Feminis Marxis adalah menghapus kelas sosial ini.
Namun, nampaknya feminisme liberal atau Marxis masih dianggap kurang nendang. Mereka perlu lebih radikal lagi. Bahasanya bukan lagi reformasi tapi revolusi. Fokusnya tidak lagi menuntut hak sipil tapi memberontak sistem seks/gender yang opressif. Pembagian hak dan tanggung jawab seksual serta reproduksi wanita dan laki-laki dianggap tidak adil. Bible pun tak luput dari kritikan. Kristen itu menindas perempuan, kata Stanton dalam The Womens Bible.
Selain itu perempuan sering diposisikan sebagai alat pemuas lelaki. Inilah sebabnya feminis radikal lalu marah. “Tanpa lelaki wanita dapat hidup dan memenuhi kebutuhan seksnya” begitulah kemarahan mereka. Lesbianisme pun dianggap keniscayaan.
Padahal dalam The Vatican Declaration on Sexual Ethics tahun 1975 diputuskan bahwa perilaku lesbian dan homoseks “are intrinsically disordered and can in no case be approved of." Paus Benediktus XVI pada malam Tahun Baru 2006, mengutuk hubungan seks sejenis itu. Tapi apa arti agama jika iman tidak di dada. Begitulah, gerakan ini memang tanpa iman.
Tapi Gayle Rubin, juru bicara feminis radikal libertarian, malah ngompori dan baiknya wanita jangan hanya puas menjadi lesbi tapi juga memprotes segala aturan tentang hubungan seks. Institusi perkawinan pun jadi sasaran.
Tapi beda dari libertarian, feminis kultural justru memprotes pornografi, prostitusi, dan heteroseksual. Tapi tidak berarti mereka setuju dengan UU pornografi dan “perda bernuansa syariah”. Sebab kedua aliran ini sepakat untuk menghapus institusi keluarga.
Fem
Oleh: Dr. Hamid Fahmy Zarkasyi
Istilah femina, feminisme, feminis berasal dari bahasa Latin fei-minus. Fei artinya iman, minus artinya kurang, jadi feminus artinya kurang iman. Wanita di Barat, sejarahnya, memang diperlakukan seperti manusia kurang iman. Wajah dunia Barat pun dianggap terlalu macho.
Tapi lawan kata feminis, yakni masculine tidak lantas berarti penuh iman. Masculinus atau masculinity sering diartikan sebagai strength of sexuality. Maka dari itu dalam agama wanita Barat itu korban inquisisi dan di masyarakat jadi korban perkosaan laki-laki. Tak pelak lagi agama dan laki-laki menjadi musuh wanita Barat.
Itulah worldview Barat asal feminisme lahir. Dan memang worldview, menurut al-Attas, Alparslan, Thomas Wall, Ninian Smart dan lainnya adalah sumber aktifitas intelektual dan sosial. Buktinya worldview Barat liberal menghasilkan feminis liberal, Barat Marxis membuahkan feminis Marxis, Barat postmodern melahirkan feminisme posmo dan seterusnya.
Seperti liberalisme tuntutan feminis liberal adalah hak ekonomi dan kemudian hak politik. Dalam bukunya a Vindication of the Rights of Women, Mary Wollstonecraft menyimpulkan di abad ke 18, wanita mulai kerja diluar rumah karena didorong oleh kapitalisme industri. Awalnya untuk memenuhi kebutuhan jasmani (perut), tapi berkembang menjadi ambisi sosial. Taylor dalam Enfranchisement of Women (1851) malah memprovokasi agar perempuan memilih jadi ibu atau wanita karir.
Tapi berkarir bukan tanpa masalah. Para feminis itu ternyata berkarir diluar rumah tapi di rumah ia mempekerjakan pembantu wanita. Taylor sendiri begitu. Bagi feminis liberal berkarir apapun wanita harus dibela.
Bahkan menurut Rosemarie Putnam Tong dalam Feminist Thought-nya feminis liberal terang-terangan membela “karir” wanita pelacur dan ibu yang mengomersialkan rahimnya.
“Semua berhak melakukan semua dan harus dibela,” begitu kira-kira doktrinnya. Membela wanita berarti membela wanita yang melecehkan dirinya sekalipun. Memberdayakan wanita berarti membenci laki-laki. Aroma adagium barbar masih kental “membela diri artinya menyakiti orang lain”. Biar wirang asal menang. Begitulah, gerakan ini memang tanpa iman.
Karena kapitalisme dilawan sosialisme, maka feminis liberal dilawan juga oleh feminis Marxis. Idenya sudah tentu menolak kapitalisme. Sebab struktur politik, sosial dan ekonomi kapitalis liberal telah meletakkan wanita dalam kelas sosial yang lain. Kapitalis-liberal juga menciptakan sistem patriarkis. Karena itu gagasan Feminis Marxis adalah menghapus kelas sosial ini.
Namun, nampaknya feminisme liberal atau Marxis masih dianggap kurang nendang. Mereka perlu lebih radikal lagi. Bahasanya bukan lagi reformasi tapi revolusi. Fokusnya tidak lagi menuntut hak sipil tapi memberontak sistem seks/gender yang opressif. Pembagian hak dan tanggung jawab seksual serta reproduksi wanita dan laki-laki dianggap tidak adil. Bible pun tak luput dari kritikan. Kristen itu menindas perempuan, kata Stanton dalam The Womens Bible.
Selain itu perempuan sering diposisikan sebagai alat pemuas lelaki. Inilah sebabnya feminis radikal lalu marah. “Tanpa lelaki wanita dapat hidup dan memenuhi kebutuhan seksnya” begitulah kemarahan mereka. Lesbianisme pun dianggap keniscayaan.
Padahal dalam The Vatican Declaration on Sexual Ethics tahun 1975 diputuskan bahwa perilaku lesbian dan homoseks “are intrinsically disordered and can in no case be approved of." Paus Benediktus XVI pada malam Tahun Baru 2006, mengutuk hubungan seks sejenis itu. Tapi apa arti agama jika iman tidak di dada. Begitulah, gerakan ini memang tanpa iman.
Tapi Gayle Rubin, juru bicara feminis radikal libertarian, malah ngompori dan baiknya wanita jangan hanya puas menjadi lesbi tapi juga memprotes segala aturan tentang hubungan seks. Institusi perkawinan pun jadi sasaran.
Tapi beda dari libertarian, feminis kultural justru memprotes pornografi, prostitusi, dan heteroseksual. Tapi tidak berarti mereka setuju dengan UU pornografi dan “perda bernuansa syariah”. Sebab kedua aliran ini sepakat untuk menghapus institusi keluarga.
Fem
inis radikal sedikit banyak dapat angin dari gerakan feminis psikoanalisis dan gender. Pendekatannya bukan sosial, politik atau seksual, tapi psikologis biologis. Bahasanya lebih radikal dari feminis radikal.
Gerakannya menggugat konstruksi gender secara sosial dan biologis. Karena laki-laki dominan bukan karena faktor biologis, tapi sebab konstruk sosial. Maka konstruk sosial ini harus dirubah. Kalau perlu laki-laki bisa hamil dan menyusui, dan wanita bisa menjadi pemimpin laki-laki.
Feminisme adalah gerakan nafsu amarah. Pemicunya adalah penindasan dan ketidakadilan. Obyeknya adalah laki-laki, konstruk sosial, politik dan ekonomi. Ketika diimpor ke negeri ini, ia berwajah gerakan pemberdayaan wanita.
Bagus. Tapi nilai, prinsip, ide dan konsep gerakannya masih orisinal Barat. Buktinya nafsu amarah lesbianisme ikut diimpor dan dijual bagai keniscayaan, dibela dengan penuh kepercayaan dan dijustifikasi dengan ayat-ayat keagamaan. Bangunan konseptualnya berwajah liberal, radikal, Marxis dan terkadang postmo. Begitulah, nafsu tidak memiliki batas dan marah tidak mengenal moralitas. Dan memang gerakan feminisme adalah feminus, alias kurang iman.
Gerakannya menggugat konstruksi gender secara sosial dan biologis. Karena laki-laki dominan bukan karena faktor biologis, tapi sebab konstruk sosial. Maka konstruk sosial ini harus dirubah. Kalau perlu laki-laki bisa hamil dan menyusui, dan wanita bisa menjadi pemimpin laki-laki.
Feminisme adalah gerakan nafsu amarah. Pemicunya adalah penindasan dan ketidakadilan. Obyeknya adalah laki-laki, konstruk sosial, politik dan ekonomi. Ketika diimpor ke negeri ini, ia berwajah gerakan pemberdayaan wanita.
Bagus. Tapi nilai, prinsip, ide dan konsep gerakannya masih orisinal Barat. Buktinya nafsu amarah lesbianisme ikut diimpor dan dijual bagai keniscayaan, dibela dengan penuh kepercayaan dan dijustifikasi dengan ayat-ayat keagamaan. Bangunan konseptualnya berwajah liberal, radikal, Marxis dan terkadang postmo. Begitulah, nafsu tidak memiliki batas dan marah tidak mengenal moralitas. Dan memang gerakan feminisme adalah feminus, alias kurang iman.
*Syariah*
Oleh: Dr Hamid Fahmy Zarkasyi
Tahun 2007 lalu Abdullahi Ahmad an-Naim bedah buku terjemahannya. Judul bukunya Islam dan Negara Sekuler, Menegosiasikan Masa Depan Syariat Islam. Sebagai salah seorang pembedah saya mengemukakan beberapa kritikan. Diantaranya saya mengkiritik konsepnya tentang syariah, Negara, public reason dsb. Menurutnya, syariat Islam tercipta selama tiga abad pertama Hijrah. Syariah hanyalah interpretasi Muslim atas kitab suci mereka. Muslim generasi awal tidak mengenal dan tidak menerapkan syariah (hal.33).
Nampaknya, ia tidak percaya bahwa dalam al-Quran terdapat syariah atau hukum. Kalau syariah diartikan jalan berarti juga inkar bahwa Islam adalah jalan. Jadi syariah itu dibuat oleh manusia. Di akhir diskusi dia menghadiahi saya bukunya itu dan menorehkan tanda tangan serta menulis With profound appreciation. Mungkin dia menerima keritikan saya. Wallahu alam
Teori an-Naim lalu saya kaitkan dengan definisi Cheryl Bernard dari Rand Coorporation, AS. Dalam bukunya Civil Democratic Islam, Cheryl mendefinisikan syariah sebagai the entire body of Islamic law and guidance, based on the Quran, hadith and scholarly judgments, and open to selective use and interpretation. Intinya syariah itu adalah produk hukum. Seorang pembela Islam Liberal menulis dalam sebuah koran tidak ada hukum Tuhan, yang ada hanya hukum manusia. Ketiganya bermaksud sama mengartikan syariah sebagai hasil interpretasi manusia Muslim terhadap kitab sucinya.
Apa yang dimaksud interpretasi ternyata beda dari Tafsir atau Tawil. Interpretasi mementingkan sejarah teks. Al-Quran dibedah sejarahnya, dikait-kaitkan dengan situasi politik, sosial, psikologis, ideologi dsb. Alhasil, al-Quran menjadi bukan wahyu suci, tapi produk budaya Arab. Tafsir pun tidak lagi berkaitan dengan teks, tapi dengan budaya disekitar teks. Maka, sebab khusus ayat itu diturunkan (khusus-u-sabab) lebih penting dari arti eksplisit (perintah) ayat itu (umum-ul-lafz). Karena teori ini para ulama mufassir pun dicurigai sebagai memiliki kepentingan, kalau tidak terjerat kondisi sosial budaya. Lalu timbul rumus Penafsiran ulama itu kondisional dan relatif, yang mutlak hanya Tuhan. Para Kyai di pesantren bingung. Cara berfikir seperti itu tidak ada dalam kitab kuning.
Ternyata itu semua adalah bagian dari sekenario intelektual untuk menumpas Muslim fundamentalis. Buktinya terdapat pada saran Cheryl Bernard Challenge their interpretation of Islam and expose inaccuracies (tantanglah interpretasi mereka [fundamentalis] tentang Islam dan beberkan ketidak-akuratannya). Saran ini ditaati cendekiawan Muslim liberal dengan penuh takzim. Respon para dosen Ilmu Tafsir malah lebih kreatif satu ayat seribu tafsir, kitab-kitab Tafsir klasik tidak relevan lagi, bahkan tidak kontekstual.
Untuk membuktikan seribu tafsir muncullah tafsir baru untuk menjual dagangan feminisme radikal, misalnya. Seorang professor pemikiran Islam menyatakan bahwa lesbianism itu halal. Sekumpulan dosen fakultas syariah menyatakan bahwa homoseksualisme itu tidak dilarang syariat Islam. Tafsir baru menghasilkan syariat (hukum) baru. Hukum baru nikah beda agama, hukum waris, wanita menjadi imam laki-laki, hak wanita menceraikan suami dan sebagainya muncul mengejutkan.
Tafsir-tafsir baru itu nampaknya adalah pengamalan dari dawuh Cheryl Bernard. Menafsirkan berarti to depart from, modify, and selectively ignore elements of the original religious doctrine. (menyimpang dari, memodifikasi, dan secara selektif mengesampingkan elemen-elemen dari doktrin keagamaan yang asli). Itulah liberalisasi syariah. Siapapun bebas menafsirkan hukum apa saja. Siapapun bebas mencipta syariah. Islam adalah liberal.
Bukan hanya itu, liberalisasi plus sekularisasi menolak praktek syariah. Ketika sejumlah daerah sepakat menyusun PERDA bagi pelanggar tindak a-moral seperti mencuri, minuman keras, berzina, berjudi dan berkelahi, semua orang sepakat dan gembira. Tapi ketika orang-orang liberal sekuler mencium bau syariah, sontak mereka protes. Meski tidak berbunyi perda syariah, perda itu dianggap inkonstitusional dan men
Oleh: Dr Hamid Fahmy Zarkasyi
Tahun 2007 lalu Abdullahi Ahmad an-Naim bedah buku terjemahannya. Judul bukunya Islam dan Negara Sekuler, Menegosiasikan Masa Depan Syariat Islam. Sebagai salah seorang pembedah saya mengemukakan beberapa kritikan. Diantaranya saya mengkiritik konsepnya tentang syariah, Negara, public reason dsb. Menurutnya, syariat Islam tercipta selama tiga abad pertama Hijrah. Syariah hanyalah interpretasi Muslim atas kitab suci mereka. Muslim generasi awal tidak mengenal dan tidak menerapkan syariah (hal.33).
Nampaknya, ia tidak percaya bahwa dalam al-Quran terdapat syariah atau hukum. Kalau syariah diartikan jalan berarti juga inkar bahwa Islam adalah jalan. Jadi syariah itu dibuat oleh manusia. Di akhir diskusi dia menghadiahi saya bukunya itu dan menorehkan tanda tangan serta menulis With profound appreciation. Mungkin dia menerima keritikan saya. Wallahu alam
Teori an-Naim lalu saya kaitkan dengan definisi Cheryl Bernard dari Rand Coorporation, AS. Dalam bukunya Civil Democratic Islam, Cheryl mendefinisikan syariah sebagai the entire body of Islamic law and guidance, based on the Quran, hadith and scholarly judgments, and open to selective use and interpretation. Intinya syariah itu adalah produk hukum. Seorang pembela Islam Liberal menulis dalam sebuah koran tidak ada hukum Tuhan, yang ada hanya hukum manusia. Ketiganya bermaksud sama mengartikan syariah sebagai hasil interpretasi manusia Muslim terhadap kitab sucinya.
Apa yang dimaksud interpretasi ternyata beda dari Tafsir atau Tawil. Interpretasi mementingkan sejarah teks. Al-Quran dibedah sejarahnya, dikait-kaitkan dengan situasi politik, sosial, psikologis, ideologi dsb. Alhasil, al-Quran menjadi bukan wahyu suci, tapi produk budaya Arab. Tafsir pun tidak lagi berkaitan dengan teks, tapi dengan budaya disekitar teks. Maka, sebab khusus ayat itu diturunkan (khusus-u-sabab) lebih penting dari arti eksplisit (perintah) ayat itu (umum-ul-lafz). Karena teori ini para ulama mufassir pun dicurigai sebagai memiliki kepentingan, kalau tidak terjerat kondisi sosial budaya. Lalu timbul rumus Penafsiran ulama itu kondisional dan relatif, yang mutlak hanya Tuhan. Para Kyai di pesantren bingung. Cara berfikir seperti itu tidak ada dalam kitab kuning.
Ternyata itu semua adalah bagian dari sekenario intelektual untuk menumpas Muslim fundamentalis. Buktinya terdapat pada saran Cheryl Bernard Challenge their interpretation of Islam and expose inaccuracies (tantanglah interpretasi mereka [fundamentalis] tentang Islam dan beberkan ketidak-akuratannya). Saran ini ditaati cendekiawan Muslim liberal dengan penuh takzim. Respon para dosen Ilmu Tafsir malah lebih kreatif satu ayat seribu tafsir, kitab-kitab Tafsir klasik tidak relevan lagi, bahkan tidak kontekstual.
Untuk membuktikan seribu tafsir muncullah tafsir baru untuk menjual dagangan feminisme radikal, misalnya. Seorang professor pemikiran Islam menyatakan bahwa lesbianism itu halal. Sekumpulan dosen fakultas syariah menyatakan bahwa homoseksualisme itu tidak dilarang syariat Islam. Tafsir baru menghasilkan syariat (hukum) baru. Hukum baru nikah beda agama, hukum waris, wanita menjadi imam laki-laki, hak wanita menceraikan suami dan sebagainya muncul mengejutkan.
Tafsir-tafsir baru itu nampaknya adalah pengamalan dari dawuh Cheryl Bernard. Menafsirkan berarti to depart from, modify, and selectively ignore elements of the original religious doctrine. (menyimpang dari, memodifikasi, dan secara selektif mengesampingkan elemen-elemen dari doktrin keagamaan yang asli). Itulah liberalisasi syariah. Siapapun bebas menafsirkan hukum apa saja. Siapapun bebas mencipta syariah. Islam adalah liberal.
Bukan hanya itu, liberalisasi plus sekularisasi menolak praktek syariah. Ketika sejumlah daerah sepakat menyusun PERDA bagi pelanggar tindak a-moral seperti mencuri, minuman keras, berzina, berjudi dan berkelahi, semua orang sepakat dan gembira. Tapi ketika orang-orang liberal sekuler mencium bau syariah, sontak mereka protes. Meski tidak berbunyi perda syariah, perda itu dianggap inkonstitusional dan men
yulut disintegrasi bangsa.
Ketika pornografi merajalela di tanah air, semua sepakat itu merusak moral bangsa. Semua pun sepakat untuk diatur dalam Undang-Undang Pornografi (UUP). Namun, begitu terdengar bahwa pornografi itu haram hukumnya, RUUP itu menuai badai protes. Memberlakukan UUP dianggap sebagai Islamisasi, memberangus kebebasan seni dan kreatifitas dan membunuh budaya.
Karena menolak syariah konon perumus RUU Pornografi bingung mencari batasan (hudud). Apa batasan aurat dalam seni, kreatifitas dan budaya? Berapa sentimeter goyang yang diperbolehkan, berapa cm paha boleh dibuka? Ternyata syariah ditolak, nurani pun digasak. To do away with the one is to do away with another, kata Nietzsche.
Padahal ketika, Spice Girl, grup musik Inggeris tahun 90 an pentas di Perancis mereka dilempari telur busuk. Gara-gara berpakaian tak senonoh. Ternyata, orang sekulerpun masih punya nurani. Mengapa negeri Muslim ini tidak. Boleh jadi, goyang ngebor dangdut Indonesia di Perancis sana haram hukumnya.
Muslim negeri nampak begitu kompak-toleran pada kemaksiatan. Ketika yang liberal menegaskan tidak ada hukum Tuhan, yang sekuler akur tidak ada yang haram dinegeri ini. Para artis tambah yakin buka-bukaan boleh asal professional. Artinya anda boleh berbuat dosa asal dibayar tinggi. Anda boleh selingkuh (berzina) asal tidak menyakiti orang lain. Prinsipnya benar-benar mem-Barat. Itulah liberal yang menurut Cheryl are the most Westernized.
Sejatinya, syariah tidak lain dari hukum, undang-undang atau jalan. Undang-undang yang sesuai dengan nurani atau fitrah manusia. Jalan hidup yang membebaskan, mensucikan, menenangkan, membersihkan, manusia dari segala nestapa kehidupan dunia. Yang taat hukum akan melangkah menemukan fitrah diri. Yang melanggar akan rmenentangnya alias menzalimi diri sendiri (zalim li nafsihi), awal dari kezaliman yang lebih besar yaitu ingkar Tuhan. Tapi Muslim yang baik adalah yang menjadikan syariah sebagai jalan. Bukan kewajiban tap keperluan. Saya tidak hanya wajib puasa, misalnya, tapi perlu. Taat dan berserah diri pada aturan itulah ber-islam. Pesan Nabi Berserah dirilah anda akan selamat (aslim taslam), Selamat dari kejahatan diri, manusia dan kehidupan.
Ketika pornografi merajalela di tanah air, semua sepakat itu merusak moral bangsa. Semua pun sepakat untuk diatur dalam Undang-Undang Pornografi (UUP). Namun, begitu terdengar bahwa pornografi itu haram hukumnya, RUUP itu menuai badai protes. Memberlakukan UUP dianggap sebagai Islamisasi, memberangus kebebasan seni dan kreatifitas dan membunuh budaya.
Karena menolak syariah konon perumus RUU Pornografi bingung mencari batasan (hudud). Apa batasan aurat dalam seni, kreatifitas dan budaya? Berapa sentimeter goyang yang diperbolehkan, berapa cm paha boleh dibuka? Ternyata syariah ditolak, nurani pun digasak. To do away with the one is to do away with another, kata Nietzsche.
Padahal ketika, Spice Girl, grup musik Inggeris tahun 90 an pentas di Perancis mereka dilempari telur busuk. Gara-gara berpakaian tak senonoh. Ternyata, orang sekulerpun masih punya nurani. Mengapa negeri Muslim ini tidak. Boleh jadi, goyang ngebor dangdut Indonesia di Perancis sana haram hukumnya.
Muslim negeri nampak begitu kompak-toleran pada kemaksiatan. Ketika yang liberal menegaskan tidak ada hukum Tuhan, yang sekuler akur tidak ada yang haram dinegeri ini. Para artis tambah yakin buka-bukaan boleh asal professional. Artinya anda boleh berbuat dosa asal dibayar tinggi. Anda boleh selingkuh (berzina) asal tidak menyakiti orang lain. Prinsipnya benar-benar mem-Barat. Itulah liberal yang menurut Cheryl are the most Westernized.
Sejatinya, syariah tidak lain dari hukum, undang-undang atau jalan. Undang-undang yang sesuai dengan nurani atau fitrah manusia. Jalan hidup yang membebaskan, mensucikan, menenangkan, membersihkan, manusia dari segala nestapa kehidupan dunia. Yang taat hukum akan melangkah menemukan fitrah diri. Yang melanggar akan rmenentangnya alias menzalimi diri sendiri (zalim li nafsihi), awal dari kezaliman yang lebih besar yaitu ingkar Tuhan. Tapi Muslim yang baik adalah yang menjadikan syariah sebagai jalan. Bukan kewajiban tap keperluan. Saya tidak hanya wajib puasa, misalnya, tapi perlu. Taat dan berserah diri pada aturan itulah ber-islam. Pesan Nabi Berserah dirilah anda akan selamat (aslim taslam), Selamat dari kejahatan diri, manusia dan kehidupan.
TAMAK DUNIA: SUMBER KEHANCURAN
Oleh: Dr. Adian Husaini
Dalam buku populernya “The Rise and Fall of the Great Powers”, Paul Kennedy menutup dengan bab “The United States: the Problem of Number One in Relative Decline”. Dalam buku ini, Kennedy memaparkan tanda-tanda kemunduran Amerika Serikat: Tahun 1985, utangnya sudah mencapai 1.823 milyar USD. Defisit neracanya 202,8 milyar USD. Tahun 2002 defisit neracanya diperkirakan telah mencapai lebih dari 400 miliar dolar AS. Dengan politik unilateralnya, ambisi kuasanya, beban yang ditanggung AS makin besar. Duit ditebar untuk menaklukkan negara-negara lain.
Tapi, bagaimana pun, untuk sementara ini, AS masih menjadi negara terkuat. Dalam kata-kata Paul Kennedy, “For all its economic and perhaps military decline, it remains, in Pierre Hassner’s world, “the decisive actor in every type of balance and issue… because it has so much power for good or evil.”
Nabi Muhammad saw menunjukkan sebuah rumus kehancuran peradaban, dalam satu sabda beliau: "Hampir tiba suatu masa dimana berbagai bangsa/kelompok mengeroyok kamu, bagaikan orang-orang yang kelaparan mengerumuni hidangan mereka." Seorang sahabat bertanya: "Apakah karena jumlah kami yang sedikit pada hari itu?" Nabi SAW menjawab: "(Tidak) Bahkan jumlah kamu pada hari itu sangat banyak (mayoritas), tetapi (kualitas) kamu adalah buih, laksana buih di waktu banjir, dan Allah mencabut rasa gentar terhadap kamu dari hati musuh-musuh kamu, dan Allah akan menanamkan penyakit "al wahnu". Seorang bertanya, "Apakah al wahnu itu Ya Rasulallah?" Rasulullah menjawab: "Cinta dunia dan takut mati." (HR Abu Dawud).
Umat Islam digambarkan oleh Rasulullah SAW, ketika itu jumlahnya banyak. Tapi, banyaknya tidak berarti, laksana buih. Sumber kehinaan itu terletak pada sikap “hubbud-dunya”, penyakit tamak terhadap dunia. Kebangkitan dan kehinaan suatu umat atau bangsa adalah merupakan sunnatullah. Jika umat Islam tidak kembali kepada Islam, terjangkit penyakit hubbud-dunya, maka selamanya umat ini akan terus terhinakan. Pada saatnya nanti Allah akan memusnahkan umat seperti itu dan menggantikannya dengan umat atau generesi yang lain.
“Wahai orang-orang yang beriman, barangsiapa yang murtad dari agama Allah, maka kelak Allah akan mendatangkan suatu kaum, yang Allah mencintai mereka, dan merkapun mencintai Allah, mereka berkasih sayang kepada orang-orang mukmin, dan tidak menghinakan diri kepada orang-orang kafir, mereka berjihad di jalan Allah, dan mereka tidak takut pada celaan orang-orang yang suka mencela.” (QS al-Maidah:54)
Manusia-manusia yang “tamak dunia” tidak memiliki sikap cinta Allah dan Rasul-Nya. Apalagi mau berjihad di jalan Allah! Mereka hanya mementingkan syahwat dunia, mengejar dunia demi keuntungan dan kesenangan dirinya. “Tamak dunia” menjauhkan manusia dari sikap cinta pengorbanan yang menjadi salah satu asas kebangkitan sebuah bangsa atau peradaban.
Syekh Amir Syakib Arsalan dalam buku terkenalnya, Limaadzaa Taa’kkharal Muslimun wa-limaadzaa Taqaddama Ghairuhum menyebutkan, bagaimana besarnya sikap berkorban dari kaum Yahudi dan bangsa-bangsa Barat, sehingga mereka mampu mengalahkan kaum Muslimin di berbagai belahan dunia. Pemuda-pemuda Italia dulu, tulis Syaikh Arsalan, merasa malu jika sampai umur 20 tahun masih ada di kampungnya. Mereka meminta izin untuk pergi berperang melawan umat Islam. Bangsa Yahudi mampu menghimpun dana yang sangat besar dan ribuan milisi berani mati demi merebut Tanah Palestina.
Tengoklah sejarah! Mengapa kaum Muslim hancur di Andalusia setelah hampir 800 tahun (711-1492) memimpin negeri ini. Mengapa Kota Jerualem bisa diduduki Pasukan Salib (tahun 1099) yang jauh lebih rendah tingkat peradabannya? Mengapa bangsa Mongol yang sangat biadab dan barbar bisa menaklukkan Baghdad tahun 1215? Bisa disimpulkan: “tamak dunia” adalah sumber utama kehancuran peradaban Islam saat itu.
Dr. Majid Irsan al-Kilani dalam bukunya, Hakadza Dhahara Jiilu Shalahuddin wa-Hakadza ‘Aadat al-Quds, dengan tepat menggambarkan kondisi moralitas penguasa, ulama, dan masyarakat, di saat-saat kejatuhan Kota Suci J
Oleh: Dr. Adian Husaini
Dalam buku populernya “The Rise and Fall of the Great Powers”, Paul Kennedy menutup dengan bab “The United States: the Problem of Number One in Relative Decline”. Dalam buku ini, Kennedy memaparkan tanda-tanda kemunduran Amerika Serikat: Tahun 1985, utangnya sudah mencapai 1.823 milyar USD. Defisit neracanya 202,8 milyar USD. Tahun 2002 defisit neracanya diperkirakan telah mencapai lebih dari 400 miliar dolar AS. Dengan politik unilateralnya, ambisi kuasanya, beban yang ditanggung AS makin besar. Duit ditebar untuk menaklukkan negara-negara lain.
Tapi, bagaimana pun, untuk sementara ini, AS masih menjadi negara terkuat. Dalam kata-kata Paul Kennedy, “For all its economic and perhaps military decline, it remains, in Pierre Hassner’s world, “the decisive actor in every type of balance and issue… because it has so much power for good or evil.”
Nabi Muhammad saw menunjukkan sebuah rumus kehancuran peradaban, dalam satu sabda beliau: "Hampir tiba suatu masa dimana berbagai bangsa/kelompok mengeroyok kamu, bagaikan orang-orang yang kelaparan mengerumuni hidangan mereka." Seorang sahabat bertanya: "Apakah karena jumlah kami yang sedikit pada hari itu?" Nabi SAW menjawab: "(Tidak) Bahkan jumlah kamu pada hari itu sangat banyak (mayoritas), tetapi (kualitas) kamu adalah buih, laksana buih di waktu banjir, dan Allah mencabut rasa gentar terhadap kamu dari hati musuh-musuh kamu, dan Allah akan menanamkan penyakit "al wahnu". Seorang bertanya, "Apakah al wahnu itu Ya Rasulallah?" Rasulullah menjawab: "Cinta dunia dan takut mati." (HR Abu Dawud).
Umat Islam digambarkan oleh Rasulullah SAW, ketika itu jumlahnya banyak. Tapi, banyaknya tidak berarti, laksana buih. Sumber kehinaan itu terletak pada sikap “hubbud-dunya”, penyakit tamak terhadap dunia. Kebangkitan dan kehinaan suatu umat atau bangsa adalah merupakan sunnatullah. Jika umat Islam tidak kembali kepada Islam, terjangkit penyakit hubbud-dunya, maka selamanya umat ini akan terus terhinakan. Pada saatnya nanti Allah akan memusnahkan umat seperti itu dan menggantikannya dengan umat atau generesi yang lain.
“Wahai orang-orang yang beriman, barangsiapa yang murtad dari agama Allah, maka kelak Allah akan mendatangkan suatu kaum, yang Allah mencintai mereka, dan merkapun mencintai Allah, mereka berkasih sayang kepada orang-orang mukmin, dan tidak menghinakan diri kepada orang-orang kafir, mereka berjihad di jalan Allah, dan mereka tidak takut pada celaan orang-orang yang suka mencela.” (QS al-Maidah:54)
Manusia-manusia yang “tamak dunia” tidak memiliki sikap cinta Allah dan Rasul-Nya. Apalagi mau berjihad di jalan Allah! Mereka hanya mementingkan syahwat dunia, mengejar dunia demi keuntungan dan kesenangan dirinya. “Tamak dunia” menjauhkan manusia dari sikap cinta pengorbanan yang menjadi salah satu asas kebangkitan sebuah bangsa atau peradaban.
Syekh Amir Syakib Arsalan dalam buku terkenalnya, Limaadzaa Taa’kkharal Muslimun wa-limaadzaa Taqaddama Ghairuhum menyebutkan, bagaimana besarnya sikap berkorban dari kaum Yahudi dan bangsa-bangsa Barat, sehingga mereka mampu mengalahkan kaum Muslimin di berbagai belahan dunia. Pemuda-pemuda Italia dulu, tulis Syaikh Arsalan, merasa malu jika sampai umur 20 tahun masih ada di kampungnya. Mereka meminta izin untuk pergi berperang melawan umat Islam. Bangsa Yahudi mampu menghimpun dana yang sangat besar dan ribuan milisi berani mati demi merebut Tanah Palestina.
Tengoklah sejarah! Mengapa kaum Muslim hancur di Andalusia setelah hampir 800 tahun (711-1492) memimpin negeri ini. Mengapa Kota Jerualem bisa diduduki Pasukan Salib (tahun 1099) yang jauh lebih rendah tingkat peradabannya? Mengapa bangsa Mongol yang sangat biadab dan barbar bisa menaklukkan Baghdad tahun 1215? Bisa disimpulkan: “tamak dunia” adalah sumber utama kehancuran peradaban Islam saat itu.
Dr. Majid Irsan al-Kilani dalam bukunya, Hakadza Dhahara Jiilu Shalahuddin wa-Hakadza ‘Aadat al-Quds, dengan tepat menggambarkan kondisi moralitas penguasa, ulama, dan masyarakat, di saat-saat kejatuhan Kota Suci J
erusalem di tangan pasukan salib. Penyakit tamak dunia merajalela, bukan hanya di kalangan penguasa, tetapi juga di kalangan ulama. Umat Islam mengabaikan aktivitas amar ma’ruf nahi munkar. Mereka membiarkan kemunkaran merajalela, karena sibuk memikirkan kejayaan dan keuntungan pribadi dan kelompoknya. Satu lagi, penyakit kronis ketika itu: umat Islam terjebak dalam perpecahan antar-mazhab yang sangat parah. Mereka tidak peduli dengan Islam, dan hanya sibuk memikirkan kejayaan kelompoknya dengan mencaci-maki kelompok lainnya.
Tokoh Islam, Mohammad Natsir, jauh-jauh sebelumnya pernah mengingatkan bahaya ”tamak dunia” yang sedang mengancam negara Indonesia. Pada 17 Agustus 1951, hanya 6 tahun setelah kemerdekaan RI, Mohammad Natsir menulis sebuah artikel berjudul “Jangan Berhenti Tangan Mendayung, Nanti Arus Membawa Hanyut.” Melalui artikelnya ini, Natsir menggambarkan hilangnya budaya cinta pengorbanan pada manusia Indonesia pasca kemerdekaan: “Dahulu, mereka girang gembira, sekalipun hartanya habis, rumahnya terbakar, dan anaknya tewas di medan pertempuran, kini mereka muram dan kecewa sekalipun telah hidup dalam satu negara yang merdeka, yang mereka inginkan dan cita-citakan sejak berpuluh dan beratus tahun yang lampau… Semua orang menghitung pengorbanannya, dan minta dihargai. Sengaja ditonjol-tonjolkan kemuka apa yang telah dikorbankannya itu, dan menuntut supaya dihargai oleh masyarakat. Dahulu, mereka berikan pengorbanan untuk masyarakat dan sekarang dari masyarakat itu pula mereka mengharapkan pembalasannya yang setimpal… Sekarang timbul penyakit bakhil. Bakhil keringat, bakhil waktu dan merajalela sifat serakah. Orang bekerja tidak sepenuh hati lagi. Orang sudah keberatan memberikan keringatnya sekalipun untuk tugasnya sendiri.”
Di tahun 1980-an, Natsir juga pernah berpesan kepada para sejumlah cendekiawan Muslim yang mewawancarainya: ”Salah satu penyakit bangsa Indonesia, termasuk umat Islamnya, adalah berlebih-lebihan dalam mencintai dunia...Di negara kita, penyakit cinta dunia yang berlebihan itu merupakan gejala yang ”baru”, tidak kita jumpai pada masa revolusi, dan bahkan pada masa Orde Lama (kecuali pada sebagian kecil elite masyarakat). Tetapi, gejala yang ”baru” ini, akhir-akhir ini terasa amat pesat perkembangannya, sehingga sudah menjadi wabah dalam masyarakat. Jika gejala ini dibiarkan berkembang terus, maka bukan saja umat Islam akan dapat mengalami kejadian yang menimpa Islam di Spanyol, tetapi bagi bangsa kita pada umumnya akan menghadapi persoalan sosial yang cukup serius.”
Nabi Muhammad saw sudah mengingatkan bahaya ”tamak dunia”. Sejarah sudah membuktikan. Kini, kita bisa menilai: apakah bangsa Indonesia – bangsa Muslim terbesar di dunia ini -- sedang menuju proses kebangkitan atau sedang menggali kuburnya sendiri? Wallahu a’lam bil-shawab. (***)
Tokoh Islam, Mohammad Natsir, jauh-jauh sebelumnya pernah mengingatkan bahaya ”tamak dunia” yang sedang mengancam negara Indonesia. Pada 17 Agustus 1951, hanya 6 tahun setelah kemerdekaan RI, Mohammad Natsir menulis sebuah artikel berjudul “Jangan Berhenti Tangan Mendayung, Nanti Arus Membawa Hanyut.” Melalui artikelnya ini, Natsir menggambarkan hilangnya budaya cinta pengorbanan pada manusia Indonesia pasca kemerdekaan: “Dahulu, mereka girang gembira, sekalipun hartanya habis, rumahnya terbakar, dan anaknya tewas di medan pertempuran, kini mereka muram dan kecewa sekalipun telah hidup dalam satu negara yang merdeka, yang mereka inginkan dan cita-citakan sejak berpuluh dan beratus tahun yang lampau… Semua orang menghitung pengorbanannya, dan minta dihargai. Sengaja ditonjol-tonjolkan kemuka apa yang telah dikorbankannya itu, dan menuntut supaya dihargai oleh masyarakat. Dahulu, mereka berikan pengorbanan untuk masyarakat dan sekarang dari masyarakat itu pula mereka mengharapkan pembalasannya yang setimpal… Sekarang timbul penyakit bakhil. Bakhil keringat, bakhil waktu dan merajalela sifat serakah. Orang bekerja tidak sepenuh hati lagi. Orang sudah keberatan memberikan keringatnya sekalipun untuk tugasnya sendiri.”
Di tahun 1980-an, Natsir juga pernah berpesan kepada para sejumlah cendekiawan Muslim yang mewawancarainya: ”Salah satu penyakit bangsa Indonesia, termasuk umat Islamnya, adalah berlebih-lebihan dalam mencintai dunia...Di negara kita, penyakit cinta dunia yang berlebihan itu merupakan gejala yang ”baru”, tidak kita jumpai pada masa revolusi, dan bahkan pada masa Orde Lama (kecuali pada sebagian kecil elite masyarakat). Tetapi, gejala yang ”baru” ini, akhir-akhir ini terasa amat pesat perkembangannya, sehingga sudah menjadi wabah dalam masyarakat. Jika gejala ini dibiarkan berkembang terus, maka bukan saja umat Islam akan dapat mengalami kejadian yang menimpa Islam di Spanyol, tetapi bagi bangsa kita pada umumnya akan menghadapi persoalan sosial yang cukup serius.”
Nabi Muhammad saw sudah mengingatkan bahaya ”tamak dunia”. Sejarah sudah membuktikan. Kini, kita bisa menilai: apakah bangsa Indonesia – bangsa Muslim terbesar di dunia ini -- sedang menuju proses kebangkitan atau sedang menggali kuburnya sendiri? Wallahu a’lam bil-shawab. (***)
Ini keyakinan kami! Mohon dihormati! Kami orang Muslim, meyakini Tuhan Satu, yaitu Allah SWT, yang tidak punya anak (QS Al Ikhlas). Kami dilarang syirik, karena syirik adalah ketidakberadaban serius dan kejahatan terhadap Tuhan Allah (QS 31:13). Menuduh Allah punya anak adalah keterlaluan dan dimurkai Allah (QS 19:88-91). Syirik membawa kepada kekufuran. Amal orang-orang kafir sia-sia dan seperti fatamorgana (QS 2:217, 24:39). Kami menghormati keyakinan yang berbeda. Kami tidak mengganggu. Jika kami tidak ikut campur dalam perbuatan syirik umat lain, mohon jangn tuduh kami TIDAK TOLERAN. Hormatilah keyakinan kami!!!
|Adian Husaini|
|Adian Husaini|
MENGAPA BARAT MASIH TAKUT TERHADAP ISLAM
Ada sebuah tulisan menarik di Harian International Herald Tribune (20 Juli 2004) yang ditulis oleh Craig S. Smith. Judulnya: Europe fears threat from its converts to Islam. Artikel itu bercerita tentang dua pemuda Perancis, bernama David dan Jerome yang masuk Islam dan akhirnya ditahan karena tuduhan terlibat jaringan terorisme internasional. Kasus dua bersaudara itu diangkat sebagai representasi, betapa perlunya masyarakat Eropa mencermati dan waspada terhadap kecenderungan meningkatnya konversi penduduk asli Eropa ke dalam Islam, setelah peristiwa 11 September 2001. Tahun 2003, dinas rahasia Perancis, memperkirakan, ada sekitar 30.000-50.000 orang Perancis yang masuk Islam. Islam kabarnya merupakan agama yang paling cepat berkembang di Eropa.
Sebagai sebuah artikel populer di media massa, sebenarnya terdapat aspek generalisasi yang berlebihan dalam menarik satu kesimpulan. Tetapi, dilihat dari sisi pembentukan opini publik di dunia Barat, tulisan semacam ini tampaknya dimaksudkan untuk membangun kewaspadaan terhadap Islam. Kampanye internasional anti-terorisme yang kini lebih banyak ditujukan kepada kelompok-kelompok Islam ternyata tidak berhasil menahan laju perkembangan Islam di Eropa.
Tulisan-tulisan seperti ini tampaknya dibuat untuk memperkuat kembali kesadaran Barat terhadap bahaya Islam, yang terus-menerus dibangun oleh media massa dan sebagian politisi Barat, sejak kekalahan komunisme. Era Perang Dingin berakhir, berganti dengan era Perang melawan Islam (tertentu).
Fakta perkembangan Islam di Eropa itu menunjukkan, kampanye anti-terorisme oleh Barat, terutama, AS, yang menjadikan al-Qaidah sebagai musuh utama dunia internasional, ternyata tidak terlalu berhasil.
Bahkan, di Arab Saudi, menurut laporan Newsweek edisi 28 Juni 2004, simpatisan Osama bin Laden ternyata cukup tinggi. Sebuah polling rahasia yang dilakukan oleh pemerintah Saudi menunjukkan, 49 persen responden mendukung gagasan Osama. Fenomena itu bisa dipahami, mengingat dunia internasional semakin jelas menyaksikan bagaimana berbagai paradoks dan kebrutalan ditunjukkan oleh AS, khususnya dalam kasus Palestina dan Irak. Terbongkarnya kebrutalan tentara-tentara AS terhadap tawanan Irak di penjara Abu Gharib semakin membuka mata umat manusia terhadap apa yang sebenarnya terjadi. Bahwa, kampanye anti-terorisme sebenarnya tidak lepas dari kepentingan politik dan ekonomi Barat untuk mempertahankan hegemoninya.
Sebuah buku berjudul Western State Terrorism (ed. Alexander George), mengkompilasi data-data dari sejumlah penulis, seperti Chomsky, Edward S. Herman, Richard Falk, dan sebagainya, yang menunjukkan bagaimana Barat, terutama AS dan Inggris, menggunakan isu terorisme sebagai alat politik luar negerinya (to employ terrorism as a tool of foreign policy). Prof. Edward S. Herman, guru besar di University of Pensylvania dan Gerry OSullivan menulis sebuah artikel berjudul Terrorism as Ideology and Cultural Industry. Mereka menyebut terorisme, sebagai industri multinasional, dimana terdapat hubungan erat antara pemerintah, sponsor swasta, institusi-institusi pemikir, cendekiawan, baik di dalam AS maupun utamanya antara AS, Israel, dan Inggris. Contoh bagaimana biasnya penggunaan istilah teroris adalah dalam kasus pembantaian sekitar 3.500 pengungsi Palestina (termasuk wanita dan anak-anak) di Shabra-Shatila pada 1982. Pembantaian itu jelas dilakukan oleh Tentara Kristen Phalangis dengan pemantauan penuh Israel. Namun, Israel sama sekali bebas dari cap sebagai negara teroris. Korban warga Palestina di Shabra-Shatila itu juga melampaui jumlah korban kelompok yang sudah ditetapkan sebagai teroris, ketika itu, seperti PLO, Baader-Meinhof gang dan Red Brigades.
Salah satu peran penting untuk mendukung operasi industri terorisme dimainkan oleh lembaga-lembaga studi quasi pemerintah, seperti Center for Strategic and International Studies (CSIS) di Georgetown, AS.
Institusi-institusi semacam ini beserta para pakar di dalamnya bekerja bersama agensi-agensi pemerintah untuk memberikan perspektif
Ada sebuah tulisan menarik di Harian International Herald Tribune (20 Juli 2004) yang ditulis oleh Craig S. Smith. Judulnya: Europe fears threat from its converts to Islam. Artikel itu bercerita tentang dua pemuda Perancis, bernama David dan Jerome yang masuk Islam dan akhirnya ditahan karena tuduhan terlibat jaringan terorisme internasional. Kasus dua bersaudara itu diangkat sebagai representasi, betapa perlunya masyarakat Eropa mencermati dan waspada terhadap kecenderungan meningkatnya konversi penduduk asli Eropa ke dalam Islam, setelah peristiwa 11 September 2001. Tahun 2003, dinas rahasia Perancis, memperkirakan, ada sekitar 30.000-50.000 orang Perancis yang masuk Islam. Islam kabarnya merupakan agama yang paling cepat berkembang di Eropa.
Sebagai sebuah artikel populer di media massa, sebenarnya terdapat aspek generalisasi yang berlebihan dalam menarik satu kesimpulan. Tetapi, dilihat dari sisi pembentukan opini publik di dunia Barat, tulisan semacam ini tampaknya dimaksudkan untuk membangun kewaspadaan terhadap Islam. Kampanye internasional anti-terorisme yang kini lebih banyak ditujukan kepada kelompok-kelompok Islam ternyata tidak berhasil menahan laju perkembangan Islam di Eropa.
Tulisan-tulisan seperti ini tampaknya dibuat untuk memperkuat kembali kesadaran Barat terhadap bahaya Islam, yang terus-menerus dibangun oleh media massa dan sebagian politisi Barat, sejak kekalahan komunisme. Era Perang Dingin berakhir, berganti dengan era Perang melawan Islam (tertentu).
Fakta perkembangan Islam di Eropa itu menunjukkan, kampanye anti-terorisme oleh Barat, terutama, AS, yang menjadikan al-Qaidah sebagai musuh utama dunia internasional, ternyata tidak terlalu berhasil.
Bahkan, di Arab Saudi, menurut laporan Newsweek edisi 28 Juni 2004, simpatisan Osama bin Laden ternyata cukup tinggi. Sebuah polling rahasia yang dilakukan oleh pemerintah Saudi menunjukkan, 49 persen responden mendukung gagasan Osama. Fenomena itu bisa dipahami, mengingat dunia internasional semakin jelas menyaksikan bagaimana berbagai paradoks dan kebrutalan ditunjukkan oleh AS, khususnya dalam kasus Palestina dan Irak. Terbongkarnya kebrutalan tentara-tentara AS terhadap tawanan Irak di penjara Abu Gharib semakin membuka mata umat manusia terhadap apa yang sebenarnya terjadi. Bahwa, kampanye anti-terorisme sebenarnya tidak lepas dari kepentingan politik dan ekonomi Barat untuk mempertahankan hegemoninya.
Sebuah buku berjudul Western State Terrorism (ed. Alexander George), mengkompilasi data-data dari sejumlah penulis, seperti Chomsky, Edward S. Herman, Richard Falk, dan sebagainya, yang menunjukkan bagaimana Barat, terutama AS dan Inggris, menggunakan isu terorisme sebagai alat politik luar negerinya (to employ terrorism as a tool of foreign policy). Prof. Edward S. Herman, guru besar di University of Pensylvania dan Gerry OSullivan menulis sebuah artikel berjudul Terrorism as Ideology and Cultural Industry. Mereka menyebut terorisme, sebagai industri multinasional, dimana terdapat hubungan erat antara pemerintah, sponsor swasta, institusi-institusi pemikir, cendekiawan, baik di dalam AS maupun utamanya antara AS, Israel, dan Inggris. Contoh bagaimana biasnya penggunaan istilah teroris adalah dalam kasus pembantaian sekitar 3.500 pengungsi Palestina (termasuk wanita dan anak-anak) di Shabra-Shatila pada 1982. Pembantaian itu jelas dilakukan oleh Tentara Kristen Phalangis dengan pemantauan penuh Israel. Namun, Israel sama sekali bebas dari cap sebagai negara teroris. Korban warga Palestina di Shabra-Shatila itu juga melampaui jumlah korban kelompok yang sudah ditetapkan sebagai teroris, ketika itu, seperti PLO, Baader-Meinhof gang dan Red Brigades.
Salah satu peran penting untuk mendukung operasi industri terorisme dimainkan oleh lembaga-lembaga studi quasi pemerintah, seperti Center for Strategic and International Studies (CSIS) di Georgetown, AS.
Institusi-institusi semacam ini beserta para pakar di dalamnya bekerja bersama agensi-agensi pemerintah untuk memberikan perspektif
tertentu tentang terorisme kepada masyarakat. Mereka juga merupakan alat penting bagi propaganda pemerintah Barat. They are also important vehicles for spesific pieces of government propaganda, tulis Herman dan Sullivan.
Lembaga-lembaga ini mendapatkan alokasi dana yang sengat besar. Pada pertengahan 1980-an, CSIS, Hoover Institution, American Enterprise Institute (AEI), dan Heritage Foundation, masing-masing mendapatkan anggaran lebih dari 10 juta USD (sekitar Rp 90 milyar) per tahun. CSIS, yang aktif mengadakan diskusi di berbagai negara, memiliki kecenderungan kuat ke kelompok sayap kanan. Bahkan, pada awal 1970-an, CSIS memiliki peran penting dalam melakukan destabilisasi rezim Allende di Chili. Setelah menguraikan peran CSIS dalam kasus terorisme, kedua penulis ini menyimpulkan: The CSIS is a truly multinational member of the terrorism industry.
Adakah hubungan CSIS di AS dengan CSIS di Indonesia?
Lembaga lain yang menjadi bagian penting dari industri terorisme, tentu saja, adalah pers. Pers, atau media massa, bertugas membentuk imej tentang siapa yang harus dipersepsikan sebagai teroris dan siapa yang dipersepsikan sebagai pemberantas teroris. Siapa yang harus dicap sebagai penjahat dan siapa yang dicap sebagai orang baik. Lihatlah, meskipun kejahatan Ariel Sharon begitu nyata, tetapi nyaris tidak ada pers yang secara konsisten menyebut Ariel Sharon sebagai ekstrimis, teroris, militan Yahudi, dan sebagainya. Begitu juga dengan Presiden George Bush.
Sudah jelas berbagai kesalahannya dan tanggung jawabnya terhadap terbunuhnya puluhan ribu nyawa manusia tidak berdosa di Afghanistan, Irak, Palestina, dan sebagainya. Hubungannya dengan kelompok fundamentalis Kristen dan Yahudi pun sangat jelas.
Tetapi, adakah pers di Indonesia yang mau secara konsisten menjuluki Bush sebagai ekstrimis atau militan Barat?
Pada akhirnya, semua kepalsuan dan standar ganda itu sulit untuk ditutup-tutupi. Dunia pun semakin terbuka. Dan itulah memang konskuensi dari cara berpikir peradaban Barat. Marvin Perry memulai kata pengantar untuk bukunya Western Civilization: a Brief HistoryWestern civilization is a grand but tragic drama. Menurut Perry, peradaban Barat adalah peradaban yang besar, tetapi merupakan drama yang tragis. Meskipun sukses dalam pengembangan berbagai bidang kehidupan, tetapi kurang berhasil dalam menyelesaikan penyakit sosial dan konflik antar negara. Sains Barat, meskipun sukses dalam mengembangkan berbagai sarana kehidupan, tetapi sekaligus juga memproduksi senjata pemusnah massal.
Disamping mempromosikan perlindungan hak asasi manusia, Barat pun memproduksi rejim-rejim totaliter yang menindas kebebasan individu dan martabat manusia. Juga, meskipun Barat berkomitmen untuk mempromosikan konsep kesetaraan manusia, namun sekaligus Barat juga melakukan praktik rasisme yang brutal.
Dalam buku Powerful Ideas: Perspectives on the Good Society (2002), yang menghimpun gagasan pemikir-pemikir besar dalam sejarah manusia, seperti Sopocles (495-406 SM), Thucydides (460-400 SM), Plato (428-348 SM), Aristotle (384-322 SM), Confucius (551-479), Adam Smith (1723-1790), Immanuel Kant (1724-1804), Karl Marx (1818-1883), Nelson Mandela, Edward Said (1935-2003), dimuat tulisan Prof. Syed Naquib al-Attas, berjudul The Dewesternization of Knowledge. Tulisan ini membongkar sebab-musabab bahaya yang ditimbulkan peradaban Barat terhadap umat manusia.
Al-Attas memandang problem terberat yang dihadapi manusia dewasa ini adalah hegemoni dan dominasi keilmuan Barat yang mengarah pada kehancuran umat manusia. Satu fenomena yang belum pernah terjadi dalam sejarah umat manusia. Sepanjang sejarahnya, manusia telah menghadapi banyak tantangan dan kekacauan.
Tetapi, belum pernah, mereka menghadapi tantangan yang lebih serius daripada yang ditimbulkan oleh peradaban Barat saat ini. (Many challenges have arisen in the midst of mans confusion throughout the ages, but none perhaps more serious and destructive to man than todays challenge posed by Western Civilization).
Kekacauan itu, menurut al-Attas, bersumber dari si
Lembaga-lembaga ini mendapatkan alokasi dana yang sengat besar. Pada pertengahan 1980-an, CSIS, Hoover Institution, American Enterprise Institute (AEI), dan Heritage Foundation, masing-masing mendapatkan anggaran lebih dari 10 juta USD (sekitar Rp 90 milyar) per tahun. CSIS, yang aktif mengadakan diskusi di berbagai negara, memiliki kecenderungan kuat ke kelompok sayap kanan. Bahkan, pada awal 1970-an, CSIS memiliki peran penting dalam melakukan destabilisasi rezim Allende di Chili. Setelah menguraikan peran CSIS dalam kasus terorisme, kedua penulis ini menyimpulkan: The CSIS is a truly multinational member of the terrorism industry.
Adakah hubungan CSIS di AS dengan CSIS di Indonesia?
Lembaga lain yang menjadi bagian penting dari industri terorisme, tentu saja, adalah pers. Pers, atau media massa, bertugas membentuk imej tentang siapa yang harus dipersepsikan sebagai teroris dan siapa yang dipersepsikan sebagai pemberantas teroris. Siapa yang harus dicap sebagai penjahat dan siapa yang dicap sebagai orang baik. Lihatlah, meskipun kejahatan Ariel Sharon begitu nyata, tetapi nyaris tidak ada pers yang secara konsisten menyebut Ariel Sharon sebagai ekstrimis, teroris, militan Yahudi, dan sebagainya. Begitu juga dengan Presiden George Bush.
Sudah jelas berbagai kesalahannya dan tanggung jawabnya terhadap terbunuhnya puluhan ribu nyawa manusia tidak berdosa di Afghanistan, Irak, Palestina, dan sebagainya. Hubungannya dengan kelompok fundamentalis Kristen dan Yahudi pun sangat jelas.
Tetapi, adakah pers di Indonesia yang mau secara konsisten menjuluki Bush sebagai ekstrimis atau militan Barat?
Pada akhirnya, semua kepalsuan dan standar ganda itu sulit untuk ditutup-tutupi. Dunia pun semakin terbuka. Dan itulah memang konskuensi dari cara berpikir peradaban Barat. Marvin Perry memulai kata pengantar untuk bukunya Western Civilization: a Brief HistoryWestern civilization is a grand but tragic drama. Menurut Perry, peradaban Barat adalah peradaban yang besar, tetapi merupakan drama yang tragis. Meskipun sukses dalam pengembangan berbagai bidang kehidupan, tetapi kurang berhasil dalam menyelesaikan penyakit sosial dan konflik antar negara. Sains Barat, meskipun sukses dalam mengembangkan berbagai sarana kehidupan, tetapi sekaligus juga memproduksi senjata pemusnah massal.
Disamping mempromosikan perlindungan hak asasi manusia, Barat pun memproduksi rejim-rejim totaliter yang menindas kebebasan individu dan martabat manusia. Juga, meskipun Barat berkomitmen untuk mempromosikan konsep kesetaraan manusia, namun sekaligus Barat juga melakukan praktik rasisme yang brutal.
Dalam buku Powerful Ideas: Perspectives on the Good Society (2002), yang menghimpun gagasan pemikir-pemikir besar dalam sejarah manusia, seperti Sopocles (495-406 SM), Thucydides (460-400 SM), Plato (428-348 SM), Aristotle (384-322 SM), Confucius (551-479), Adam Smith (1723-1790), Immanuel Kant (1724-1804), Karl Marx (1818-1883), Nelson Mandela, Edward Said (1935-2003), dimuat tulisan Prof. Syed Naquib al-Attas, berjudul The Dewesternization of Knowledge. Tulisan ini membongkar sebab-musabab bahaya yang ditimbulkan peradaban Barat terhadap umat manusia.
Al-Attas memandang problem terberat yang dihadapi manusia dewasa ini adalah hegemoni dan dominasi keilmuan Barat yang mengarah pada kehancuran umat manusia. Satu fenomena yang belum pernah terjadi dalam sejarah umat manusia. Sepanjang sejarahnya, manusia telah menghadapi banyak tantangan dan kekacauan.
Tetapi, belum pernah, mereka menghadapi tantangan yang lebih serius daripada yang ditimbulkan oleh peradaban Barat saat ini. (Many challenges have arisen in the midst of mans confusion throughout the ages, but none perhaps more serious and destructive to man than todays challenge posed by Western Civilization).
Kekacauan itu, menurut al-Attas, bersumber dari si
stem keilmuan Barat itu sendiri, yang disebarkan ke seluruh dunia. Knowledge yang disebarkan Barat itu, menurut al-Attas, pada hakekatnya telah menjadi problematik, karena kehilangan tujuan yang benar; dan lebih menimbulkan kekacauan (chaos) dalam kehidupan manusia, ketimbang membawa perdamaian dan keadilan; knowledge yang seolah-olah benar, padahal memproduksi kekacauan dan skeptisisme (confusion and scepticism); bahkan knowledge yang untuk pertama kali dalam sejarah telah membawa kepada kekacauan dalam the Three Kingdom of Nature yaitu dunia binatang, tumbuhan, dan mineral.
Menurut al-Attas, bagi Barat, kebenaran fundamental dari agama, dipandang sekedar teoritis. Kebenaran absolut dinegasikan dan nilai-nilai relatif diterima. Tidak ada satu kepastian. Konsekuensinya, adalah penegasian Tuhan dan Akhirat dan menempatkan manusia sebagai satu-satunya yang berhak mengatur dunia.
Manusia akhirnya dituhankan dan Tuhan pun dimanusiakan. (Man is deified and Deity humanised). Dengan karakteristiknya semacam itu, maka menurut al-Attas, peradaban Barat juga merupakan tantangan terbesar bagi kaum Muslim. Dan secara konseptual, antara keduanya terdapat perbedaan yang fundamental sehingga akan menimbulkan konflik yang bersifat permanen. Ia juga mengingatkan, bahwa dalam melihat Islam, Barat tidak bersikap pasif, tetapi sangat aktif memerangi Islam dalam berbagai bidang. Dalam sebuah risalahnya kepada kaum Muslimin, al-Attas mengingatkan: Shahadan, maka sesungguhnya tiada hairan bagi kita jikalau agama Kristian Barat dan orang Barat yang menjelmakan Kebudayaan Barat itu, dalam serangbalasnya terhadap agama dan orang Islam, akan senantiasa menganggap Islam sebagai bandingnya, sebagai tandingnya, sebagai taranya dan seterunya yang tunggal dalam usaha mereka untuk mencapai kedaulatan duniawi.
Di antara berbagai peradaban yang eksis saat ini, memang hanya Islam yang pernah menaklukkan Barat. Dalam buku terkenalnya, Clash of Civilizations and the Remaking of World Order, Huntington menyimpulkan: Islam is the only civilization which has put the survival of the West in doubt, and it has done that at least twice. (Islam adalah satu-satunya peradaban yang telah menampatkan keberlangsungan peradaban Barat dalam keraguan, dan ini telah terjadi sekurangnya dua kali).
Dalam kilasan sejarahnya, Islam pernah menaklukkan Barat selama beratus-ratus tahun. Islam pernah menduduki Spanyol selama hampir 800 tahun (711-1492). Kekuatan Islam, yang ketika itu diwakili oleh Turki Uthmani, selama beratus-ratus tahun menjadi momok yang sangat menakutkan bagi Barat. Selama dua kali (1529 dan 1683) kota Vienna dikepung oleh Turki Uthmani, yang ketika itu menjadi The Superpower of the World.
Jatuhnya Konstantinopel, tahun 1453, oleh Turki Uthmani di bawah pimpinan Sultan Muhammad al-Fatih, juga merupakan pukulan berat bagi Barat. Konstantine adalah nama Kaisar Romawi yang dianggap begitu besar jasanya bagi perkembangan agama Kristen. Dialah yang membangun imperium Romawi Timur. Dia juga yang dikenal memelopori penyelenggaraan Konsili Nicea, 325, yang kemudian merumuskan doktrin-doktrin pokok dalam Teologi Kristen. Setelah runtuhnya imperium Romawi Barat, maka Imperium Romawi Timur masih tetap bertahan sampai masuknya pasukan Islam di bawah pimpinan al-Fatih pada 1453. Selama dua bulan, sejak 6 April sampai 29 Mei 1453, pasukan al-Fatih (yang ketika itu berumur 29 tahun), mengepung Konstantinopel yang dikenal memiliki pertahanan sangat kuat. Meskipun mengalami perpecahan dalam paham keagamaan dengan Kristen Ortodoks di Romawi Timur, Paus Nicholas V di Roma, mengirimkan tiga kapal perang untuk membantu melawan pasukan al-Fatih. Jadi, meskipun Kristen bersatu, mereka tetap kalah. Begitu juga yang terjadi dalam Perang Salib. Meskipun Barat sudah bersatu padu, tetap kalah melawan Islam.
Memori kolektif sejarah Barat memang menyimpan kenangan pahit dan kekhawatiran terhadap kebangkitan Islam. Apalagi, begitu banyak sarjana Barat yang mengakui bahwa peradaban Barat sedang mengalami kemunduran. Tahun 1917, filosof Jerman Oswald Spengler menulis du
Menurut al-Attas, bagi Barat, kebenaran fundamental dari agama, dipandang sekedar teoritis. Kebenaran absolut dinegasikan dan nilai-nilai relatif diterima. Tidak ada satu kepastian. Konsekuensinya, adalah penegasian Tuhan dan Akhirat dan menempatkan manusia sebagai satu-satunya yang berhak mengatur dunia.
Manusia akhirnya dituhankan dan Tuhan pun dimanusiakan. (Man is deified and Deity humanised). Dengan karakteristiknya semacam itu, maka menurut al-Attas, peradaban Barat juga merupakan tantangan terbesar bagi kaum Muslim. Dan secara konseptual, antara keduanya terdapat perbedaan yang fundamental sehingga akan menimbulkan konflik yang bersifat permanen. Ia juga mengingatkan, bahwa dalam melihat Islam, Barat tidak bersikap pasif, tetapi sangat aktif memerangi Islam dalam berbagai bidang. Dalam sebuah risalahnya kepada kaum Muslimin, al-Attas mengingatkan: Shahadan, maka sesungguhnya tiada hairan bagi kita jikalau agama Kristian Barat dan orang Barat yang menjelmakan Kebudayaan Barat itu, dalam serangbalasnya terhadap agama dan orang Islam, akan senantiasa menganggap Islam sebagai bandingnya, sebagai tandingnya, sebagai taranya dan seterunya yang tunggal dalam usaha mereka untuk mencapai kedaulatan duniawi.
Di antara berbagai peradaban yang eksis saat ini, memang hanya Islam yang pernah menaklukkan Barat. Dalam buku terkenalnya, Clash of Civilizations and the Remaking of World Order, Huntington menyimpulkan: Islam is the only civilization which has put the survival of the West in doubt, and it has done that at least twice. (Islam adalah satu-satunya peradaban yang telah menampatkan keberlangsungan peradaban Barat dalam keraguan, dan ini telah terjadi sekurangnya dua kali).
Dalam kilasan sejarahnya, Islam pernah menaklukkan Barat selama beratus-ratus tahun. Islam pernah menduduki Spanyol selama hampir 800 tahun (711-1492). Kekuatan Islam, yang ketika itu diwakili oleh Turki Uthmani, selama beratus-ratus tahun menjadi momok yang sangat menakutkan bagi Barat. Selama dua kali (1529 dan 1683) kota Vienna dikepung oleh Turki Uthmani, yang ketika itu menjadi The Superpower of the World.
Jatuhnya Konstantinopel, tahun 1453, oleh Turki Uthmani di bawah pimpinan Sultan Muhammad al-Fatih, juga merupakan pukulan berat bagi Barat. Konstantine adalah nama Kaisar Romawi yang dianggap begitu besar jasanya bagi perkembangan agama Kristen. Dialah yang membangun imperium Romawi Timur. Dia juga yang dikenal memelopori penyelenggaraan Konsili Nicea, 325, yang kemudian merumuskan doktrin-doktrin pokok dalam Teologi Kristen. Setelah runtuhnya imperium Romawi Barat, maka Imperium Romawi Timur masih tetap bertahan sampai masuknya pasukan Islam di bawah pimpinan al-Fatih pada 1453. Selama dua bulan, sejak 6 April sampai 29 Mei 1453, pasukan al-Fatih (yang ketika itu berumur 29 tahun), mengepung Konstantinopel yang dikenal memiliki pertahanan sangat kuat. Meskipun mengalami perpecahan dalam paham keagamaan dengan Kristen Ortodoks di Romawi Timur, Paus Nicholas V di Roma, mengirimkan tiga kapal perang untuk membantu melawan pasukan al-Fatih. Jadi, meskipun Kristen bersatu, mereka tetap kalah. Begitu juga yang terjadi dalam Perang Salib. Meskipun Barat sudah bersatu padu, tetap kalah melawan Islam.
Memori kolektif sejarah Barat memang menyimpan kenangan pahit dan kekhawatiran terhadap kebangkitan Islam. Apalagi, begitu banyak sarjana Barat yang mengakui bahwa peradaban Barat sedang mengalami kemunduran. Tahun 1917, filosof Jerman Oswald Spengler menulis du
a jilid buku berjudul Der Untergang des Abenlandes (The Decline of the West). Buku populer The Rise and Fall of the Great Powers, ditutup Paul Kennedy dengan bab The United States: the Problem of Number One in Relative Decline.
Sebenarnya merupakan hal yang mudah dipahami, bahwa Barat akan selalu berusaha mempertahankan eksistensinya, dengan menekan bangkitnya peradaban lain, terutama Islam. Kekhawatiran terhadap Islam akan mudah sekali dibangkitkan. Masyarakat Barat, yang secara nominal beragama Kristen, tidak risau jika warga mereka menjadi ateis, Budha, Hindu, atau mengikuti berbagai aliran keagamaan dari Cina. Tetapi, mereka tampak begitu peduli dan risau jika warganya masuk Islam.
Yang justru sulit dipahami, adalah, bahwa ada saja kalangan sarjana Muslim yang justru habis-habisan menjiplak pandangan hidup Barat untuk memimpikan adanya kebangkitan Islam. Mereka berpikir, untuk maju, jangan tanggung-tanggung dalam menjiplak Barat. Ambil semuanya apapun yang dari Barat. Abdullah Cevdet, seorang tokoh Gerakan Turki Muda menyatakan: Yang ada hanya satu peradaban, dan itu adalah peradaban Eropa. Karena itu, kita harus meminjam peradaban Barat, baik bunga mawarnya mau pun durinya sekaligus. (There is only one civilization, and that is European civilization. Therefore, we must borrow western civilizaton with both its rose and its thorn).
Banyak yang bermimpi, bahwa dengan mengikuti sekularisme dan liberalisme Barat, Islam akan maju dan mujur. Padahal, yang terjadi bukan mujur, tetapi malah babak belur. Wallahu alam. (KL, 23 Juli 2004).
oOo
Sebenarnya merupakan hal yang mudah dipahami, bahwa Barat akan selalu berusaha mempertahankan eksistensinya, dengan menekan bangkitnya peradaban lain, terutama Islam. Kekhawatiran terhadap Islam akan mudah sekali dibangkitkan. Masyarakat Barat, yang secara nominal beragama Kristen, tidak risau jika warga mereka menjadi ateis, Budha, Hindu, atau mengikuti berbagai aliran keagamaan dari Cina. Tetapi, mereka tampak begitu peduli dan risau jika warganya masuk Islam.
Yang justru sulit dipahami, adalah, bahwa ada saja kalangan sarjana Muslim yang justru habis-habisan menjiplak pandangan hidup Barat untuk memimpikan adanya kebangkitan Islam. Mereka berpikir, untuk maju, jangan tanggung-tanggung dalam menjiplak Barat. Ambil semuanya apapun yang dari Barat. Abdullah Cevdet, seorang tokoh Gerakan Turki Muda menyatakan: Yang ada hanya satu peradaban, dan itu adalah peradaban Eropa. Karena itu, kita harus meminjam peradaban Barat, baik bunga mawarnya mau pun durinya sekaligus. (There is only one civilization, and that is European civilization. Therefore, we must borrow western civilizaton with both its rose and its thorn).
Banyak yang bermimpi, bahwa dengan mengikuti sekularisme dan liberalisme Barat, Islam akan maju dan mujur. Padahal, yang terjadi bukan mujur, tetapi malah babak belur. Wallahu alam. (KL, 23 Juli 2004).
oOo